Professional Documents
Culture Documents
Sri Ospinawati Ismail H.acara Peradilan Militer
Sri Ospinawati Ismail H.acara Peradilan Militer
KELAS/SEM : A/VI
NIM : 1011419122
TUGAS : HUKUM ACARA PERADILAN MILITER
1. Pasal 1
Pasal 1 angka (9) menyatakan:
“Atasan yang Berhak Menghukum adalah atasan langsung
yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman
disiplin menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan berwenang melakukan penyidikan
berdasarkan undang-undang ini.”
Dalam angka (10) didefinisikan:
“Perwira Penyerah Perkara adalah perwira yang oleh atau
atas dasar undang-undang ini mempunyai wewenang untuk
menentukan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh
prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang
berada di bawah wewenang komandonya diserahkan
kepada atau diselesaikan di luar pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum.”
Berdasarkan ketentuan di atas dimungkinkan sebuah kasus yang
melibatkan anggota TNI untuk tidak diteruskan ke pengadilan atau
penghentian proses penyelidikan dan penyidikan, bahkan diselesaikan lewat
mekanisme di luar hukum.
2. Pasal 10
Dalam pasal 10 UU No 31 Tahun 1997 disebutkan bahwa:
“Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer mengadili
tindak pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 yang: a. tempat
kejadiannya berada di daerah hukumnya; atau b.
terdakwanya termasuk suatu kesatuan yang berada di
daerah hukumnya.”
Berdasarkan pasal diatas terlihat bahwa ada inkonsistensi untuk
menunjuk di mana pengadilan harus digelar atas kejahatan yang terjadi.
Apakah akan digelar di pengadilan yang wilayah kerjanya melingkupi daerah
kejahatan (poin a) atau digelar di pengadilan yang wilayah kerjanya
melingkupi daerah kesatuan pelaku kejahatan (poin b). Berdasarkan pasal di
atas ada kemungkinan, berdasarkan poin b, bahwa pengadilan dilakukan di
wilayah yang sama dengan keberadaan kesatuan dari pelaku kejahatan.
Hal ini jelas akan menyulitkan kinerja peradilan karena peradilan
untuk perkara pidana harus dilakukan di atau oleh lembaga yang berada di
wilayah kejahatan terjadi. Namun hal ini untuk memudahkan proses
pengambilan barang bukti (investigasi) serta memudahkan saksi untuk hadir.
Jika peradilan dilaksanakan di wilayah lain sudah barang tentu hal itu akan
menyulitkan pembuktian, akan memakan jarak, waktu dan biaya yang banyak.
3. Pasal 16
Pasal 16 ayat (5) menyatakan:
“Dalam hal terdakwanya berpangkat kolonel, hakim
anggota, dan oditur sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling rendah berpangkat setingkat dengan pangkat
terdakwa dan dalam hal terdakwanya perwira tinggi hakim
ketua, hakim anggota dan oditur sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) paling rendah berpangkat setingkat dengan
pangkat terdakwa.”
Soal kepangkatan pelaku dan hakim menjadi persoalan dan ukuran
untuk mengadili sebuah kejahatan di pengadilan militer berdasarkan UU No
31 Tahun 1997. Dalam bagian keempat tentang susunan pengadilan, diatur
hal-hal yang berkenaan dengan kepangkatan. Hal ini menunjukkan intervensi
struktur komando dalam sistem pengadilan militer
4. Pasal 25
Dalam pemberhentian hakim peradilan militer, sebagaimana alasan-
alasannya diatur dalam UU No 31 Tahun 1997 Pasal 25. Hakim tersebut
dapat melakukan pembelaan di hadapan Majelis Kehormatan Hakim (Pasal 25
ayat 2), sementara pembentukan Majelis Kehormatan tersebut ditetapkan oleh
Panglima TNI (Pasal 25 ayat 3 jo pasal 1).
Selain itu dominasi panglima juga terlihat dalam pengangkatan dan
pemberhentian Panitera Pengadilan Militer (Pasal 29) melalui keputusan
panglima. Selain itu perlu diingat bahwa status hakim dalam peradilan militer
adalah militer aktif sehingga akan terjadi kekacauan administrasi terhadap
seseorang yang menjadi hakim dalam peradilan militer karena harus tunduk
pada 2 institusi; institusi kehakiman di bawah MA dan institusi TNI. Di sisi
lain, Panglima TNI juga aktif menentukan keberlanjutan sebuah perkara. Hal
ini dikarenakan Panglima TNI berposisi sebagai Papera. Posisi ini sangat
dominan untuk menentukan proses peradilan (Pasal 1 angka 10 jo 123). Salah
satu alasan yang bisa digunakan oleh Papera untuk menghentikan perkaranya
adalah alasan pertahanan dan keamanan negara.
Sesungguhnya alasan ini bukan sesuatu yang dilarang. Akan tetapi soal
wewenang tersebut sangatlah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
demokratisasi. Bahwa ancaman dan keputusan untuk merespon ancaman
merupakan keputusan politik. Maka haruslah dengan pertimbangan politik
oleh pemegang kekuasaan yang politis pula seperti presiden dan DPR, dan
bukan Panglima TNI.
Di sisi lain, akibat adanya Pepera mengakibatkankan bertambah
panjangnya proses yang harus dilalui agar suatu perkara dapat disidangkan di
pengadilan. Hal ini dapat disebabkan kinerja-subjektifitas Pepera dan juga
proses yang harus dilalui apabila ada perbedaan pendapat antara oditur militer
dengan Papera.
5. Pasal 106
“Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan
terhadap tersangka, penasihat hukum dapat mengikuti
jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar
pemeriksaan.”
6. Pasal 198
Dalam Pasal 198, dijelaskan mengenai definisi dan kewenangan
koneksitas,
“(1) Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh
mereka yang termasuk justisiabel peradilan militer dan
justisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali
apabila menurut keputusan menteri dengan persetujuan
Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.”
Penyidikan perkara koneksitas dilaksanakan oleh sebuah tim gabungan
antara polisi militer, oditur, dan penyidik dalam lingkungan peradilan umum
(198 ayat 2).
Hal ini berarti penyidikan dilakukan bukan oleh institusi permanen.
Hal ini jelas menimbulkan inefisiensi kerja. Karena akan banyak tim yang
dibentuk jika kasusnya merupakan kasus yang tergolong koneksitas.
Inefisiensi juga tergambar dalam upaya menentukan apakah sebuah kasus
perlu diadili di pengadilan militer atau pengadilan umum.
7. Pasal 199
“Untuk menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (1), diadakan
penelitian bersama oleh jaksa/jaksa tinggi dan oditur atas
dasar hasil penyidikan tim sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 198 ayat (2).”
Keputusan untuk mengadili di pengadilan militer atau pengadilan
umum ditentukan oleh kerugian yang muncul akibat dari kejahatan yang
terjadi (Pasal 200). Jika kerugian banyak terjadi dipihak militer maka
pengadilan dilakukan di pengadilan militer. Begitu pula sebaliknya.
Konsepsi koneksitas ini merupakan konsepsi yang berbasis pada
kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama antara anggota TNI dengan
anggota masyarakat sipil. Artinya kompentensi hukumnya masih
menggunakan subjek. Selain itu konsepsi koneksitas ini memungkinkan sipil
diadili di pengadilan militer hanya karena bersama-sama dengan anggota TNI
melakukan sebuah kejahatan. Sesungguhnya konsepsi koneksitas
memungkinkan anggota TNI diadili di pengadilan umum, akan tetapi
ukurannya sangat negosiatif; jika kejahatan tersebut dilakukan secara bersama
dan menimbulkan kerugian yang banyak di kalangan masyarakat umum.
Padahal setiap kejahatan, siapapun yang melakukan, pasti menimbulkan
kerugian secara umum di kalangan masyarakat. Termasuk kejahatan terhadap
TNI sekalipun.
8. Pasal 202
Ketidak jelasan lainnya adalah ketika muncul perbedaan pendapat di
mana yurisdiksi tempat mengadili. Menurut Pasal 202 ayat (2):
“Jaksa agung dan oditur jenderal bermusyawarah untuk
mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan
pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pada akhirnya ketidak jelasan tersebut diselesaikan melalui
musyawarah. Pertimbangan-pertimbangan dilakukan secara bersama-sama,
antara sipil-anggota TNI, dan bentuk-banyaknya kerugian tidak menjadi hal
yang penting. Selain itu metode penyelesaiannya juga tidak menunjukkan
otoritas yang layak dan tunggal.
9. Pasal 215
Pasal 215 ayat 2 menyatakan