You are on page 1of 11

TUGAS HUKUM KEPAILITAN

PENGATURAN MENGENAI PERUSAHAAN INSOLVENT

DALAM SYARAT KEPAILITAN

OLEH

CATHERINE CAROLYN WORI

2004551165

KELAS B REGULER PAGI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kepailitan menurut pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah sita umum atas semua

kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator

dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana telah diatur pada undang-undang ini.

Kepailitan ialah sebagai suatu proses yang didalamnya terdapat runtutan-runtutan langkah

yang telah diatur undang-undang. Proses yang diatur tersebut dari mulai permohonan

putusan sampai dengan adanya putusan pailit.1

Sebagaimana sebuah proses pada umumnya yang bukan hanya memiliki sebuah

awal namun juga sebuah akhir, kepailitan juga memiliki sebuah akhir, hal tersebut

biasanya disebut dengan berakhirnya kepailitan.

Seperti yang telah dijelaskan oleh penjelasan pasal 57 (1) Undang-undang

Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,

yang dimaksud dengan insolvensi adalah keadaan tidak mampu membayar. Insolvensi

terjadi bilamana dalam suatu kepailitan tidak ditawarkan akur/perdamaian atau akur

dipecakan karena tidak terpenuhi sebagaimana yang telah disetujui. Dalam hal ini terjadi

apabila bila dalam rapat pencocokan utang piutang tidak ditawarkan perdamaian, atau bila

perdamaian yang ditawarkan telah ditolak, maka kurator atau seorang kreditor yang hadir

dalam rapat tersebut dapat mengusulkan agar perusahaan debitor pailit dilanjutkan.

Pemanggilan terhadap kreditor oleh kurator harus dilakukan minimal 10 hari

sebelum rapat diadakan. Atas permohonan seorang kreditor atau kurator, hakim pengawas

1
Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum, Prenada Media Group, jakarta, hlm 35
dapat memerintahkan agar kelanjutan perusahaan dihentikan. Dalam hal ini kurator harus

memulai pemberesan dan menjual semua harta pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan

atau bantuan debitor apabila:

- Usul untuk mengurus perusahan debitor tidak diajukan dalam jangka waktu diatur

dalam undang-undang ini atau usul tersebut telah diajukan tetapi ditolak atau;

- Pengurusan terhadap perusahaan debitor dihentikan.

- Seorang kreditor yang piutangnya tidak dicocokkan, juga seorang kreditor yang

piutangnya dicocokkan untuk jumlah yang terlalu rendah menurut laporannya sendiri,

boleh mengajukan perlawanan selanjutnya dalam sidang umum. Piutang atau bagian

piutang yang tidak dicocokkan tadi disampaikan kepada kurator, satu salinannya

dilampirkan pada surat keberatan dan dalam surat keberatan ini diajukan pula

permohonan untuk mencocokkan piutang tersebut. Terhadap ketetapan pengadilan

tersebut, kurator atau setiap kreditor dapat mengajukan kasasi dalam waktu 8 hari

setelah ketetapan tersebut diambil. Mahkamah Agung dapat memanggil kurator atau

para kreditor untuk didengar.2

Dengan adanya insolvensi, Kurator mulai mengambil tindakan yang menyangkut

pemberesan harta pailit,yaitu:

- Melakukan pelelangan atas seluruh harta pailit dan melakukan penagihan terhadap

piutang-piutang debitor Pailit yang mungkin ada di tangan pihak ketiga, di mana

penjualan terhadap harta pailit itu dapat saja dilakukan di bawah tangan sepanjang

mendapat persetujuan dari Hakim Pengawas

2
Amirudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo persada, Jakarta,2004, hlm
31
- Melanjutkan pengelolaan perusahaan debitor Pailit apabila dipandang

menguntungkan, namun pengelolaan itu harus mendapat persetujuan Hakim

Pengawas

- Membuat daftar pembagian yang berisi: jumlah uang yang diterima dan dikeluarkan

selama kepailitan, nama-nama kreditor dan jumlah tagihan yang disahkan,

pembayaran yang akan dilakukan terhadap tagihan tersebut

- Melakukan pembagian atas seluruh harta pailit yang telah dilelang atau diuangkan itu.

Dengan demikian, apabila insolvensi sudah selesai dan para kreditor sudah menerima

piutangnya sesuai dengan yang disetujui, kepailitan itu dinyatakan berakhir. Debitur

kemudian akan kembali dalam keadaan semula, dan tidak lagi berada di bawah

pengawasan Kurator. Akan tetapi, apabila pada saat berakhirnya pembagian ternyata

masih terdapat harta kekayaan debitor, maka atas perintah Pengadilan Niaga, kurator akan

membereskan dan melakukan pembagian atas daftar-daftar bagian yang sudah pernah

dibuat dahulu.

1.2 Rumusan Masalah

Mengapa dalam undang-undang kepailitan perusahaan insolvent tidak dijadikan syarat

kepailitan?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui mengapa dalam undang-undang kepailitan

perusahaan insolvent tidak dijadikan syarat kepailitan.


BAB II

PEMBAHASAN

Definisi Kepailitan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU KPKPU”) yaitu

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan

pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana

diatur dalam Undang-undang ini.3

Selanjutnya mengenai akibat kepailitan, Pasal 21 UU KPKPU menyebutkan,

Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan

serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Berdasarkan hal tersebut, maka seorang

debitur pailit berada dalam keadaan sita umum kepailitan.

Dalam Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU mengatur syarat debitur dapat dinyatakan pailit

yaitu, Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya

satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan

Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih

kreditornya.

Kemudian Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU mengatur bahwa, Permohonan pernyataan

pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana

bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)

telah dipenuhi. Merujuk pada ketentuan tersebut, jelas bahwa yang harus terbukti secara

3
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
sederhana adalah fakta atau keadaan bahwa syarat untuk dinyatakan pailit sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU telah terpenuhi, yaitu:

1. Ada dua atau lebih kreditor. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena

perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. "Kreditor" di

sini mencakup baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen.

2. Ada sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih yang tidak

dibayar lunas oleh debitor. Artinya adalah ada kewajiban untuk membayar utang

yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu

penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh

instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis

arbitrase.

Jadi berdasarkan hal tersebut, seorang debitur dinyatakan pailit apabila debitur

memiliki paling sedikit dua kreditur dan ada sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan

dapat ditagih.

Arti insolvensi dapat kita temukan dalam Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UU KPKPU yang

berbunyi bahwa Yang dimaksud dengan "insolvensi" adalah keadaan tidak mampu membayar.

Sutan Remy dalam bukunya menjabarkan penjelasan tentang debitur yang berada dalam

keadaan insolven ialah sebuah perusahan atau pribadi yang dapat dinyatakan insolven

(insolvent) atau pailit (bankrupt) adalah

- Insolvensi terjadi apabila debitur tidak dapat melunasi semua utangnya;

- Insolvensi adalah keadaan debitur yang memiliki jumlah utang yang melebihi seluruh

jumlah harta kekayaannya.

Jumlah keseluruhan utang-utang debitur tidak membeda-bedakan jenis para kreditur.

Dalam peraturan kepailitan (FV) pun menganut konsep utang dalam arti luas. Dalam

yurisprudensi ternyata bahwa membayar tidak selalu berarti menyerahkan sejumlah uang.
Menurut putusan H. R 3 Juni 1921, membayar berarti memenuhi suatu perikatan, ini dapat

diperuntukkan untuk menyerahkan barang-barang.4 Disamping prinsip utang menganut konsep

utang dalam arti luas utang yang dijadikan dasar mengajukan kepailitan harus memenuhi unsur:

1. Utang tersebut telah jatuh tempo 2. Utang tersebut dapat ditagih 3. Utang tersebut tidak

dibayar lunas. Suatu utang dapat ditagih jika utang tersebut bukan utang yang timbul dari

perikatan alami (natuurlijke verbintensis). Perikatan yang pemenuhannya tidak dapat dituntut

di muka pengadilan dan yang lazimnya disebut perikatan alami tidak dapat digunakan sebagai

alasan untuk mengajukan permohonan pailit. Perikatan alami adalah semisal perikatan yang

oleh ketentuan perundangundangan dinyatakan tidak dapat dituntut pemenuhannya karena

perjudian atau pertaruhan (pasal 1788 KUH Perdata), maupun sesudahnya sebagai akibat telah

terjadinya kadaluwarsa (pasal 1967 KUH Perdata).5 Dalam proses acara kepailitan prinsip

utang tersebut sangat menentukan, oleh karena tanpa adanya utang tidaklah mungkin perkara

kepailitan akan bisa diperiksa. Walaupun telah ada kepastian mengenai penafsiran utang

tersebut dalam revisi Undang-undangkepailitan yakni Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan pembayaran Utang, dimana utang didefinisikan dalam arti

luas yang berarti telah pararel dengan konsep KUH Perdata, akan tetapi perubahan konsep

utang ini menjadi terdistorsi ketika dikaitkan dengan hakikat kepailitan dalam Undang-undang

kepailitan yang hanya bertujuan untuk mempermudah memailitkan subjek hukum dimana

syarat kepailitan hanya memiliki dua variable, yakni adanya utang yang telah jatuh tempo dan

dapat ditagih kembali serta memiliki setidaknya dua kreditor. Sehingga kemudahan

mempailitkan subjek hukum seakan dipermudah lagi dengan konsep utang dalam arti luas

tersebut. Kelemahan Undang-undang ini sering disalah gunakan, dimana kepailitan bukan

4
Siti Soemantri Hartono (1993), Pengantar Hukum Kepailitan dan penundaan Pembayaran,
Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, Hlm 8
5
Fred BG tumbuan (2004), “ mencermati Makna Debitor, Kreditor dan Utang berkaitan
dengan Kepailitan”, Dalam : Emmy Yuhassrie (ed), Undang-undang Kepailitan dan
Perkembangannya, Pusat pengkajian Hukum, Jakarta, hlm 20-21
sebagai instrumen hukum untuk melakukan distribusi aset debitor akan tetapi digunakan

sebagai alat untuk menagih utang atau bahkan untuk mengancam subjek hukum walaupun tidak

berkaitan dengan utang.

Hukum kepailitan di Indonesia menganut prinsip utang dalam arti luas, akan tetapi tidak

menganut prinsip pembatasan jumlah nilai nominal uang seperti yang terdapat dalam sistem

kepailitan di Negara lain, misalnya di Singapura dan Hongkong. Hal ini sebagai kekurangan

dan bahkan kelemahan aturan hokum kepailitan di Indonesia. Argumentasi yuridisnya adalah

bahwa dengan tidak dibatasi jumlah minimum utang sebagai dasar pengajuan permohonan

kepailitan, maka akan terjadi penyimpangan hakikat kepailitan dari kepailitan sebagai pranata

likuidasi yang cepat terhadap kondisi keuangan debitor yang tidak mampu melakukan

pembayaran utang-utangnya kepada para kreditornya sehingga untuk mencegah terjadinya

unlawful execution dari para kreditornya, menjadi kepailitan sebagai alat tagih semata (debt

collection tool).6 Di samping itu pula, dengan tidak adanya pembatasan jumlah minimum utang

tersebut, bisa merugikan kreditor yang memiliki utang yang jauh lebih besar terhadap debitor.

Tidak dibedakan apakah utang-utang debitur tersebut kepada para kreditur konkuren,

kreditur dengan hak jaminan, dan kreditur dengan hak istimewa. Untuk menentukan bahwa

debitur sudah berada dalam keadaan insolven, harus dilakukan penjumlahan semua utang

debitur kepada semua jenis krediturnya dan kemudian dibandingkan dengan jumlah harta

kekayaannya (aset) untuk mengetahui apakah jumlah nilai utang tersebut masih lebih besar

atau sudah lebih kecil daripada jumlah seluruh utangnya.

Kemudian, dalam bukunya Sutan Remy juga menjelaskan tentang syarat insolvensi

yaitu Dalam Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU tidak dicantumkan sebagai syarat agar debitur dapat

dipailitkan adalah dialaminya keadaan insolvensi keuangan debitur. Perlu diketahui bahwa

6
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayumedia Publishing,
Surabaya, 2006, hlm 141
dalam Undang-Undang Kepailitan di negara-negara lain, kepailitan debitur hanya

dimungkinkan apabila debitur telah dalam keadaan insolven.

Debitur dinyatakan pailit apabila debitur memiliki paling sedikit dua kreditur dan ada

sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Jadi dalam hal pailit, belum

tentu harta debitur tidak cukup untuk membayar utang-utangnya. Sedangkan di Indonesia, arti

insolvensi yang kita temukan dalam UU 37/2004 KPKPU adalah sebatas “keadaan tidak

mampu membayar”. Lebih luas lagi, jika mengacu pada pendapat Sutan Remy, yang dikatakan

dengan debitur dalam keadaan insolven adalah ketika debitur tidak dapat melunasi utang

kepada semua krediturnya dan debitur yang memiliki jumlah utang yang melebihi seluruh

jumlah harta kekayaannya. 7

7
M.Syamsudin, operasional penelitian hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm
58
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa perusahaan dalam

undang-undang kepailitan perusahaan insolvent tidak dijadikan syarat kepailitan karena

pailit dan insolvent merupakan dua keadaan yang berbeda. Dimana dalam hal ini, Debitur

dinyatakan pailit apabila debitur memiliki paling sedikit dua kreditur dan ada sedikitnya

satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Jadi dalam hal pailit, belum tentu

harta debitur tidak cukup untuk membayar utang-utangnya. Sedangkan, insolvent sendiri

merupakan keadaan dimana debitur tidak mampu membayar utangnya karena harta atau

asset debitur lebih sedikit apabila dibandingkan dengan jumlah utang yang dimilikinya,

hal ini sesuai sebagaimana dijelaskan dalam UU 37/2004 KPKPU Maka dari itu,

perusahaan insolvent tidak dijelaskan secara rinci, atau bahkan dibuatkan normanya dalam

UU Kepailitan juga dalam syarat kepailitan karenainsolvent dan kepailitan bukanlah hal

yang sama melainkan dua keadaan yang berbeda.


DAFTAR PUSTAKA

Amirudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo persada, Jakarta,2004.

Fred BG tumbuan (2004), “ mencermati Makna Debitor, Kreditor dan Utang berkaitan

dengan Kepailitan”, Dalam : Emmy Yuhassrie (ed), Undang-undang Kepailitan dan

Perkembangannya, Pusat pengkajian Hukum, Jakarta.

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayumedia

Publishing, Surabaya, 2006, hlm 141

Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum, Prenada Media Group, jakarta, hlm 35

M.Syamsudin, operasional penelitian hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Siti Soemantri Hartono (1993), Pengantar Hukum Kepailitan dan penundaan

Pembayaran, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.

You might also like