You are on page 1of 8

HAK-HAK ATAS TANAH DALAM HUKUM PERTANAHAN DI INDONESIA

MENURUT UNDANG-UNDANG POKOK AGARARIA (UUPA)

Muhammad Afiqi Zaiyani


Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari

ABSTRACT
Indonesia is a legal state in accordance with Article 1 Paragraph (3) of the 1945
Constitution. The affirmation of this constitutional provision means that all aspects of life in
society, the state and government must always be based on law. This includes land law.

The Basic Agrarian Law (UUPA) which was stipulated and effective since September 24,
1960 is a law that regulates the basis and provisions of the power, ownership, use, and
utilization of national agrarian resources in Indonesia. Land rights are a right that gives
authority to use the land in question as well as land and water and the space above it is only
needed for interests that are directly related to the use of the land within the limits according
to the statutory system of the UUPA (basic law). agrarian) and other higher legal regulations.

Keywords: Law, Land Rights, Basic Agrarian Law

ABSTRAK
Indonesia merupakan negara hukum sesuai dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945.
Penegasan ketentuan konstitusi ini bermakna, bahwa segala aspek kehidupan dalam
kemasyarakatan, kenegaraan dan pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum.
Termasuk didalamnya hukum atas tanah.

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yanditetapkan dan berlaku sejak tanggal 24


September 1960 merupakan undang-undang yang mengatur tentang dasar dan ketentuan
kekuasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria nasional di
indonesia. Hak atas tanah merupakan suatu hak yang memberikan wewenang dengan
mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tanah dan air serta ruang yang ada
diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentinhan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut sistem perundang-undangan UUPA
(undang-undang pokok agraria) dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi lainnya.
Kata kunci : Hukum, Hak Atas Tanah, Undang-undang pokok agraria

I. Pendahuluan

Pasal 16 Ayat (1) UUPA menyatakan bahwa terdapat hak-hak atas tanah antara lain
sebagai berikut: hak milik; hak guna usaha; hak guna bangunan; hak pakai; hak sewa; hak
membuka tanah; dan hak memungut hasil hutan. Selain itu, diakui pula hak-hak lain yang
diatur pada peraturan lain dan hak lain yang memiliki sifat sementara.
Hak milik mengandung hak untuk melakukan atau memakai bidang tanah yang bersangkutan
untuk kepentingan apapun. Hubungan yang ada bukan hanya bersifat kepemilikan saja,
melainkan bersifat psikologis-emosional. Hak milik hanya diperuntukan untuk
berkewarganegaraan tunggal Indonesia. Hanya tanah berhak milik yang dapat diwakafkan.
Hak ini adalah model hak atas tanah yang terkuat dan terpenuh.
Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan langsung tanah yang dikuasai oleh Negara
untuk usaha pertanian, perikanan, atau peternakan. 
Hak guna usaha dapat diperoleh oleh perorangan Indonesia atau perusahaan Indonesia.
Jangka waktu hak guna usaha adalah 25 tahun bagi perorangan dan 35 tahun bagi perusahaan.
Waktu tersebut dapat diperpanjang untuk jangka waktu 25 tahun.
Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas
tanah yang bukan miliknya sendiri untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat
diperpanjang paling lama 20 tahun. Hak guna bangunan dapat diperoleh oleh perorangan
Indonesia atau badan hukum Indonesia. Hak guna bangunan dapat diletaki di atas tanah
negara atau tanah hak milik.
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara atau milik orang lain. Namun, hak tersebut muncul bukan karena
perjanjian sewa atau perjanjian pengolahan tanah. Baik warganegara Indonesia maupun
warganegara asing dapat memiliki hak pakai. Begitu pula badan hukum Indonesia dan badan
hukum asing.
Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan adalah hak untuk memanfaatkan sumber
daya dalam hutan yang bersangkutan tanpa hutan tersebut dimiliki oleh si penerima hak.

II. Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah:
1. Untuk mengkaji dan menganalisis lebih dalam lagi bagaimana sistem hukum tanah di
Indonesia setelah diundang- kannya Undang-Undang Pokok Agraria No.5/Tahun 1960
2. Untuk menjelaskan dan menganalisis apa-apa saja hak-hak penguasaanatas tanah di
Indonesia serta apa-apa saja hak-hak atas tanah sebagaimana di- rumuskan dalam Undang-
Undang Pokok Agraria Nomor 5/Tahun 1960 yang nantinya agar rakyat Indonesia dapat
memahamihak-hak apa yang mereka punyai akan tanah yang mereka kuasai.
3. Untuk memenuhi tugas mata kuliah

III. Permasalahan

Adapun permasalahan dalam tulisan ini yang penulis angkat adalah:


1. Bagaimanakah Sistem Hukum Pertanahan di Indonesia menurut Undang- Undang Pokok
Agraria (UUPA)?
2. Apa-apa saja Hak-Hak Atas Tanah sebagaimana yang diatur dalam Undang- Undang
Pokok Agraria?
3. Studi Kasus: Kuatnya Hak atas tanah dengan tanda kepemilikan Sertifikat tanah dalam
kasus Mafia Tanah Ibunda Nirina Zubir

IV. Pembahasan

1. Sistem Hukum Pertanahan Indonesia

Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi, yang disebut permukaan
bumi.Tanah yang dimaksud di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan
hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak.
Tanah sebagai bagian dari bumi disebut dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu “Atas dasar hak
menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-
macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta
badan-badan hukum”. Dengan demikian jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis
adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu
permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
yang menjadi objek Hukum Tanah adalah hak penguasaan atas tanah yang dibagi menjadi 2
(dua), yaitu:
a. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum; dan
b. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret.
Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang tertulis bersumber pada UUPA dan peraturan
pelaksanaannya yang secara khusus berkaitan dengan tanah sebagai sumber hukum
utamanya, sedangkan ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang tidak tertulis bersumber pada
Hukum Adat tentang tanah dan yurisprudensi tentang tanah sebagai sumber hukum
pelengkapnya.

2. Hak-hak atas tanah dalam Undang-Undang Agraria

Hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA
dijabarkan
dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, yaitu:
a. Hak Milik,
b. Hak Guna Usaha,
c. Hak Guna Bangunan,
d. Hak Pakai,
e. Hak Sewa,
f. Hak membuka tanah,
g. Hak memungut hasil hutan,
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut
diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak- hak yang sifatnya sementara
sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.

Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) ialah:
a. hak guna air,
b. hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, c. hak guna ruang angkasa.

Di sini akan diuraikan beberapa hak-hak atas tanah yang diatur Pasal 16 UUPA yang
berhubungan dengan konversi hak atas tanah, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, dan hak pakai.
Hak Milik dalam UUPA diatur mulai Pasal 20 sampai dengan Pasal 27. Dalam UUPA
dijumpai suatu rumusan pengertian Hak Milik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20 yang
berhubungan dengan Pasal 6, berbunyi sebagai berikut: hak milik adalah hak turun-temurun,
terkuat dan terpenuh yang dapat

UUPA mengatur peralihan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai atas tanah, yaitu:
a. Pasal 20 ayat (1) UUPA
Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
b. Pasal 28 ayat (3) UUPA
Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
c. Pasal 35 ayat (3) UUPA
Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
d. Pasal 43 UUPA
(1) Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh negara, maka Hak Pakai hanya
dapat dialihkan kepada pihak lain denga izin pejabat yang berwenang.
(2) Hak Pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu
dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan

3. Studi Kasus

Peristiwa berawal dari Cut Indria Martini (ibunda Nirina Zubir) kehilangan enam sertifikat
tanah seluas 1.499 meter persegi atas nama enam ahli waris , Ke enam sertifikat tersebut
terdiri atas dua sertifikat tanah dan empat sertifikat tanah dan bangunan dengan total nilai
perkiraan mencapai Rp 17 Miliar.

Untuk megurus ke enam sertifikat yang hilang tersebut , pada tahun 2018 ibu Cut Indria
Martini meminta bantuan seorang asisten rumah tangganya yang berinisial RK untuk
mengurus sertifikat yang hilang tersebut. Setelah setahun berselang kepengurusan sertifikat
tersebut belum juga usai , sampai meninggalnya Ibu Cut Indria Martini pada tanggal 12
November 2019. Menurut keterangan RK (Pelaku seorang ART) sertifikat yang hilang
tersebut masih diurus oleh Notaris Frd di Kantor BPN Jakarta Barat.
Sekitar satu tahun kemudian , para ahli waris Cut Indria Martini mendatangi Kantor BPN
Jakarta Barat untuk menanyakan perihal ke enam sertifikat yang hilang tersebut, namun
ternyata mendapat jawaban bahwa ke enam sertifikat tanah mereka tersebut sudah beralih
nama menjadi atas nama RK (Pelaku) dan E (Suami RK) berdasarkan Akte PPJB dan Surat
Kuasa Menjual yang dibuat dan ditanda tangani oleh Frd (PPAT Wilayah Tangerang).

Pengalihan kepemilikan dokumen tersebut menggunakan tanda tangan Cut Indria Martini
yang diduga dipalsukan serta AJB yang diketik oleh Frd , namun disahkan (dilegalisir) oleh
Notaris lain yaitu IR (Notaris perempuan) dan ER (Notaris laki). Ke enam sertifikat tersebut
sebagian sertifikat tanah dijual kepada pihak lain dan dua sertifikat lainnya dijadikan agunan
pinjaman uang kepada Bank. Berdasarkan temuan fakta fakta tersebut maka pihak keluarga
(ahli waris Cut Indria Martini) melaporkan kasus penggelapan sertifikat tersebut ke polisi
pada Juli 2021

RK dan E sebelumnya didakwa dengan Pasal 263 Ayat (2), Pasal 264 Ayat (2), Pasal 362 jo
Pasal 55 ayat ke-1 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pemalsuan Surat
dan Pencurian.

Siapa yang dirugikan atas peristiwa tindak pidana yang dilakukan oleh RK dan Edrt tersebut ,
yaitu :
 Keluarga ( ahli waris Cut Indria Martini ) yaitu Nirina Zubir dan kakak atau adiknya.
 Pihak pembeli tanah waris tersebut , karena mereka akan kehilangan uang dan tidak
mendapat tanah yang sudah dibelinya..
 Pihak Bank yang telah memberikan kredit pinjaman uang kepada RK dan Edrt.
 Ke tiga notaris yang memproses dokumen peralihan hak , karena mereka jadi terbawa
bawa dalam kasus tindak pidana, terlepas mereka sejak awal mengetahui atau
tidaknya pemalsuan tersebut atau tidak.
Kejahatan ini bisa terjadi atau terselenggara karena ada dugaan kerja sama di antara mereka
berdua ( RK dan Edrt ) dengan dibantu oleh tiga orang Notaris / PPAT , yaitu Frd, IR dan ER.
Tanpa kerja sama di antara mereka tersebut , akan sulit terlaksana proses jual beli tanah, balik
nama sertifikat dan proses pemimjaman uang di salah satu Bank di Jakarta.
Untuk membatalkan dokumen dokumen yang sudah terbit , misalnya seperti PPJB , AJB dan
Sertifikat yang sudah dibalik nama ke pihak lain , tidak bisa serta merta dibatalkan ,
melainkan harus menunggu proses hukum pidana yang dijalani oleh RK , Edrt dan ke tiga
Notaris / PPAT yang terlibat dalam kasus tersebut, sampai dengan adanya Putusan
Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dan untuk proses itu tidak cukup
hanya membutuhkan 3 sampai 6 bulan ke depan Melainkan bisa berjalan satu sampai dua
tahu ke depan. Apa lagi kalau para pelaku itu nantinya mengajukan banding dan kasasi ke
Mahkamah Agung , bisa memakan waktu 3 sampai 4 tahun.

Dari kasus tersebut dapat kita simpulkan bahwa sertifikat tanah merupakan suatu dokumen
kuat terhadap hak atas tanah. Yang dimana sang pemilk pun (ahli waris) tidak bisa langsung
memiliki kembali sertifikat tanahnya dan harus menunggu beberapa waktu.

V. Simpulan

Indonesia merupakan negara hukum, kepastian terhadap hukum adalah salah satu ciri negara
hukum, maka dari itu adanya hukum yang mengatur tentang bumi, air, tanah maupun ruang
angkasa juga harus diatur.

Maka demikian diperlukannya aturan yang mengatur tentang hal tersebut, dengan
diterbitkannya undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang pokok-pokok
agraria, maka menggugurkan aturan-aturan yang sebelumnya mengatur tentang tanah.

Hukum Agraria itu dibentuk dengan tujuan Meletakkan dasar-dasar bagi penyusun Hukum
Agraria Nasional yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan
keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan
makmur, Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
Hukum Pertanahan, Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan serta meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat indonesia

VI. Daftar Pustaka


Sari Indah. (2020) Hak-hak atas tanah dalam sistem hukum pertahanan di Indonesia menurut
undang-undang pokok agraria (UUPA). Jurnal Mitra Manajemen, 15-33.
https://journal.universitassuryadarma.ac.id/index.php/jmm/article/viewFile/492/457

Usman Abdul Hamid. (2020) Perlindungan Hukum Hak Milik atas Tanah Adat Setelah
Berlakunya Undang-undang Pokok Agraria. Jurnal kepastian hukum dan keadilan, P-
ISSN: 2721-0545, E-ISSN: 2722-3604 Volume 1 Nomor 2, 60-76. https://jurnal.um-
palembang.ac.id/KHDK/article/viewFile/2593/192

You might also like