You are on page 1of 17

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt, yang telah


mencurahkan berbagai macam nikmat-Nya, dan Shalawat
beriring salam kepada baginda Rasulullah saw. yang telah
membawa risalah yang begitu agung al-Qur‟ān al-karīm,
sebagai petunjuk dalam mengarungi kehidupan yang fana ini.
Fikih mawaris merupakan setengah dari ilmu
pengetahuan, karena berhubungan langsung dengan urusan-
urusan setelah kematian, terutama berkaitan dengan harta
benda yang ditinggalkan oleh pewaris. Perkara harta bukan
merupakan perkara ringan, banyak kasus pertikaian yang
terjadi dalam ranah keluarga, masyarakat bahkan bangsa dan
negara hanya dikarenakan pembagian harta warisan.
Oleh karena itu, Allah telah mengatur hukum waris
secara riqid dan detail diterangkan oleh al-Qur‟an dengan ad
nauseam (secara panjang lebar). Beberapa ahli hukum
mengakui bahwa tidak ada satu aspek hukumpun yang secara
teknis menunjukkan keistimewaan hukum Islam selain dari
pada hukum waris, karena hukum waris di dalam al-Qur‟an
telah dipresentasikan dalam teks-teks yang rinci, sistematis,
konkrit dan realistis sehingga menutup kemungkinan adanya
multiinterpretasi.

Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang
Ilmu mawaris adalah ilmu yang sangat penting dalam
Islam, karena dengan ilmu mawaris harta peninggalan
seseorang dapat disalurkan kepada yang berhak,
sekaligus dapat mencegah kemungkinan adanya
perselisihan karena memperebutkan bagian dari harta
peninggalan tersebut. Dengan ilmu mawaris ini, maka
tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Karena
pembagian harta warisan ini adalah yang terbaik dalam
pandangan Allah dan manusia. Dari Abdullah Ibnu
Mas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Pelajarilah Al-
Qur'an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta
pelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada orang lain.
Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal, dan
ilmu ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah.
Bahkan akan terjadi dua orang yang akan berselisih
dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun
keduanya tidak mendapati orang yang dapat
menyelesaikan perselisihan tersebut. " (HR Daruquthni)
Permasalahan yang muncul sekarang adalah banyak
orang yang tidak memahami ilmu mawaris, sehingga
sangat sulit mencari orang yang benar-benar menguasai
ilmu ini. Di sisi lain banyak anggota masyarakat yang
tidak mau tahu dengan ilmu mawaris, sehingga
akibatnya mereka membagi harta warisan menurut
kehendak mereka sendiri dan tidak berpijak pada cara-
cara yang benar menurut hukum Islam.

B. Rumusan Masalah
Banyaknya umat Islam yang belum bisa menentukan
pembagian harta warisan secara adil dan benar menurut
hukum Islam, serta kesulitan penghitungan atau
menentukan bagi waris. Karena hanya segelintir orang
yang mengerti tentang pembagian harta waris yang
sesuai dengan hukum Islam. Maka dibutuhkan suatu
cara yang dapat mempermudah masyarakat dalam
menentukan pembagian harta waris terutama
disesuaikan dengan hukum Islam. Sehingga tidak terjadi
lagi ketimpangan pembagian harta waris yang sering
terjadi di masyarakat pada umumnya.
C. Tujuan
1. Sistem pembagian harta warisan berbasis Visual Basic
ini dibuat untuk perencanaan dan sebagai alat bantu
dalam pengambilan keputusan mengenai
permasalahan pembagian harta warisan.
2. Dapat mempermudah pembagian harta warisan
kepada ahli waris yang berhak menerimanya sesuai
dengan ketentuan hukum Islam.
3. Melengkapi dari Sistem Informasi Pembagian Harta
Waris yang sudah dibuat sebelumnya

Bab II Pembahasan
A. Pengertian Ilmu Para`id / Mawari
Secara etimologi lafaż farāiḍ adalah bentuk jamak dari
farīḍah (sesuatu yang diwajibkan), diambil dari kata al-
farḍu (kewajiban) yang memiliki makna etimologi dan
terminologi. Secara etimologi kata al-farḍu memiliki
beberapa arti, di antaranya adalah: al-wājibu (wajib),
almuqaddaru (diperkirakan), al-ḥaẓzu (pembatasan),
altaqdīru (ketentuan), al-qaṭ‟u (ketetapan/kepastian),
alinzālu (menurunkan), at-tabyīnu (penjelasan), al-
Naṣību al-muqaddaru al-mafrūḍu (bagian yang
ditentukan). Dan dinamakan al-farḍu sebagai farḍan
karena ada karakteristik dari ilmu tersebut yang
langsung ditetapkan oleh Allah swt. Sementara secara
terminologi, ilmu farāiḍ memiliki beberapa definisi,
yaitu:
1. Ilmu yang mempelajari tentang tatacara
pembagian warisan kepada yang berhak
menerimanya
2. Ilmu tentang aturan dan peraturan dari fiqih dan
hisab (hitungan), yang diketahui dengannya setiap
bagian ahli waris
3. Disebut juga dengan fiqh al-Mawāriṡ dan „ilmu
alhisāb untuk mengetahui dan menghitung setiap
harta waris yang ditinggalkan.
4. Hukum yang mengatur tentang perpindahan hak
pemilikan harta peniggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan ilmu farāiḍ atau ilmu
mawāriṡ, yaitu ilmu yang diambil dari al-Qur‟ān, sunnah,
Ijma‟ Ulama dan Ijtihad Ulama, untuk mengetahui ahli
waris yang dapat mewarisi dan yang tidak dapat
mewarisi, dan mengetahui kadar bagian setiap ahli waris
serta tata cara pembagiannya.
Dan ada pun, Objek Ilmu Farāiḍ Objek ilmu farāiḍ adalah
harta peninggalan pewaris. Dari segi adanya penjelasan
terhadap bagianbagian untuk ahli waris yang berhak
menerimanya, tatacara penghitungan harta waris,
sampai jumlah bagian harta yang diterima oleh seluruh
ahli waris, sesuai dengan al-Quran, sunah, ijma‟ dan
ijtihad ulama.
B. Kedudukan Mawaris / Fara`id di Dalam Hukum Islam

Hukum waris Islam sebagai bagian dari syari’at islam dan


lebih khusus lagi sebagai bagian dari aspek muamalah
sub hukum perdata, tidak dipisahkan dengan aspek-
aspek lain dari ajaran Islam.
1. Hukum waris mendapatkan kedudukan yang sangat
penting dalam agama Islam. Alqur’an mengatur
hukum waris secara  jelas dan terperinci. Hal ini dapat
dimengerti karena setiap orang pasti akan
berhubungan dengan warisan, dan kalau tidak
diberikan ketentuan yang pasti akan menimbulkan
sengketa di antara para Ahli Waris. Setiap terjadi
peristiwa kematian seseorang, segera timbul
pertanyaan tentang bagaimana harta peninggalannya
harus diperlakukan, kepada siapa saja harta tersebut
dibagikan, serta bagaimana cara pembagiannya.
2.  Pertanyaan-pertanyaan  inilah yang nantinya akan
dibicarakan dalam materi hukum waris Islam.
Bagi umat Islam mengamalkan waris berdasarkan
hukum waris Islam bersifat wajib ‘ain dan
mempelajarinya merupakan kewajiban kolektif (fardlu
kifayah).
3. Kewajiban itu dapat dilihat dari beberapa ayat
Alqur’an dan Hadist Nabi berikut ini:
1. QS. Ali Imran: 185; QS. Al Ankabut: 57; QS. Al
Anbiya: 35 yang artinya: “Tiap-tiap yang bernyawa
akan merasakan mati.” Hal tersebut berarti bahwa
setiap manusia pasti akan mati. Setelah ada
kematian maka terbukalah Pewarisan.
2. ”Bagilah harta pusaka di antara ahli-Ahli Waris
menurut Kitabullah (Alqur’an)”(HR.. Muslin dan
Abu Dawud).
3. Dari Abu Harairah, bahwa Nabi saw bersabda:
“Pelajarilah faraidl dan ajarkanlah kepada orang
banyak; karena faraidl adalah separoh ilmu dan
mudah dilupakan serta merupakan ilmu yang
pertama kali hilang dari umatKu.”(HR.. Ibnu Majah
& Ad-Daruquthni).
4. Dari Ibnu Mas’ud, dia berkata: Telah bersabda
Rasul Allah saw: “Pelajarilah Alqur’an dan
ajarkanlah kepada orang banyak, pelajari pula
faraidl dan ajarkanlah kepada orang banyak. Karena
aku adalah manusia yang pada suatu ketika mati
dan ilmupun akan hilang. Hampir-hampir dua orang
bersengketa dalam pembagian warisan dan
masalahnya tidak menemukan seseorang yang
memberitahu bagaimana penyelesaiannya.”(HR.
Ahmad bin Hambal).
5.Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwa Rasulullah
bersabda:”Ilmu itu ada tiga macam, dan selain dari
yang tiga itu adalah tambahan: ayat yang jelas,
sunnah yang datang dari Nabi dan faridlah yang
adil.”(HR.. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Berdasarkan ayat-ayat tersebut di atas, maka para
ulama bersepakat bahwa faraidl dijadikan sebagai salah
satu cabang ilmu yang berdiri sendiri yang disebut
dengan Ilmu Faraidl, yaitu ilmu tentang pembagian
harta warisan. Kata Faraidl adalah bentuk jamak
dari Faridlah, faridlah diambil dari kata Fardl yang
artinya takdir (ketentuan). Sementara itu, Fardldalam
istilah  syara’ adalah bagian tertentu dari harta warisan 
bagi Ahli Waris.
Di Indonesia, sejak berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, pada tanggal 20 Maret 2006,
ada beberapa perubahan tentang:
1. Perluasan kewenangan Pengadilan Agama sebagai
berikut.
Pasal 49 Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a.       perkawinan;
b.      waris;
c.       wasiat;
d.      hibah;
e.       wakaf;
f.       zakat;
g.      infaq;
h.      shadaqah;
i.        ekonomi syari’ah.
 Dalam Pasal 49 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 1989
kewenangan  di bidang kewarisan diatur tentang:
penentuan siapa-siapa yang menjadi Ahli Waris,
penentuan mengenai harta peninggalan,
penentuan bagian masing-masing Ahli Waris, dan
melaksanakan pembagian harta peninggalan
tersebut.
 Dalam penjelasan Pasal 49 huruf b UU Nomor 3
Tahun 2006 kewenangan di bidang kewarisan
ditambah meliputi: penetapan permohonan
seseorang tentang penentuan Ahli Waris dan
bagiannya. Dalam Pasal 107 ayat (2) UU Nomor 7
Tahun 1989 permohonan ini tidak dikualifikasikan
sebagai perkara permohonan.
2. Perubahan yang cukup signifikan sebagai berikut.
 Subyek hukum diperluas menjadi tidak hanya
orang Islam dalam pengertian teologis, akan tetapi
termasuk juga orang atau badan hukum yang
menundukkan diri secara sukarela kepada hukum
Islam.
 Apabila terjadi sengketa hak milik diantara subyek
hukum yang beragama Islam, obyek sengketa
tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-
sama dengan perkara pokok (Pasal 50 ayat (2)).
 Pilihan hukum untuk perkara kewarisan
dihilangkan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui
bahwa kedudukan hukum waris Islam di Indonesia
sudah merupakan hukum positif dan oleh karena itu
perkara kewarisan bagi orang Islam mutlak menjadi
kewenangan Peradilan Agam.

C. Sumber – Sumber Hukum Mawaris Dalam Islam


1. Al Quran
Dari sumber hukum pertama yaitu al-Qur‟an ada empat
ayat yang memuat tentang hukum waris secara detail:
a. Surah an-Nisa‟ ayat 11
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian
seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang
anak perempuan6 ; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua7 , Maka bagi mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan;
jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang
ibubapa, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anakanakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan
dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.
(Q.S.An-Nisa‟: 11) Ayat di atas menjelaskan tentang
warisan bagi (Furū dan Uṣūl), yaitu anak laki-laki dan
perempuan dan seterusnya ke bawah, serta warisan
ayah dan ibu dan seterusnya ke atas, keadaan-
keadaan mereka dalam warisan dan syarat-syarat
mendapatkan warisan.
b. Surah an-Nisa‟ ayat 12
dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika
kamu mempunyai anak, Maka Para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat
atau (dan) sesudah dibayar hutanghutangmu. jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan
yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing
dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,
Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris)8 . (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun.
(Q.S. an-Nisa‟: 12) Pada ayat di atas Allah
menjelaskan bagian warisan untuk suami-istri, dan
saudara seibu baik laki-laki maupun perempuan,
keadaan-kedaan mereka dalam kewarisan serta
syarat untuk mendapatkan wa
c. Surat an-Nisa ayat 176
mereka meminta fatwa kepadamu (tentang
kalalah).9 Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, Maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki
mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika
ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari)
saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian
seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua
orang saudara perempuan. Allah menerangkan
(hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. an-
Nisa‟: 176)
Ayat di atas menjelaskan tentang bagian warisan
untuk saudara laki-laki dan perempuan baik kandung
maupun seayah, dan keadaan mereka dalam warisan,
serta syarat untuk mendapatkannya
d. Surat an an-fal ayat 75
dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian
berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-
orang itu Termasuk golonganmu (juga). orang-orang
yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya
lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang
bukan kerabat)10 di dalam kitab Allah. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S.Al-
Anfal:75) Ini adalah dalil warisan żawil arhām, yaitu
seluruh kerabat pewaris yang tidak termasuk sebagai
penerima aṣḥābul furūḍ dan juga „aṣabah. Mereka
baru bisa dapat warisan jika pewaris tidak
meninggalkan aṣḥābul furūḍ dan juga „aṣabah.
2 Sunnah Nabi Saw.
. Terdapat banyak hadiṡ yang menunjukkan hukum
waris, sebagai perinci terhadap al-Qur‟an dan penjelas
makna-maknanya, serta mendeskripsikan hukum yang belum
dijelaskan oleh al-Qur‟an. Di antaranya adalah:
a. Hadiṡ yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: ِ ‫ه َعبَّا ٍس َر ِض َراِئ‬
ًَ ‫ أ َع ِه‬:‫ال صلى هللا عليه وس لم‬ ِ ‫َرس ُل ََّّل‬
ٌُ ‫ قَا َل‬:‫ِحق ان ْ ن َ ُيَما قَا َل‬ ٌُ ْ ‫ف‬ َ ْ‫َض اب‬
‫ف َ ْى ِه أ ِ ب‬ َ ،‫ق َيا‬ َ ًَ ‫ي ِ َل‬
ِ َ‫ف َما ب‬ ٌَ ُ ‫ك‬ َ ‫ف ٌق َعهَ ًْنَى َر ُج ٍم َذ‬ َ َّ‫ ُمت‬.‫ ََّّلالُ َع ْن ٍْ ِو ٍر‬Dari
Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. bersabda "Bagikanlah
harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa
yang tersisa menjadi hak lakilaki yang paling utama. " (HR.
Bukhari)11 Ḥadiṡ ini menjelaskan tentang mekanisme
pembagian warisan, dimulai dari memberikan bagian
kepada ahli waris (aṣhābul furūḍ), kemudian diberikan
kepada keturunan laki-laki yang terdekat dengan pewaris
sebagai penerima sisa bagian („aṣabah).
b. Hadiṡ dari Usamah bin Zaid. ِ‫اف ُر ا ُم ْسهُِم‬ ِ ‫ه ُ َِح ٌْدج ا َمت ب ِر ُث ان َك‬
‫ف ٌق‬ َ َّ‫ ُمت‬. ‫ُمس ِهم‬ْ .‫ ا َّن اننَب َ ان ٍْ ِو‬- ‫س َز ٌْ ٍد‬ َ ٌَ ‫ َل‬: ‫اف َر ًََ َل ٌَ ْ ِر ُث ان ِ ًَّ قَ ال‬
ِ ‫ان َك‬
َ‫ َع ه‬Hadīṡ Usamah Bin Zaid, Rasulullah saw. Bersabda:
“Orang Muslim tidak mewarisi dari orang kafir, demikian
juga orang Kafir tidak mewarisi dari orang Muslim. (H.R.
Bukhari). Dari hadiṡ di atas, menjelaskan bahwa
perbedaan agama di antara pewaris dan ahli waris
menjadi penghalang untuk bisa mendapatkan warisan.
c. Hadīṡ yang diriwayatkan oleh „Ubadah Bin Ṣāmit. َُ‫ًَراه ُعبَا َدة‬
‫ انسَّ ِ ُيَم ا‬.‫به ان َّصاِمت رضً هلال عنو ا َّن اننبً صهً هلال ع ٍه و ًس هم َم ا ٌَا ِء‬
‫ق‬
َ ‫ت َض ى نِ ه‬ ٍَْ ‫ ب ِس بٍَ َن ان ُّس ُد ِ َرا ِث ب ٍَْم ِه ِم َه ان َج َّد‬Diriwatkan oleh
„Ubadah bin Ṣāmit ra. Bahwa Nabi saw. memberikan
bagian untuk dua orang nenek dalam warisan seperenam,
dibagi sama rata.13 Ḥadīṡ di atas merupakan dalil
kewarisan nenek baik seorang atau banyak, menerima
bagian seperenam. Dan berkongsi dengan bagian tersebut
jika mereka banyak.
d. Hadīṡ yang diriwatkan oleh Ibnu Mas‟ud. ِ‫ث ُل ُّ الث ُس‬ َ ‫ن ْي‬
َ ِ‫بن ِت ْاب َضى النبي ص لي هلال علي ه وس لم ال ْل‬
‫بن‬ ْ ‫ت ْ ِكملَةَ ٍن ال ُّس ُد ِ ْص ُف‬
َ ‫وال‬ َ
ِ َ‫ َو َم ا ب‬.‫ق َي فَاِل ُل ْخ ِت‬
‫ق‬ ّ ‫ ِت‬Nabi saw. Menetapkan 1/2
َ ‫الن‬
(setengah) bagi anak perempuan dan 1/6 (seperenam)
bagi cucu perempuan (dari anak laki-laki) sebagai
penyempurna bagian 2/3 (dua pertiga), sisanya bagi
saudara perempuan.14 Ḥadīṡ di atas menjelaskan bahwa
cucu perempuan dari anak laki-laki jika bersama dengan
satu orang anak perempuan penerima bagian setengah,
maka mendapatkan bagian seperenam sebagai
penyempurna bagian terbesar perempuan dua pertiga.
Dalam hadiṡ tersebut juga menjelaskan bagian saudara
perempuan (kandung atauseayah) jika bersama dengan
furu‟ muannaṡ (anak perempuan, cucu perempuan,
seterusnya kewabah) mendapatkan bagian „aṣabah ma‟al
ghairi (penerima sisa).
3 Ijma’
Para sahabat, tabi‟in, dan tabi‟ tabi‟in telah berijma‟
atau bersepakat tentang legalitas ilmu farāiḍ dan tidak
ada seorangpun yang menyalahi ijma‟ tersebut.
4 Ijtihad
Sahabat. Para Sahabat telah berijtihad dalam ilmu farāiḍ
pada kasus-kasus tertentu. Seperti „umariyatain,
musyarakah, kewarisan kakek bersama saudara,
kewarisan żawil arhām, khunsa‟, kewarisan bayi dalam
kandungan, mafqūd (orang hilang), dan lain sebagainya
yang akan dijelaskan pada bab-bab berikutnya dalam
buku ini.
Bab III Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisa penulis tentang status harta
kemayyitan yang diambil dari harta waris, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. . Harta kemayyitan yang diambil dari harta waris
adalah harta yang diambil ahli waris dari
pewaris yang meninggal dunia, dan tidak
dihitung kembali ketika pembagian warisan oleh
ahli waris yang telah menjaga dan merawat
pewaris semasa hidup hingga meninggal dunia.
2. Perolehan harta lebih oleh ahli waris Rusniya
yang merawat orang tuanya semasa hidupnya,
menunjukkan bahwa ada ketidak sesuaian
antara syariat islam dengan peraktek yang
dilakukan oleh keluarga salehan (alm), karena
perolehan harta lebih oleh ahli waris Rusniya
tidak melalui jalan yang dibenarkan oleh syariat
Islam (faraidh), dan tidak pula dengan
musyawarah mufakat antara ahli waris lain.
3. Dalam hukum islam yang dimaksud dengan
harta waris adalah segala sesuatu yang
ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum
dapat beralih kepada ahli warisnya, dan yang
dimaksud dengan harta waris dalam Islam
adalah harta bawaan ditambah bagian dari
harta bersama setelah digunakan untuk
keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah
(tajhi>z), pembayaran hutang dan pemberian
untuk kerabat, Ini menjelaskan bahwa semua
harta waris wajib dibagikan pada ahli warisnya
yang berhak. Jadi harta kemayyitan termasuk
harta warisan yang ditinggalkan si mayyit, dan
secara hukum islam semua harta waris
( termasuk harta kemayyitan) wajib dibagikan
pada ahli waris yang berhak menerimanya.
B. Saran
Setiap warga negara hendaknya taat pada hukum
yang berlaku, hukum yang telah ditetapkan di Negara
Republik Indonesia yang tidak bertentangan dengan
syariat Islam. Dalam membagi harta warisan harus
sesuai dengan ketentuan peratuaran yang berlaku
dan hukum islam.
Para tokoh dan kyai hendaklah bisa berperan aktif
dalam memberikan pemahaman tentang hukum
islam kepada masyarakatnya dengan menerapkan
azas keadilan dalam menyelesaikan setiap
permasalahan seperti halnya permasalahan harta
waris yang seharusnya berpedoman pada al-Qur’an
dan hadis Rasulullah serta aturan yang berlaku di
Indonesia.

You might also like