You are on page 1of 6

ANOTASI KARAKTERISASI PUTUSAN

Nomor Putusan: 98 K/TUN/1998


Klasifikasi: Pertanahan

A. Kaidah Yurisprudensi
Bahwa tanah yang berasal dari hak barat (Eingendom) telah kembali kepada
Negara, maka Lurah dan Camat tidak berwenang untuk mengeluarkan Surat
keterangan tentang Status Kepemilikan atas tanah tersebut.
B. Uraian Singkat Putusan
Memeriksa perkara Tata Usaha Negara dalam tingkat kasasi telah mengambil
putusan sebagai berikut dalam perkara Soesanto Kartoadmodjo melawan Kepala
Kantor Pertanahan Kota Madya Semarang dan Reddy Susyanto.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tanah partikulir bekas hak
eigendom No. 1192 sisa atas nama almarhum Oei Tiong Bing, ditegaskan menjadi
tanah Negara dengan Surat Keputusan Menteri Agraria tanggal 6 Oktober 1958 No.
SK-292/ Ka;
Bahwa sebagian tanah tersebut merupakan sebidang tanah kaveling diukur dan
dipetakan oleh Kantor Pengukuran dan Pemetaan Daerah II Jawa Tengah tercantum
dalam gambar ikhtisar tanggal 18 Februari 1963, luas 40 m x 25 m, terletak di
wilayah Kelurahan Wonotingal, Kecamatan Semarang Selatan, sekarang Kelurahan
Gajahmungkur, Kecamatan Gajahmungkur dengan batas-batas sebagaimana tersebut
dalam surat gugatan yang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian/Agraria
tanggal 15 Juli 1963 No. SK/376/KA/63 oleh Pemerintah diberikan kepada Penggugat
dengan status hak milik.

C. Putusan yang Mengikuti

a) 251/PDT/2016/PT.DKI
(tidak bisa diakses laman putusannya)
b) 313 PK/Pdt /2009
(tidak bisa diakses laman putusannya)

D. Anotasi

a. Latar Belakang
Dalam kaidah Yurisprudensi pada Nomor Putusan 98 K/TUN/1998 menjelaskan
bahwa tanah yang berasal dari hak barat (eigendom) telah kembali kepada negara,
maka lurah dan camat tidak berwenang untuk mengeluarkan surat keterangan tentang
status kepemilikian atas tanah tersebut.

1|ANOTASI KARAKTERISASI PUTUSAN


Di dalam suatu hubungan hukum tanah adat, dijelaskan bahwa tanah-tanah ini
terutama tanah barat tunduk kepada ketentuan-ketentuan pertahanan barat dan berlaku
untuk orang barat atau Eropa. Hal ini juga berdasarkan pada hukum tanah yang
bersifat dualistis. Sehingga, berjalan secara berdampingan dengan adanya dua
perangkat hukum tanah yaitu hukum tanah adat dan hukum tanah barat. Oleh karena
itu, sering terjadinya unifikasi hukum pertanahan di Indonesia.
Pasalnya kaidah Yurisprudensi diatas menjadi persoalan yang cukup rumit.
Dalam praktiknya, masih banyak kasus mengenai sengketa tanah bekas hak barat
yang selama 20 tahun setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria tidak
dikonversi dari pemilik atau ahli warisnya tetap merasa bahwa tanah tersebut masih
menjadi miliknya. Alasan kaidah ini perlu dianalisis sebab masih banyak masalah atau
gugatan kepemilikan atas tanah bekas. Disisi lain juga dalam praktik administrasi
pertanahan meski sesuatu hak atas tanah berakhir atau diakhiri, namun kewenangan
bekas pemegang hak atas tanah masih memiliki hak-hak keperdataan dan memiliki
prioritas untuk memperoleh hak atas tanah.
Oleh karena itu, dapat dianaliskan bahwa permasalahan tersebut harus
diselesaikan dengan cepat. Jika pemegang hak eigendom itu tidak memenuhi syarat
sebagai pemegang hak, maka haknya atas tanah menjadi hapus dan tanah tersebut
berstatus menjadi tanah negara, dan terhadap tanah tersebut dapat dimohonkan
haknya oleh setiap subjek hukum yang memenuhi syarat. Namun dalam praktik
administrasi pertanahan yang masih berpegangan adanya hak-hak keperdataan yang
dimiliki bekas pemegang hak yang bisa dihapus hak keperdataannya dengan
memberikan ganti kerugian. Jika tidak ada kesepakatan dengan bekas pemegang hak
eigendom secara administrasi pertanahan tidak dapat didaftarkan hak-haknya.
b. Tinjuan Pustaka

1. Dalam jurnal karangan Amelia Akef Abdat dan Atik Winanti yang dipublikasian
pada tanggal 01 Juni 2021 dengan volume 5, no 1. Membahas mengenai
penyelesaian sengketa tanah terhadap eigendom verponding yang dikuasai pihak
lain. Dalam jurnalnya dijelaskan bahwa tanah eigendom verponding harus
dikonversi menjadi hak milik untuk Warga Negara Indonesia dan hak guna
bangunan untuk Warga Negara Asing dalam batas waktu 20 tahun sejak UUPA
diberlakukan yaitu 24 September 1980.
Namun pada praktiknya setelah 20 tahun UUPA diundangkan masih banyak
pemilik hak atas tanah eigendom verponding yang belum mengkonversinya
menjadi hak milik atau hak guna bangunan sehingga timbul sengketa penguasaan
tanah oleh pihak lain tetapi pemiliknya masih memegang hak atas tanah eigendom
verponding. Sehingga tujuannya dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui
dan memahami kekuatan pembuktian eigendom verponding terhadap sengketa
tanah yang dikuasai pihak lain serta untuk mengetahui dan memahami cara
mengembalikan hak atas tanah eigendom verponding yang dikuasai pihak lain.
Cara mengembalikan hak atas tanah eigendom verponding yang dikuasai pihak
lain dengan menggugat dan membuktikan ada kesalahan dan ketidaksesuaian
dalam proses penerbitan sertifikat yang menimbulkan tumpang tindih. Dan setelah

2|ANOTASI KARAKTERISASI PUTUSAN


menggugat hak atas tanah miliknya, pemilik eigendom verponding harus
mendaftaran hak atas tanahnya menjadi hak milik ke BPN berdasarkan PP Nomor
24 Tahun 1997. Dan dapat diberikan saran kepada pemilik hak atas tanah
eigendom verponding harus menggugat tanahnya yang dikuasai pihak lain dan
setelah mendapat putusan harus mengkonversi hak atas tanahnya menjadi hak
milik dengan mencantumkan alat bukti yang kuat. Serta kepada pihak BPN untuk
lebih teliti dalam menerbitkan sertifikat agar tidak terjadi tumpang tindih dalam
kepemilikan hak atas tanah dan dapat mengurangi sengketa pertanahan yang
terjadi.

2. Dalam jurnal karangan Nadya Karina, Ana Silviana, Triyono yang dipublikasikan
pada tahun 2016 yang membahas tentang penyelesain sengketa tanah bekas hak
barat (Recht Van Verponding) dengan tanah hak pakai di Kota Tegal. Dalam
jurnalnya dijelaskan bahwa mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan umum
untuk kepentingan umum, akibat hukum terhadap tanah Recht Van Eigendom
Verponding setelah berlakunya UUPA yaitu wajib dilakukan konversi sesuai
dengan hukum tanah nasional. Sedangkan, bukti-bukti yang diberikan oleh
Pemerintah Kota Tegal dapat dibuktikan bahwa obyek sengketa sah milik
Pemerintah Kota Tegal.

3. Dalam jurnal karangan Ulfia Hasanah yang dipublikasikan pada volume 3, nomor
1 yang membahas tentang status kepemilikan tanah hasil konversi hak barat
berdasarkan UU No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agrarian
yang dihubungkan dengan PP No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.
Dalam jurnalnya dijelaskan bahwa terjadi perubahan fundamental terhadap hukum
agraria di Indonesia terutama di bidang pertanahan. Adapun yang menjadi
landasan hukum bagi pelaksanaan konversi hak atas tanah adalah bagian kedua
UUPA tentang ketentuan-ketentuan konversi yang terdiri atas sembilan pasal yang
mengatur tiga jenis konversi yaitu: konversi hak atas tanah yang bersumber dari
hak-hak Indonesia,konversi hak atas tanah bekas Swapraja dan konversi hak atas
tanah yang berasal dari hak-hak barat.
Dalam ketentuan konversi, sebagaimana dimaksud pada bagian kedua UUPA
dinyatakan bahwa semua hak yang ada sebelum berlakunya UUPA beralih
menjadi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. Dengan
pemberlakuan ketentuan konversi ini berarti pengakuan dan penegasan terhadap
hak-hak lama, juga sebagai maksud penyederhanaan hukum dan upaya untuk
menciptakan kepastian hukum. Dengan demikian setiap hak atas tanah barat
hanya dapat dikonversi sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan, apabila lewat
jangka waktu tersebut maka hak atas tanah tersebut akan dibawah kekuasaan
negara.
c. Pembahasan
Kaidah yurisprudensi nomor putusan 98 K/TUN/1998 menjelaskan dalam perkara
ini bahwa tanah yang berasal dari hak barat (eigendom) telah kembali kepada Negara,
setelah sempat menjadi hak sewenang-wenang lurah dan camat. Dalam pertimbangan

3|ANOTASI KARAKTERISASI PUTUSAN


hukum yang relevan dengan perkara sengketa tanah ini adalah, yang pertama Judex
Factie telah mempertimbangkan bahwa penggugat asal (pemohon kasasi) tidak ada
pembuktiannya atas isi Surat Keterangan Kepala Kelurahan yang dijadikan dasar
pemberian hak yang dikeluarkan Gubernur Jawa Tengah, maka dalil tersebut harus
dikesampingkan (vide putusan P.TUN halaman 71). Padahal, tanah tersebut berasal
dari hak barat (eigendom) yang telah kembali kepada Negara, dengan demikian lurah
dan camat tidak berwenang untuk mengeluarkan Surat Keterangan tentang status
Kepemilikan atas tanah tersebut, yang berarti terbitnya Sertifikat Hak Miliki No. 224
dan No. 225 yang menjadi objek dalam perkara ini bertentangan dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.
Yang kedua, bahwa Surat Keterangan Kepala Kelurahan tersebut terbit, ternyata
Penggugat telah memperoleh status hak milik atas tanah yang dimaksud dalam SHM
objek sengketa berdasrkan Surat Keputusan Menteri Pertanian/Agraria tanggal 15 Juli
1963 No. SK.1/376/Ka/63 (vide bukti P.IA), bukti mana kemudian oleh Judex Factie
ditafsirkan secara keliru dengan pertimbangan: “karena belum memenuhi syarat-
syarat yang ditetapkan dalam P-IA (in casu pemberian tanda batas dan melakukan
pendaftaran tanah) maka pemberian hak tersebut menjadi batal, dan selanjutnya tanah
kembali menjadi miliki Negara” (vide putusan P.TUN halaman 70).
Berdasarkan pertimbangan hukum diatas yang dikaitkan dengan perkara ini,
terbitnya Sertifikat Hak Milik No. 224 dan Sertifikat Hak Milik No. 225 bertentangan
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, sehingga harus dinyatakan batal
demi hukum.
Sehingga, relevansi dalam perkara ini sangat relevan untuk digunakan dalam
putusan yurisprudensi. Hal ini sangat mendukung, karena acuan sebuah perkara tidak
lepas dari perkara lainnya yang dapat menguatkan atau juga dapat menjatuhkan
putusan. Tetapi, dalam perkara ini perkara dikuatkan oleh putusan yurisprudensi yang
benar dan sesuai fakta perkara. Maka, baik camat dan lurah seharusnya tidak
sewenang-wenang dalam mengadili perkara ini atas dasar hak miliki mereka, pasalnya
hak atas tanah ini sah menjadi tanah Negara tanpa diperebutkan lagi oleh pihak lain
termasuk camat dan lurah.
Berbicara mengenai perkara ini, jika tidak dikaji maka sangat mengakibatkan
kerugian berbagai pihak karena sengketa tanah menjadi sifat yang sensitif dalam
perkara hukum di Indonesia, apalagi terdapat mafia tanah yang mengambil hak-hak
atas tanah tanpa surat keterangan yang jelas, sertifikat ganda, bahkan memiliki atas
tanah tanpa memiliki buktinya. Hakim dan PTUN berhak mengusut tuntas mafia
tanah yang sewenang-wenang tidak mengikuti prosedur hukum yang berjalan,
sehingga mafia tanah dapat diberantas dengan bukti-bukti kepemilikan tanah yang
kuat antar gugatan.
Jika menilisik dalam perkara ini, hak prioritas adalah urutan-urutan penerima hak
atas tanah, bagi masyarakat yang memenuhi syarat dan menduduki tanah negara bekas
hak eigendom diberikan prioritas untuk mengajukan hak atas tanah. Namun dalam
praktik administrasi pertanahan yang masih berpegangan adanya hak-hak keperdataan
yang dimiliki bekas pemegang hak yang bisa dihapus hak keperdataannya dengan
memberikan ganti kerugian. Pemberian tanah negara hanya dapat diberikan apabila

4|ANOTASI KARAKTERISASI PUTUSAN


adanya kesepakatan dengan bekas pemegang hak masalah ganti kerugian. Jika tidak
ada kesepakatan dengan bekas pemegang hak eigendom secara administrasi
pertanahan tidak dapat didaftarkan hak-haknya. Maka, pentingnya hal ini terjadi
sesuai prosedur hukum, jika tidak dalam rana hukum yang mengatasi maka ha katas
tanah ini mungkin masih menjadi hal yang diperbutkan tanpa ada titik temu atau titik
ujungnya dalam perkara ini.
Tujuan daripada perkara ini juga menajdi alasan sebuah kepastian hukum, yang
mana setiap hak-hak itu harus diselaraskan dengan legalisasi kepemilikan tanah
tersebut. Sehingga, hal ini menjadi alasan perkara diusut dan dibenarkan atas kuasa
tanah sesuai hak yang sesuai melalui bukti-bukti yang kuat. Jika pemegang hak
eigendom itu tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak, maka haknya atas tanah
menjadi hapus dan tanah tersebut berstatus menjadi tanah negara, dan terhadap tanah
tersebut dapat dimohonkan haknya oleh setiap subjek hukum yang memenuhi syarat.
Oleh karena itu, bentuk legalisasi tanah-tanah bekas hak barat (eigendom) perlu
dikonversi, yakni disesuaikan hak-hak atas tanah. Dalam hal ini juga, hak atas tanah
barat (eigendom) yang sudah menjadi kepimilikan Negara, bukan camat dan lurah
maka Negara ini berhak untuk memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang
atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya untuk
dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing.
d. Simpulan
Dalam kaidah Yurisprudensi 98 K/TUN/1998 menjelaskan bahwa tanah yang
berasal dari hak barat (Eingendom) telah kembali kepada Negara, maka Lurah dan
Camat tidak berwenang untuk mengeluarkan Surat keterangan tentang Status
Kepemilikan atas tanah tersebut. Sehingga, hal ini menjadi perhatian apakah tanah
tersebut berhak dimiliki camat dan lurah atau menjadi hak kepemilikan Negara.
Maka, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian/Agraria tanggal 15 Juli
1963 No. SK.1/376/Ka/63 (vide bukti P.IA), bukti mana kemudian oleh Judex Factie
ditafsirkan secara keliru dengan pertimbangan: “karena belum memenuhi syarat-
syarat yang ditetapkan dalam P-IA (in casu pemberian tanda batas dan melakukan
pendaftaran tanah) maka pemberian hak tersebut menjadi batal, dan selanjutnya tanah
kembali menjadi miliki Negara” (vide putusan P.TUN halaman 70).
Hak eigendom adalah salah satu hak atas tanah yang telah ada sebelum Undang-
Undang Pokok Agraria, dan ketika disahkan, sesuai dengan aturan konversi Pasal I,
kecuali pemegang hak eigendom tidak memenuhi, hak diubah menjadi hak milik. Jika
pemiliknya adalah warga negara Indonesia pada tanggal 24 September 1960, atau
badan formal, hak leluhurnya dapat diubah menjadi hak milik. Jika pemilik adalah
warga negara asing, kepemilikan diubah menjadi hak guna bangunan untuk jangka
waktu 20 tahun. Hak eigendom dapat menjadi hak pakai hasil jika digunakan untuk
tempat tinggal kepala perwakilan asing.
Orang yang memiliki hak eks eigendom yang memenuhi syarat dan menempati
tanah negara didahulukan untuk mengajukan hak atas tanah. Hak prioritas adalah
urutan penerima hak atas tanah. Namun, administrasi properti masih menganut
gagasan bahwa pemilik hak di masa lalu memiliki hak sipil yang dapat dicabut

5|ANOTASI KARAKTERISASI PUTUSAN


dengan imbalan pembayaran. Hanya setelah mencapai kesepakatan tentang
kompensasi dengan mantan pemegang hak dapat diberikan tanah negara. Hak tersebut
tidak dapat didaftarkan jika tidak ada perjanjian pengelolaan tanah dengan pemilik
hak eigendom sebelumnya. Prioritas diberikan kepada pemohon hak atas tanah yang
memiliki hak eks eigendom, memenuhi persyaratan, dan menempati barang milik
negara. Para pemegang hak atas tanah diurutkan berdasarkan prioritas. Gagasan
bahwa pemilik hak sebelumnya memiliki hak sipil yang dapat ditangguhkan dengan
imbalan pembayaran saat ini ditegakkan oleh administrasi properti. Tanah negara
hanya dapat diberikan jika kesepakatan kompensasi telah dicapai dengan mantan
pemegang hak. Jika tidak ada perjanjian pengelolaan tanah dengan pemilik hak
eigendom sebelumnya, hak tersebut tidak dapat didaftarkan.
e. Daftar Acuan

Abdat, Amelia Akef dan Atik Winanti. 2020. Penyelesaian Sengketa Tanah Terhadap
Eigendom Verponding yang Dikuasasi Pihak Lain. National Conference For
Law Studies.
Hasanah, Ulfia. Status Kepemilikan Tanah Hasil Konversi Hak Barat Berdasarkan
UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Dihubungkan Dengan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Jurnal Ilmu Hukum. 3(1).
Karina, Nadya, dkk. 2016. Penyelesaian Sengketa Tanah Bekas Hak Barat (Recht
Van Verponding) Dengan Tanah Hak Pakai di Kota Tegal. Diponegoro Law
Review, 5(2).
Mujiburohman, Dian Aries. 2021. Legalisasi Tanah-Tanah Bekas Hak Eigendom.
Jurnal Yudisial, 14(1).
Syarief, Elza. 2014. Pensertifikatan Tanah Bekas Hak Eigendom. PT Gramedia,
Jakarta.

6|ANOTASI KARAKTERISASI PUTUSAN

You might also like