You are on page 1of 44
SEJARAH BERDIRINYA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Disusun Oleh Mahkamah Agung - RI RPA Cate wa eT SEJARAH BERDIRINYA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Disusun oleh: Mahkamah Agung - RI JAKARTA 1986 SEJARAH BERDIRINYA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Masa penjajahan Belanda atas bumi pertiwi Indonesia, selain mem- pengaruhi terhadap roda Pemerintahan yang berlaku pun pula sangat besar pengaruhnya terhadap Peradilan di Indonesia. Sejarah berdirinya Mahkamah Agung kiranya tidak dapat dilepaskan daripada masa penjajahan tersebut atau sejarah penjajahan dibumi Indonesia ini. Hal mana terbukti dengan adanya kurun-kurun waktu, dimana bumi Indonesia sebagian waktunya dijajah oleh Belanda dan sebagian lagi oleh Pemerintah Inggris dan terakhir oleh*Pemerintah. Jepang. Oleh karenanya perkembangan peradilan di Indonesia pun tidak luput dari pengaruh kurun waktu tersebut. 1 Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. (Mr. Herman Willem Daendels — Tahun 1807 diangkat menjadi Gubernur Jenderal) oleh Lodewijk Napoleon untuk mempertahan- kan jajahan-jajahan Belanda di Indonesia terhadap serangan- serangan pihak Inggris. Tahun 1798. Raad v. Justitie telah diubah menjadi Hooge Raad. | Daendels “banyak sékali mengadakan perubahan-perubahan di Japangan peradilan terhadap apa yang telah diciptakan oleh kom- peni. Tahun 1804. *Bataafse Republiek” telah menetapkan suatu »Charter” atau ’Regeringsreglement” buat daerah-daerah jajahan di Asia. : Dalam pasal 86 dari *Charter” tersebut — yang merupakan peru- bahan-perubahan nyata dari jaman Pemerintahan Daendels terha- dap peradilan di bumi Indonesia — ditentukan sebagai berikut: »Susunan pengadilan untuk bangsa Bumiputera akan tetap. tinggal menurut hukum serta adat mereka. Pemerintah Hin- dia Belanda akan menjaga dengan alat-alat yang seharusnya, supaya dalam daerah-daerah yang langsung ada dibawah ke- kuasaan pemerintah Hindia Belanda sedapat-dapatnya diber- 1 eo sihkan segala kecurangan-kecurangan, yang masuk dengan tidak diketahui, yang bertentangan dengan hukum serta adat anak negeri, lagi pula supaya diusahakan agar terdapat ke- adilan dengan jalan yang cepat dan baik, dengan menambah jumlah pengadilan-pengadilan negeri ataupun dengan menga- dakan pengadilan-pengadilan pembantu, begitu pula menga- dakan pembersihan dan pengenyahan segala pengaruh-penga- quh buruk dari kekuasaan politik apa pun juga”. Charter tersebut diatas tidak pernah berlaku, oleh ka- rena Bataafse Republiek segera diganti oleh pemerintahan Kerajaan, akan tetapi ketentuan didalam ”Charter” itu tidak sedikit. mempengaruhi Daendels di dalam menjalankan tugasnya. Pada masa Pemerintahan Inggris. (Mr. Thomas Stamford Raffles — Tahun.1811 Letnan Jenderal). Tanggal 27 Januari 1812 Susunan Pengadilan untuk bangsa Eropa berlaku juga untuk bangsa Indonesia yang tinggal dalam ling- kungan Kekuasaan Kehakiman (kota-kota, Batavia, Semarang dan Surabaya). (hal. 44). Di kota-kota Batavia, Semarang dan Surabaya, dimana dulu ada Raad v. Justitie, didirikan — Court of Justice (hal. 44). Court of Justice di Batavia, juga merupakan ”Supreme Court of Justice” yaitu pengadilan apel terhadap putusan-putusan Court of Justice yang ada di Semarang dan Surabaya. Masa kembalinya Pemerintahan Hindia Belanda (1816—1942). Dalam Conventie London 1914: Hampir semua daerah-daerah jajahan Belanda yang diduduki oleh Inggris setelah peperangan di Eropa:berakhir dengan jatuhnya Kaisar Napoleon, dikembalikan kepada negeri Belanda. Penyerahan kembali Pemerintahan Belanda tersebut diatur dalam St. 1816 No. 5. Dengan St. 1819 No. 20 berisi ketetapan ‘bahwa akan dibuat Reglement yang mengatur acara pidana dan acara perdata yang berlaku bagi seluruh Jawa dan Madura, kecuali Jakarta, Semarang dan Surabaya dengan daerah sekitarnya. Bagi Jakarta, Semarang dan Surabaya dengan daerah sekitarnya untuk perkara pidana dan sipil tetap menjadi kekuasaan Raad v. Justitie. « Dengan demikian ada perbedaan dalam susunan pengadilan buat © Bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di kota-kota dan sekitar- nya dan bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di ’desa-desa” (dipedalaman). Untuk Bangsa Eropah, berlaku susunan Pengadilan sebagai berikut; Hooggerechtshof di Jakarta dengan Raad van Justitie yaitu masing-masing di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Adapun kewenangan Hooggerechtshof adalah: a. mengawasi jalannya-peradilan dengan baik. b. bertindak sebagai “hof van Cassatie” _c. bertindak sebagai pengadilan apel terhadap keputusan- keputusan Raad van Justitie. Dengan keputusan Gubernur Jenderal tanggal 3 Desember 1847 No. 2a (St. 1847 No. 23 yo No. 57) yang diperlakukan tanggal 1 Mei 1948 (R.O) ditetapkan bahwa Susunan Peradilan di Jawa dan Madura sebagai berikut: districtsgerecht. regentschapsgerecht. Jandraad. rechtbank van omgang. raad van Justitie. hooggerechtshof. oy aeNe Susunan Pengadilan berdasar R.O. tersebut dibeda-bedakan ber- Jakunya antara bangsa Indonesia dengan golongan bangsa Eropa. Sehingga untuk Bangsa Indonesia: Sipil : districtsgerecht. regentschapsgerecht. landraad. raad van Justitie. hooggerechtshof. Krimind : idem Untuk golongan Bangsa Eropa: Sipil : residentiegerecht. raad van Justitie. hooggerechtshof. Kriminil : Jandgerecht. aad van Justitie. hooggerechtshof. Hooggerechtshof. Pengadilan Hooggerechtshof merupakan Pengadilan tertinggi dan berkedudukan di Jakarta dengan daerah hukum meliputi seluruh Indo- nesia. - Hooggerechtshof terdiri dari seorang Ketua dan 2 orang anggota, se- orang Pokrol Jenderal dan 2 orang Advokat Jenderal, seorang Panitera, dimana perlu dibantu seorang Panitera Muda atau lebih. Jikalau perlu Gubernur Jenderal dapat menambah susunan Hooggerechtshof tersebut dengan seorang Wakil Ketua dan seorang/lebih anggota lagi. Tugas/kewenangan Hooggereshtshof: a. mengawasi jalannya peradilan di seluruh Indonesia sehingga dapat berjalan secara patut dan wajar. b. mengawasi perbuatan/kelakuan Hakim serta Pengadilan-Pengadilan. c. memberi tegoran-tegoran apabila diperlukan. berhak minta laporan, keterangan-keterangan dari semua pengadil- an baik sipil maupun militer, Pokrol Jenderal dan lain pejabat Pe- nuntut Umum. e. Sebagai tingkat pertama dan terakhir mengadili perselisihan-per- selisihan tentang kekuasaan mengadili: 1. di antara pengadilan-pengadilan yang’ melakukan peradilan atas nama Raja, di antara pengadilan-pengadilan ini dengan pengadilan-pengadilan adat di dalam daerah yang langsung diperintah oleh Gubernemen, dimana rakyat dibiarkan mem- punyai peradilan sendiri, di antara pengadilan-pengadilan tersebut di atas dengan pengadilan-pengadilan Swapraja, se- panjang ini dimungkinkan menurut perjanjian-perjanjian po- ~Jitik dengan daerah-daerah pengadilan yang berselisih tidak ada di dalam daerah hukum appelraad yang sama; 2.. di antara appelraad-appelraad; 3. di antara pengadilan sipil dengan pengadilan militer, kecuali jikalau perselisihan itu timbul diantara Hooggerechtshof sen- diri dengan Hoogmilitairgerechtshof, di dalam hal mana di- putuskan oleh Gubernur Jenderal. Dalam tingkat pertama dan terakhir, Hooggerechtshof — mengadili perkara-perkara kejahatan dan pelanggaran, yang dilakukan di dalam waktu jabatannya, oleh: 1. wakil ketua dan para anggota Dewan Hindia. 2. para anggota Volksraad. 3. Sekretaris umum, para seKretaris Gubernemen dan sekretaris Dewan Hindia. 4. ketua, wakil ketua, para anggota Hooggerechtshof — dan Hoogmilitair-gerechtshof, para pejabat Penuntut Uimum ; dan panitera dari kedua pengadilan tersebut. kepala-kepala departement Pemerintahan sipil umum. ketua dan para anggota Algemene Rekenkamer. gubernur dan residen. ketua dan anggota appelraad, landrechter, opsirjustisi pada Landgerecht, begitu pula ketua dan auditeur-militer pada pengadilan-pengadilan tentara: (yang dimaksud dengan appel- raad, ialah pengadilan yang menggantikan raad van justitie, dan yang dimaksud dengan landrechter di sini ialah land- rechter-gayabaru yang menggantikan Landraad dahulu. Perubahan-perubahan ini diadakan dalam S.1947 No. 20). Dalam tingkat terakhir Hooggerechtshof memeriksa perkara-per- kara banding: 1. mengenai keputusan-keputusan pengadilan wasit tingkat pertama, di seluruh Indonesia, jikalau nilai harganya lebih dari f. 500.—; 2. mengenai keputusan-keputusan residentiegerechten — di luar Jawa dan Madura. er ny Semua perkara perdata, buat mana dapat dimintakan apel kepada Hooggerechtshof jikalau ada persetujuan’di antara semua fihak yang berselisih dapat segera langsung diajukan kepada Hoogge- rechtshof tanpa melalui pengadilan tingkat pertama. © Hooggerechtshof memutuskan perkara-perkara tersebut di dalam tingkatan terakhir (”’prorogatie van rechtspraak’’). Hooggerechtshof merupakan pula Majelis kasasi. Perkara-perkara yang dapat dikasasi-kan tersebut dapat dibatalkan: 1. jikalau temyata hakim tidak mengindahkan tata-cara yang di- haruskan dengan ancaman pembatalan; 2. jikalau hukum dilanggar. Hukum dianggap telah dilanggar, apabila hakim tidak memperlakukan atau tidak tepat mem- perlakukan ketentuan-ketentuan hukum; 3, jikalau terjadi perlampauan batas kekuasaan mengadili. 4. jikalau terbukti hakim tidak berhak mengadili perkaranya. (Lihat buat selanjutnya mengenai hak kasasi ini pasal-pasal 173 s/d 176 R.O.). ARTIKEL 173. Indien het vonnis vernietigd wordt wegens verkeerde toepassing of schending van wettelijke bepalingen of overschrijding van regtsmagt, moet het hoog geregtshof de zaak ten principale eidoen, en zulks, in burgerlijke zaken, steeds bij hetzeldfe arrest, waarbij de vernietiging wordt uitgesproken. In stafzakenkan het hoog geregtshof, wanneer zulks noodig mogt zijn voor eene bilijke en juiste strafbedeeling, -bij het arrest van vern- ietiging gelasten dat er, op zoodanige wijze als het hof meest doelmatig zal achten, een nader onderzoek plaats hebbe aangaande de omstan- digheden, die tot berligting of verzwaring der op te leggen staf kunnen leiden; en zal in die gevallen de zaak ten principale bij een tweede arrest worden afgedaan. ARTIKEL 174 Indien de vonnissen vernietigd worden ter zake van verzuim van vormen, die op straf van nietigheid zijn voorgeschreven, beveelt het hoog geregtshof eene nieuwe instructie, te beginnen met de oudste acte, in welke de nietigheid is begaan. Deze instructie kan plaats hebben: 1°. bij het hoog geregtshof zelf, hetwelk alsdan de zaak zal beslissen; 2°. bij dezelfde regtbank, die reeds van de zaak heeft kennis genomen, of, indien dit volstrekt noodzakelijk wordt geacht, bij eene andere regtbank van gelijken rang. ARTIKEL 175 Inndien het vonnis wordt vernietigd wegens onbevoegdheid, verwijst het hoog geregtshof de zaak naar den bevoegden regter. 6 De bepalingen van het tegen woordige en van de beide voorgaande artikelen zijn niet toepasselijk in geval van vernietiging in het belang . der wet, uitgesproken op den daartoe ambtshalve ingestelden eisch van den procureurgeneraal. ARTIKEL 176 Het beroep in cassatie wordt niet toegelaten, wanneer eenig ander middel van. voorziening aanwezig is. 4. Dari masa penjajahan Pemerintahan Jepang sampai Kemerdekaan Republik Indonesia. Pada jaman Jepang, yang merupakan badan Kehakiman ter- tinggi disebut Saikoo Hooin. Kemudian dihapuskan pada tahun 1944 dengan Osamu Seirei (Undang-Undang) No. 2 tahun 1944, sehingga segala tugasnya dilimpahkan kepada Kooto Hooin (Peng- adilan Tinggi). OSAMU SEIREI. OSAMU SEIREI No. 2 Tentang mengoebah soesoenan pengadilan dan sebagainja. Pasal 1. Oentoek sementara waktoe, pekerdjaan Saikoo Hooin (Pengadiian Agoeng) dan Saikoo Kensatu Kyuku (Kedjaksaan Pengadilan Agoeng) dihentikan, serta hal-hal jang termasoek dalam kekoeasaannja dioeroes menoeroet atoeran pasal 2 sampai pasal 6. Pasal 2. Perkara jang diadili lagi oleh Saikoo Hooin, jang dimaksoed dalam pasal 9, Oendang-oendang No. 34, tahoen 2602 (Osamu Seirei No. 3), jaitoe perkara jang telah diadili oleh Gunsei Hooin (Pengadilan Pemerin- tah Balatentera, ketjoeali Kaikyoo Kootoo Hooin atau Mahkamah Islam Tinggi dan Sooryo Hooin atau Pengadilan Agama, selandjoetnja demi- kian) — dalamnja tidak termasoek Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi) —, 7 jang ada didaerah kekoeasaan Kootoo- Hooin, diadili oleh Kootoo Hooin itoe dengan -permoesjawaratan -tiga orang hakim; akan tetapi djika dipandang perloe oleh Kootoo Hooin itoe, maka.perkara itoe boleh diserahkan kepada Kootoo Hooin jain. , Atjara mengadili perkara jang diadili lagi dan hal-hal jang perloe tentang oeroesan jang dimaksoed pada ajat diatas, haroes menoeroet petoendjoek Gunseikan. Pasal 3. Kekoeasaan Saikoo Hooin jang ditetapkan dalam -pasal. 157, »Reglement op de Rechterlijke Organisatie” dilakoekan oleh Kootoo Hooin terhadap Gunsei; Hooin jang ada dalam daerah kekoeasaannja. Kekoeasaan Saikoo Hooin jang ditetapkan dalam pasal 162, »Reglement op de Rechterlijke Organisatie” dilakoekan oleh Djakarta Kootoo Hooin. Pasal 4. Kekoeasaan djabatan ketoea Saikoo Hooin menoeroet atoeran kalimat pengabisan dalam ajat 2, pasal 5, Oendang-oendang No. 34, tahoen 2602 (Osamu Seirei No. 30) dilakoekan oleh ketoea Kootoo Hooin. Pasal 5. Kekoeasaan djabatan ketoea Saikoo Kensatu Kyoku, termasoek djoega kekoeasaan tentang hal-hal jang ditetapkan dalam pasal 180 »Reglement op de Rechterlijke Organisatie” dilakoekan oleh Gunsei- kanbu Sihoobutyoo atas perintah Gunseikan. : Pasal 6. Selain dari pada atoeran jang ditetapkan dalam pasal 2 sampai pa- sal 5, maka hal-hal:-jang termasoek dalam kekoeasaan Saikoo Hooin, Saikoo Kensatu Kyoku atau kekoeasaan ketoeanja masing-masing dila- koekan oleh Gunseikanbu Sihoobutyoo, atau: Kootoo Hooin, Kootoo Kensatu Kyoku ataupoen oleh ketoea Kootoo Hooin atau Kootoo Kensatu Kyoku menoeroet petoendjoek Gunseikan. Pasal 7. Oentoek mengoeroes sebahagian pekerdjaan Kootoo Hooin atau Kootoo Kensatu Kyoku, maka Gunseikan boleh menjoeroch Sim- pankan, Kensatukan atau pegawai lain dari Kootoo Hooin atau Ken- satu Kyoku oentoek bekerdja ditempat jang perloe, jang boekan tempat kedoedoekan Kootoo Hooin atau Kootoo Kensatu Kyoku. Pasal 8. Dalam hal atjara mengadili perkara, maka hal-hal jang tidak dapat dioeroes menoeroet atoeran jang soedah-soedah haroes dioeroes menoe- roet petoendjoek Gunseikan, demikian djoega hal-hal jang tidak dapat dioeroes menoeroet atoeran jang soedah-soedah dalam hal oeroesan kehakiman jang lain dari pada atjara mengadili perkara. Atoeran tambahan. . Oendang-oendang ini moelai berlakoe pada tanggal 15, boelan 1, tahoen Syoowa'19 (2604). Djakarta, tanggal 14, boelan 1, tahoen Syoowa 19, (2604) Saikoo Sikikan. Pada saat berlakunya Undang-undang Dasar 1945 di Indonesia ti- dak ada badan Kehakiman yang tertinggi. Satu-satunya ketentuan yang menunjuk kearah badan Kehakiman yang tertinggi adalah pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Maka dengan keluarnya Penetapan Pemerintah No. 9/S.D. tahun 1946 ditunjuk kota Jakarta Raya sebagai kedudukan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan tersebut hanya penunjukan tempatnya saja. Penetapan Pemerintah tersebut pada alinea II berbunyi sebagai berikut: JL Menundjukkan sebagai tempat kedudukan Mahkamah Agung ter- sebut ibu-kota DJAKARTA-RAJA: Baru dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1947 ditetapkan ten- tang susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejakaaan Agung yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 1947. Pada tahun 1948, Undang-Undang No. 7 tahun 1947 diganti dengan Undang-Undang No. 19 tahun 1948 yang dalam pasal 50 ayat 1 meng- 9 hendaki kesatuan peradilan, bahwa Mahkamah Agung merupakan badan Kehakiman yang tertinggi. Sekalipun Undang-Undang No. 19 tahun 1948 tersebut sudah diumumkan tanggal 8 Juni 1948, tetapi belum per- nah berlaku. Setelah Negara Republik Indonesia mengalami beberapa perubah- an Undang-Undang Dasar, diantaranya pada masa Konstitusi RIS tahun 1950, telah terdapat Undang-Undang No. 1 tahun 1950 tentang Susun- an Kekuasaan dan jalan Pengadilan Mahkamah Agung R.I., yang mulai berlaku sejak tanggal 9 Mei 1950. Dalam Konstitusi RIS pasal 147 menyatakan bahwa Mahkamah Agung merupakan pengadilan federal yang tertinggi, yang berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia Serikat. Gedung Mahkamah Agung tahun 1946, merupakan gedung bersejarah, terletak diJl. Lapangan Banteng Timur 1, Jakarta. 10 Pasal 147 (1) Mahkamah Agung Indonesia ialah pengadilan federal tertinggi. (2) Pengadilan-pengadilan federal yang lain dapat diadakan dengan undang-undang federal, dengan pengertian, bahwa dalam Distrik Federal Jakarta akan dibentuk sekurang-kurangnya satu pengadil- an federal yang mengadili dalam tingkat pertama, dan sekurang- kurangnya satu pengadilan federal yang mengadili dalam tingkat apel. Oleh karena kita telah kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak sesuai dengan keadaan, maka pada tahun 1965 dibuat Undang- Undang yang mencabut Undang-Undang No. 19 tahun 1948 dan Un- dang-Undang No. 1 tahun 1950 dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 1965 tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. . 5. Masa Republik Indonesia. Di jaman pendudukan Jepang pernah Badan Kehakiman tertinggi dihapuskan (Saikoo Hooin) pada tahun 1944 dengan Undang-Undang (Osamu Seirei) No. 2.tahun 1944, yang melimpahkan segala tugasnya yaitu kekuasaan melakukan pengawasan tertinggi atas jalannya peradil- an kepada Kooto Hooin (Pengadilan Tinggi). Meskipun demikian ke- kuasaan kehakiman tidak pernah mengalami kekosongan. Namun sejak Proklamasi Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dan sejak diundangkannya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 tanggal 18 Agustus 1945, semakin mantaplah kedudukan Mah- - kamah Agung sebagai badan tertinggi bidang Yudikatif (peradilan) de- ngan kewenangan yang diberikan oleh pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945, dimana Mahkamah Agung diberi kepercayaan sebagai pemegang kekuasaan Kehakiman tertinggi. Mahkamah Agung pernah berkedudukan di Iuar Jakarta yaitu pada bulan Juli 1946 di Jogyakarta dan kembali ke Jakarta pada tanggal 1 Januari 1950, setelah selesainya KMB dan pemulihan Kedaulatan. Dengan demikian Mahkamah Agung berada dalam pengungsian selama 3%, (tiga setengah) tahun. Susunan Mahkamah Agung sewaktu di Jogyakarta. Ketua : Mr. Dr. Kusumah Atmadja. Wakil Ketua : Mr. R. Satochid Kartanegara.- 11 Anggota-anggota : 1. Mr, Husen Tirtaamidjaja. 2. Mr. Wirjono Prodjodikoro. 3. Sutan Kali Malikul Adil. Panitera : Mr. Soebekti. Kepala Tata Usaha : Ranuatmadja. Mulai pertama kali berdirinya Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung itu berada dibawah satu atap dengan Mahkamah Agung, bahkan: bersama- sama dibawah satu departemen, yaitu: Departemen Kehakiman. Dulu namanya: Kejaksaan Agung pada Mahkamah Agung, seperti Ke- jaksaan Negeri dulu namanya: Kejaksaan Pengadilan Negeri. Kejaksaan Agung mulai memisahkan diri dari Mahkamah Agung yaitu sejak lahirnya Undang-Undang Pokok Kejaksaan (Undang-Undang No. 15 tahun 1961) dibawah Jaksa Agung Gunawan, SH yang telah menjadi Menteri Jaksa Agung. Para pejabat Mahkamah Agung (Ketua, Wakil Ketua, Hakim Ang- gota dan Panitera) mulai diberikan pangkat militer tutiler adalah de- ngan Peraturan Pemerintah 1946 No. 7 tanggal 1 Agustus 1946, sebagai pelaksanaan pasal 21 Undang-Undang No. 7 tahun 1946 tentang Penga- dilan Tentara. a. Masa menjelang pengakuan Kedaulatan (tanggal 12 Desember 1947). Pemerintah Belanda Federal yang menguasai daerah-daerah yang dibentuk oleh Belanda sebagai negara-negara Bagian seperti Pasundan, Jawa Timur, Sumatera Timur, Indonesia Timur, mendi- tikan Pengadilan Tertinggi yang dinamakan Hooggerechtshof yang beralamat di Jl. Lapangan Banteng Timur 1 Jakarta, disamping Istana Gubernur Jenderal yang sekarang adalah gedung Departe- men Keuangan. Susunan Hooggerechtshof terdiri atas: Ketua : Mr. G. Wijers. Anggota : 2 orang Indonesia : Mr. Notosubagio Mr. Oesnoen 2 orang Belanda : Mr. Peter Procureur General (Jaksa Agung) : Mr. Bruyns. Procureur General (Jaksa Agung) : Mr. Oerip Kartodirdjo. Hooggerechtshof juga: menjadi instansi banding terhadap putusan Raad van Justitie. Mr. G. Wijers adalah Ketua Hooggerechtshof terakhir, yang se- belum perang dunia ke II terkenal sebagai Ketua dari Derde kamer Raad van Justitie Jakarta yang memutusi perkara-perkara banding yang mengenai Hukum Adat (kamar ketiga, hanya ter- dapat di Raad van Justitie Jakarta). 7 Pada saat itu Mahkamah Agung masih tetap berkuasa di daerah- daerah Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta. Dengan dipulihkan kembali kedaulatan Republik Indonesia atas seluruh wilayah Indonesia (kecuali Irian Barat) maka pekerjaan Hooggerechtshof harus diserahkan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pada tanggal 1 Januari 1950 Mr. Dr. Kusumah Atmadja mengoper gedung dan personil serta pekerjaan Hooggerechtshof. Dengan demikian maka para anggota Hooggerechtshof dan Pro- cureur General meletakkan jabatan masing-masing dan selanjutnya pekerjaannya diserahkan pada Mahkamah Agung Republik Indo- nesia Serikat. Pada waktu itu Mahkamah Agung terdiri dari: Ketua : Dr. Mr. Kusumah Atmadja. & Wakil Ketua : Mr. Satochid Kartanegara. Anggota : 1. Mr. Husen Tirtaamidjaja. 2. Mr. Wirjono Prodjodikoro. 3. Sutan Kali Malikul Adil. Panitera : Mr. Soebekti. Jaksa Agung : Mr. Tirtawinata. Mahkamah Agung pada saat itu tidak terbagi dalam majelis- majelis. Semua Hakim Agung ikut memeriksa dan memutus baik perkara-perkara Perdata maupun perkara-perkara Pidana. Hanya penyelesaian perkara pidana diserahkan kepada Wakil Ketua. Masa Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950. Sebagaimana lazimnya dalam suatu negara yang berbentuk suatu Federasi atau Serikat, maka demikian pula dalam negara Republik Indonesia Serikat diadakan 2 macam Pengadilan; Yaitu Pengadilan’ dari masing-masing negara Bagian disatu pihak dan 13 14 Dr. Mr. Kusumah Atmadja Mr. R. Satochid Kartanegara Ketua Mahkamah Agung Pertama Wakil Ketua Méhkamah Agung (Periode Juli 1946 — Januari 1950) _(Periode Juli 1946 — Januari 1950) Mr. Wirjono Prodjidikoro Mr. Soebekti Hakim Agung Mahkamah Agung Panitera Mahkamah Agung (Periode Juli 1946 — Januari 1950), (Periode Juli 1946 ~ Januari 1950) Pengadilan dari Federasi yang berkuasa disemua negara-negara Ba- gian dilain pihak. Untuk seluruh wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS) ada satu Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat sebagai Pengadilan Tertinggi, sedang lain Badan-Badan pengadilan menjadi urusan masing-masing negara Bagian. Undang-Undng yang mengatur Mahkamah Agung Republik Indo- nesia Serikat adalah Undang-Undang No. | tahun 1950 tanggal 6 Mei 1950 (L.N. tahun 1950 No. 30) yaitu tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat yang mulai berlaku tanggal 9 Mei 1950. Undang-Undang tersebut adalah hasil pemikiran Mr. Supomo yang waktu itu menjabat sebagai Menteri. Kehakiman Republik Indone- sia Serikat, yang pertama (Menteri Kehakiman dari negara Bagian Republik Indonesia di Yogya adalah Mr. Abdul Gafar Pringgodig- do menggantikan Mr. Susanto Tirtoprodjo — lihat halaman 34. »K enang-kenangan sebagai Hakim selama 40 tahun mengalami tiga zaman” Oleh Mr. Wirjono Prodjodikoro — terbitan tahun 1974). Menurut Undang-Undang Dasar RIS pasal 148 ayat 1 Mahkamah Agung merupakan forum privilegiatum bagi pejabat-pejabat ter- tinggi negara. /Fungsi ini telah dihapuskan sewaktu kita kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Beruntunglah dengan keluarnya Undang-Undang No. 1 tahun-1950 (LN. tahun 1950 No. 30) lembaga kasasi diatur lebih lanjut yang terbatas pada lingkungan peradilan unum saja. Pada tahun 1965 diundangkan sebuah Undang-Undang No, 13 ta- hun 1965 yang mengatur tentang: Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Sayang sekali bahwa Undang-Undang tersebut tidak memikirkan lebih jauh mengenai akibat hukum yang timbul setelah diundang- kannya tanggal 6 Juni 1965, terbukti pasal 70 Undang-Undang tersebut menyatakan Undang-Undang Mahkamah Agung No. 1 tahun 1950 tidak berlaku lagi. Sedangkan acara berkasasi di Mah- kamah Agung diatur secara lengkap dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1950 tersebut. Timbullah.suatu problema hukum yaitu adanya kekosongan hu- kum acara kasasi. Jalan keluar yang diambil oleh Mahkamah Agung untuk mengatasi kekosongan tersebut adalah menafsirkan pasal 70 tersebut sebagai berikut: Oleh karena Undang-Undang No. 1 tahun 1950 tersebut disamping mengatur tentang susunan, kekuasaan Mahkamah Agung, meng- atur pula tentang jalannya pengadilan di Mahkamah Agung, se- dangkan Undang-Undang No. 13 tahun 1965 tersebut hanya meng- atur tentang susunan, kedudukan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum-dan Mahkamah Agung, dan tidak mengatur ten- tang bagaimana beracara di Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung menganggap pasal 70 Undang-Undang No: 13 tahun 1965 hanya menghapus Undang-Undang No. 1 tahun 1950 sepanjang AS 16 mengenai susunan dan kedudukan Mahkamah Agung saja, sedang- kan, bagaimana jalan peradilan di -Mahkamah Agung masih tetap memperlakukan Undang-Undang No. | tahun 1950. Pendapat Mahkamah Agung tersebut dikukuhkan lebih lanjut dalam Jurisprudensi Mahkamah Agung yaitu dengan berpijak pada pasal 131 Undang-Undang tersebut. Perkembangan selanjutnya dengan Undang-Undng No. 14 tahun 1970 tentang; *Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakim- an” tanggal 17 Desember.1970, antara lain dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa MahKamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari Peng- adilan-pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat lingkungan peradilan yang masing-masing terdiri dari: a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara. Bahkan Mahkamah Agung sebagai pula pengawas tertinggi atas per- buatan Hakim dari semua lingkungan peradilan. Sejak tahun 1970 tersebut Mahkamah Agung mempunyai Organi- sasi, administrasi dan keuangan sendiri. Mahkamah Agung menjalankan tugasnya dengan melakukan 5 fungsi yang sebenarnya sudah dimiliki sejak Hooggerechtshof, se- bagai berikut: 1, Fungsi Peradilan; 2. Fungsi Pengawasan; 3. Fungsi Pengaturan; 4. Fungsi memberi nasehat; 5. Fungsi Administrasi. 1. Fungsi Peradilan (Justitiele fungtie). a. Peradilan kita di Indonesia menganut ”’sistim kontinental” yang berasal dari Perancis yaitu sistim kasasi. Dalam sistim tersebut, Mahkamah Agung sebagai Badan Pengadilan tertinggi merupakan Pengadilan kasasi yang ber- tugas membina keseragaman dalam penerapan hukum dan menjaga agar semua hukum dan Undang-Undang diseluruh wilayah negara diterapkan secara tepat dan adil. Sedangkan di negara sistim Anglo Saxon hanya mengenal banding. . Perkataan kasasi berasal dari bahasa Perancis ’’Casser” yang artinya memecahkan atau membatalkan. Sehingga penger- tian kasasi disini adalah kewenangan Mahkamah Agung un- tuk membatalkan semua putusan-putusan dari pengadilan bawahan yang dianggap mengandung kesalahan dalam pe- nerapan hukum. . Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung dapat membatalkan putusan dan penetapan dari Pengadilan-Pengadilan yang le- bih rendah karena: a. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh pera- turan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya perbuatan yang bersangkutan; b. karena melampaui batas wewenangnya; c. karena salah menerapkan atau karena melanggar peraturan- peraturan hukum yang berlaku (diatur dalam pasal 51 Undang-Undang No. 13 tahun 1965). Sebagai disebutkan di atas sampai saat ini Mahkamah Agung ~ menggunakan pasal 131 Undang-Undang No. 1. tahun 1950 sebagai Jandasan hukum untuk beracara kasasi. Dalam tahun 1963 dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1963 Mahkamah Agung memperluas pasal 113 Un- dang-Undang No. 1 tahun 1950 dengan menentukan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan di Pengadilan tingkat per- tama (Pengadilan Negeri). Semula dalam pasal 113 tersebut, permohonan kasasi harus diajukan kepada ”’Pengadilan yang putusannya dimohonkan kasasi’’ : Menurut Prof. Soebekti, SH dikeluarkannya Peraturan M.A. No. 1 tahun 1963 tersebut adalah tepat karena Pengadilan Tinggi pada umumnya jauh letaknya dengan tempat tinggal pemohon kasasi itu, lagi pula berkas-berkasnya disimpan di Pengadilan Negeri. Permohonan kasasi yang disebutkan diatas-adalah ’’kasasi pihak” (partij-cassatie”). 7 +18 9 Selain daripada kasasi-tersebut; masih ada bentuk kasasi lain yang disebut dengan permohonan ‘kasasi yang diajukan oleh Jaksa Agung demi kepentingan hukum (pasal 50 ayat (2) Undang-Undang No. 13 tahun 1965). Peninjauan kembali. “Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 1965 pasal 52 disebut- ‘kan bahwa: ”Terhadap putusan Pengadilan yang telah mem- “punyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohon penin- jauan kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaan- keadaan yang ditentukan dengan Undang-Undang”. Kemudian dalam pasal 21 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 lebih jelas diatur sebagai berikut: *Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan Undang-Undang, terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali ke- pada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pi-- dana oleh pihak-pihak yang berkepentingan’’. . Hak Uji (Toetsingsrecht). Hak menguji Mahkamah Agung ini sangat erat hubung- annya dengan fungsi peradilan. Mengapa? Karena hak uji atau “toetsingsrecht” Hakim terhadap pera- turan perundang-undangan yang lebih rendah dari Undang- Undang hanya formil saja dan melalui putusan kasasi. Sesungguhnya hak menguji hakim tersebut tidak dijelaskan maksudnya secara tegas dan menyeluruh. Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 pasal 26 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari Undang-Undang atas alasan ber- tentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. . (2) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan per- undang-undangan tersebut dapat diambil berhubung de- ngan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan.dari peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut dilakukan oleh instansi yang bersangkutan. Menurut Bapak Prof. Soebekti, SH dalam karangannya ten- tang "Pokok-pokok pemikiran tentang hubungan Mahkamah ‘Agung dengan Badan Peradilan Umum” menyatakan bahwa sesungguhnya ”toetsingsrecht” itu ada 2 (dua) macam: 1. ”Formiele toetsingrecht” yaitu hak untuk menguji atau meneliti apakah suatu peraturan dibentuk secara sah dan dikeluarkan oleh penguasa atau instansi yang berwenang mengeluarkan peraturan itu. 2. ’Materiele toetsingrecht” yaitu hak ‘untuk menguji atau menilai apakah suatu peraturan dari segi isinya (materi- nya) mengandung pertentangan dengan peraturan lain dari tingkat yang lebih tinggi atau menilai tentang adil tidaknye isi peraturan itu, dan apabila terdapat perten- tangan tersebut atau apabila isi peraturan itu dianggap- nya tidak adil, tidak mengetrapkan, artinya menyisih- kan atau menyingkirkan peraturan itu. (to set aside). 2. Fungsi Pengawasan. Fungsi Pengawasan diberikan oleh Undang-Undang No. 14 tahun 1970 yaitu dalam Bab II pasal 10 ayat 4 yang berbunyi: »Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan yang lain, menurut ketentuan yang ditetapkan dengan Undang-Undang”’. Dan di samping itu mengingat masih belum ada peraturan pe- jJaksanaan yang mengatur, Mahkamah Agung dalam prakteknya masih bersandar pada pasal 47 Undang-Undang No. 13 tahun 1965 yang berbunyi sebagai berikut: (1). Mahkamah Agung sebagai puncak semua peradilan dan sebagai Pengadilan Tertinggi untuk semua ling- kungan peradilan memberi pimpinan kepada Pengadil- an-Pengadilan yang bersangkutan. (2). Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan -diselenggarakan dengan seksama dan sewajamnya. 19 20 (3). Perbuatan-perbuatan Hakim di semua lingkungan per- adilan diawasi dengan cermat oleh Mahkamah Agung. (4). Untuk kepentingan negara dan keadilan Mahkamah Agung ‘mempberi peringatan, tegoran dan petunjuk yang dipandang perlu baik dengan surat tersendiri maupun dengan Surat Edaran. (5). Mahkamah Agung berwenang minta keterangan dari semua Pengadilan dalam semualingkungan peradilan. Mahkamah Agung dalam hal itu dapat memerintah- kan disampaikannya berkas-berkas perkara dan surat- surat untuk dipertimbangkan. Pengawasan Mahakamah Agung menurut pasal 47 Undang-Un- dang Nomor 13 tahun 1965 adalah terhadap jalannya peradilan (Bahasa Belanda: Rechtsgang), dengan tujuan agar Pengadilan- Pengadilan tersebut berjalan secara seksama dan sewajarnya. Jalannya peradilan atau “rechtsgang” tersebut menurut hemat kami terdiri dari: a). jalannya peradilan yang bersifat tehnis peradilan atau tehnis yustisial. b). jalannya peradilan yang bersegi administrasi peradil- an. ¥ Adapun yang dimaksud dengan ”tehnis peradilan” adalah segala sesuatu yang menjadi tugas pokok Hakim yaitu menerima, me- meriksa, mengadili dan memutus perkara yang diterimakan ke- padanya. Dalam kaitan ini termasuk pula bagaimana pelaksana- an putusan tersebut dilakukan. Sedang yang dimaksud dengan »administrasi peradilan” adalah segala sesuatu yang menjadi tugas pokok dari Kepaniteraan lem- baga Pengadilan. (Pengadilan tingkat pertama dan banding dari lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, ling- kungan Peradilan Militer dan Mahkamah Agung). Administrasi peradilan harus dipisahkan dengan administrasi dalam arti mumi yang tidak ada sangkut pautnya dengan suatu pérkara di lembaga Pengadilan tersebut. ‘Administrasi peradilan perlu memperoleh pengawasan pula dari Mahkamah Agung, oleh karena sangat erat kaitannya terhadap tehnis peradilan. Suatu putusan pengadilan tidak akan sempuma apabila masalah administrasi peradilan diabaikan. w Pembuatan agenda/register perkara, pencatatan setiap perkara yang berjalan/berproses, formulir-formulir putusan, formulir ‘panggilan, formulir Japoran kegiatan Hakim dan lain sebagainya adalah tidak luput dari kewenangan pengawasan Mahkamah Agung. . Dalam praktek selama ini Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan telah mendelegasikan kepada para Ketua Pengadilan tingkat banding, baik dari lingkungan Peradilan Umum maupun dalam lingkungan Peradilan Agama. Di samping itu pula yang termasuk kewenangan pengawasan Mahkamah Agung adalah semud perbuatan-perbuatan Hakim. Pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung ini bersifat tertinggi yaitu meliputi keempat lingkungan Peradilan. Pengawasan terhadap lingkungan Peradilan Agama lebih effektif dilakukan setelah adanya Surat Keputusan Bersama antara Ke tua Mahkamah Agung dengan Menteri Agama No. 1, 2, 3 dan 4 tahun 1983 tanggal 7 Januari 1983. Sedang pengawasan sebelum tahun 1983 tersebut hanya ter- batas pada pengawasan tehnis melalui permohonan kasasi yang dimungkinkan oleh Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1977. Terhadap Pengacara dan Notaris termasuk pula di bawah pengawasan Mahkamah Agung. Demi keterpaduan pengawasan terhada para Pengacara dan Notaris ini, sudah diputuskan dalam Rapat-rapat kerja antara Mahkamah Agung dengan Departemen Kehakiman pada tahun 1982 yang dikukuhkan lagi tahun 1983, Bahkan terhadap No- taris, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran No. 2 tahun 1984 tanggal 1 Maret 1984. . Fungsi Pengaturan (Regerende functie). Fungsi Pengaturan ini bagi Mahkamah Agung adalah ber- sifat sementara yang artinya bahwa selama Undang-Undang ti- dak mengaturnya, Mahakamah Agung dapat ’mengisi” keko- songan tersebut sampai pada suatu saat Undang-undang meng- aturnya. Pasal 131 Undang-Undang No. 1 tahun 1950 memberikan ke sempatan bagi Mahakamah Agung untuk membuat peraturan 21 22 secara sendiri bilamana dianggap perlu untuk melengkapi Un- dang-Undang yang sudah ada. Hal tersebut menurut Prof. Soebekti, SH, Mahkamah Agung me- miliki sekelumit kekuasaan legislatif, yang dianggap merupakan suatu pelimpahan kekuasaan dari pembuat Undang-Undang. Contoh: 1. Peraturan Mahkamah Agung No. | tahun 1963 yang me- nentukan bahwa permohonan kasasi juga dapat diajukan di Pengadilan tingkat pertama (yang dalam hal ini: Pengadilan Negeri). Dengan demikian peraturan tersebut merupakan per- luasan terhadap pasal 113 (perkara perdata) yang meng- atur agar permohonan kasasi diajukan kepada Pengadil- an yang putusannya dimohonkan kasasi (pada umum- nya adalah Pengadilan Tinggi). . 2. Peraturan Mahkamah Agung No. | tahun 1959 tanggal 20 April 1959 yang isinya aantara lain mengatur: a. biaya kasasi dibayar tunai pada Pengadilan yang ber- sangkutan, b. Permohonan untuk pemeriksaan kasasi dalam perkara perdata tidak. boleh diterima, jika tidak disertai de- ngan pembayaran biaya perkara. c. Panitera Mahkamah Agung tidak diharuskan mendaf- tarkan permohonan kasasi apabila biaya perkara ter- sebut belum diterima meskipun berkas perkara yang bersangkutan telah diterima di kepaniteraan Mahka- mah Agung. d. yang dianggap sebagai tanggal permohonan kasasi ialah tanggal pada waktu biaya perkara tersebut di- terima di Pengadilan Negeri. . Peraturan Mahakamh Agung No. 1 tahun 1977 tanggal 26 Nopember 1977 yang isinya antara lain mengatur: jalan pengadilan dalam pemeriksaan kasasi dalam per- kara Perdata dan perkara Pidana oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer”. 4. Peraturan Mahkamah Agung No. | tahun 1980 ‘tanggal 1 we Desember 1980 tentang -Peninjauan kembali -putusan yang -telah::memperoleh ‘kekuatan hukum yang tetap yang -diperbaiki Jagi:dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1tahun 1982 tanggal 11 Maret’ 1982 tentang Per- aturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1980 yang-disem- purnakan. 4, Fungsi Pemberian‘Nasehat (advieserende functie). Semula fungsi ini diatur dalam Undang-Undang No. 1 ta- hun 1950 -pasal 132 yang mengatakan bahwa: ”Mahkamah Agung wajib memberi laporan atau pertimbangan tentang soal- soal yang berhubungan dengan hukum, apabila hal itu diminta oleh Pemerintah”. Kemudian oleh Undang-Undang No. 13 tahun 1965 pasal 53 mengatur pula kewenangan yang sama. Pasal $3 berbunyi se- bagai berikut: **Mahkamah Agung memberi keterangan pertimbangan dan nasehat tentang soal-soal yang berhubungan dengan hu- kum, apabila hal itu diminta oleh Pemerintah”’. Demikian pula Undang-Undang No. 14 tahun 1970 yang tercan- tum dalam pasal’25: ”Semua pengadilan dapat memberi keterangan, pertim- bangan dan nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum ke- pada Lembaga Negara lainnya apabila diminta”’. Rupa-rupanya perkembangan hukum yang memberi kewenang- an kepada Mahkamah Agung untuk memberi pertimbangan hu- kum diperluas lagi oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. II/MPR/1978 yo TAP MPR No. VI/MPR/1973 pa- sal 11 ayat (2) di mana Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak, kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara. Sebagai contoh pelaksanaan ketentuan. Undang-Undang ter- sebut adalah kewenangan Mahkamah Agung memberi pertim- bangan-pertimbangan hukum terhadap permohonan-permohon- an grasi kepada Presiden/Kepala Negara melalui Menteri Keha- kiman. ¥ Dalam praktek Mahkamah Agung ‘pernah pada tahun 1965 di- minta nasehat oleh Pemerintah dalam masalah pembubaran par- 23 24 tai politik Masyumi (masa pra-Gestapu), sehingga dalam putusan Presiden waktu itu disebut: ’"Mendengar nasehat Mahkamah Agung”. Pada masa itu Kekuasaan Kehakiman telah kehilangan kebebas- annya, dengan duduknya Ketua Mahkamah Agung sebagai Men- teri dalam Kabinet. Bahkan dalam Undang-Undang No. 19 ta- hun 1964 dicantumkan adanya ”Campur tangan Presiden dalam urusan Pengadilan”. Dalam kaitan ini Bapak Prof. Soebekti, SH menyatakan bahwa beliau tidak keberatan Pengadilan diminta nasehat oleh Peme- rintah atau Lembaga Tinggi Negara lainnya, asal itu tidak me- ngurangi kebebasan Pengadilan. }. Fungsi Administrasi (administrative functie). Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 pasal 11 ber- bunyi sebagai berikut: (1). Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat (1), organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan. (2). Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan tersenditi. Dari kalimat "administrasi” dalam pasal tersebut di atas, kira- nya dapat dibedakan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas di sini adalah meliputi segala aktifitas dalam hal tehnis. operasional” (misalnya minutering perkara yang telah diucapkan Hakim, pembuatan laporan kegiatan Hakim/laporan bulanan dan lain sebagainya). Sedangkan ”administrasi” yang diartikan oleh pasal 11 tersebut adalah dalam arti sempit. Seolah-olah timbul dualisme pimpinan di mana sepanjang me- ngenai administrasi dalam arti luas oleh Mahkamah Agung se- dang administrasi dalam arti sempit diselenggarakan oleh Depat- teman masing-masing. Namun menurut Prof: Soebekti, SH, pandangan yang sedemi- kian tersebut adalah keliru, beliau berpendapat pimpinan hanya ada satu yaitu Mahkamah Agung — RI, sedang. Departemen hanya melaksanakan ’dienende functie”’. Dalam -petjalanan -sejatah Mahkamah Agung sejak tahun 1945- yaitu pada saat berlakunya U.U.D. .1945 :tanggal 18- Agustus 1945 sampai sekarang, mengalami.pergeseran-pergeseran meng- ikuti perkembangansistim Pemerintahan. pada waktu itu, baik yang menyangkut -kedudukannya maupun susunannya, -walau- pun fungsi Mahkamiah Agung tidak mengalami pergeseran. apa- pun. Pada waktu terjadi susunan Kabinet 100 Menteri, kedudukan Mahkamah Agung -agak bergeser di maha Ketua Mahkamah Agung dijadikan Menteri Koordinator yang mengakibatkan ti- dak tegaknya cita-cita Undang-Undang Dasar 1945 yaitu sebagai pemegang Kekuasaan Kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah. ° Dengan tekad Pemerintah Orde Baru, kembalilah Mahkamah Agung dalam kedudukannya semula sesuai dengan kehendak Undang-Undang Dasar 1945. Akhimya dengan berlakunya Undang-Undang No. 14 tahun 1970 mendudukan Mahkamah Agung sebagai puncak dari ke empat lingkungan peradilan. 25 26 SUSUNAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA. KURUN WAKTU TAHUN 1950 — 1952. Mahkamah Agung dipimpin oleh seorang Ketua yaitu: Mr. Dr. Kusumah Atmadja — beliau mengoper gedung dan personil beserta pekerjaan Hooggerechtshof pada bulan Januari 1950 sete- lah Mahkamah Agung kembali ‘dari pengungsiannya di Jogyakarta selama 3% tahun. Wakil Ketua Mr. Satochid Kartanegara. Hakim Agung yang membantu Ketua Mahkamah Agung dalam menjajankan tugasnya terdiri atas: — Mr. Wirjono Prodjodikoro. — Mr. Husen Tirtamidjaja. serta Mr. Soebekti dan Ranoeatmadja sebagai Panitera dan Wakil Panitera Mahkamah Agung. Bulan September 1952 Dr. Mr. Kusumah Atmadja Meninggal du- nia. Sejak itu kedudukan Ketua Mahkamah Agung menjadi lo- wong. ! Mr. Dr. Kusumah Atmadja Mr. R. Satochid Kartanegara Ketua Mahkamah Agung Wakil Ketua Mahkamah Agung (Periode 1950 — 1952) (Periode 1950. — 1952) Mr. Wirjono Prodjodikoro Mr. Soebekti Hakim Agung Makamah Agung Panitera Mahkamah Agung (Periode 1950 ~ 1952) (Periode 1950 — 1952) KURUN WAKTU TAHUN 1952 — 1966 Untuk jabatan Ketua Mahkamah Agung diminta calon 2 orang atau lebih yangdiajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, demikian ‘pula untuk jabatan Wakil Ketua Mahkamah Agung. Untuk Jabatan Katua Mahkamah Agung yang dicalonkan oleh DPR adalah 2 orang yaitu: Mr. Wirjono Prodjodikoro dan Mr. Tir- tawinata bekas Jaksa Agung. Sedang untuk Wakil Ketua Mahka- mah Agung DPR mencalonkan: Mr. R. Satochid Kartanegara seba- gai.satu-satunya calon. Kemudian dengan keputusan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 13 Oktober 1952 diangkat Ketua: Mr. Wirjono Prodjo- dikoro dan Wakil Ketua: Mr. R. Satochid Kartanegara. Hakim Agung Mahkamah Agung pada waktu itu adalah: — Prof. Mr. R. Soekardono. — Sutan Kali Malikul Adil, — Mr. Husen Tirtamidjaja, — Mr. R. Surjotjokro, — Mr. Sutan Abdul Hakim. — Mr. Wirjono Kusumo. — Mr. A. Abdurrachman. Panitera Mahkamah Agung : R. Ranuatmadja. Kemudian : J. Tamara Moch. Ishak Soemoamidjojo, SH 27 Susunan majelis: hanya ada satu majelis. Di samping perkara yang masuk tidak terlalu padat, pula yang du- duk sebagai Ketua Majelis dimungkinkan bergantian antara Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung. Untuk memperlancar penyelesaian perkara pada waktu itu, Mahka- mah Agung sudah mengenal pembidangan tanggung jawab, seperti bidang Perdata dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung sendiri, dan bidang Pidana dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung, dan sekaligus mengetuai sidang-sidang yang bersangkutan. Sedang- kan para Hakim Agung tetap memeriksa baik perkara perdata mau- pun perkara pidana. Adanya Forum ”Privilegiatum” yang dimungkinkan oleh Undang- undang yang berlaku pada waktu itu, Mahkamah Agung mengadili dalara tingkat pertama dan terakhir. Tokoh politik: Sultan Abdul Hamid yang mengaku terus terang ingin menggunakan tenaga Westerling untuk mempersiapkan pem- berontakan terhadap Pemerintah Republik Indonesia, yaitu akan membunuh: Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX, Kol. Sima- tupang dan Ali Budihardjo, SH. Pada tanggal 8 April 1953 dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Mr. Wirjono Prodjodikoro Mr. R. Satochid Kartanegara Mr. M. Abdurrachman Ketua Mahkamah Agung Wakil Ketua Mahkamah Agung Hakim Agung Mahkamah Agung (Periode 1952 — 1966) (Periode 1952 — 1966) (Periode 1952 — 1966) 28 Dalam Sistim Kabinet 100 Menteri di bawah Pimpinan Pre- siden Republik Indonesia yang pertama Ir. Soekarno, kedudukan - Mahkamah Agung tidak lagi sesuai dengan yang dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar 1945 yaitu sebagai Lembaga Tinggi Negara/pemegang Kekuasaan Kehakiman Tertinggi. Ketua Mahkamah Agung pada-saat itu’diberi kedudukan:sebagai ‘Menteri Koordinator Hukum dan Dalam Negeri yang meiliputi Departemen Dalam Negeri, -Kejaksaan Agung, Departemen Ke- hakiman dan Mahkamah Agung sendiri. Oleh karena kedudukan Menteri adalah pembantu Presiden, maka turut campumya Pemerintah terhadap Kekuasaan Kehakiman tidak dapat dihindarkan lagi. Syukur Alhamdullillah bahwa dengan lahirnya Orde Baru yaitu 11 Maret 1966 keadaan yang sedemikian itu dapat diakhiri. Menteri Koordinator dibubarkan dan tenaga inventaris sekretaris Menteri Koordinator dilimpahkan kepada Mahkamah Agung. KURUN WAKTU JUNI1966 — AGUSTUS 1968. Pendiri-pendiri Orde Baru menghendaki Undang-Undang Dasar 1945 dilaksanakan secara murni dan konsekwen. Mahkamah Agung dikembalikan dalam kedudukannya semula yaitu sebagai pemegang kekuasaan Kehakiman yang terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah. Susunan Mahkamah Agung pada kurun waktu tersebut adalah sebagai berikut : Ketua : Soerjadi, SH. Wakil Ketua 3 Prof. Soebekti, SH. . Anggota-anggota: 1. Sutan Abdul Hakim, SH. 2. M. Abdurrachman, SH. Panitera s Moch. Ishak Soemoamidjojo, SH. Dalam susunan Mahkamah Agung tersebut terbagi dalam beberapa majelis perkara (2). Perkara Perdata yang masuk di Mahkamah Agung : 60/setiap bulan; Sedang Perkara Pidana : 15/setiap bulan; Dari jumlah tersebut untuk perkara Perdata diputus : 65/setiap bulan; Untuk perkara Pidana diputus: 9/setiap bulan; 30 M, Abdurrachman, SH. Hakim Agung Mahkamah Agung (Periode Juni’66 - Agustus ’68) Soerjadi, SH. Ketua Mahkamah Agung (Periode Juni’66 — Agustus 68) Prof. Soebekti, SH. Wakil Ketua Mahkamah Agung (Periode Juni’66 — Agustus *68) KURUN WAKTU AGUSTUS 1968 — JANUARI 1974. Ketua : Prof. Soebekti, SH. Wakil Ketua 8 M. Abdurrachman, SH. . Kemudian : Prof. R. Sardjono, SH. Anggota-anggota 7 1. D-H. Lumbanradja, SH. 2. Ny. Sri Widojati Wiratmo Soekito, SH. 3. Indroharto, SH. 4. Busthanul Arifin, SH. 5. Z. Asikin Kusumah Atmadja, SH. Panitera 8 Moch. Ishak Soemoamidjojo, SH. Kemudian : 1. Bismar Siregar, SH, 2. R. Soehono Soedja, SH. 3. M. Pitojo, SH. Kemudian pada tahun 1971 Bapak M. Abdurrachman, SH. me- masuki masa pensiun dan diganti oleh Bapak Sardjono, SH sebagai Wakil Ketua Mahkamah Agung. . 1s? Susunan Mahkamah Agung tersebut terbagi dalam : 2 maijelis perkara. 7 Perkara Perdata yang masuk di Mahkamah Agung : 110/setiap bulan Untuk perkara Pidana i 15/setiap bulan Dari Jumlah tersebut untuk perkara perdata diputus : 150/setiap bulan Untuk perkara pidana diputus : 10/setiap bulan, Prof, Soebekti, SH. Ketua Mahkamah Agung (Periode Agustus '68 — Januari '74) Prof. R. Sardjono, SH. Wakil Ketua Mahkamah Agung Pengganti M. Abdurrachman, SH. (Periode Agustus’68 — Januari °74) MM. Abdurrachman, SH. Wakil Ketua Mahkamah Agung (Periode Agustus ’68 — Januari '74) 5. KURUNWAKTU JANUARI 1974 — 1981. Ketua a Prof. Oemar Seno Adji, SH. Wakil Ketua A Dr. R. Santoso Poedjosoebroto, SH. Anggota-anggota 1. Indroharto, SH 2. Ny. Sri Widojati Wiratmo Soekito, SH. 3. Z. Asikin Kusumah Atmadja, SH. 4. Busthanul Arifin, SH. 31 Pe AM 10. 11. 12. 13. 14, Achmad Sulaeman Gelar Sutan Soripada Oloan, SH ? R. Djoko Soegianto, SH. BRM Hanindijopoetro Sosropranoto, SH. Hendrotomo, SH (May. Jen. TNI Purn.) Kabul Arifin, SH (May. Jen. TNI Purn.) Palti Radja Siregar, SH. Purwosunu, SH (May.Jen. TNI Purn.) Purwoto Suhadi Gandasubrata, SH. R. Saldiman Wirjatmo, SH. Samsoeddin Aboebakar, SH. Panitera : Rafli Rasyad SH. Terbagi dalam : 6 majelis. Sedang Perkara-perkara yang masuk setiap bulan : Perkara Perdata 5 200 perkara; Perkara Pidana 3 4 perkara; Masing-masing diputus untuk perkara : Perdata 121 perkara; Pidana 4 perkara; Prof, Oemar Seno Adji, SH. Ketua Mahkamah Agung (Periode Januari '74 — 1981) 32 Purwoto Suhadi Gandasubrata, SH. Hakim Agung Mahkamah Agung Periode Januari '74 — 1981) Dr. R. Santoso Poedjosoebroto, SH. Wakil Ketua Mahkamah Agung (Periode Januari "74 — 1981) 6. KURUN-WAKTU 1981 — 24 APRIL 1984. Ketua Mudjono, SH (Let. Jen TNI Pum.) Wakil Ketua 7 Purwoto Suhadi Gandasubrata, SH. Ketua Muda 5 6 orang, yaitu : 1G Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja, SH Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Umum/ Bidang Hukum Perdata Tertulis. HLR. Djoko Soegianto, SH Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Umum/ Bidang Hukum Perdata Adat. H. Adi Andojo Soetjipto, SH Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Umum/ Bidang Hukum Pidana Umum. Prof. H. Busthanul Arifin, SH Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama. H. Piola Isa, SH (May. Jen. TNI Purn.) Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Militer. Indroharto, SH Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Anggota-anggota: 46 orang, yaitu : Ny. Sri Widojati wiratmo Soekito, SH Hendrotomo, SH Samsoeddin Aboebakar, SH. Palti Radja Siregar, SH R. Harsadi Darsokusumo, SH Ismail Rahardjo, SH Ny. H. Martina Notowidagdo, SH Ny. H. Poerbowati Djokosoedomo, SH Ny. Siti Rosma Achmad, SH R. Roeskamdi, SH . H. Rusli,SH Olden Bidara, SH Soegiri, SH . R. Soehono Soedja, SH Syafiar, SH Antonius Soedjadi, SH H. Agus Djamili, SH 33 18. Ahmad Rusli Dermawan, SH 19. H. Amiroedin Noer, SH 20. Danny, SH 21. Ny. Djoewarini, SH 22. Ny. Dora Sasongko Kartono, SH 23. Firdaus.Chairani, SH. 24. F.X. Soenarta, SH 25. Gunawan, SH 26. Henoch’Tesan Binti, SH 27. Drs. 1.G.N. Gde Djaksa, SH 28. Jahja, SH 29. Ny. Karlinah Palmini Achmad Soebroto, SH 30. Th. Ketut Suraputra, SH 31. Kohar Hari Sumamo, SH 32. Masrani Basran, SH 33. Mohammad Djanis, SH 34. Mohammad Yahya Adiwimarta, SH 35. M. Yahya Harahap, SH 36. Prof. H. Md. Kholid, SH 37. R. Mochamad Koerdi, SH 38. Ny. Siti Tanadjoel Tarki Soejardjono, SH 39. R. Soebijantono, SH 40. R. Soekamto Poerwopoetranto, SH 41. R. Soenarto, SH 42. H. Soerjono, SH 43. H. Soetomo, SH 44. Tomy Boestomi, SH 45. Zakir, SH 46. Kardjono Diposukarso, SH Panitera : Rafli Rasyad SH’ 34 Mudjono, SH. Purwoto Suhadi Gandasubrata, SH ‘Let, Jen TNI Purnawirawan Wakil Ketua Mahkamah Agung Ketua Mahkamah Agung (Periode 1981 — 24 April 1984) (Periode 1981 — 24 April 1984) KURUN WAKTU 25 APRIL 1984 — SAMPAI SEKARANG. Setelah Bapak Mudjono, SH meninggal dunia pada tanggal 24 April 1984, Presiden. Republik Indonesia/Mandataris MPR telah berkenan mengangkat Bapak ALI SAID, SH (Let. Jen. TNI Purnawirawan) sebagai Ketua Mahkamah Agung. _Sedangkan susunan Wakil Ketua, Ketua-Ketua Muda dan para Hakim Agung masih tetap jumlahnya, hanya personalia Hakim Agung mengalami 2 (dua) orang tambahan sebagai pengganti 2 (dua) orang Hakim Agung yang meninggal dunia yaitu Mocham- mad Koerdi, SH dan Kardjono Diposukarso, SH. Penggantinya masing-masing adalah : H. Iman Anis SH dan H. Bismar Siregar SH. Dalam kurun waktu ini, statistik perkara sebagai berikut : Perkara Perdata yang diterima setiap bulan . 1300; Perkara Pidana yang diterima setiap bulan . 2130; Perkara Perdata yang diputus setiap bulan Ee ao ts Perkara Pidana yang diputus setiap bulan . : 50; Perkara Perdata Agama yang diterima setiap bulan... : 15; Perkara Perdata Agama yang diputus setiap bulan ... : 12; Perkara Pidana Militer yang diterima setiap bulan ... : 5; Perkara Pidana Militer yang diputus setiap bulan.... : 1; Susunan majelis terbagi dalam : 14 majelis dengan penamaan masing-masing diambil dari nama-nama burung seperti : Alap- alap, Buraq, Cenderawasih, Dadali, Elang, Falcon, Garuda dan Hantu. 35 Selain menangani masalah-masalah rutin menerima, mengadili dan memutus perkara kasasi, Peninjauan kembali dan Grasi, Mahkamah t ALI SAID, SH. Purwoto Suhadi Gandasubrata, SH Let. Jen. TNI Purnawirawan Wakil Ketua Mahkamah Agung Ketua Mahkamah Agung (Periode 25 April 1984 — Sampai sekarang) (Periode 25 April 1984 — Sampai sekarang) 36 Agung melancarkan pula kegiatan pengawasan ke daerah-daerah. Kebijaksanaan Mahkamah Agung dalam pengawasan ini adalah bahwa Pengadilan Tinggi/Pengadilan tinggi Agama adalah sebagai kawaldepan Mahkamah Agung, berarti Ketua Pengadilan Tinggi/ Ketua Pengadilan Tinggi Agama wajib sedapat mungkin me- nyelesaikan semua permasalahan yang timbul di wilayah hukum- nya masing-masing. Apabila tidak dapat mencarikan jalan keluarnya maka barulah di- ajukan permasalahan tersebut kepada Mahkamah Agung. Dalam kurun waktu ini, berdasarkan Keputusan Presiden 10 Ja- nuari 1985 Panitera/Sekertaris Jenderal MA. digantikan Mochamad Iman S.H. sedangkan saudara Raffly Rasad SH belakangan di- angkat sebagai Duta Besar berkuasa penuh Republik Indonesia di Cekoslovakia. ORGANISASI DAN TATA KERJA. KEPANIFERAAN/SEKRETAR} AT JENDERAL MAHKAMAH AGUNG. Dengan Keputusan Presiden R.I. No. 75 tahun 1985 tanggal 21-11- 1985, ditetapkanlah struktur organisasi Kepaniteraan/Sekertariat Jen- dral Mahkamah Agung. Dengan Keputusan Presiden tersebut, terjadilah perubahan pada struk- tur organisasi Kepaniteraan Mahkamah Agung, dimana sebelumnya pada Kepaniteraan Mahkamah Agung -hanya dikenal adanya jabatan Paniterd sebagai pimpinan Kepaniteraan Mahkamah Agung. Setelah ditetapkannya Keputusan Presiden tersebut Kepaniteraan me- rangkap pula sebagai Sekertariat Jenderal Mahkamah Agung, yang di- pimpin oleh seorang Panitera/yang merangkap sebagai Sekertaris Jen- deral. Didalam melaksanakan tugasnya Panitera/Sekertaris Jenderal di- bidang administrasi peradilan dibantu oleh wakil Panitera dan dibidang administrasi Panitera/Sekertaris Jenderal membawahi: Direktorat Perdata. Direktorat Perdata Agama. Direktorat Tata Usaha Negara. Direktorat Pidana. Direktorat Hukum dan Peradilan. Biro Umum. Biro Keuangan. Biro Kepegawaian. . Selanjutnya untuk merumuskan tugas, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja dilingkungan Kepaniteraan/Sekertariat Jendral Mah- kamah Agung, sebagai pelaksanaan lebih lanjut Keputusan Presiden No. 75 tahun 1985 tersebut diatas, dikeluarkanlah surat Keputusan Pani- tera/Sekertaris Jenderal Mahkamah Agung Republik Indonesia No. MA/PANSEK/02/SK/tahun 1986 tanggal 1 April 1986 tentang organi- sasi dan tata Kerja Kepaniteraan/Sekertariat Jenderal Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dengan S.K. Panitera/Sekertaris Jenderal Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut ditetapkan ‘satuan-satuan Kerja yang dibawah Ke- paniteraan/Sekertariat Jenderal Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai berikut: 1. Direktorat Perdata terdiri dari: a. Sub. Direktorat Kasasi Perdata. b. Sub. Direktorat peninjauan kembali. c. Sub. Direktorat Umum Perdata. 0 reheat ee 37 Direktorat Perdata Agama terdiri dari: a. Sub. Direktorat Kasasi dan peninjauan kembali Perdata Aga- ma. b. Sub. Direktorat umum Perdata Agama. Direktorat Tata usaha Negara terdiri dari: a. Sub Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Tata Usaha Negara. b. Sub Direktorat Umum Tata Usaha Negara. Direktorat Pidana terdiri dari: a. Sub Direktorat Kasasi dan Peninjauan kembali. b. Sub Direktorat Grasi. c. Sub Direktorat Kasasi dan peninjauan kembali Militer. d. Sub Direktorat Umum Pidana. Direktorat Hukum dan Peradilan terdiri dari: a. Sub Direktorat Hukum. b. Sub Direktorat Pembinaan administrasi Peradilan. c. Sub Direktorat Pengamatan Peradilan. Biro Umum terdiri dari: a. Bagian Tata Usaha. b. Bagian urusan dalam. c. Bagian Humas dan Protokol. Biro Keuangan terdiri dari: a. Bagian anggaran. b. Bagian Pembukuan dan Verifikasi. Biro Kepegawaian: a. Bagian umum Kepegawaian b. Bagian Mutasi Kepegawaian. Direktorat-Direktorat yang dipimpin oleh para Direktur secara hierarki organisatoris bertanggung jawab kepada Panitera/Sekertariat Jenderal melalui Wakil Panitera. Sedangkan Biro-Biro yang dipimpin oleh Kepala Biro melalui wakil Sekertaris Jendral. Hal ini mengingat spesifikasi tugas pekerjaannya, yaitu yang menyangkut Administrasi Peradilan para Direktur bertanggung jawab kepada Panitera/Sekertariat Jendral melalui wakil Panitera, sedangkan yang menyangkut admi- nistrasi umum para kepala Biro bertanggung jawab kepada Panitera/Se- kertariat Jendral melalui wakil Sekertaris Jendral. 38 Pejabat eselon I dan eselon II .dalam lingkungan Kepaniteraan/ Sckertariat Jendral Mahkamah Agung‘-Republik “Indonesia: :adalah: 1. Panitera/SekertarisJendral : R.Mochamad-Iman,'SH. 2. Wakil Panitera : ‘R. Soekotjo, SH. 3. Wakil Sekertariat Jendral : RM. Tenojo Djoyodiningrat-S.H. 4. Direktur Perdata :. J. Johansyah, SH. 5. Direktur Perdata Agama : Ny. Nawangsih Sutardi S.H. 6. Direktur Tata Usaha Negara: Ny. Fatimah, Achyar’S.H. 7. Direktur Pidana : Eddy Djuanedi, SHMCI. 8. Direktur Hukum dan Peradiln: Ny. Lies Sugondo, SH: 9. Kepala Biro Umum : Sutopo, SH. . 10. Kepala Biro Keuangan : H. Djatma. 11. Kepala Biro Kepegawaian : Sulaeman Balukea, UNDANG-UNDANG MAHKAMAH AGUNG DAN UNDANG-UNDANG PERADILAN UMUM (Undang-Undang No. 14 Th. 1985, No. 2 Th. 1986) Dengan lahimya Undang-Undang Mahkamah Agung dan Undang- Undang Peradilan Umum masing-masing pada tanggal 30. Desember 1985 dan tanggal 8 Maret 1986, lengkaplah sudah perangkat hukum bagi jalan peradilan di negara Republik Indonesia. Jika sebelumnya terjadi pengisian hukum acara, seperti halnya acara berkasasi dan peninjauan kembali, dengan Peraturan-peraturan Mah- kamah Agung antara lain : Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1977 yang memberi kemungkinan kasasi bagi pencari keadilan dari lingkungan peradilan agama dan militer, Peraturan Mabkamah Agung Nomor 1 Tahun 1982 tentang kemungkinan peninjauan kembalj perkara perdata, maka sejak saat itulah semua peraturan-peraturan tersebut tidak diperlakukan lagi. Demikian pula bidang pengawasan, akan semakin mantap me- liputi keempat lingkungan peradilan. Jika semula seorang Hakim Agung mengawasi jalan peradilan dan perbuatan serta tingkah laku Hakim hanya dari lingkungan Peradilan Umum saja, sejak berlakunya kedua Undang-Undang tersebut akan meliputi pula lingkungan peradilan yang lain. 39 Gedung Mahkamah Agung RI yang baru nantinya di Jalan Medan Merdeka . Utara Jakarta sesuai dengan maket di atas. e Upacara peresmian tanda dimulainya pembangunan gedung tersebut dilaku- kan oleh Bapak Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Purwoto Suhadi Ganda- i subrata, SH, mewakili Bapak Ketua Mahkamah Agung RI, Ali Said, SH. : pada tanggal 17 Februari 1986. 40 | 1 2. “3, 4 5 oF a 10. 11. te 13. 14. 15. DAFTAR KEPUSTAKAAN . Mr. R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari abad ke abad. . Sudikno Mertokusumo, SH., Sejarah Perdilan dan Perundang- undangannya di Indonesia sejak 1942 dan apakah keman- faatannya bagi kita bangsa Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Riwayat Hidup Prof. > R. Satochid Kartanegara, SH. : ‘Reglement Ordonantie (R.O.). Undang-Undang No. 7 Tahun 1947, Susunan dan Kekuasaan Pengadilan dan Kejaksaan. Undang-Undang No. 1 Tahun 1950, Susunan, Kekuasaan Mah- kamah Agung. Undang-Undang No. 13 Tahun 1965, Pengadilan dalam ling- kungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH, Kenang-kenangan sebagai Hakim selama 40 tahun mengalami tiga zaman. Wawancara secara tertulis dengan Bapak Prof. Soebekti, SH. Wawancara dengan Bapak Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja, SH selaku ahli waris almarhum Bapak Mr. Dr. Kusumah Atmadja — Ketua Mahkamah Agung pertama. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang No. 2 Tahun 1986, Peradilan Umum. Keputusan Presiden RI No. 75 Tahun 1985, Organisasi Kepanitera- an/Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung. o

You might also like