Professional Documents
Culture Documents
Edukasi Tentang Pola Tidur Sebagai Pengurangan Risiko Demam Tifoid Pada Mahasiswa FK UNS
Edukasi Tentang Pola Tidur Sebagai Pengurangan Risiko Demam Tifoid Pada Mahasiswa FK UNS
Abstract.
Typhoid fever (hereinafter referred to as typhoid) is an acute systemic infectious disease in the
intestine of the small intestine caused by Salmonella typhi. Typhoid fever is characterized by
symptoms of fever one week or more accompanied by disorders of the digestive tract with or
without impaired consciousness. The occurrence of typhoid fever is due to many factors
including age, gender, education, occupation, environmental sanitation, personal hygiene and
decreased endurance.Furthermore, factors that can cause a decrease in the body's immune system
include irregular sleep patterns, stress, dehydration, and a lack of balanced nutrition for the body.
Sleep is an important requirement for everyone, because by sleeping a person can restore stamina
and the formation of the immune system. From the data obtained by the authors, there are still
many who do not know the relationship between sleep patterns and typhoid disease and assume
that poor sleep patterns are not a problem. Even though according to the research that the author
can, poor sleep patterns can cause a weakening of the immune system which results in easy
bacteria or foreign objects to attack the body. Therefore, the authors took the initiative to educate
people who do not know the relationship between sleep patterns and typhoid so that people will be
more aware.
1. PENDAHULUAN
Dewasa ini tifoid masih menjadi penyakit yang sering menyerang mahasiswa.
Demam tifoid (selanjutnya disebut tifoid) merupakan penyakit infeksi sistemik yang bersifat
akut pada usus usus halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi(Nawawi et al. 2017).
Salmonella typhi merupakan bakteri Gram negatif yang tidak memiliki spora, bergerak
dengan peritrik, bersifat intraseluler fakultatif dan anaerob fakultatif. Ukuran bakteri ini
berkisar antara 0,7-1,5 x 2-5 µm. Bakteri ini juga memiliki antigen somatik, antigen flagel
dengan 2 fase dan antigen kapsul(Cita 2011).
Demam tifoid ditandai dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran(Ulfa et al. 2018).
Penularan demam tifoid dapat terjadi akibat adanya vector perantara , kebiasaan jajan , serta
perilaku individu tersebut. Perilaku hygiene tiap individu seperti memelihara kebersihan
tangan, kuku, gigi dan mulut, pakaian, sehingga tidak ada agent penyakit, merupakan aspek
penting yang dapat mempengaruhi kesehatan individu.(Maulina and Nanda 2017)
Beberapa gejala klinis yang sering terjadi akibat tifoid adalah demam, gangguan
pencernaan, gangguan kesadaran, hepatospenomegali, serta bradikardia relatif(Menteri
Kesehatan RI 2006). Prevalensi demam tifoid di Jawa Tengah sebesar 1,6%, dan tersebar di
seluruh Kabupaten/Kota dengan rentang 0,2 – 3,5% (Depkes RI, 2008). Menurut data SKDR
(Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon), sepanjang tahun 2016 di Jawa Tengah tercatat
sebagai provinsi dengan kasus penyakit suspek demam tifoid tertinggi yaitu sebanyak
244.071 kasus yang tersebar di seluruh Kabupaten/Kota. Terjadinya peningkatan jumlah
kasus demam tifoid disebabkan karena demam tifoid merupakan penyakit yang multifaktorial
artinya banyak faktor yang dapat memicu terjadinya demam tifoid antara lain umur, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, sanitasi lingkungan, personal hygiene, serta tempat tinggal si
penderita yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit tersebut(Ulfa et al. 2018). Adapaun
faktor risiko lain yang dapat menyebabkan tifoid adalah menurunnya daya tahan tubuh.
Dengan menurunnya sistem imun tubuh resistensi tubuh terhadap hal-hal asing yang
berbahaya bagi tubuh juga berkurang. Faktor yang dapat menyebabkan menurunnya sistem
imun tubuh antara lain pola tidur yang tidak teratur, stress, dehidrasi, dan kurangnya asupan
nutrisi yang seimbang bagi tubuh.
Tidur merupakan kebutuhan penting yang bagi setiap orang, karena dengan tidur
seseorang dapat memulihkan stamina tubuh dan pembentukan sistem imun(BOROWKA,
2013). Tidur terbagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Rapid Eye Movement (REM), dan tipe Non
Rapid Eye Movement (NREM). Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari
4 stadium, lalu diikuti fase REM(Potter & Perry, 2005). Keadaan tidur normal antara fase
NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-7 siklus semalam. Tipe NREM terbagi
menjadi 4 stadium yaitu stadium satu merupakan fase antara fase terjaga dan fase awal tidur,
stadium dua merupakan fase dimana tidur lebih dalam dari fase pertama dan bola mata sudah
berhenti bergerak, stadium tiga merupakan fase yang lebih dalam dari stadium dua, stadium
empat merupakan tidur yang sangat dalam dan pada fase ini seseorang akan sukar untuk
dibangunkan . Fase tidur NREM ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit,
setelah itu akan masuk ke fase REM. Fase REM berlangsung lebih singkat daripada fase
NREM(Japardi, 2002).
Kebutuhan tidur bervariasi pada setiap individu, umumnya 6-8 jam perhari untuk
mendapatkan kuantitas dan kualitas tidur yang efektif(Siregar, 2011). Bertambahnya usia
pola tidur seseorang akan mulai berubah. Hal tersebut dikarenakan banyaknya faktor yang
mempengaruhi seperti stress, kegiatan yang terlalu banyak, dan gangguan-gangguan lainnya.
Menurut the National Institute of Health (NIH) remaja dan dewasa muda telah diidentifikasi
sebagai golongan yang berisiko tinggi mengalami masalah tidur. Lalu pada golongan
mahasiswa juga dilaporkan memiliki prevalensi yang tinggi terhadap gangguan tidur atau
kualitas tidur yang buruk(Windari, Ginting, and Gayatri 2013). Kurangnya kualitas tidur
pada mahasiwa dapat menyebabkan mahasiswa tersebut mengalami kelelahan, penurunan
kinerja tubuh, kurangnya konsentrasi saat perkuliahan berlangsung, dan mengganggu
kesehatan tubuh karena menurunnya sistem imun tubuh. Berdasarkan uraian di atas, peneliti
berkeinginan untuk memberikan edukasi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret tentang pentingnya pola tidur untuk menjaga sistem imun tubuh supaya risiko
tifoid dapat berkurang.
2. METODE
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif.
Menurut Strauss & Corbin (1998) penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang tidak
dapat diperoleh atau dicapai dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara
lain dari penelitian secara kuantifikasi. Menurut Bogdan & Biklen , S (1992) penelitian
kualitatif merupakan salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif
berupa narasi (ucapan) ataupun sebuah tulisan dan perilaku orang yang diamati(Wahidmurni,
2017). Sehubungan dengan metode penelitian kualitatif yang digunakan oleh penulis,
menurut Wahidmurni (2017) , metode penelitian kualitatif merupakan penelitian yang
menghasilkan data berupa narasi (ucapan) yang bersumber dari wawancara dan pengamatan
yang nantinya akan menunjang penjelasan teoritis yang dibangun oleh penulis. Pada
penelitian kali ini sampel yang akan diuji dan diedukasi adalah mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Subjek dari penelitian akan diberi pertanyaan dan
diwawancarai. Kemudian hasil tersebut akan digunakan untuk dijadikan dasar pembahasan
dan dasar untuk edukasi terkait masalah yang ditulis oleh penulis.
Tabel 1. Rentang usia dan kebutuhan durasi tidur menurut Hirshkowitz et al (2015)
Rentang Usia Durasi tidur
Usia 0-3 bulan 14 sampai 17 jam
Usia 4-11 bulan 12 sampai 15 jam
Usia 1-2 tahun 11 sampai 14 jam
Usia 3-5 tahun 10 sampai 13 jam
Usia 6-13 tahun 9 sampai 11 jam
Usia 14-17 tahun 8 sampai 10 jam
Usia 18-25 tahun 7 sampai 9 jam
Usia 26-64 tahun 7 sampai 9 jam
Usia ≥65 tahun 7 sampai 8 jam
Adapaun sumber lain berpendapat bahwa seseorang merasa cukup dengan tidur
selama 5 jam tiap malamnya (Kozier, 2004).
Apabila seseorang memiliki tidur yang berkualitas maka pada keesokan harinya
seseorang tersebut akan leibh bersemangat dalam melakukan aktivitas dan tubuh juga tidak
akan merasakan kelelahan yang berarti karena tubuh sudah mendapatkan istirahat yang
cukup.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan wawancara dan hasil penelitian yang penulis lakukan mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret masih banyak yang belum mengetahui
dengan pasti bagaimana hubungan antara pola tidur yang buruk dengan penyakit tifoid
dikarenakan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret belum tahu dan
masih menganggap bahwa pola tidur yang buruk adalah hal yang biasa dan tidak
berpengaruh terlalu buruk terhadap tubuh.
Lalu faktor-faktor yang mempengaruhi buruknya pola tidur mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret selain karena stress akan padatnya jadwal kuliah juga
dikarenakan banyaknya kegiatan yang mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret ikuti baik itu kegiatan kepanitiaan maupun perlombaan dan lainnya. Faktor-faktor
tersebut secara tidak langsung mempengaruhi pola tidur dengan cara mengurangi durasi
waktu tidur dari mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
5. SARAN
Sehubungan dengan data yang didapatkan, kurangnya edukasi dan pemahaman
tentang pentingnya pola tidur dan hubungannya dengan penyakit tifus adalah kendala utama
pada masalah yang diangkat penulis. Oleh karena itu, penulis akan berusaha melakukan
edukasi terhadap mahasiswa yang belum sadar akan hubungan pola tidur dengan penyakit
tifoid sehingga mahasiswa tersebut tidak akan meremehkan begitu saja pola tidurnya yang
kurang baik. Selanjutnya tidak hanya mengedukasi tentang pentingnya pola tidur saja tetapi
penulis juga akan mengedukasi faktor-faktor lainnya yang penting untuk menjaga kesehatan
tubuh sehingga risiko penyakit tifoid akan berkurang.
6. DAFTAR PUSTAKA
Perry, and Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik.
6(4). Jakarta: EGC.
Cita, Yatnita Parama. 2011. “Bakteri Salmonella Typhi Dan Demam Tifoid.” Jurnal Kesehatan
Masyarakat 6(1): 42–46.
Rahmat, Pupu Saeful. 2009 "Penelitian Kualitatif” : 1–8.
Maulina, and Syilvie De Nanda. 2017. “The Difference of the Knowledge between Male and
Female Students on the Prevention of Typhoid Disease.” Idea Nursing Journal VIII(2): 50–
55.
Menteri Kesehatan RI. 2006. “‘Documentslide.Com_Kmk-No-364-Ttg-Pedoman-Pengendalian-
Demam-Tifoidpdf.Pdf.’” : 20–35.
Nawawi, Stephen et al. 2017. “Program Pengendalian Demam Tifoid Di Indonesia: Tantangan
Dan Peluang.” Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 26(2): 99–108.
Wahidmurni. 2017. "PEMAPARAN METODE PENELITIAN KUALITATIF" : 1–17.
Ulfa, Farissa et al. 2018. “HIGEIA JOURNAL OF PUBLIC HEALTH.” 2(2): 227–38.
Windari, Hestiani, Br Ginting, and Dewi Gayatri. 2013. “Pendahuluan Metode Hasil
Penelitian.” : 1–9.
Japardi, Iskandar. 2002 "GANGGUAN TIDUR" USU digital library :1-11
Siregar, Mukhlidah Hanun. 2011 "Mengenal sebab-Sebab,Akibat-Akibat, dan Cara Terapi
Insomnia". Yogyakarta: FlashBooks
7. Lampiran
NOTES :
Pertanyaan 2 : Seberapa pentingkah menurut anda pola tidur yang teratur itu?
Pertanyaan 3 : Apa saja yang anda ketahui tentang dampak negatif dari pola tidur yang buruk?
Pertanyaan 5 : Menurut anda apakah pola tidur dan penyakit tifoid berhubungan? Sebutkan alasannya!