You are on page 1of 11

ILMU DALAM KAJIAN TAFSIR

Sigit Suhandoyo

Pendahuluan
Al Qur’an al karim mendudukkan ilmu pada posisi yang tinggi. Ilmu
dipandang sebagai sebuah jalan yang menghantarkan manusia dalam posisi
yang terhormat. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala pada surat al Mujadilah
ayat 11,
َ َ ُ َ ُ‫ََْ هُ ه َ َُ ُْ ْ َ ه َ ُ ُ ْ ْ َ ََ َ َ ه‬
‫َّللا ِب َما ت ْع َملون خ ِبير‬‫ات و‬
ٍ ‫يرف ِع َّللا ال ِذين آمنوا ِمنكم وال ِذين أوتوا ال ِعلم درج‬
“….niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ketinggian derajat Allah berikan kepada orang berilmu diantaranya
karena Allah mensifati ilmu sebagai sifat diri-Nya. Dalam al Qur’an Allah
menetapkan diri-Nya sebagai satu-satunya pemilik ilmu yang sempurna serta
menyandarkan ilmu kepada diri-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam
surat al baqarah 216: ‫“ وهللا يعلم وأنتم ال تعلمون‬Allah mengetahui sedang kamu
tidak mengetahui”, atau dalam surat ali Imran ayat 167: ‫وهللا أعلم بما يكتمون‬, “dan
Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan”. Juga dalam surat al
Baqarah ayat 95 “‫”وهللا عليم بالظاملين‬, “dan Allah Maha Mengetahui orang-orang
yang berbuat aniaya”. Ayat-ayat ini menunjukkan makna seolah-olah ilmu
merupakan kekuasaan (qudrah) dan kehendak (iradah) Allah ta’ala, dan manusia
tak punya daya upaya melainkan menerima realitas tersebut.
Menurut sayyid Quthb, derajat kemuliaan orang beriman itu
berbanding lurus kemampan mereka memposisikan ciptaan Allah itu sebagai
sarana pencerahan (tanwir) dan pembuka mata hati (tabshir)1. Atau dengan kata
lain kemuliaan itu tergantung kepada kemampuan mereka mengambil pelajaran
atas informasi-informasi ilmiah yang diperoleh baik melalui wahyu maupun
ayat-ayat kauniyah
Ketinggian derajat manusia atas penguasaan ilmu juga disebabkan
karena factor keluasan dan kedalaman ilmu yang Allah turunkan kepada
manusia. Hal ini tertera dalam firman-Nya pada surat al Kahfi ayat 109, dan surat
luqman ayat 27,

1
Sayyid Quthb, Fii Dzilalil Qur’an, (Cairo: Daarus Syuruq, 1412 H), vol 1, hlm 50.
ْ َ ُ ‫ان ْال َب ْح ُر م َد ًادا ل َكل َمات َ بي َل َنف َد ْال َب ْح ُر َق ْب َل َأ ْن َت ْن َف َد َكل َم‬
‫ات َرِبي َول ْو ِج ْئ َنا ِب ِمث ِل ِه َم َد ًدا‬ َ ‫ُق ْل َل ْو َك‬
ِ ِ ِ‫ِ ِ ِ ر‬ ِ
“Katakanlah: "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-
kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-
kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).
‫ات هَّللا إنه‬ ُ ‫اْل ْ ض م ْن َش َج َرة َأ ْق ََلم َو ْال َب ْح ُر َي ُم ُّد ُه م ْن َب ْعده َس ْب َع ُة َأ ْب ُحر َما َنف َد ْت َكل َم‬ َْ ‫ََ ْ َه‬
ِِ ِ ِ ٍ ِِ ِ ٍ ِ ِ ‫و هل َو أ َن َما ِفي َ ر‬
‫َّللا ع ِزيز ح ِكيم‬
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan
habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.”
Ayat-ayat ini menggambarkan betapa luas kandungan ilmu-ilmu yang
diturunkan Allah baik yang terdapat dalam ayat-ayat Qur’aniah maupun dalam
ayat-ayat kauniah. Oleh karena itu, tidak heran jika para ulama dan para filosof
muslim sejak zaman dahulu menjadikan al-Qur’an sebagai sumber ilmu
pengetahuan. Para filosof muslim telah mengajukan berbagai argumen bahwa
al-Qur’an bukan hanya tidak bertentangan tetapi justru sesuai dengan konsep-
konsep pemikiran filsafat, bahkan ia menjadi sumber berbagai ilmu
pengetahuan. asy Syinqithi mengambarkan bahwa, “sesungguhnya kalimat Allah
itu tak memiliki batas, ia akan senantiasa tinggi dan mendominasi.”2
Sebagai wahyu ilahiyyah al Qur’an mencakup seluruh dimensi
kehidupan manusia, baik sebagai makhluk individual maupun makhluk sosial.
Termasuk di dalamnya aspek ilmu pengetahuan. Dalam Islam meski ilmu
bermula dari keinginan untuk memahami wahyu yang terkandung dalam al
Qur’an, namun pembicaraan tentang ilmu dalam al Qur’an tidaklah hanya
menyangkut perkara akhirat semata, melainkan pula perkara keduniawian.
Sehingga meskipun secara etimologis al Qur’an berarti bacaan, tetapi fungsinya
tidaklah hanya sebatas bacaan saja, melainkan sebagai media dialog dan
bertafakur. Dengan demikian memungkinkan terjadinya pembentukan pola fikir
Qur’ani dan akhlaq Qur’ani pada diri manusia. sebagaimana sebuah hadits yang
diriwayatkan dari sa’di ibn Hisyam ketika ia bertanya kepada ‘Aisyah ra, tentang
akhlaq nabi lalu beliau menjawa bahwa akhlaq nabi adalah al Qur’an.3

2
Muhammad al Amiin asy Syinqithi, Adhwaul Bayan, (Beirut: Daar al Fikr, 1415 H), vol 3, hlm 355.
3
HR Imam Ahmad, Musnad al Imam Ahmad ibn hanbal, (Beirut: Muassasatu ar Risalah, 1421 H), vol 41, hlm
148 hadits no 24601.
Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut di atas, maka
pembahasan makalah ini akan ditujukan untuk mengkaji pengertian ilmu dalam
al Qur’an melalui pendekatan filosofis.

Pengertian Ilmu
Secara bahasa ilmu berasal dari ْ bahasa Arab yang akar katanya terdiri
dari huruf (‫م‬-َ ‫ل‬-‫ )ع‬yang bermakna “‫يض ال َج ْه ِل‬ ُ ‫ َ”ن ِق‬4 atau lawan dari kebodohan.
Dikatakan َ “‫”ع ِل َم َي ْْع َل ُم‬
َ berarti mengetahui dengan pasti atau meyakini, ia juga bisa
berarti “‫ ”امل ْع ِرف ِة‬pengetahuan.5 Al Jurzani menuliskan bahwa ilmu adalah,
“‫ ”االعتقاد الجازم املطابق للواقع‬keyakinan yang kokoh terkait erat dengan realitas,
dikatakan pula ilmu adalah “‫ ”حصول صورة الش يء في العقل‬mendapatkan gambaran
sesuatu dengan kemampuan akal.6 Ada pula yang membedakan antara ilmu dan
keyakinan, keyakinan adalah “‫”العلم بالش يء بعد النظر واالستدالل‬7 mengetahui
sesuatu setelah meneliti dan membuat hipotesa.
Selain ilmu, dalam al Qur’an disebutkan beberapa terminologi yang
terkait dengan ilmu, seperti, jahl, syak serta dzhan. Jahl atau kebodohan adalah
“‫ واعترضوا عليه‬،‫ ”اعتقاد الش يء على خَلف ما هو عليه‬atau meyakini sesuatu tetapi
bertentangan dengan hakikat yang sebenarnya atau menyanggah hakikat yang
sebenarnya.8 Hal ini berarti kebodohan merupakan sebuah perilaku yang
menyimpang dari kebenaran karena unsure ketidak-tahuan atas sebuah hakikat.
Sedangkan syak atau keraguan adalah “ ‫التردد بين النقيضين بَل ترجح ْلحدهما على‬
‫ ”اآلخر‬kebimbangan antara dua perkara yang berlawanan dengan tidak
mengunggulkan salah satu diantara kedua perkara tersebut. Ia juga berarti
“‫ ”الوقوف بين الشيئين ال يميل القلب إلى أحدهما‬berhenti antara dua hal yang tidak
menjadikan hati cenderung kepada salah satunya.9 Adapun dzhan atau
prasangka adalah “‫ ويستعمل في اليقين والشك‬،‫”االعتقاد الراجح مع احتمال النقيض‬

4
Ahmad bin Faris bin Zakaria al Qazwini ar Razi, Mu’jam Maqayis al Lughah, Beirut : Daar al Fikr, 1399 H,
4/109.
5
Ahmad bin Muhammad bin Ali al Fayumi, tt, al Misbah al Munir fi Gharib asy Syarh al Kabir, Beirut : al
Maktabah al Ilmiyah, 2/427.
6
Ali bin Muhammad bin Ali az Zain as Syarif al Jurjaniy, 1403 H, Kitab at Ta’rifat, Beirut : Daar al Kutub al
Ilmiyyah, 1/156
7
Ibid, 1/159.
8
Ibid, 1/80.
9
Ibid, 1/128.
atau keyakinan yang lebih disukai dengan kemungkinan yang berlawanan, dan
berbuat diantara keyakinan dan keraguan. 10
Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat kita simpulkan bahwa ilmu
adalah suatu kesesuaian antara pengetahuan dengan hakikat yang sebenarnya
dari sebuah obyek, peristiwa maupun fenomena. Sedangkan kebodohan adalah
situasi bertolak belakangnya pengetahuan dengan hakikat yang sebenarnya dari
sebuah obyek. Sedangkan syak adalah pertengahan antara ilmu dan kebodohan
dimana sehingga tidak ada sebuah tindakan apapun dari informasi yang
dimilikinya, dan prasangka adalah kecenderungan terhadap salah satu hal dari
dua hal yang bertentangan tersebut namun kecenderungan itu tidak berdasarkan
sebuah metodologi, sehingga memungkinkan mengambil keputusan yang
diambil bisa benar maupun salah.
Dalam al Qur’an kata (‫م‬-‫ل‬-‫ )ع‬terdapat dalam banyak tempat, jika
digabungkan dengan derivasinya terdapat 854 kali penyebutan kata ini.11 Dari
kata –kata itu timbul berbagai macam pengertian, seperti: mengetahui,
pengetahuan, orang yang berpengetahuan, yang tahu, terpelajar, paling
mengetahui, memahami, mengetahui segala sesuatu, lebih tahu, sangat
mengetahui, cerdik, mengajar, belajar, orang yang menerima pelajaran/diajari,
mempelajari; juga pengertian-pengertian seperti tanda (‘alam), alamat, tanda
batas, tanda peringatan, segala kejadian alam, segala yang ada, segala yang dapat
diketahui, dll.
Menurut Ibnu ‘Adil, lafadz ilmu dalam alQur’an digunakan
pemakaiannya untuk dalam 4 hal,12 pertama, ilmu adalah al Qur’an hal ini
sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat Ali Imran ayat 61,
‫َف َم ْن َح ه‬
‫آج َك ِف ِيه ِمن َب ْع ِد َما َج َآء َك ِم َن العلم‬
“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang
meyakinkan kamu),….”
Kedua, ilmu adalah Nabi Sholallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagaimana
firman Allah ta’ala dalam surat al Jatsiyah ayat 17,

10
Ibid, 1/144.
11
lihat Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfadzhil Qur’an, (Beirut: Daar al Fikr, 1407 H), hlm
469-481.
12
Abu Hafs Sirajuddin Umar bin adil al Hanbali an Nu’many, 1419 H, al Lubab fi Ulumil Kitab, Beirut : Daar al
Kitab al Araby, 5/283.
‫وآتيناهم بينات من اْلمر فما اختلفوا إال من بعد ما جاءهم العلم بغيا بينهم إن ربك يقض ي‬
‫بينهم يوم القيامة فيما كانوا فيه يختلفون‬
“Dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang
urusan (agama); maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada
mereka pengetahuan karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.”
Ketiga, ilmu adalah ilmu kauniyah atau ilmu yang terkait dengan cara
memperoleh kesuksesan di dunia, sebagaimana dalam kisah Qarun pada surat al
Qashas ayat 78,
‫قال إنما أوتيته على علم عندي أولم يعلم أن هللا قد أهلك من قبله من القرون من هو أشد‬
‫منه قوة وأكثر جمعا وال يسأل عن ذنوبهم املجرمون‬
“Qarun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada
padaku". Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah
membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih
banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang
yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.”
Kempat, ilmu adalah kemusyrikan, sebagai perlambang ilmu yang
menyesatkan. Allah ta’ala berfirman dalam surat al Ghafir ayat 83,
‫فلما جاءتهم رسلهم بالبينات فرحوا بما عندهم من العلم وحاق بهم ما كانوا به يستهزئون‬
“Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka
dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan
pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh adzab Allah yang
selalu mereka perolok-olokkan itu.”
Dengan demikian ilmu yang diserukan dalam al Qur’an al Karim adalah
ilmu dengan pemahamannya yang menyeluruh, mengatur segala hal yang
berkaitan dengan kehidupan manusia dalam segala aspeknya baik kehidupan
fisik, pemikiran dan spiritualnnya. Dalam pengertian ini maka yang dimaksid
ilmu dalam Islam adalah sebuah kebenaran yang bersumber dari al Qur’an dan
sunnah dan dibangun di atasnya, serta tidak hanya yang terkait dengan ayat-ayat
qauliyah saja, melainkan pula kauniyyah, yang menjamin kesuksesan hidup di
dunia
ْ dan di akhirat. Pemikiran ini sebagaimana tersirat dalam tafsir asy Sya’rawi,
َُْ
“ ‫ ِعلم‬،‫ْلن رسول هللا سيحتاج إلى علم تقوم عليه حركة الحياة من لدنه إلى أن تقوم الساعة‬
‫ ”يشمل اْلزمنة واْلمكنة‬13 Dalam pengertian lain, bahwasanya Rasulullah saw
menginginkan ilmu yang dapat tegak diatas pergerakan kehidupan hingga waktu

13
Muhammad Mutawaliy asy Sya’rawiy, 1997, Tafsir asy Sya’rawiy, Mesir : Muthabi’ Akhbar al Yaum, 15/9415.
yang telah ditetapkan, ilmu yang sempurna melingkupi seluruh zaman dan
tempat. Hal ini dapat terjadi jika ilmu tersebut berasal dari zat yang Maha Hidup
dan Abadi, serta dasar-dasar ilmu tersebut memungkinkan terbukanya at
tadayyun, ijtihad dan pembaharuan (ibda’).
Menurut al Qatthan, “ Allah ta’ala tidak memerintahkan Rasulullah
menambah sesuatu dalam kehidupannya kecuali dengan ilmu”14, sehingga
seluruh perubahan dalam prikehidupan seorang muslim berada dalam
perputaran ilmu. Hal ini sesuai dengan fungsi al Qur’an sebagai kitab al istikhlaf,
kitab yang mengatur seluruh kehiduan manusia di bawah naungannya,
membangun peradaban dunia, menciptakan ketenangan, kedamaian dan
keteraturan dunia.
Selanjutnya al Qatthan menjelaskan, “ ‫ولقد قام االسَلم على العلم والتعلم‬
‫املسيطرة في الوقت الحار‬ ِ ‫ وبالعلم سيطرت اْلمم‬،‫ ”من بدايته‬sesungguhnya sejak
awalnya Islam telah tegak atas ilmu dan pengajaran, sebab dengan ilmulah
kepemimpinan atas bangsa-bangsa akan diraih dalam waktu yang dekat.15
Pendapatnya ini menjelaskan dimensi tujuan dari ilmu bagi ummat Islam, yaitu
untuk meninggikan kalimat Allah hingga tidak ada fitnah dimuka bumi, tercipta
kedamaian dan ketentraman hidup didunia yang bermuara kepada ketentraman
hidup di akhirat.
Ibnul Jauzi
ً ketika menafsirkanً surat Thoha ayat 114 mendefinisikan16
ilmu sebagai “‫ ”قرآنا‬al Qur’an, “‫ ”فهما‬pemahaman dan “‫ ً ”حفظا‬hafalan. ً
Sebagaimana
ْ pendapat Ibnu Abbas ra, bahwa maksudnya adalah “ ‫وفهما‬ ‫حفظا‬
‫ َ”وحكما ِبال ُق ْر ِآن‬hafalan, pemahaman dan hukum-hukum berdasarkan al Qur’an.17
Diriwayatkan pula bahwa Ibnu Mas’ud ra, ketika membaca ayat ini
mendefinisikannya sebagai “‫ ِ”إ َيم ًانا وفقها ويقينا وعلما‬keimanan, kefahaman,
keyakinan dan pengetahuan.18
Pengertian lain tentang ilmu adalah sebagaimana yang dikemukakan ً
oleh Al Mawardi, ia berpendapat bahwa ilmu, adalah: pertama, “‫”أدبا في دينك‬ ً
tatacara dalam agama. Kedua, “ ‫ ْلن الصبر يسهل‬, ‫صبرا على طاعتك وجهاد أعدائك‬

14
Ibrahim al Qatthan, tt, Taisir at Tafsiir, naskah tanpa penerbit, 2/422.
15
ibid
16
Jamaluddin Abul Faraj Abdurrahman bin Ali bin Muhammad al Jauzy, 1422H, Zaadul Masiir fi Ilmi Tafsir,
Beirut : Daar al Kitab al Araby, 3/178.
17
Majduddin Abu Thohir Muhammad bin Ya’qub al Fairuz Abady, tt, Tanwir al Muqabbas min Tafsir Ibnu
Abbas, Libanon : Daar al Kutub al Ilmiyyah, 1/267.
18
Abu Hafs Sirajuddin Umar bin adil al Hanbali an Nu’many, op.cit, 13/400.
‫ ”بوجود العلم‬shabar dalam ketaatan dan melawan penghalang, karena ً dengan
‫ل‬
kesabaran ilmu akan diraih. Ketiga, “‫ ”علما بقصص أنبيائك ومناز أوليائك‬ilmuً
tentang kisah para nabi dan yang kedudukan mereka. Dan terakhir, “ ‫علما بحال‬
‫ ”أمتي وما تكون عليه من بعدي‬pengetahuan tentang perihal ummat manusia dan
apa yang terjadi di masa depan.19
Pengertian-pengertian tersebut menjelaskan bahwa rancang bangun
ilmu dalam al Qur’an adalah meliputi hafalan-hafalan konseptual, paradigma
atau kerangka berfikir atas konsep-konsep tersebut dan tataran penerapan atau
aplikasi dalam bentuk aturan-aturan hukum. ilmu itu dapat berupa warisan masa
lampau maupun isyarat akan perabadan di masa depan. Dengan pengarahan ini
al Qur’an menjadi dasar sekaligus membuka pintu ilmu, memerdekakan akal dan
fikiran serta mendorong mengadakan pengkajian, penelitian dan uji coba yang
bersifat sistemik dan terencana.

Sumber Ilmu Pengetahuan


Ayat-ayat al-Qur’an mengisyaratkan bahwa pengetahuan dapat
diperoleh manusia setidaknya dari tiga sumber, yaitu: Pertama, alam jagat raya
ini, yakni semua realitas yang ada di jagat alam semesta merupakan sumber
pengetahuan bagi manusia. Pengetahuan tentang realitas alam raya ini dapat
dikatakan sebagai pengetahuan empiris. Misalnya firman Allah ta’ala dalam surat
Yunus ayat 101, َ َ َْ َ َ َ ‫ه‬
‫الن ُذ ُر َع ْن ق ْو ٍم ال ُي ْؤ ِم ُنو َن‬ ُ ‫اْل ْ ض َو َما ُت ْغني ْاآل َي‬
ُّ ‫ات َو‬ َ ُ ْ ُ
ِ ِ ‫ات و ر‬ِ ‫ق ِل انظ ُروا َماذا ِفي السماو‬
“Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah
bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan
bagi orang-orang yang tidak beriman".”
Kedua, akal pemikiran manusia sendiri, yakni dengan menafsirkan dan
mengembangkan fenomena alam itu menjadi rumusan-rumusan teori ilmu
pengetahuan yang berguna bagi manusia. Pengetahuan yang bersumber dari
akal ini dapat disebut sebagai pengetahuan rasional, dan sekaligus sebagai
pengetahuan fenomenologis. Hal ini tersirat misalnya dalam surat al Hadid ayat
17, dan surat al Mu’min ُ ayatَ 67,
ُ ‫ْ َ ُ َ ه ه َ ُ ْ ْ َْ َ َ ْ َ َ ْ َ َ ْ َ ه ه َ ُ ُ ْ َ َ ه‬
‫ات ل َعلك ْم ت ْع ِقلو َن‬ ِ ‫اعلموا أن َّللا يح ِي اْلرض بعد مو ِتها قد بينا لكم اآلي‬

19
Abul Hasan Ali bin Muhammad al Bashary al Baghdady al Mawardy, tt, an Nukat wal Uyun, Beirut : Daar al
Kutub al Ilmiyyah, 3/429.
“Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah
matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda
kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya.”
‫ُه َو هال ِذي َخ َل َق ُك ْم ِم ْن ُت َراب ُث هم ِم ْن ُن ْط َف ٍة ُث هم ِم ْن َع َل َق ٍة ُث هم ُي ْخر ُج ُك ْم ِط ْف ًَل ُث هم ِل َت ْب ُل ُغوا َأ ُش هد ُك ْم ُثمه‬
ُ َ ُ‫ِ َ ه‬ ً َ ُ َ ‫ُ ٍ ه‬ ً ُ ُ ُ َُ
‫وخا َو ِم ْنك ْم َم ْن ُي َت َوفى ِم ْن ق ْب ُل َوِل َت ْبل ُغوا أ َجَل ُم َس ًّمى َول َعلك ْم ت ْع ِقلو َن‬ ‫ِلتكونوا شي‬
“Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes, air mani,
sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang
anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa
(dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada
yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai
kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami (nya).”
Ketiga, sumber pengetahuan yang berasal dari wahyu, yaitu
pengetahuan yang diturunkan langsung oleh Tuhan melalui para nabi dan rasul-
Nya. Hal ini sebagaimana tersirat dalam firman Allah ta’ala dalam surat asy Syura
ayat 52,ْ
ً ‫ان َو َل ِك ْن َج َعل َن ُاه ُن‬
‫ورا‬ ُ ‫اب َوَال ْاْل َيم‬ ُ ‫وحا ِم ْن َأ ْمرَنا َما ُك ْن َت َت ْدري َما ْال ِك َت‬ ً ‫َو َك َذل َك َأ ْو َح ْي َنا إ َل ْي َك ُر‬
ِ َ ْ ُ ِ َ َ ْ َ َ ِ َ ‫ه‬ َ َ َ ْ ُِ َ َ ْ َ ِ َْ
‫اط مست ِق ٍيم‬ ٍ ‫نه ِدي ِب ِه من نشاء ِمن ِعب ِادنا و ِإنك لته ِدي ِإلى ِصر‬
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur'an) dengan
perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al
Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al
Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di
antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi
petunjuk kepada jalan yang lurus.”

Metode Memperoleh Ilmu dalam al Qur’an


Terdapat beberapa metode memperoleh ilmu pengetahuan dalam al
Qur’an, diantaranya adalah, Pertama, metode pengamatan inderawi atau dapat
pula disebut sebagai metode empiris, hal ini sebagaimana tersirat diantaranya
pada firmanً Allah ta’alaَ dalam surat al Isra ayat 36, dan surat al A’raf ayat 79, َ
‫ان َع ْن ُه َم ْس ُئوال‬ َ ‫ص َر َو ْال ُف َؤ َاد ُك ُّل ُأ َولئ َك ك‬
َ ‫الس ْم َع َو ْال َب‬
‫ه‬ ‫س َل َك به ع ْلم إ ه‬
‫ن‬ َ ‫ي‬ْ ‫ف َما َل‬ ُ َْ َ
‫وال تق‬
ِ ِ ِ ِِ
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan dimintaَ pertanggungan jawabnya.”
َ ‫َو َل َق ْد َذ َ ْأ َنا ل َج َه هن َم َكث ًيرا م َن ْالجن َو ْاْل ْنس َل ُه ْم ُق ُلوب َال َي ْف َق ُهو َن ب َها َو َل ُه ْم َأ ْع ُين ال ُي ْبص ُر‬
َ‫ون بها‬
ِ ِ ُ ِْ َ ُ َ َ ْ ُ ْ َ ِ َ ِ ْ َ ْ َ ِ َ ِ َ ُ ِ َ َ ِ ُ َ ْ َ ِ َ ‫َ َ ُ ْ َر‬
‫ض ُّل أول ِئ َك ُه ُم ال َغا ِفلو َن‬ ‫ولهم آذان ال يسمعون ِبها أول ِئك كاْلنع ِام بل هم أ‬
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin
dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
Kedua, melalui analisa pemikiran logis dan rasional. Pengarahan Allah
atas metode ini tertera dalam firman Allah ta’ala diantaranya dalam surat al
Baqarah ayat 111, dan surat an Naml ayat 64,
َ‫يل َك ْم َآت ْي َن ُاه ْم م ْن َآية َبي َنة َو َم ْن ُي َبد ْل ن ْع َم َة هَّللا م ْن َب ْعد َما َج َاء ْت ُه َفإ هن هَّللا‬ َ ‫َس ْل َبني إ ْس َرا ِئ‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ ٍ ِ َ ِ ْ ُِ َ
‫اب‬ ِ ‫ش ِديد ال ِع‬
‫ق‬
“Tanyakanlah kepada Bani Israel: "Berapa banyaknya tanda-tanda (kebenaran)
yang nyata, yang telah Kami berikan kepada mereka". Dan barang siapa yang
menukar ni`mat Allah setelah datang nikmat itu kepadanya, maka sesungguhnya
Allahُ sangat kerasُ siksa-Nya.”
َ ُ ‫َ ه ْ َ ْ َ ُ ْ َ ْ َ ُ ه ُ ُ ُ َ َ ْ َ ْ ُ ُ ُ ْ َ ه َ َ ْ َْ َ َ َ َ ه‬
‫َّللا ق ْل َهاتوا ُب ْر َهانك ْم ِإ ْن‬ ِ ‫ض أ ِإله مع‬ ِ ‫ُأ ْم ُن ْ يب َدأ الخ َلق ثم ي ِعيده ومن يرزقكم ِمن السم ِاء واْلر‬
‫كنتم ص ِاد ِقين‬
“Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian
mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari
langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)?. Katakanlah:
"Unjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar".”
Ketiga, metode memperoleh ilmu melalui proses penyucian jiwa atau
tazkiyah, petunjuk tentang ini tertuang dalam al Qur’an terkait penolakan
terhadap kebenaran karena kekotoran jiwa manusia. Manusia tidak memperoleh
ilmu bukan karena ketiadaan pengetahuan tentang hal ini melainkan karena
hambatan psikologis. Allah ta’ala berfirman dalam surat al Baqarah ayat 146 dan
surat al maidah ayat 83,
ْ‫اب َي ْعر ُف َون ُه َك َما َي ْعر ُفو َن َأ ْب َن َاء ُه ْم َوإ هن َفر ًيقا م ْن ُه ْم َل َي ْك ُت ُمو َن ْال َح هق َو ُهم‬
َ ‫ين َآت ْي َن ُاه ُم ْال ِك َت‬َ ‫هالذ‬
ِ ِ ِ ِ ِ َ‫َ ْ ِ َ ُ ن‬
‫يعلمو‬
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan
Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan
sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran,
padahal mereka mengetahui.”
َ ُ ْ ُ َ ْ َ ُ ْ َ َ ُ ‫َ َ َ ُ َ ُ ْ َل َ ه‬
‫الد ْم ِع ِم هما َع َرفوا ِم َن ال َح ِق َي ُقولون َرهب َنا‬
‫يض م َن ه‬
ِ ُ ‫الرسو ِل ت َرى أعين ُهم ت ِف‬ ‫و ِإذا َس ْ ِمعوا ما أن ِز إلى‬
َ‫الش ِاهدين‬
‫َُْ َ َ ه‬
‫َآم هنا فاكتبنا مع‬
ِ ِ
“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul
(Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan
kebenaran (Al Qur'an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka
sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami
bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur'an dan
kenabian Muhammad saw.)”

Fungsi Ilmu dalam al Qur’an


Diantara fungsi ilmu yang tertera dalam al Qur’an adalah sebagai
berikut, Pertama, Ilmu sebagai faktor keimanan. hal ini sebagaimana firman Allah
ta’ala dalam ‫ َ َ ه ه‬surat ali Imran ayat 7
َ َ َ َ ُ ُ َ ُ َ َ ْ ُّ ُ ‫ُ َ ه َ ْ َ َل َ َ ْ َ ْ َ َ ْ ُ َ ُ ْ َ َ ُ ه‬
‫اب ْ وأخر متش ِاب َهات ْفأ َما ال ِهذين ِفي‬ ‫هو الذي أنز عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم الكت‬
ُ ‫ُق ُلوبه ِْم َزْيغ َف َي هتب ُعو َن َ ِما َت َش ِ َاب َه م ْن ُه ْابت َغ َاء ْالف ْت َنة َو ْابت َِغ َاء ِ َتأويله َو َما َي ْعل ُم َتأويل ُه إال ه‬
‫َّللا‬ ِ ِ َ ْ ُ ِ ُ ِ ِ ‫َ ه ِ ِ ُ َ ْ ِ ْ َ ُ ُ َ َ ه ِ ُ ٌّ ِ ْ ْ ِ َ َ ِ َ َ ِ َ ه ه ُ ه‬
َ ‫اْل ْل‬
‫اب‬
ِ ‫ب‬ ‫اسخون ِفي ال ِعل ِم يقولون آمنا ِب ِه كل ِمن ِعن ِد رِبنا وما يذكر ِإال أولو‬ ِ ‫والر‬
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya
ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang
mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya,
padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang
yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil
pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
Kedua, Ilmu sebagai fondasi ketaqwaan, hal ini sebagaimana firman
Allah ta’ala dalam surat al Baqarah ayat 187 dan َ‫ ُ ن‬surat ‫ َ ه‬fathir
َ ‫ ه‬ayat 28,
‫ه‬ َ ْ ُ
‫اع لعلهم يتقو‬ َ ُ‫َ َ َ َُ ُ ه‬
ِ ‫…كذ ِلك يب ِين َّللا آيا ِت ِه ِللن‬
“….. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya
mereka bertakwa.”
َ ‫َّللا م ْن ع َباده ا ْل ُع َل َم ُاء إ هن ه‬َ ‫الد َو َ ْ َ ْ َ ُ ْ َ َ ْ َ ُ ُ َ َ َ ه َ ْ َ ه‬ ‫الناع َو ه‬ ‫َ َ ه‬
‫َّللا‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫اب واْلنع ِام مخت ِلف ألوانه كذ ِلك ِإن َما يخش ى‬ ِ ِ ُ َ ‫َو ِمن‬
‫ع ِزيز غفور‬
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan
binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.”
Ketiga, ilmu sebagai faktor pembangunan. Sebagaimana firman Allah
ta’ala dalam surat saba ayatْ 10-11,
َ َ ْ َْ َ َ َ ُ َ ‫ُ هْ ََ ه‬ َ ُ َ َ ًْ َ ‫َََ ْ ََْ َ ُ َ ه‬
ٍ ‫) أ ِن اعمل س ِابغ‬01( ‫ال أ ِو ِب َي َم ُ َعه َ َوالطي َر َوألنا له الح ِديد‬
‫ات‬ ‫ولَقد آتينا داوود ِمنا ُ فضَل يا ِجب‬
‫ص ِال ًحا ِإ ِني ِب َما ت ْع َملون َب ِصير‬ ْ ‫الس ْرد َو‬
َ ‫اع َملوا‬ َ
ِ ‫وق ِد ْر ِفي ه‬
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud karunia dari Kami. (Kami
berfirman): "Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-
ulang bersama Daud", dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu)
buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah
amalan yang shaleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan.”
Wallahu a’lam bishowab

Hasbunallah wa ni’mal wakil


Jakarta, Mei 2014

You might also like