You are on page 1of 11

URGENSI PENDIDIKAN

Sigit Suhandoyo, MA

A. PENDAHULUAN
Diutusnya Nabi Muhammad saw menandai permulaan perubahan besar
dalam peradaban manusia akhir zaman. Sejak turunnya wahyu pertama --
permulaan surat al-‘Alaq1--, agama Islam telah menyerukan pembebasan akal
dari belenggu-belenggu khurafat, taqlid dan kebekuan proses berfikir. Abul
Hasan an Nadawi mengemukakan,
‫ فرارا‬،‫ و ال ذوا إلى األديرة و الكنائس و الخلوات‬،‫و قد انسحب رجال الدين من ميدان الحياة‬
ً ً
‫ و فرارا من تكاليف الحياة و‬،‫ أو رغبة إلى الدعة و السكون‬،‫بدينهم من الفتن وضنا بأنفسهم‬
ً
‫ و من بقى منهم في تيار الحياة‬،‫ أو فشال في كفاح الدين و السياسة و الروح و املادة‬،‫جدها‬
‫ و أكل أموال الناس‬،‫ و عاونهم على إثمهم و عدوانهم‬،‫اصطلح مع امللوك و أهل الدنيا‬
2
‫بالباطل‬
Dalam pengertian lain an-Nadawi menggambarkan bahwa pada masa
sebelum diutusnya nabi Muhammad saw, sebagian pemuka agama
mengasingkan diri dari kehidupan sosial, bersembunyi dalam tempat-tempat
ibadah dan sebagainya untuk menjauhkan iman mereka dari gangguan dan
penindasan. Mereka mengasingkan diri karena merasa apatis terhadap diri
mereka sendiri, mencari ketenangan dengan melarikan diri dari tugas-tugas
hidup, ataupun karena merasa gagal berjuang dalam agama, politik, kehidupan
spiritual maupun materi. Sedangkan sebagian lain yang ingin hidup senang,
bergaul dengan kelas borjuis dan bekerjasama dengan para penguasa tersebut
dalam kejahatan, kezaliman dan memakan harta dengan cara yang batil.
Kemudian turunlah wahyu pertama kepada Nabi Muhammad saw
melalui perintah “bacalah!” Perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw untuk
membaca tanpa disertai teks merupakan sebuah simbolisasi yang bermakna luas.

1
Pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat, sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari
dan Muslim dari ‘Aisyah ra, bahwa wahyu yang pertama ditunjukkan kepada Nabi saw adalah ru’ya shadiqah
(mimpi yang benar) datangnya malaikat kepada beliau dan membacakan 5 ayat awal surat al Alaq. Lihat Al
Bukhari : Shahih al Bukhari, Daar Thuwaiq an Najah, 1422 H, Juz 1, hlm 7 Lihat pula Muslim : Shahih Muslim,
Beirut: Daar Ihya at Turats al ‘Arabi, tt, Juz 1, hlm 139.
2
Abu al-Hasan al-Nadawi, Mādza Khasir al -Alam bi Inkhithāt al-Muslimīn, (Mesir: Maktabah al Imān, tth),
hlm 29.
Ibnu ‘Asyūr mengemukakan pendapat bahwa, perintah ini merupakan
isyarat bagi ummat Muhammad saw agar membaca, menulis dan berilmu
pengetahuan. Talqīn (bimbingan) Jibril kepada Nabi Muhammad saw
memberikan arti otoritas keilmuan serta motivasi akan mudahnya penguasaan
terhadap ilmu.3 Demikian pula pendapat Az-Zuhaylī, ayat-ayat ini merupakan
perintah belajar membaca dan menulis karena itu adalah sarana bagi
penguasaan agama dan dunia, dasar bagi tegaknya ilmu pengetahuan dan moral
estetika, serta terbinanya kebudayaan dan peradaban ummat Islam.4 Tema
tarbiyyah pada ayat-ayat yang mula diturunkan ini menurut al-Biqā’ī
menegaskan makna bahwa al-Qur’an adalah kumpulan seluruh kebaikan dunia
dan akhirat yang kemudian Allah jadikan Rasulullah saw fasih dengannya.
Ketentuan ini merupakan karunia bagi seluruh ummat manusia karena Allah
mendidik Rasul dengan sebaik baik pendidikan serta mengajarnya dengan
sebaik-baik pengajaran.5 Hingga Muhammad Abduh menuliskan, “ ‫و إن لم‬
‫يسترشدوا بفاتحة هذا املكتاب املبين و لم يستضيئوا بهذا لبضياء الساطع فال أرشدهم هللا‬
‫”أبدا‬6. Seandainya ayat-ayat pembukaan wahyu ini tidak menggetarkan,
menggugah semangat ummat Islam, niscaya tidaklah mereka akan bangkit lagi
(mencapai kejayaan) selama-lamanya. Hingga pada saatnya gerakan yang
dipelopori seorang nabi yang ummi dan sekelompok kecil sahabatnya yang
miskin dan tertindas pada masa itu berhasil mencatatkan kegemilangan
pembangunan peradaban dunia modern dan dinaungi oleh nilai-nilai spiritual.
Keberhasilan yang tak lepas dari peran Nabi mendidik para sahabatnya ini
memberikan argumen akan urgensi pendidikan bagi manusia. Pendidikan selain
sebagai sebuah kewajiban syari’at, juga merupakan kebutuhan individu dan
tuntutan sosial.

B. PEMBAHASAN
A. Pendidikan Merupakan Kewajiban Agama

3
Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (Tunisia: Dâr at-Tunisiyah li an-Nasyr, 1984), Juz 30,
hlm 434.
4
Wahbah bin Musthofâ az-Zuhaylî, Tafsir al-Munîr, (Damaskus: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, 1418 H), Juz 30,
hlm 319.
5
Burhânuddîn al-Biqâ’î, Nadzmu ad-Durar, (Cairo: Dâr al-Kitâb al-Islâmî, tt), Juz 22, hlm 152-153.
6
Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim Juz ‘amma,( Mesir : Mathba’atu Mishr, 1341 H), hlm 124.
Pendidikan merupakan kewajiban yang disyari’atkan. Kewajiban ini
tertera dalam perintah Allah kepada orang-orang beriman agar tidak
mengabaikan belajar dan mengajarkan ilmu pengetahuan meskipun ada
perintah berjihad,
‫الد ِين َوِل ُي من ِذ ُروا‬ َّ َ َ ٌ َ َ ‫َ م‬ ُ ‫َ َّ ً َ َ م َ َ َ م‬ ‫َ َ َ َ مُم ُ َ م‬
ِ ‫َوما كان َاملؤ ِمنون ِل ََين ِف ُر َوا َّكافة فل َوال نف َر ِمن ك ِل ِف مرق ٍة ِمن ُه مم طا ِئفة ِل َيتفق ُهوا ِفي‬
َ ‫ق مو َم ُه مم إذا َ َج ُعوا إل ميه مم ل َعل ُه مم َي محذ ُر‬
.‫ون‬ ِ ِ ‫ِ ر‬
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (at taubah 122)
Kewajiban memperdalam pengetahuan dalam ayat ini menurut al-Syafi’i
bersifat kifayah.7 Meski demikian, sejajarnya perintah jihad perang dan
pendidikan dalam ayat ini menjelaskan akan tegasnya misi Islam dalam hal
penyebaran pengetahuan mengiringi penaklukan wilayah. Hal ini menunjukkan,
kebutuhan suatu bangsa terhadap jihad dan para mujahid sama seperti
kebutuhan terhadap ilmu dan para ulama.8 Menurut Ibnu ‘Asyūr penyebaran
keilmuan, etika Islam dan mencerdaskan akal fikiran adalah manifestasi dari
tujuan Islam dalam pengelolaan ummat berdasarkan agama dan penjagaan
agama dengan kekuatan ummat.9
Wajibnya pendidikan juga tertera dalam hadits perintah menuntut ilmu
serta mengajarkannya. Dariَ Anas bin Mālik ra, Rasulullah saw telah bersabda,
‫م‬ َ ‫َ َ م‬ َ ‫م م‬
‫اض ُع ال ِعل ِم ِع من َد غ مي ِر أ مه ِل ِه ك ُمق ِل ِد الخ َن ِاز ِير ال َج مو َه َر‬ ََ ‫َط َل ُب مالع ملم َفر َ ٌ َ َ ُ ُ م‬
ِ ‫ وو‬،‫يضة على ك ِل مس ِل ٍم‬ ِ َّ ِ ِ َ ُ ‫ُّ م‬
.10‫َواللؤلؤ َوالذ َه َب‬
“Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim dan orang yang meletakkan
(mengajarkan) ilmu kepada orang yang bukan ahlinya ibarat orang yang
mengalungkan beberapa ekor babi dengan mutiara, permata dan emas.”
7
Muhammad bin Idris al-Syāfi’ī, Tafsīr al-Imām al-Syāfi’ī, (Saudi Arabia: Dar al-Tadmiriyah, cet. pertama
1427 H), Juz 2, hlm 962. Pendapat semacam ini juga dikemukakan oleh al-Qurthubī dari kalangan Malikiyah.
Lihat Syamsuddîn al Qurthûbî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, (Cairo: Dâr al Kutub al Mishriyah, 1384 H), Juz 8, hlm
294.
8
Anwar al-Baz, al-Tafsīr al-Tarbawī lil Qur’an al Karīm, (Cairo: Dār an Nashr lil Jami’at, 2007) Juz1, hlm 618.
9
Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, op.cit, Juz 11, hlm 59.
10
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dār ihyā`u al-Kutub al-‘Arabiyah, tth), Juz 1, hlm 81, no. 224.
Menurut al Haiṡami ḥadīṡ ini ḍa’īf, lihat majma’u az-zawā`id Juz 1, hlm 120.
Ḫadīṡ ini merupakan perintah agar setiap muslim yang balig dan berakal
membebaskan dirinya dari kebodohan. Para ulama ḥadīṡ berbeda pendapat
tentang tingkatannya, antara farḍu ‘ain dengan farḍu kifāyah. Sebagian
berpendapat ilmu agama dengan ilmu keduniaan. Adapula yang berpendapat
‘ilmu ikhlāṣ merupakan farḍu ‘ain, demikian pula ada yang berpendapat ilmu
tauḥīd merupakan farḍu ‘ain, dsb.11 Pendapat-pendapat tersebut pada dasarnya
bersumber pada pemikiran bahwa setiap muslim selain harus memiliki keilmuan
yang memadai bagi dirinya untuk beribadah kepada Allah, juga memiliki
spesialisasi keilmuan tertentu yang mendalam.
Ḥadīṡ ini juga berisi perintah agar orang-orang berilmu mengajarkan
ilmunya kepada ahli ilmu. Para ulama ḥadīṡ berbeda pendapat tentang ahli ilmu
yang dimaksudkan, ada yang berpendapat orang yang memiliki kecenderungan
terhadap ilmu, memiliki kefahaman, menuntut ilmu bukan untuk sekedar tujuan
dunia, menuntut ilmu karena Allah, dsb.12 Dengan demikian para pendidik
berkewajiban untuk menumbuhkan motivasi belajar peserta didiknya,
mengembangkan bakat, memberikan kefahaman serta menjadikan keikhlasan
sebagai landasan atas segala amaliahnya.
Kewajiban pendidikan juga tertera dalam surat al Baqarah ayat 159
tentang larangan menyembunyikan ilmu,
‫إن الذين يكتمون ما أنزلنا من البينات والهدى من بعد ما بيناه للناس في الكتاب أولئك‬
‫يلعنهم هللا ويلعنهم الالعنون‬
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami
turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami
menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan
dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati,”
Menurut Ibnu ‘Āsyūr pengertian “‫ ”البينات‬dalam ayat ini adalah pokok-
pokok syari’ah yang menjadi landasan atas berbagai hukum dalam kehidupan
manusia termasuk perkara aqidah, fiqh maupun etika. Sedangkan pengertian
“‫ ”الهدى‬adalah penerangan untuk kehidupan yang lebih baik bagi kemashalatan

11
Lihat Nūruddīn al-Malā ‘ali al-Qāriy, Muraqātu al-Mafātīh, (Beirut: Dār al Fikr, 1422 H), Juz 1, hlm 301.
Lihat pula Zainuddīn al Munāwiy, Faiḍul Qadīr, (Mesir: al-Maktabah al-Tijāriyah, 1356 H), Juz 4, hlm 267.
12
Ibid.
individu dan masyarakat.13 Serupa dengan pendapat tersebut, menurut az-
Zuhailī, Ilmu-ilmu yang dilarang untuk disembunyikan dalam ayat ini bermakna
umum, bisa berupa hukum syari’ah, ilmu yang bermanfaat maupun ide-ide,
pandangan, gagasan serta solusi yang benar dan bermanfaat bagi masyarakat.14
Selanjutnya menurut Ibnu ‘Āsyūr ayat ini menunjukkan argumen akan wajibnya
penjagaan terhadap ilmu, pendidikan, pengajaran dan penyebarluasan
pengetahuan.15 Seorang berilmu yang dengan sengaja bermaksud
menyembunyikan pengetahuannya kepada masyarakat sungguh telah berbuat
dosa.16
Firman Allah tersebut di atas sebagaimana firman-Nya dalam surat al-
Baqarah ayat 174 berikut,
‫إن الذين يكتمون ما أنزل هللا من الكتاب ويشترون به ثمنا قليال أولئك ما يأكلون في بطونهم‬
‫إال النار وال يكلمهم هللا يوم القيامة وال يزكيهم ولهم عذاب أليم‬
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan
Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka
itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan
api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak
akan menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.”
Larangan menyembunyikan ilmu pengetahuan juga dijelaskan dalam
beberapa riwayat hadits. Dari Abdullah bin ‘Amr ra, bahwasanya Rasulullah saw
telah bersabda,
17 َ ‫م‬ ُ َّ ‫َم من َك َت َم ع مل ًما َأ مل َج َم ُه‬
.‫اَّلل َي مو َم ال ِق َي َام ِة ِب ِل َج ٍام ِم من ن ٍار‬ ِ
“Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu, niscaya Allah akan mengekangnya
dengan kekang dari api pada hari kiamat.”
Demikian pula hadits dari Abu Sa’id al Khudry ra, Rasulullah saw telah
bersabda,
‫م‬ ُ َّ ‫ َأ مل َج َم ُه‬،‫الناس َأ ممر الدين‬
‫اَّلل َي مو َم ال ِق َي َام ِة ِب ِل َج ٍام ِم َن‬ َّ ‫اَّلل به في َأ ممر‬ ُ َّ ‫َم من َك َت َم ع مل ًما م َّما َي من َف ُع‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ
18 َّ
.‫الن ِار‬

13
Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, op.cit, Juz 2, hlm 66-67.
14
Wahbah bin Musthofâ az-Zuhaylî, op.cit, , Juz 2, hlm 54.
15
Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, loc.cit,. Lihat juga az-Zuhaylî,Ibid.
16
Syamsuddîn al Qurthûbî, op.cit, Juz 2, hlm 185. Lihat juga az-Zuhaylî,Ibid.
17
Abu ‘Abdullah al Ḥākim, al Mustadrak ‘ala aṣ-ṣaḥiḥain, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H), Juz 1,
hlm 182, no 346. ḥadīṡ ini ṣaḥīḥ.
“Barang-siapa yang menyembunyikan ilmu yang dengannya Allah memberikan
manfaat kepadanya dalam perkara manusia dan agama, kelak Allah akan
mengekangnya dengan kekang dari api pada hari kiamat.

B. Pendidikan Merupakan Kebutuhan Manusia


Meskipun manusia Allah ciptakan dengan sebaik-baik bentuk dengan
berbagai potensi akal, fisik, indera, nafsu dan hati namun manusia terlahir dalam
keadaan lemah. Dengan demikian manusia membutuhkan pengasuhan dan
pendidikan bagi dirinya guna mengembangkan dan mengarahkan potensi-
potensi tersebut. Allah ta’ala berfirman dalam surat an-nahl ayat 78,
‫“وهللا أخرجكم من بطون أمهاتكم ال تعلمون شيئا وجعل لكم السمع واألبصار واألفئدة‬
”‫لعلكم تشكرون‬
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur.”
Melalui ayat ini Allah menjelaskan bahwa manusia terlahir dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatupun, kemudian Allah memberikan manusia
berbagai perangkat yang akan menyampaikannya kepada ilmu pengetahuan.19
Manusia diciptakan dengan potensi akal yang dapat berkembang dengan
pendengaran, penglihatan dan hati. Melalui hal tersebut akal manusia dapat
berfikir, berpendapat, mendefinisikan sesuatu serta membangun pengetahuan.20
Demikianlah pendidikan dibutuhkan oleh manusia dikarenakan manusia
memiliki kepribadian yang unik, memiliki tingkah laku, memiliki kecerdasan dan
daya pikir, serta memiliki kebutuhan untuk mengembangkan kepribadian.
Sebagai mahluk psikologis manusia pada hakikatnya merupakan
mahluk yang berfikir, merasa dan berkehendak serta menciptakan dinamisme.
Selain terkait pengembangan berbagai potensi, menurut al-Maraghi manusia
membutuhkan pendidikan untuk memahami sesuatu dengan mendalam,
menimbang antara kebaikan dan keburukan serta menimbang antara petunjuk

18
Ibnu Majah, op.cit, Juz 1, hlm 97, ḥadīṡ no 265. ḥadīṡ ini ḍa’īf.
19
Jamāluddīn Ibn al-Jawzī, Zād al-Masīr fī ‘Ilmi at-Tafsīr, (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1422 H), Juz 2, hlm
575.
20
Muhammad Thâhir bin ‘Āsyūr, op.cit, Juz 14, hlm 231.
dan kesesatan.21 Dalam sebuah riwayat hadits qudsi dari ‘Iyadh bin Himar ra,
pada khutbahnya Rasulullah saw menyampaikan,
َ ‫ُ َ َ َ ُ َّ ُ م َ َّ ُ م َ َ م ُ ُ َّ َ ُ َ م‬ َ ُ ‫َ ََم‬
‫اج َتال مت ُه مم َع من ِد ِين ِهم‬
22 ‫م‬
‫اطين ف‬
ِ ‫ وِإنهم أتتهم الشي‬،‫وِإ ِني خلقت ِعب ِادي حنفاء كلهم‬
“Sesungguh Aku (Allah) menciptakan hamba-Ku seluruhnya hanif (berada dalam
kebaikan), kemudian datang kepada mereka syaitan yang memalingkan mereka
dari agama ”
Menurut Ibnu Abdil Bar, Allah telah menciptakan manusia seluruhnya
hanif, yaitu muslim, bersaksi akan keesaan Allah dan menghadapkan dirinya
dalam ketundukan kepada Allah semata23. Kemudian syaitan memalingkan
manusia dari kebenaran agama. Menurut an-Nawawi, pertama-tama syaitan
menjadikan manusia meremehkan urusan agama kemudian menjauhkannya,
hingga akhirnya manusia menyingkirkan agama dari kehidupannya. Kemudian
Syaitan menjadikan manusia terpikat dengan keburukan yang mengasikkan
baginya.24 Keberhasilan syaitan memalingkan manusia dari kebenaran adalah
dikarenakan ia datang kepada manusia dengan “‫”الوسوسة‬25 hasutan, godaan dan
ajakan yang bersifat halus yang dibisikkan kedalam hati manusia.
Pendidikan juga dibutuhkan agar manusia dapat mengambil keputusan
dengan benar. Diriwayatkan dari Abu Malik a-Asy’ari ra, bahwasanya Rasulullah
saw bersaba,
26 َ ُ ُ ‫َ م ُ َ َ ٌ َ م َ ُ َ ُ م ُ َ َ م‬ َّ ُّ ُ
‫اس يغدو فب ِايع نفسه فمع ِتقها أو م ِوبقها‬
ِ ‫كل الن‬
“Setiap manusia berbuat, maka ada manusia yang menjual dirinya kemudian
memerdekakannya adapula yang membinasakannya.”
Menurut an-nawawi hadits ini menerangkan bahwa, setiap manusia
berbuat atas kehendak dirinya dan diantara manusia ada yang menjual dirinya
kepada Allah melalui keta’atannya dan memerdekakan dirinya dari siksaan. Dan

21
Ahmad bin Musthofā al Marāghī, Tafsir al Marāghī, (Mesir : Perusahaan Penerbitan Musthofa al-Halby,
1365 H), Juz 14, hlm 118.
22
Muslim bin al Hajjaj Abu al hasan al Qusyairy an Naisabury, Shahih Muslim, (Beirut: Daar ihyau At Turats
al Araby, tt ), vol 4, h. 2197, hadits no 2865.
23
Lihat Ibnu ‘Abdil Bar, at-Tamhid lima Fil Muwatho,, (Maroko: Kementrian Wakaf, 1387 H), vol 18,hlm 74-
76
24
Abu Zakaria Muhyiddin Yahya an Nawawi, al Minhaj Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihyau Turats al
‘Arabiy, 1392 H), vol 17, hlm 197.
25
Nūruddīn al-Malā ‘alî al-Qāriy, op.cit, vol 8, hlm 3367.
26
Muslim bin al Hajjaj, Op.cit, vol 1, hlm 203, hadits no 223.
diantara mereka pula ada yang menjual dirinya kepada syaitan dan nafsunya
dan hal tersebut mencelakakannya.27

C. Pendidikan Merupakan Kebutuhan Sosial


Pendidikan adalah kebutuhan masyarakat. Menurut kodratnya manusia
adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat. Manusia memiliki
kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain. Diriwayatkan dari Nu’man bin
Basyir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,
‫ض ُه مم‬ُ ‫اب َب مع‬
َ ‫ص‬ َ ‫ َف َأ‬،‫اس َت َه ُموا َع َلى َسف َينة‬ ‫ َك َم َثل َق موم م‬،‫الواقع ف َيها‬ َ ‫اَّلل َو‬ َّ
‫ود‬ ُ ‫القائم َع َلى ُح‬
‫د‬
َ ُ ََ
‫مثل‬
ٍ ِ ٍ ِ َ ِ ِ ِ ِ ِ َ ِ ِ
َ َ َ َ
‫م‬،‫اس َت َق موا م َن امل ِاء َم ُّروا َعلى َم من ف موق ُهم‬ َ
‫ين في أ مس َفل َها إذا م‬ َ ‫ان الذ‬َّ َ َ َ
َ ‫ فك‬،‫ض ُه مم أ مس َفل َها‬ ُ ‫َأ مع َال َها َو َب مع‬
ِ ِ ِ
،‫يعا‬ ُ ‫ َفإ من َي مت ُر ُك‬،‫ َل مو َأ َّنا َخ َر مق َنا في َنصيب َنا َخ مر ًقا َو َل ِمم ُن مؤذ َم من َف ِ مو َق َنا‬:‫َف َق ُالوا‬
ً ‫وه مم َو َما َأ َر ُادوا َه َل ُكوا َجم‬
ِ ِ ِ َ ِ ِ َ ِ َ َ ُ َ َ
28 ً
.‫ َون َج موا َج ِميعا‬،‫َوِإ من أخذوا َعلى أ مي ِد ِيه مم ن َج موا‬
“Perumpamaan orang-orang yang senantiasa melaksanakan hukum-hukum
Allah dan orang yang terperosok di dalamnya adalah laksana orang-orang yang
membagi tempat dalam suatu bahtera, sebagian orang diatasnya dan sebagian
dibawahnya. ketika orang-orang yang berada dibawah memerlukan air, tentu
mereka harus melintasi orang-orang yang dibagian atas. kemudian mereka
berkata, “kami akan lubangi saja bagian bawah ini.” jika mereka membiarkan apa
yang diinginkan oleh orang-orang yang dibagian bawah, niscaya akan binasalah
semua. Namun bila mereka mencegah perbuatan tersebut, maka akan selamat
dan selamatlah semuanya”
Melalui hadits ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan
sebuah perumpaan yang indah tentang pendidikan sebagai sebuah kebutuhan
sosial. Sebab sebuah kesalahan sebagian pihak tidak hanya berdampak negatif
pada lingkup individu semata melainkan juga pada lingkup sosial yang lebih luas.
Terlaksananya tugas pendidikan bagi masyarakat berbanding lurus dengan
keselamatan dan eksistensi masyarakat tersebut.
Sebagai kebutuhan social, pendidikan juga merupakan sarana bagi
membangkitkan kemuliaan dan menjaga keselamatan masyarakat. Diriwayatkan
dari Tsauban ra bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda,

27
An Nawawi, Op.cit, vol 3, hlm 102.
28
Bukhari, Op.cit, vol 3. Hlm 139, hadits no 2493.
َ َّ َ َ ََ َ ‫ُ ُ م َُ ُ َ م َ َ َ َ َ م ُ م َ َ َ َ َ م‬
‫األ َك َل ُة إ َلى َق م‬
‫ َو ِم من ِقل ٍة ن مح ُن‬:‫ال قا ِئ ٌل‬ ‫ فق‬، »‫ص َع ِت َها‬ ِ ‫وشك األمم أن تداعى عليكم كما تداعى‬ ِ ‫ي‬
ُ ‫م‬ ُ َّ َّ َ َ ‫َّ م َ َ َ م‬ َ ُ َ ٌ َ ُ ‫َ َ َ م َ م ُ م َ م َ َ ٌ َ َ َّ ُ م‬
‫ ولينزعن اَّلل ِمن صد ِور‬،‫ ول ِكنكم غثاء كغث ِاء السي ِل‬،‫ «بل أنتم يوم ِئ ٍذ ك ِثير‬:‫َي مو َم ِئ ٍذ؟ قال‬
ُ
َّ َ ُ َ
‫ َو َما‬،‫اَّلل‬
َ َ ََ ‫ُُ ُ م‬
‫ فق‬، »‫اَّلل ِفي قل ِوبك ُم ال َو مه َن‬ ُ َّ ‫ َو َل َي مقذ َف َّن‬،‫َع ُدو ُك ُم ماملَ َه َاب َة م من ُك مم‬
ِ ‫ يا َرسول‬:‫ال قا ِئ ٌل‬ َ ‫م َ م ِ ُ َ َ ُ ِ ُّ ُّ م َ َ َِ َ َ ُ م‬
29 ‫م‬
»‫ وكر ِاهية املو ِت‬،‫ «حب الدنيا‬:‫الوهن؟ قال‬
“Nyaris sudah bangsa-bangsa (selain Islam) bersekongkol menghadapi kalian
sebagaimana berkumpulnya orang-orang yang makan menghadapi bejana
makanannya.” Lalu bertanya seseorang, “Apakah kami pada saat itu sedikit?”
Beliau menjawab, “Tidak, bahkan kalian pada saat itu banyak, akan tetapi kalian
itu buih seperti buih banjir, dan Allah akan menghilangkan dari diri musuh-
musuh kalian rasa takut terhadap kalian dan menimpakan ke dalam hati-hati
kalian wahn (kelemahan).” Maka seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah
wahn itu?”. Kata beliau, “Cinta dunia dan takut mati.”
Menurut al-Qari, pengibaratan ummat Islam bagaikan buih adalah
dikarenakan, Kondisi ummat Islam yang berpecah belah, lemah kemauan, malas
berfikir dan tak punya cita-cita yang kokoh.30 Makna kata wahn dalam hadits di
atas adalah “‫”الض معف‬ َّ atau lemah, sehingga pertanyaan para sabahat adalah,
“apakah yang menyebabkan kelemahan (wahn) ummat Islam pada masa itu?”
Nilai penting hadits ini adalah sebagai peringatan agar ummat Islam
memperhatikan pendidikan bagi kemajuan dan keselamatan ummat Islam.
Sebagaimana perkataan al Qaradhawi,
‫ فإنها قوة الدولة بقوة‬.‫ مالم تستعد األمة ذاتها قوتها‬،‫الدولة القومية لن تستعيد قوتها‬
‫ كما في‬،‫ و الشعوب الضعيفة ال تبني دولة قوية‬،‫ فالشعوب امليتة ال تقيم دولة حية‬،‫شعوبها‬
31
"‫األثر املشهور "كما تكونوا يول عليكم‬
Sebuah bangsa tidak dapat mengembalikan kekuatannya selama rakyatnya
sendiri tidak mengembalikannya. Kekuatan sebuah bangsa terletak pada
kekuatan rakyat. Rakyat yang mati tidak bisa menghidupkan bangsa. Rakyat yang
lemah tidak bisa menguatkan bangsa, sebagaimana sebuah pepatah,
“sebagaimana adanya kalian begitulah kuasa kalian”.

29
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Maktabah al ‘Ashriyah, tth), vol 4, hlm 111, hadits no 4297.
Shahih menurut al Albani.
30
Nuruddin al Qari, Op.cit, vol 8, hlm 3366.
31
Yusuf al Qaradhawi,Ummatuna Baina Qarnain, (Beirut: Daar asy Syuruq, 1421 H), hlm 240.
C. KESIMPULAN
Dari kajian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam
merupakan sebuah kewajiban syari’at, Allah mewajibkan aktifitas belajar
mengajar sebagaimana Ia wajibkan berjihad menegakkan agama-Nya. Demikian
pula perintah menuntut ilmu dan larangan menyembunyikannya bagi
kemaslahatan bersama. Selain perintah syari’at, pendidikan juga merupakan
kebutuhan manusia dan kebutuhan sosial. Pendidikan merupakan sarana
pengembangan pribadi dan masyarakat untuk mencapai keberhasilan dunia dan
akhirat.

DAFTAR PUSTAKA
Al Bukhari, Shahih al Bukhari, (Saudi Arabia: Dār Thuwaiq an Najah, 1422 H).
al-Nadawi, Abu al-Hasan, Mādza Khasir al -Alam bi Inkhithāt al-Muslimīn,
(Mesir: Maktabah al Imān, tth)
Ibn ‘Asyûr, Muhammad Thâhir, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (Tunisia: Dâr at-Tunisiyah
li an-Nasyr, 1984)
al-Zuhaylî, Wahbah bin Musthofâ, Tafsir al-Munîr, (Damaskus: Dâr al-Fikr al-
Mu’âshir, 1418 H)
al-Biqâ’î, Burhânuddîn Nadzmu ad-Durar, (Cairo: Dâr al-Kitâb al-Islâmî, tt).
Abduh, Muhammad, Tafsir al-Qur’an al-Karim Juz ‘amma, (Mesir : Mathba’atu
Mishr, 1341 H).
al-Syāfi’ī, Muhammad bin Idris, Tafsīr al-Imām al-Syāfi’ī, (Saudi Arabia: Dar al-
Tadmiriyah, cet. pertama 1427 H)
al-Qurthûbî, Syamsuddîn, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, (Cairo: Dâr al Kutub al
Mishriyah, 1384 H)
al-Baz Anwar, al-Tafsīr al-Tarbawī lil Qur’an al Karīm, (Cairo: Dār an Nashr lil
Jami’at, 2007)
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dār ihyā`u al-Kutub al-‘Arabiyah, tth.
al-Qārī, Lihat Nūruddīn al-Malā ‘ali, Muraqātu al-Mafātīh, (Beirut: Dār al Fikr,
1422 H).
Zainuddīn al-Munāwī, Faiḍul Qadīr, (Mesir: al-Maktabah al-Tijāriyah, 1356 H)
al-Ḥākim, Abu ‘Abdullah, al Mustadrak ‘ala aṣ-ṣaḥiḥain, (Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1411 H).
Ibn al-Jawzī, Jamāluddīn, Zād al-Masīr fī ‘Ilmi at-Tafsīr, (Beirut: Dār al-Kitāb al-
‘Arabī, 1422 H).
Al-Marāghī, Ahmad bin Musthofā, Tafsir al Marāghī, (Mesir: Perusahaan
Penerbitan Musthofa al-Halby, 1365 H).
Al-Naisabury Muslim bin al Hajjaj Abu al hasan al Qusyairy, Shahih Muslim,
(Beirut: Daar ihyau At Turats al Araby, tth).
Ibnu ‘Abdil Bār, at-Tamhīd limā Fi al-Muwatho, (Maroko: Kementrian Wakaf,
1387 H).
al-Nawawi Abu Zakaria Muhyiddin Yahya, al Minhaj Syarh Shahih Muslim,
(Beirut: Dar Ihyau Turats al ‘Arabiy, 1392 H).
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Maktabah al ‘Ashriyah, tth)
al-Qaradhawi, Yusuf, Ummatuna Baina Qarnayn, (Beirut: Dār al-Syuruq, 1421 H)

You might also like