You are on page 1of 10

PENDIDIKAN MENDIKTE ZAMAN

SUMBANGAN PEMIKIRAN HABERMAS TENTANG PENDIDIKAN SEBAGAI


PRAKSIS PEMBEBASAN DALAM MENJAWAB AMBIGUITAS PERUBAHAN
ZAMAN

JUDHA SEMAL IRIANTO SINULINGGA

ABSTRAK

Perubahan zaman yang terjadi saat ini tidak hanya membawa kebaikan pada kehidupan
manusia, tetapi sekaligus keburukan. Saat ini muncul berbagai jenis kejahatan baru yang
tidak terpikirkan sebelumnya. Situasi ini semakin memburuk tatkala institusi pendidikan
tidak memainkan peran yang seharusnya. Alih-alih membawa perubahan baik, institusi
pendidikan malah didikte oleh pusaran zaman. Ini dimungkinkan terjadi karena guru telah
menjadi agen pusaran zaman. Alih-alih membimbing muridnya untuk tangguh menghadapi
pusaran zaman, guru malah turut menjadi korban. Refleksi kritis yang digagas oleh
Habermas membawa kesegaran baru di tengah ambiguitas zaman. Refleksi kritis ini
menyadarkan manusia bahwa ia dapat keluar dari pusaran zaman itu.

A. PENDAHULUAN

Dunia sedang berlari tunggang langgang. Demikian sebuah ungkapan yang


dikemukakan oleh Giddens dalam bukunya berjudul Runaway World: How Globalization is
Reshaping Our Lives, sebagaimana dikutip oleh Doni Koesoema Albertus. 1 Ungkapan ini
hendak menggambarkan perubahan wajah dunia belakangan ini yang semakin hari semakin
cepat. Perubahan yang dimaksud mencakup segala bidang kehidupan, antara lain: perubahan
jenis pekerjaan, perubahan gaya hidup, perubahan pola komunikasi, dan perubahan pola
pikir.

Saat ini, ada begitu banyak jenis pekerjaan baru yang tidak pernah terpikirkan
sebelumnya, dan akan semakin banyak lagi ke depannya. Perubahan gaya hidup antara lain
1
Albertus, Doni Koesoema, Pendidik Karakter di Zaman Keblinger: Mengembangkan visi guru
sebagai perilaku perubahan dan pendidik karakter, Jakarta: Grasindo, 2009, hal.1
ditandai dengan perubahan pola pemanfaatan waktu. Merencanakan bepergian pada saat
liburan bukan lagi merupakan hal yang asing utamanya bagi masyarakat perkotaan.
Perubahan pola komunikasi terasa sangat jelas seiring berkembangnya teknologi komunikasi.
Untuk masa sekarang ini, misalnya, hampir semua komunitas di kota besar memanfaatkan
aplikasi Whatsapp untuk membentuk forum diskusi atau komunikasi dalam jaringan.
Sedangkan perubahan pola pikir ditandai dengan kecenderungan meningkatnya penghargaan
terhadap kebebasan individu dalam kehidupan bersama. Ada begitu banyak contoh lainnya
yang menggambarkan terjadinya perubahan yang begitu pesat.

Di tengah berbagai perubahan yang terjadi, patut dicermati efek lain dari perubahan
itu, yaitu meningkatnya kejahatan. Menarik untuk mencermati bahwa belakangan ini juga
muncul berbagai jenis kejahatan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Perampokan
uang dalam jumlah yang sangat fantastis dengan memanfaatkan teknologi serta pembunuhan
yang dilakukan atas motif kebencian akibat propaganda palsu di media sosial merupakan
contoh-contoh yang mulai terdengar. Efek lainnya lagi juga menarik. Meningkatnya persepsi
tentang ancaman kejahatan di masyarakat. Berita-berita palsu yang cepat beredar di media
sosial bahkan memiliki dampak yang luar biasa cepat dalam membangun suatu kecemasan.2

Dampak negatif dari berbagai kemajuan yang berhasil dicapai saat ini telah membuat
perubahan zaman bersifat ambigu atau mendua. Di satu sisi, perubahan itu membawa dampak
yang baik bagi kehidupan. Namun, pada saat yang bersamaan, meningkat pula dampak-
dampak yang dianggap kurang baik, seperti: meningkatnya kejahatan.

Tulisan ini mencoba menawarkan sebuah gagasan untuk mendekati persoalan ini dari
sudut pandang ‘daya refleksi’ yang dimiliki oleh manusia.3 Penulis mencoba memberikan
konteks penerapannya dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu, tulisan ini diberikan judul:
PENDIDIKAN MENDIKTE ZAMAN: SUMBANGAN PEMIKIRAN HABERMAS
TENTANG PENDIDIKAN SEBAGAI PRAKSIS PEMBEBASAN DALAM
MENJAWAB AMBIGUITAS PERUBAHAN ZAMAN.
2
Bandingkan penelitian yang dilakukan oleh Callanan dalam Callanan, Valerie J. “Media
Consumption, Perceptions of Crime Risk and Fear of Crime: Examining Race/Ethnic Differences.”
Sociological Perspectives, vol. 55, no. 1, 2012, hal. 93–115.
www.jstor.org/stable/10.1525/sop.2012.55.1.93. Dalam paparan tersebut, Callanan menarik korelasi
antara meningkatnya pemanfaatan media dengan meningkatnya kecemasan berdasarkan persepsi atas
resiko-resiko terjadinya kejahatan.
3
Istilah ini meminjam ungkapan yang dipakai dalam paparan tentang kritik Habermas terhadap
pemikiran Gadamer, utamanya mengenai ‘daya refleksi’ yang terdapat pada Verstehen. Lihat
penjelasan lebih jauh dalam Hardiman, F. Budi, Seni Memahami, Yogyakarta: Kanisius, 2015, hal.
209-216. Dalam paparan itu, Habermas menyatakan bahwa ‘daya refleksi’ yang berkembang dalam
Verstehen memungkinkan orang untuk lepas atau putus dari tradisi yang melingkupi orang tersebut.
Sehubungan dengan judul tersebut, perlu dikemukakan bahwa Habermas sendiri tidak
pernah membahas secara langsung tentang pendidikan. Ada beberapa tulisan dimana
Habermas menyebut secara langsung tentang pendidikan. Namun, topik utama dari tulisan-
tulisan tersebut bukanlah tentang pendidikan. “Pendidikan” dibahas hanya sebagai contoh
saja.4 Dalam tulisan ini, penulis mencoba membandingkan pemikiran-pemikiran Habermas
dengan beberapa gagasan yang berasal dari konteks dunia pendidikan.

B. AMBIGUITAS KEMAJUAN ZAMAN MENDIKTE PENDIDIKAN

Ada banyak ungkapan yang dipergunakan orang untuk menggambarkan situasi dan
kondisi dunia pada saat ini. Pada bab sebelumnya telah disinggung mengenai ungkapan
‘dunia yang tunggang langgang’. Ungkapan lain adalah ‘dunia itu datar’ (the world is flat).
Albertus meminjam ungkapan ini dari Thomas Friedman untuk kembali memperlihatkan
situasi yang tengah terjadi di dunia.5 Dalam dunia yang datar, orang dapat berlari kencang
seolah tiada halangan menghadang. Dinamika kehidupan dalam masyarakat menjadi semakin
terburu, tergesa-gesa dan saling bersaing. Logika kecepatan menjadi jargon. Siapa dapat
mengerjakan sesuatu secara cepat dan tepat dia yang akan menguasai keadaan.

Kondisi lainnya yang terjadi saat ini adalah berkembangnya teknologi informasi
sedemikian rupa. Perkembangan ini membuat dunia tidak lagi berjarak. Orang-orang yang
berada di tempat yang saling berjauhan dapat berhadapan muka satu sama lain dan
bekerjasama.

Kondisi ini masih ditambah lagi dengan berbagai macam fenomena yang berkembang
di masyarakat, antara lain: globalisasi, fundamentalisme religius, terorisme, kebangkitan

4
Lihat juga pendapat yang disampaikan oleh Wain dalam Wain, K. Chapter Four: Habermas: The
Rational Society. Counterpoints, (2004) 260, 135-181. Retrieved from
http://www.jstor.org/stable/42978509 hal.136
Lebih jauh, Wain juga menyimpulkan bahwa gagasan-gagasan emansipatoris Habermas sangat
diperlukan bilamana kita berasumsi bahwa pendidikan perlu direkonseptualisasi dalam pengertian
bahwa fokus diskursus yang dilakukan berubah dari ‘bersekolah’ menjadi ‘masyarakat yang belajar’.
Lihat hal.138
5
Albertus (2009)
gerakan feminisme, isu Lesbian-Gay-Bisexual-Transgender (LGBT), isu ekologi dan
berbagai macam hal yang lain.

Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mendekati ataupun memahami situasi
ini lalu akhirnya merespons dengan tepat. Sebagian orang mungkin tidak mempedulikan
kaitan antara peristiwa-peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lainnya. Sejauh peristiwa
tersebut memberikan dampak secara langsung, maka akan direspons. Namun, apabila tidak
terlihat kaitan secara langsung, sebagian orang akan mengabaikannya saja.

Albertus sendiri melihat adanya keterkaitan antara fenomena-fenomena yang ada. Ia


mencoba menarik korelasi antara fenomena-fenomena tersebut. Terjadinya dampak tertentu
atas peristiwa satu terhadap peristiwa yang lain merupakan salah satu ciri dalam masyarakat
global. Unsur relasional yang ditawarkan dalam dunia global memang tidak mudah dipahami
begitu saja. Albertus mengatakan bahwa pemahaman itu tidak datang begitu saja. Namun,
kita perlu mengupayakannya.6

Apa pentingnya melihat kaitan-kaitan tersebut? Keberhasilan dalam menarik korelasi


antara berbagai hal tersebut dapat memberikan pemahaman akan gambaran umum akan
situasi yang tengah terjadi di dunia. Gambaran ini dapat menjadi suatu peta yang pada
gilirannya dapat dipergunakan untuk memprediksikan persoalan-persoalan yang dapat terjadi
(fungsi antisipatif). Di samping itu, dan tentunya juga untuk mencari pemecahan atas
persoalan-persoalan yang ada (fungsi solutif).

Menarik untuk mencermati adanya suatu ‘tradisi’ pemahaman yang dimiliki oleh
sebagian orang untuk tidak mempedulikan berbagai hal yang tidak terkait atau berdampak
secara langsung terhadap dirinya. Tradisi ini dapat saja merupakan hasil budaya tertentu.
Budaya karakter yang ditanamkan kepada generasi muda di Jepang, misalnya,
memperlihatkan pergesekan antara nilai kemandirian dan kepedulian. 7 Anak-anak dilatih
untuk mengambil keputusan secara mandiri. Konsekuensinya, keputusan apapun yang
diambil, sejauh tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku secara umum, patut
dihargai. Seorang siswa yang tertidur di ruang kelas pada saat pembelajaran tengah
berlangsung tidak boleh dibangunkan dari tidurnya, karena soal tidur tersebut adalah
keputusan mandirinya yang patut dihargai.

6
Ibid, hal. 6
7
Bandingkan paparan dalam Markella B. Rutherford. “Authority, Autonomy, and Ambivalence:
Moral Choice in Twentieth-Century Commencement Speeches.” Sociological Forum, vol. 19, no. 4,
2004, pp. 583–609. www.jstor.org/stable/4148830.
Sebagian orang terbiasa melanjutkan begitu saja tradisi-tradisi tertentu tanpa pernah
mempertanyakannya. Tradisi-tradisi yang diteruskan tanpa disadari ini membentuk suatu
presuposisi-presuposisi yang pada gilirannya akan mengarahkan cara kita berpikir bahkan
cara kita dalam menjalani kehidupan itu sendiri. Adanya tradisi-tradisi seperti ini oleh
Heidegger, dan juga dilanjutkan oleh Gadamer dan Habermas, disebut pra-struktur
pemahaman.8

Seorang penulis bernama Ewert,9 mengemukakan hal-hal yang digagas oleh Bates
sehubungan dengan krisis-krisis yang terjadi pada masyarakat modern. Krisis-krisis yang
dimaksud adalah: krisis rasionalitas, krisis legitimasi dan krisis motivasional.

Krisis rasionalitas berakar dari pemisahan kaum positivistik terhadap fakta dari nilai,
alat dari tujuan, politik dari administrasi, dan penyingkiran diskursus terhadap tujuan-tujuan
dan nilai-nilai. Krisis legitimasi merupakan akibat dari krisis rasionalitas. Seiring dengan
peningkatan efisiensi dan kapasitas kelola, terjadi penurunan kemungkinan untuk
membangun struktur normatif yang efektif yang dapat melakukan fungsi pembimbingan
terhadap suatu tindakan. Krisis motivasi lahir sebagai muara dari dua krisis sebelumnya.
Krisis motivasi hadir dalam bentuk perasaan teralienasi dan ketidakberdayaan, kehilangan
makna, tujuan dan komitmen, dan ketidakmampuan berpartisipasi di dalam diskursus untuk
mencapai regenerasi atas suatu kesadaran.10

The solution to these crises, suggests Habermas, lies in the development of


an expanded rationality which involves practical discourse over norms and values as
well as over means and facts. In such practical discourse the cultural traditions,
aspira tions, values and commitments of individuals would be negotiated in a form
of communicative ethics which is implicit in human speech. Such discourse is
essentially a practical discourse which relates to the questions of what can, might,
and should be done in specific situations. In Habermas's words such discourse
supports a normative order directed towards 'emancipation, individuation, and the
extension of communi cation free of domination' (1971:93). (1982, pp. 6-7) 11

8
Hardiman, F. Budi, Ibid, hal. 108-119.
9
Ewert, G. (1991). Habermas and Education: A Comprehensive Overview of the Influence of Habermas in
Educational Literature. Review of Educational Research, 61(3), 345-378. Retrieved from
http://www.jstor.org/stable/1170636
10
Ibid, hal. 368
11
Ibid
Solusi untuk berbagai krisis ini, menurut Habermas sebagaimana dikemukakan oleh
Ewert, terletak pada pembangunan suatu rasionalitas yang diperluas yang melibatkan
diskursus praktis atas norma norma dan nilai-nilai sekaligus atas alat-alat dan fakta-fakta.
Dalam diskursus semacam ini, tradisi-tradisi budaya, cita-cita, niali-nilai dan komitmen-
komitmen individu akan dinegosiasikan di dalam suatu bentuk etika komunikasi yang
sifatnya impllisit di dalam komunikasi manusia. Diskursus semacam ini akan membawa
orang pada emansipasi, individuasi dan ekstensi dari komunikasi yang terbebas dari dominasi
tertentu.

Dengan berbagai krisis yang diperlihatkan di atas, maka kungkungan berpikir pada
masyarakat modern merupakan suatu hal yang tidak terhindarkan. Sebagian besar orang
cenderung untuk melanjutkan ‘tradisi’ tersebut apabila ia tidak dilatih untuk memiliki
kemampuan melepaskan diri tradisi tersebut.

Situasi ini menjadi semakin berlarut-larut ketika institusi pendidikan tidak melakukan
perannya yang semestinya. Alih-alih mendikte zaman, institusi pendidikan malah turut
menjadi korban zaman. Institusi pendidikan didikte oleh zaman. Bagaimana hal ini dapat
terjadi?

Salah satu agen penting dalam meneruskan tradisi tersebut dalam konteks dunia
pendidikan adalah guru. Dalam tulisannya, Albertus memperlihatkan pentingnya peran guru
dalam proses mempersiapkan generasi sekarang dalam menghadapi zaman yang seperti ini.12
Sangat disayangkan bahwa masih ada guru yang tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik
dalam rangka mempersiapkan anak-anak menghadapi persoalan zaman. Bahkan, terdapat
guru yang juga turut terlarut dalam arus zaman. Alih-alih membimbing muridnya keluar dari
pusaran zaman, guru tersebut malah turut menjadi korban dari pusaran zaman itu.

Saat ini, di tengah maraknya wacana tentang pengembangan pendidikan karakter, isu
di atas masih relevan untuk dibicarakan. Di saat pemerintah Republik Indonesia tengah
mempersiapkan implementasi program Penguatan Pendidikan Karakter, kenyataan bahwa
para guru merupakan ‘agen pusaran zaman’ tidak dapat disangkal keberadaannya. Kenyataan
ini sangat membahayakan sekaligus menyedihkan. Di satu sisi, peran guru untuk
12
Albertus (2009) hal. 9-10
membimbing pembentukan karakter anak diperkuat. Terdapat penambahan waktu untuk
meningkatkan intensitas perjumpaan antara guru dan siswa. Lalu, pertanyaan yang harus
sudah dijawab sejak awal adalah: bekal apa yang akan diberikan oleh guru untuk
memperlengkapi para siswanya? Kemampuan apa yang harus dimiliki terlebih dahulu oleh
guru sebagai model yang dapat diterapkan terhadap para siswanya?

Kegagalan dalam menjawab berbagai pertanyaan ini akan membahayakan proses


secara keseluruhan. Albertus, misalnya, mengemukakan tentang kemungkinan terjadinya
proses indoktrinasi, bahkan dalam pelaksanaan Pendidikan Karakter. Dengan mengutip
penjelasan dari Pritchard: Any approach to moral education has the potential to be used for
purposes of indoctrination. Oleh karena itu, penting untuk menjaga kebebasan individu
dalam mengambil keputusan, menumbuhkan keterbukaan pada berbagai macam pemahaman,
dan menumbuhkan sikap kritik-diri bagi para pelaku. Dengan demikian, setiap individu mau
mengevaluasi dan mengkritisi pengertian dan pemahamannya sendiri, memperkuat
pemahamannya dengan data dan informasi relevan, serta berani mengambil keputusan yang
bijak.13

C. PENDIDIKAN YANG MENDIKTE ZAMAN

Pada bab sebelumnya telah dikemukakan persoalan yang tengah dihadapi oleh dunia
pada masa sekarang ini, yaitu Pendidikan yang telah didikte oleh pusaran zaman. Situasi ini
dianggap membahayakan karena dapat melanggengkan praktik-praktik yang kurang
manusiawi yang tanpa disadari terus dilakukan oleh manusia-manusia yang terdapat di
dalamnya.

Pada bab sebelumnya juga telah disinggung tentang gagasan Habermas tentang
adanya suatu diskursus yang dianggap dapat membebaskan belenggu tersebut. Pada bab ini
akan dibahas lebih jauh tentang gagasan Habermas tersebut.

Habermas, sebagaimana dikemukakan oleh Ewert, memandang pentingnya


rasionalitas individu dalam pengambilan keputusan. Rasionalitas ini tidak dapat muncul
begitu saja. Ada suatu distorsi yang menghalangi pandangan manusia modern untuk
mencapai rasionalitasnya. Dalam buku Seni Memahami dibahas tentang distorsi sistematis,
yaitu distorsi yang menjauhkan manusia dari akal sehat. Distorsi seperti ini dapat terjadi
misalnya sebagai akibat dari indoktrinasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang ingin
13
Albertus, Doni Koesoema, Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh, Yogyakarta: Kanisius, 2012, hal. 38
melanggengkan kekuasaannya. Dalam konteks tulisan ini, hendak dikemukakan bahwa
proses ‘indoktrinasi’ tersebut dapat pula muncul sebagai akibat dari praktik-praktik
konsumerisme masyarakat modern. Industrialisasi yang terjadi hampir dalam segala bidang
kehidupan ingin melanggengkan proses yang menguntungkan bagi si pemegang modal. Roh
kapitalisme baru adalah pihak yang bertanggungjawab atas proses indoktrinasi ini. Melalui
iklan dan media, manusia modern dicuci otaknya. Bahkan institusi pendidikan mulai tergiring
masuk dalam industrialisasi ini. Pendidikan menjadi sebuah komoditas. Hasil akhir
pendidikan tidak lagi menjadi perlu. Fokus institusi pendidikan mulai bergeser dengan
mengadopsi kepentingan-kepentingan layaknya industri lainnya.

Daya kritis dengan sengaja dimatikan, agar kelanggengan praktik-praktik tadi tidak
terganggu. Di sini diperlukan sikap kritis dan refleksi agar pendidikan terlepas dari jerat
tersebut.

Albertus membedakan antara sikap reflektif dan sikap kritis dalam pendidikan
karakter. Sikap reflektif lebih mengarah pada bagaimana individu menilai kembali cakupan
keyakinan nilai-nilai yang diyakini ketika nilai-nilai itu bertentangan/berkonflik dengan
prioritas nilai yang diyakini orang lain atau lembaga pendidikan. Sikap reflektif mencakup
pula kesediaan untuk mengembangkan secara terus-menerus pemahaman, pengertian dan
praksis nilai yang selama ini diyakini. Oleh karena itu, sikap reflektif bukan sekadar terkait
dengan situasi batin individu, melainkan juga bagaimana praksis individu atas nilai itu
berhadapan dengan praksis nilai orang lain dalam komunitas.14

Sedangkan sikap kritis adalah kemampuan individu untuk melihat kembali nilai-nilai
yang diyakini selama ini. Apakah keyakinan selama ini telah memiliki dasar rasional dan
praksis yang dapat diterima oleh banyak orang. Keyakinan setiap orang bisa berubah ketika
ada kesediaan untuk terbuka dan keberanian untuk mengubah pandangan setelah
mempertimbangkan hal tersebut berdasarkan informasi dan data yang baik.15

Menjawab persoalan ini, Doni menawarkan salah satu solusi adalah melaksanakan
suatu pembelajaran kolaboratif.16

Pembelajaran kolaboratif merupakan usaha pedagogis untuk mencari dan


mengembangkan kebenaran secara bersama-sama. Untuk itu, kedok-kedok ideologis, asumsi-
asumsi palsu yang tidak selaras dengan kelurusan berpikir yang disertai penjelasan yang

14
Albertus (2012), hal. 100
15
Ibid
16
Albertus (2009), hal 188-193
masuk akal, serta sifat propaganda yang bisa muncul dari ilmu pengetahuan perlu dilihat dan
dipahami secara kritis. Sikap kritis hanya bisa tumbuh jika ada kebersamaan dan kerjasama
dalam belajar.

Hal paling penting dalam pemikiran kritis adalah “transformasi realitas secara terus-
menerus atas nama humanisasi manusia. (Freire 2006). Oleh karena itu, tidak selamanya
konsensus itu bersifat tetap, sebab pemikiran kritis bisa melahirkan penemuan baru yang bisa
saja membatalkan konsensus sebelumnya, atau malah memperkaya apa yang selama ini
belum pernah tercapai sebagai konsensus. Di sinilah letak penting sebuah pembelajaran
secara kolaboratif. Dengan pembelajaran kolaboratif, siswa belajar memahami pandangan
dan pemikiran satu sama lain, bersifat kritis dan afirmatif, dimana mereka sejak dini
diperkenalkan metode pembelajaran bersama.17

D. KESIMPULAN

Menyikapi situasi zaman dengan berbagai persoalan yang ada di dalamnya,


diperlukan suatu sikap kritis dan sikap reflektif. Melalui pemikiran Habermas, terlihatlah
bahwa hal ini mungkin untuk dilakukan. Dengan dibantu oleh penjelasan Albertus, menjadi
jelaslah bahwa sikap kritis dan reflektif ini dapat dilakukan juga dalam konteks dunia
pendidikan.

Solusi untuk melakukan suatu Pembelajaran kolaboratif merupakan ide yang patut
dipertimbangkan. Di samping itu, Pembelajaran kolaboratif juga dapat membantu
menumbuhkan rasa diri seiswa sebagai pembelajar yang produktif, yang tahu apa makna
belajar dalam kebersamaan dengan orang lain.18

Perubahan zaman yang terjadi saat ini tidak hanya membawa kebaikan pada
kehidupan manusia, tetapi sekaligus keburukan. Saat ini muncul berbagai jenis kejahatan
baru yang tidak terpikirkan sebelumnya. Situasi ini semakin memburuk tatkala institusi
pendidikan tidak memainkan peran yang seharusnya. Alih-alih membawa perubahan baik,
institusi pendidikan malah didikte oleh pusaran zaman. Ini dimungkinkan terjadi karena guru
telah menjadi agen pusaran zaman. Alih-alih membimbing muridnya untuk tangguh
menghadapi pusaran zaman, guru malah turut menjadi korban. Refleksi kritis yang digagas

17
Ibid, hal 190
18
Ibid, hal. 191
oleh Habermas membawa kesegaran baru di tengah ambiguitas zaman. Refleksi kritis ini
menyadarkan manusia bahwa ia dapat keluar dari pusaran zaman itu.

KEPUSTAKAAN

Albertus, Doni Koesoema, Pendidik Karakter di Zaman Keblinger: Mengembangkan visi


guru sebagai perilaku perubahan dan pendidik karakter, Jakarta: Grasindo, 2009, hal.1

Albertus, Doni Koesoema, Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh, Yogyakarta:


Kanisius, 2012, hal. 38

Callanan, Valerie J. “Media Consumption, Perceptions of Crime Risk and Fear of Crime:
Examining Race/Ethnic Differences.” Sociological Perspectives, vol. 55, no. 1, 2012, hal.
93–115. www.jstor.org/stable/10.1525/sop.2012.55.1.93.

Ewert, G. (1991). Habermas and Education: A Comprehensive Overview of the Influence of


Habermas in Educational Literature. Review of Educational Research, 61(3), 345-378.
Retrieved from http://www.jstor.org/stable/1170636

Hardiman, F. Budi, Seni Memahami, Yogyakarta: Kanisius, 2015, hal. 209-216. Dalam
paparan itu, Habermas menyatakan bahwa ‘daya refleksi’ yang berkembang dalam Verstehen
memungkinkan orang untuk lepas atau putus dari tradisi yang melingkupi orang tersebut.

Markella B. Rutherford. “Authority, Autonomy, and Ambivalence: Moral Choice in


Twentieth-Century Commencement Speeches.” Sociological Forum, vol. 19, no. 4, 2004, pp.
583–609. www.jstor.org/stable/4148830.

Wain, K. Chapter Four: Habermas: The Rational Society. Counterpoints, (2004) 260, 135-
181. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/42978509 hal.136

You might also like