You are on page 1of 22

BAB III

TANTANGAN PGRI DI ERA DISRUPSI


DAN REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Kemampuan akhir yang diharapkan:


 Mahasiswa mampu menganalisis tantangan yang dihadapi PGRI
di era disrupsi dan revolusi industri 4.0.

Indikator:
1. Mahasiswa mampu mendeskripsikan dengan benar secara
konseptual pengertian era disrupsi dan revolusi industri 4.0.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan pengaruh era disrupsi dan
revolusi industri 4.0 dalam bidang pendidikan.
3. Mahasiswa mampu menguraikan tantangan dan peluang di era
disrupsi dan revolusi industri 4.0 bagi kehidupan organisasi
profesi kependidikan.
4. Mahasiswa mampu menampilkan contoh perilaku pendidik di
era disrupsi dan revolusi industri 4.0.

1
2

Materi Ajar:
A. Era Disrupsi dan Revolusi Industri 4.0
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai rumah
besar bagi para entitas pendidik/ guru menghadapi
banyak tantangan sekaligus peluang dalam mencapai visi dan
misi di era disrupsi dan revolusi industri 4.0. Perubahan-
perubahan yang terjadi di bidang teknologi digital yang
menyebabkan terjadinya proses otomatisasi dan konektivitas
dalam berbagai bidang kehidupan dan terjadinya persaingan
kerja menjadi tidak linear disebut dengan era disrupsi atau
revolusi industri (RI 4.0). Perkembangan teknologi di era RI 4.0
memberikan sangat banyak perubahan pada struktur
mentalitas manusia mulai dari cara berpikir, menyakini, dan
dalam tata cara bersikap seseorang (Suwardana, 2017). Pada
tahapan tertentu juga dimungkinkannya penggunaan
kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam
kehidupan sehari-hari. Internet sudah menjadi bagian sangat
penting dalam kehidupan manusia yang disebut dengan

internet of things (IoT).


Gambar 1 Tahapan Revolusi Industri.
3

Disrupsi merupakan perubahan kategorial dan tidak


berbentuk jenis perubahannya. Ada yang mengalami
perubahan secara evolusi, kecil pengaruhnya dan berjalan
pelan-pelan namun pasti. Sebagian lagi kebanyakan
perubahan besar dan berdampak luar biasa atau revolusioner
mulai dari bidang dunia usaha dan industri (DUDI) sampai
dalam bidang kehidupan sosial kemasyarakatan. Namun, dari
semua perubahan yang terjadi di era disrupsi dan RI 4.0
menawarkan berbagai tantangan (challenges) dan sekaligus
peluang (opportunities) yang sama kepada semua orang tanpa
melihat usia, pengalaman dan latar belakang. Oleh sebab itu,
sumber daya manusia (SDM) sebagai determinan prioritas
dalam mengendalikan/ men-drive roda keberhasilan
dari sebuah institusi termasuk di dalamnya organisasi profesi
PGRI.
Phenomena sosial di bidang organisasi profesi di era RI
4.0 bermunculan kompetitor baru, yakni organisasi profesi guru
seperti IGI, FSGI, FGII, dan lain-lain maupun marketplace yang
dimotori oleh para star up muda yang bergerak di bidang
pendidikan atau pembelajaran seperti Ruang Guru, Ruang
Belajar, GreatEdu, dan yang lainnya. Mereka menawarkan
program-program pendidikan dan pelatihan yang lebih efisien,
fleksibel, dan menjangkau para milineal. Pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi (ICT) berbasis internet yang
mereka tawarkan dalam peningkatan belajar dan
pengembangan professional.
4

B. Karakteristik Generasi Abad 21


Menurut teori generasi (gen theory) manusia di dunia ini
dapat dibagi menjadi empat kelompok yang secara
karakteristik memiliki kesamaan. Kelompok generasi yang
secara usia dan pola kerja relatif sama dapat
diklasifikasikan sebagai berikut Baby boomers, Generation X,
Generation Y, dan Generation Z. Pengelompokan generasi
tersebut lebih didasarkan pada rentang tahun kelahiran.
Generasi baby boomers atau generasi tua lahir sekitar
tahun 1950-1969, kelompok generasi X lahir sekitar tahun
1970-1984, kelompok generasi Y lahir 1985-1999 dan
kelompok generasi Z lahir sekitar tahun 2000-2015.
Karakteristik dan pola pikir generasi baby boomers dapat
dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok avoiders atau
penghindar dan adopters atau kelompok yang mau
mengadopsi teknologi. Zur dan Walker (2015) berpendapat
bawah tidak semua kelompok baby boomers itu alergi atau
menolak dalam pemanfaatan teknologi. Selanjutnya, Zur dan
Walker mencoba membaginya menjadi tiga kategori kelompok
baby boomers terhadap pemanfaatan teknologi, yakni
avoiders kategori kelompok penghindar, reluctant adopters
kategori kelompok pengguna ragu-ragu dan enthusiastic
adopters kategori pengguna dengan antusias yang tinggi.
Kelompok avoiders adalah para guru/pendidik yang
seringkali secara keras menolak menggunakan teknologi
sehingga paling gaptek, gagap teknologi. Guru-guru kategori
avoiders lebih menyukai gaya hidup yang bebas atau
meminimalisasi berinteraksi
5

dengan teknologi. Sementara kategori reluctant adopters


menganggap teknologi sebagai bagian dari perkembangan
zaman dan berusaha mencoba berinteraksi meskipun pasif.
Sedangkan kategori enthusiastic adopters memiliki rasa ingin
tahu dan semangat yang tinggi untuk turut menggunakan
teknologi secara aktif dan rutin.
Karakteristik dan pola kerja generasi X antara lain
generasi yang lahir pada tahun-tahun awal dari
perkembangan teknologi dan informasi seperti penggunaan
personal computer, video games, TV kabel dan internet.
Generasi X ini mampu beradaptasi dan mampu menerima
perubahan dengan cukup baik sehingga dapat dikatakan
sebagai generasi yang tangguh, yang memiliki karakter.
Karakteristiknya banyak akal, independen, butuh kenyamanan
emosional, lebih suka sesuatu yang informal dan punya
kemampuan usaha/ berdagang dibandingkan baby
boomers. Kehidupan antara pekerjaan dan personal balance,
mengembangkan kesempatan yang dipunyai, menyukai
hubungan pekerjaan yang positif dan menyukai kebebasan dan
mencari ruang untuk dapat berkembang terus.
Generasi Y dikenal dengan sebutan generasi millennial
atau milenium. Generasi Y banyak menggunakan teknologi
komunikasi instan seperti email, SMS, instant messanging dan
lain-lain. Generasi Y merupakan generasi yang tumbuh pada
era internet booming (Lyons, 2004) (dalam Putra, 2016). Tidak
hanya itu saja, generasi Y ini lebih terbuka dalam
pandangan politik dan ekonomi, sehingga mereka terlihat
sangat reaktif
6

terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di


sekelilingnya. Karakteristiknya lebih berkomitmen terhadap
lembaga, pekerjaan merupakan salah satu prioritas, tapi
bukan yang utama, menyukai peraturan yang tidak berbelit-
belit, menyukai keterbukaan dan transparansi. Lebih fokus
pada team orientation, menyukai feedback dan juga suka
challenges yang membuat mereka harus all out.

Gambar 2 Teori Generasi

Generasi Z merupakan generasi paling muda yang baru


memasuki angkatan kerja. Generasi ini biasanya disebut
dengan generasi internet atau Igeneration. Generasi Z lebih
banyak berhubungan sosial lewat dunia maya. Sejak kecil,
generasi ini sudah banyak dikenalkan oleh teknologi dan
sangat akrab dengan smartphone dan dikategorikan sebagai
generasi yang kreatif. Karakteristik generasi Z lebih menyukai
kegiatan sosial dibandingkan generasi sebelumnya, lebih suka
di bidang start up, multitasking, sangat menyukai teknologi dan
ahli dalam mengoperasikan teknologi, peduli terhadap
lingkungan, mudah terpengaruh terhadap lingkungan mengenai
7

produk dan merk, pintar dan mudah menangkap peluang dan


informasi.
Perbedaan karakteristik yang paling signifikan antara
generasi Baby boomers, X, Y dan Z adalah penguasaan
informasi dan teknologi. Bagi generasi Z, informasi dan
teknologi adalah hal yang sudah menjadi bagian dari
kehidupan mereka, karena mereka lahir dimana akses
terhadap internet sudah menjadi budaya, sehingga
berpengaruh terhadap nilai dan pandangan tujuan hidup
mereka. Generasi Y dan Z seringkali disebut sebagai penduduk
asli digital atau digital native sementara generasi X awal dan
baby boomers lebih sebagai penduduk pendatang di dunia
digital atau digital immigrant.

Gambar 3 Taksonomi Bloom di era dijital

Jumlah penduduk generasi X, Y dan Z di Indonesia saat


ini lebih dominan dibanding jumlah penduduk usia tua dan
balita. Sehingga pendidikan di Indonesia membutuhkan guru-
8

guru yang memiliki mindset adopters terhadap teknologi dan


memiliki keterampilan 4C pembelajaran abad 21. Guru
sekarang dituntut mampu mengembangkan potensi peserta
didik dengan tingkat berpikir tinggi atau higher order thinking
skills (HOTS) melalui keterampilan pembelajaran 4C yakni
critical thinking, creativity, collaboration, dan communication.

C. Pendidikan 4.0
Waras Kamdi dalam tulisannya di Kompas, 3 Maret 2018
dengan judul “Pendidikan Tinggi 4.0” menyatakan bahwa Sejak
dilantik presiden Joko Widodo, yang “gemas” melihat
perguruan tinggi di Indonesia, yang dinilainya tak tanggap
perubahan zaman, kalangan perguruan tinggi kontan
menggeliat. Teknologi dan inovasi disrupsi yang menandai
perubahan zaman menjadi ‘trending topic’ di kalangan
pendidik dan lembaga pendidikan. Termasuk di kalangan
perguruan tinggi PGRI geliat perubahan terjadi dengan
melakukan perubahan bentuk lembaga, dari institut atau
sekolah tinggi menjadi universitas.
Diawali dari IKIP PGRI Madiun menjadi Universitas PGRI
Madiun (UNIPMA), STKIP PGRI Tulungagung menjadi Universitas
Bhinneka PGRI (UBHI), STKIP PGRI Pasuruan menjadi Universitas
Wiranegara (UNIWARA), IKIP PGRI Jember menjadi Universitas
PGRI Argopura (UNIPAR), STKIP PGRI Sumatera Barat menjadi
Universitas PGRI Sumatera Barat (UPGRISBA), STKIP PGRI Lubuk
Linggau menjadi Universtitas PGRI Silampari dan akan disusul
beberapa kampus yang sedang dalam proses perubahan
9

bentuk menjadi universitas. Selain itu, perubahan dalam inovasi


dan teknologi pendidikan dilakukan melalui perkuliahan secara
online atau dalam jaringan (daring).
Perguruan tinggi PGRI se-Indonesia yang berjumlah 52
lembaga/ kampus yang berbentuk; Akademi, Sekolah Tinggi,
Institut maupun Univeritas dengan 45 badan penyelenggara
yang berbentuk; PPLP, YPLP, YP, Yayasan, BPH PT/PB
PGRI dengan jumlah mahasiswa sebanyak 151.932 orang
dan jumlah dosen sebanyak 5.589 orang (Sumber: BPLP PB
PGRI, April 2021). Dari 52 perguruan tinggi PGRI seluruh
Indonesia sekitar 47% atau 24 kampus di bawah 21
badan penyelenggara (YPLP/PPLP PT PGRI) dan 21 cabang
khusus PT PGRI berada di provinsi Jawa Timur. Demikian
juga yang terjadi di tingkat pendidikan dasar menengah,
baik sekolah negeri maupun sekolah-sekolah swasta yang
berada di bawah YPLP Dasmen PGRI bergerak bersama
dalam kemajuan pendidikan.
Pandemi Covid 19 yang melanda Indonesia pada bulan
Maret 2020 ibarat blessing in disguise, berkah terselubung
dalam melakukan perubahan di bidang teknologi pendidikan.
Dalam buku Jati Diri Guru Indonesia, pada halaman prolog
ketua umum PB PGRI Masa Bakti XXII Periode 2019-2024
Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd. menjelaskan bahwa secara
struktural dan fungsional, arah perjuangan PGRI mulai
bergerak ke arah profesi yang modern dengan mentransformasi
PGRI menjadi kekuatan moral intelektual dengan tidak
meninggalkan elan
10

perjuangan sebagai organisasi perjuangan dan ketenaga-


kerjaan.
Modernisasi organisasi sesuai kebutuhan dilakukan antara
lain dengan membentuk alat perangkat kelengkapan
organisasi sesuai kebutuhan seperti PGRI Smart Learning and
Character Center (PSLCC), Lembaga Kajian Kebijakan
Pendidikan (LKKP), Penguatan Asosiasi Profesi dan Keahlian
Sejenis (APKS), Perempuan PGRI, dan tengah digagas Pusat
Pengembangan Profesi Pendidik (P4). PB PGRI terus mencari
upaya agar Lembaga Pendidikan PGRI yang berada dalam
naungan YPLP/BPLP tidak terdisrupsi oleh perubahan, sekaligus
memperkuat perangkat yang sudah ada seperti Dewan
Kehormatan Guru Indonesia (DKGI), Lembaga Konsultasi dan
Bantuan Hukum (LKBH) sekaligus sebagai upaya lepas landas
menuju organisasi profesi yang modern, organisasi perjuangan,
dan juga sebagai organisasi ketenagakerjaan yang dapat
merespons kebutuhan berdasarkan zamannya. PGRI siap
berubah dan bertransformasi dalam konstelasi zaman.
Dalam konsep “Education 4.0” telah terjadi pergeseran
peran guru atau pendidik seiring revolusi industri yang terus
melaju. Pada tahap Education 1.0 disebut Teachers Centered.
Guru menjadi pusat sumber belajar, satu-satunya sumber ilmu
mengajar dan menghafal. Apa yang diajarkan guru ibarat
sabdo pandito ratu tan keno wala wali, sebagai sumber
“kebenaran” yang harus diikuti karena tidak berubah-ubah
atau plin-plan. Pada tahap Education 2.0 disebut Learners
Receptacles of Knowledge. Peserta didik sebagai penerima
11

Gambar 4 Pendidikan 4.0

pengetahuan dari guru/pendidik namun peserta didik diijinkan


menolak/ berbeda pendapat. Pada tahapan ini internet mulai
digunakan secara parsial dan terbatas pada tingkatan tertentu.
Sedangkan pada tahap Education 3.0 yang disebut dengan
Teacher as Fasilitator, praktik pembelajaran di kelas sudah lebih
interaktif dan terjadi kolaborasi antar peserta didik, dan
peserta didik dengan pendidik/guru. Pada tahapan ini
pembelajaran mulai dibangun jejaring sosial (social networking)
dengan menggunakan pendekatan dan model problem based
learning (PBL), project based learning (PjBL) and inquiry based
learning (IBL). Terakhir pada tahap Education 4.0 disebut
sebagai Leaners as Connectors, Creators, and Constructivist.
Peran guru lebih sebagai pemandu ke sumber daya dan konten
ajar karena peserta didik berperan sebagai produser konten
belajar, penyambung koneksi, dan pembangun informasi.
Kurikulum lebih berbasis web dan open source software.
12

Pada tahap education 4.0 pendidikan lebih terbuka (open


education), sistem manajemen belajar atau learning
management system (LMS) dikembangkan secara open access
dan mandiri (self directed learning). Model pembelajaran
dilaksanakan secara terbuka, massif dan relatif murah dengan
menggunakan metode belajar jarak jauh MOOCs (massive
open online courses). Asessmen lebih berbasis pada performa
atau luaran bukan pada angka kemampuan kognitif.

D. Mempersiapkan Karakter dan Keterampilan 4.0

Penyiapan sumber daya manusia atau human capital, para

pendidik dengan membekali ilmu-ilmu baru melalui program


Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) dan tidak
alergi memanfaatkan teknologi merupakan salah satu strategi
dalam menghadapi era disrupsi. Guru sebagai pendidik
professional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi

peserta didik merupakan human capital yang harus terus


dibekali dengan ilmu baru. Beberapa tugas guru sekarang
sudah bisa digantikan oleh mesin atau robot, seperti pekerjaan
menilai, melatih dan mengevaluasi. Bahkan tugas mengajar,

siswa sekarang sudah banyak mencari di Youtube atau canal


lainnya melalui internet dan lebih menarik.
13

Guru-guru zaman sekarang perlu dibekali teknologi


digital (digital literacy) seperti big data, autonomous robots,
cybersecurity, cloud, augmented reality, virtual reality, dan

keterampilan-keterampilan mengajar jarak jauh atau online.


Terlebih saat kondisi pandemi Covid-19 belum tuntas maupun
pasca pandemi keterampilan pembelajaran jarak jauh atau

online yang menarik dan interaktif perlu ditingkatkan. Bahkan,

keterampilan mengajar secara blended/hybrid learning dalam


mengantisipasi pertemuan tatap muka atau PTM terbatas.
Lebih daripada itu, yang paling urgen adalah perubahan pola
pikir dan memiliki kesadaran dalam mengadaptasi
perubahan- perubahan. Lembaga Pendidikan dan
organisasi profesi (orprof) harus cepat beradaptasi dengan
perubahan karena efek dari disrupsi dapat mengubah
segala lini kehidupan termasuk budaya sekolah dan
pengelolaan organisasi profesi.

1. Karakter Perubahan

Pidato Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956


Bung Karno mengatakan, “Membangun jiwa yang merdeka,
mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku agar
berorientasi pada kemajuan dan hal-hal yang modern,
sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu
berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.”
Membangun suatu
14

negara tak hanya pembangunan fisik atau jasmaniah, namun


sesungguhnya membangun jiwa dan karakter bangsa
(character nation building). Inilah yang disebut sebagai gerakan

revolusi mental oleh Presiden Joko Widodo. Jiwa atau


karakter bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat, jiwa
kebebasan untuk meraih kemajuan. Jadi, meskipun di era 4.0

banyak hal berubah menjadi otomatisasi, internet of things,


digitalisasi tapi softskill seorang guru atau pendidik tak bisa
tergantikan oleh mesin. Bagaimanapun interaksi, dan
perasaan tidak bisa diganti dengan mesin atau robot. Untuk
itu, yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk mengenali
dirinya sendiri dan lingkungannya. Kemudian bagaimana ia
mengelola hubungan dengan teman, lingkungan, dan sosialnya.

Itu yang dinamakan social intelligence sekaligus merupakan


karakter perubahan. Karakter perubahan merupakan karakter

adopters, karekter yang selalu bisa beradaptasi sekaligus


mengadopsi setiap perubahan yang lebih baik dan maju.

2. Karakter Yang Purna

Erbe Sentanu, menjawab dalam bukunya Karakter 360,


yaitu manusia yang selain memiliki semangat, kemauan, kerja
keras, ketekunan, dan kebahagiaan, juga bersifat adaptatif
dan lentur. “Manusia yang menyadari bahwa dalam dirinya
15

sudah terinstalasi super intelligent software yaitu hati nurani


dan jiwa dan paham bagaimana menggunakannya,” kata
Erbe. “Itulah manusia berkarakter utuh, seperti lingkaran
penuh-360 derajat.” Dengan kesadaran itu, ia melanjutkan,
apa pun perubahan yang terjadi di luar diri kita, akan
mampu kita terima, pahami, dan sikapi.

Dengan menggunakan super intelligent software tersebut


kita akan mudah menangkap “pesan Tuhan” dalam disrupsi
yang terjadi. “Tuhan meminta kita harus cepat berubah, karena
kita selama ini masih ‘terlalu santai’ sehingga ketinggalan
dengan yang lain,” paparnya. “Tapi tentu untuk berubah kita
juga harus menggunakan hati nurani, sehingga perubahan itu
punya manfaat yang besar buat orang lain dan lingkungan.”

Jadi, kata penulis buku Quantum Ikhlas dan The Miracle of

Zona Ikhlas ini, bukannya gampang menyerah dan putus asa,


namun sebaliknya, kesadaran akan hati nurani dan jiwa ini
akan membuat kita bangkit dan mengejar ketertinggalan,
dan sekaligus memberikan yang terbaik untuk
kemaslahatan bersama baik untuk dirinya sendiri maupun
untuk orang lain. Inilah karakter yang purna.

Manusia dengan karakter purna mampu mengendalikan


seluruh subsistem yang terjadi dalam hidupnya. Semua
16

perubahan baik yang menguntungkan atau bahkan membuat


kesulitan hidup tetap diterima dan diambil hikmahnya.

3. Keterampilan Yang Dibutuhkan di Era 4.0


Era 4.0 membutuhkan sumber daya manusia atau human
capital yang harus tetap mau belajar. Baik peserta didik
maupun pendidik/guru harus memiliki sejumlah keterampilan
khusus sebagai berikut.
a) Complex Problem Solving, yaitu kemampuan menyelesaikan
masalah yang kompleks serta belajar darinya untuk menjadi
lebih baik dan lebih baik lagi.
b) Critical Thinking, yaitu mampu berpikir kritis, masuk akal,
tingkat kognitif, dan membuat strategi untuk meningkatkan
hasil. Berpikir dengan tujuan yang jelas, beralasan, dan
berorientasi pada sasaran atau luaran.
c) Creativity, yaitu kemampuan terus berinovasi dan
bermanfaat bagi masyarakat serta lingkungan. Mampu
mengembangkan sesuatu yang sudah ada menjadi lebih
baik atau menciptakan (ceate) yang belum ada.
d) People Management, yaitu memiliki kemampuan untuk
mengatur, memimpin, dan memanfaatkan sumber daya
manusia secara optimal dan berkarakter purna.
e) Coordinating With Other, yaitu kemampuan menjadi
supertim, bisa bekerja sama dengan tim dan luar tim bukan
menjadi superman atau wonderwoman.
f) Emotion Intelligence, yaitu kemampuan untuk mengatur,
menilai, menerima, serta mengontrol emosi dirinya dan
17

orang lain di sekitarnya sampai memperoleh kemanfaatan


bersama.
g) Judgment and Decision Making, yaitu kemampuan menarik
kesimpulan atas situasi yang dihadapi dan mengambil
keputusan dalam kondisi apa pun, termasuk saat sedang
berada di bawah tekanan (under pressure).
h) Service Orientation, yaitu memiliki keinginan untuk membantu
dan melayani orang lain sebaik mungkin tanpa mengharap-
kan penghargaan semata. Melayani dengan hati dan
keikhlasan.
i) Negotiation, yaitu kemampuan berbicara, bernegosiasi, dan
meyakinkan orang dalam aspek pekerjaan sampai orang
lain menjadi yakin atau percaya pada kita.
j) Cognitive Flexibility, yaitu kemampuan menyusun suatu
pengetahuan secara spontan, dalam banyak cara, memberi
respons penyesuaian diri secara logis dan masuk akal.

E. Menghadapi fenomena Metaverse


Pada Jumat, 29 Oktober 2021 kita dikagetkan dengan
pergantian nama perusahaan besar dunia Facebook Inc.
menjadi Meta Platform Incorporated. Mark Zuckerberg, pendiri
sekaligus CEO Facebook menyatakan perusahaannya ingin
lebih serius lagi masuk dalam dunia metaverse.

Gambar 5 Logo baru Meta Platform Inc.


18

Menurut Zuckerberg, metaverse adalah dunia virtual baru masa


depan karena manusia sekarang sudah sangat mengandalkan
internet untuk berinteraksi. Marsudi Wahyu Kisworo (2022)
dalam seminar menjelaskan bahwa metaverse pertama,
bagaimana menyatukan dunia nyata dengan dunia dijital.
Kedua, adanya unsur presence dimana kita bisa merasakan
berada hadir di dunia dijital yang diwakili oleh avatar. Ketiga,
unsur berkomunikasi lebih nyata interaksinya. Keempat,
membawa kemanusiaan kita ke dunia dijital dengan seluruh
indera. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
metaverse bisa dilihat dari dua sisi, yakni sebagai media sosial
dan peran permainan atau role playing game. Metaverse
merupakan dunia luas dijital yang sangat canggih dan berisi
dunia-dunia khusus atau universe. Masing-masing unverse dapat
memainkan perannya sehingga manusia bisa menjadi multiperan
dan multikarakter melalui avatar-avatar kita. Matthew Ball lebih
menguraikan pengertian metaverse sebagai berikut:
“The Metaverse is a massively scaled and interoperable
network of real-time rendered 3D virtual worlds which can
be experienced synchronously and persistently by an
affectively unlimited number of users with an individual
sense of presence, and with continuity of data, such as
identity, history, entitlements, objects, communications,
and payments.”
19

Gambar 6 Avatar Guru dan Siswa di Ruang kelas Metaverse

Peluang dan tantangan PGRI sebagai organisasi profesi


akan semakin kompleks. Peran guru menjadi semakin besar
dalam tugas pendampingan dan pendidikan karakter para
siswa. Bagaimana bisa mengarahkan para siswa dalam
berperilaku di dua dunia yang berbeda. Dunia nyata yang
harus dijalani dengan segala konsekuensi jika terjadi
pelanggaran norma-norma sosial. Sementara mereka merasa
menjadi manusia yang berkuasa di dunia dijital. Jati diri PGRI
sebagai organisasi profesi dan perjuangan menjadi semakin
tertantang dengan fenomena metaverse. Ada banyak peluang
pembinaan profesi dan karakter yang bisa dikerjakan
melalui perangkat kelengkapan organisasi (PKO) seperti
APKS, PGRI SLCC dan bahkan peran mediasi dan sosialisasi
seperti DKGI
20

dan LKBH supaya tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran kode


etik guru dan norma hukum Ketika melaksanakan tugas profesi.
Pertemuan-pertemuan organisasasi seperti konferensi
kerja sampai dengan kongres baik di tingkat Pengurus Besar
(PB), Provinsi/Daerah Khusus/Istimema, Kabupaten/ Kota,
Cabang/Cabang Khusus bahkan sampai tingkat Ranting dapat
diselenggarakan dengan menggunakan metaverse. Secara
biaya akan jauh lebih hemat dan efisien serta lebih sehat
karena tidak perlu hadir secara fisik yang beresiko terjadi
penularan penyakit. Namun, bagaimana aspek sosial dan
kemanusiaan sesuai adat budaya masyarakat Indonesia? Itulah
yang menjadi PR kita bersama.
21

Tugas
I. Petunjuk:
Jawablah semua pertanyaan dengan benar dan jujur!
II. Soal:
1. Perubahan yang terjadi saat ini sering disebut disrupsi
digital dan revolusi industri 4.0. Jelaskan dan sebutkan
contohnya!
2. Menurut teori generasi ada empat kelompok usia yang
secara karakteristik memiliki perbedaan dalam cara
berpikir dan pemanfaatan teknologi. Sebutkan keempat
kategori generasi dan jelaskan karakteristiknya!
3. Tahapan revolusi Pendidikan mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi komuniksi atau ICT. Tugas
dan peran guru/pendidik mengalami
perkembangan fungsi. Jelaskan keempat tahapan revolusi
dalam bidang Pendidikan dan jelaskan peran guru pada
masing-masing tahapan?
4. Tantangan dan peluang organisasi pada era disrupsi dan
revolusi industri 4.0 sangatlah besar. Jelaskan tantangan
dan peluang PGRI dalam mencapai visi misinya untuk
mewujudkan diri sebagai organisasi profesi yang maju dan
modern dengan tetap menjadi organisasi perjuangan dan
ketenagakerjaan!
5. Jelaskan karakter dan keterampilan yang dibutuhkan pada
era disrupsi dan revolusi industri 4.0 agar peran guru tidak
tergantikan oleh mesin atau robot!
22

Daftar Pustaka
1. Kupperschmidt, B. R. (2000). Multigeneration employees:
strategies for effective management. The health care
manager, 19(1), 65-76.
2. Muhammad, Giri (2020). Jati Diri Guru Indonesia. Jakarta.
PGRI Press Bekerjasama dengan Prenada Media Group.
3. Sentanu, Erbe. (2008). Quantum Ikhlas. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, Gramedia.
4. Republik Indonesia. 2005. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Jakarta.
5. Republik Indonesia. 2012. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi. Jakarta.
6. http://ft.um.ac.id/pendidikan-tinggi-4-0-waras-kamdi/
7. https://www.zurinstitute.com/digital-divide/
8. https://www.researchgate.net/publication/256089649_Man
aging_the_New_Workforce_International_Perspectives_on
the_Millennial_Generation
9. https://www.youtube.com/watch?v=pX0K0KpCTAo

You might also like