You are on page 1of 37

BAB I PENDAHULUAN

A. Capaian Pembelajaran :
1. Menumbuhkan sikap disiplin, kompetitif dan professional.
2. Menumbuhkan pribadi yang tanggap terhadap sesama dan lingkungannya, tangguh, ulet,
tidak mudah putus asa, jujur, memiliki integritas, takwa dan toleransi, serta jiwa
semangat nilai 1945.
B. Indikator :
1. Mediskripsikan latar belakang dan alasan yang mendorong berdirinya organisasi PGRI.
2. Mengidentifikasi masa perjalanan sejarah organisasi PGRI sejak berdiri tahun 1945
hingga saat ini.
3. Mengidentifikasi nilai – nilai yang tumbuh berkembang sebagai sifat khas organisasi
PGRI selama ini.
4. Meneladani sifat – sifat khas yang tumbuh berkembang dari organisasi PGRI dalam
kehidupan sehari – hari.
C. Sejarah dan Dinamika PGRI
Dalam sejarah pendidikan Indonesia, PGRI adalah sebuah fenomena yang sangat
menarik. Organisasi guru ini lahir, tumbuh dan berkembang seirama dengan dinamika
perkembangan bangsa dan Negara Indonesia, terutama sejak kemerdekaan pada tanggal 17
Agustus 1945. Karena itu, PGRI tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan dinamika bangsa
Indonesia, bukan hanya pada pendidikan melainkan pada hampir seluruh aspek kehidupan
bangsa ini.
Memang siapapun yang mengetahui sejarah PGRI akan dan harus secara jujur
mengakui reputasi organisasi ini. Dari segi keberlangsungan atau daya tahannya PGRI telah
terbukti tahan uji terhadap setiap perkembangan zaman dalam rentang waktu selama ini (75
tahun), tanpa ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa organisasi ini akan makin melemah;
bahkan kelihatan justru semakin kuat sekalipun menghadapi tantangan baru dari organisasi
guru lainnya yang lahir sejak era reformasi. Pada hal, tak terbilang organisasi yang lahir
hampir sezaaman dengan lahirnya PGRI, atau bahkan lebih baru, tetapi tidak mampu
bertahan lama.
Apa sebenarnya yang membuat PGRI demikian?
Sebagai organisasi perjuangan, PGRI merupakan wadah bagi para guru dalam
memperoleh, mempertahankan, meningkatkan, dan membela hak asasinya baik sebagai
pribadi, anggota masyarakat, warga negara, maupun pemangku profesi keguruan.
PGRI berjuang untuk mewujudkan hak-hak kaum guru dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Perjuangan dilakukan melalui berbagai cara dan bentuk yang
konstitusional, prosedural dan konsepsional dalam memperoleh kehidupan guru yang layak
dan sejahtera. Untuk itu PGRI secara konsisten dan konsekuen memperjuangkan
kesejahteraan guru baik lahir maupun batin, baik materil maupun non-materil agar mereka
dapat memperoleh kepuasan kerja yang didukung dengan imbalan jasa yang memadai, rasa
aman dalam bekerja, lingkungan kerja yang kondusif, pergaulan antar pribadi yang baik dan
sehat, serta memperoleh kesempatan pengembangan diri dan karier.
Sebagai warga negara, para anggota PGRI berupaya untuk turut memperjuangkan
tetap tegak dan lestarinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, berperan serta dalam
pembangunan nasional, ikut serta mewujudkan pendidikan nasional.
Dinamika perjuangan guru dalam ikut serta mewujudkan terbentuknya NKRI yang
merdeka dan berdaulat.
D. Gerakan Guru pada Masa Perjuangan Kemerdekaan
Pada zaman Belanda, terdapat bermacam-macam sekolah diperuntukkan bagi
golongan tertentu. Umpamanya sekolah Desa atau Sekolah Rakyat (Volksschool) untuk
masyarakat desa, sekolah Dasar Angka II (Tweede Inlandse School) untuk rakyat biasa di
kota-kota, dan Sekolah Dasar berbahasa Belanda untuk anak-anak ningrat (priyai) atau anak-
anak pegawai pemerintah Hindia Belanda yang gurunya digaji paling sedikit  fi 100/bulan
(baca: 100 florijn/gulden). Guru-gurunya adalah tamatan bermacam-macam sekolah guru,
seperti Sekolah Guru Desa, Normalschool (NS), Kweekschool (KS), Hogere Kweckhooi
(HKS), Hollands-Inlandse Kweekschool (HIK), Europese Kweekvhool (EKS), Indische
Hoofdacte. Guru-guru tersebut mempunyai serikat pekerja masing-masing menurut
ijazahnya. Gaji perkumpulan untuk tamatan Sekolah Guru Desa sebesar  fi. 7,50 per bulan,
untuk tamatan NS fi 22,5/bulan, untuk tamatan HKS/HIK fi. 70 per bulan, untuk lulusan EKS
fi 125/bulan, dan untuk lulusan Hoofdacte fi 130 per bulan. Perbedaan dalam penggajian dan
kedudukan tersebut tidak jarang menimbulkan pertentangan antar-golongan guru yang
bermacam-macam itu yang tidak menguntungkan dunia pendidikan.
Siasat pecah-belah dilakukan oleh Belanda di semua aspek kehidupan, bukan hanya
dalam pendidikan, melainkan juga dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Kaum Bumiputera
dipersulit untuk memasuki sekolah, terutama sekolah yang berbahasa Belanda seperti: HIS,
ELS, dan MULO.
Para guru lulusan berbagai jenis sekolah yang ada pada masa itu berusaha
memperjuangkan nasibnya. Mereka melihat kekuatan perjuangan yang dilancarkan oleh para
pegawai/buruh untuk memperoleh upah yang wajar, maka pada tahun 1908 lahirlah
Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel in Nederlands Indie (VSTV), disusul kemudian
dengan berdirinya Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) pada tahun 1912, Vereniging
Inlands Personeel BOW (VIPBOW), Perserikatan Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN).
Berkat pidato Sosro Kartono, kakak kandung R.A. Kartini, di depan peserta Kongres
Bahasa tahun 1899 di Belanda, mulai tahun 1907 terjadi perkembangan penting, yaitu; pada
kelas-kelas tinggi Eerste Inlandse School (EIS) diberikan pelajaran bahasa Belanda; EIS
dijadikan 7 tahun, namanya diubah menjadi Hollands Inlandse School (HIS); Sekolah bagi
anak-anak Bumiputera diajarkan bahasa Belanda; terbuka kesempatan bagi putera-puteri
Indonesia untuk memasuki pintu gerbang ilmu pengetahuan umum, ilmu politik, ilmu sosial,
sejarah dan sebagainya.
Untuk mengisi tenaga guru pada HIS, pada tahun 1917 pemerintah Belanda
mendirikan sekolah guru bernama Hogere Kweekschool (HKS) di Purworejo. Lama
belajarnya 3 tahun sesudah Kweekschool (KS). Para guru dalam memperjuangkan nasibnya,
pada tahun 1912 mendirilakan Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) yang diketuai oleh
Karto Soebroto, organisasi ini bersifat unitaristik. Selain memperjuangkan nasib para guru
tantangan berat bagi PGHB adalah menghadapi perpecahan , pecah dalam pengertian
masing-masing anggota berjuang sesuai dengan program kerjanya. Pada tahun 1919, di
samping PGHB, terbentuk gerakan baru diantaranya Persatuan Guru Bantu (PGB), Persatuan
Normalschool (PNS), Oud Kweekschoolieren Bond (KSB), dan School Opzieners Bond
(SOB).
Aktivis tamatan HKS yang giat memprakarsai penyelesaikan kemelut yang menimpa
bond-bond tersebut termasuk PGHB adalah A.W.Karjoso, Atik Suardi, dan Sutopo
Adisaputro. Pada tahun 1924 usaha ketiga orang ini memperlihatkan hasilnya, ikatan-ikatan
yang sesuai dengan jabatan dan pendidikan guru berdiri yang disebut “Groepsbonden” yaitu
Perserikatan Guru Desa, kemudian diganti dengan Voiks Onderwzjzers Bond (VOB),
Perserikatan Guru Bantu (PGB), Persatuan Guru Ambachtsschool (PGAS), Perserikatan
Normalschool (PNS), Hogere Kweekschool Bond (HKSB). Lulusan HIK mendirikan
persatuan sendiri dengan nama Onderwjzers Vak Organisatie (OVO)
Usaha memperjuangkan nasib guru memuncak pada kesadaran dan cita-cita
kemerdekaan, bukan sekedar perjuangan nasib belaka. Rustam Effendi, seorang guru
Abadiyah di Padang, Sumatera Barat, pada tahun 1922 mengumandangkan suara “merdeka”
melalui sajak-sajak dan drama-drama yang dikarangnya, di antaranya berjudul “Bebasari”.
Pada tahun 1932 nama PGHB diganti dengan PGI (Persatuan Guru Indonesia).
Penggantian nama “Hindia Belanda” dengan “Indonesia” dalam nama organisasi ini
mengejutkan Belanda. Sebaliknya, bagi para guru dan bangsa Indonesia umumnya, nama itu
sangat disukai dan diidam-idamkan.
Perang Dunia II pecah pada tahun 1939. Setahun kemudian, Negeri Belanda
diduduki oleh tentara Jerman. Pada tahun 1941 semua guru laki-laki bangsa Belanda
ditugaskan untuk menjadi milisi. Untuk mengatasi kekurangan guru di Indonesia, beberapa
sekolah sejenis digabungkan dan gurunya diisi oleh orang-orang Indonesia. Akan tetapi,
pada zaman pendudukan Jepang keadaan sama sekali berubah. Segala organisasi dilarang,
sekolah ditutup. Praktis segala kegiatan pendidikan dan kegiatan politik, membeku. Barulah
menjelang Jepang takluk kepada tentara Sekutu, sekolah-sekolah itu mulai dibuka kembali.
E. Lahirnya PGRI Tanggal 25 November 1945
Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 merupakan titik kulminasi
perjuangan bangsa Indonesia dan sekaligus merupakan jembatan emas bangsa Indonesia
untuk mewujudkan cita –cita nasioanl. Momentum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945 memiliki efek kehidupan yang sangat luas bagi masyarakat, tak terkecuali kepada para
guru.
Pada tanggal 23-25 November 1945 bertcmpat di Sekolah Guru Puteri (SGP)
Surakarta, Jawa Tengah diselenggarakan Kongres Guru Yang Pertama. Dari kongres itu
lahirlah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang merupakan wahana persatuan dan
kesatuan segenap guru di seluruh Indonesia.
Di antara pendiri PGRI adalah Rh. Koesnan, Amin Singgih, Ali Marsaban, Djajeng
Soegianto, Soemidi Adisasmito, Abdullah Noerbambang, dan Soetono.
Melalui kongres ini, segala bentuk perpecahan antara kelompok guru yang
didasarkan kepada perbedaan tamatan (ijazah) di lingkungan pekerjaan, lingkungari daerah,
aliran politik, agama dan suku, sepakat untuk dihapuskan. Mereka serentak bersatu untuk
mengisi kemerdekaan dengan tiga tujuan:
1. Mempertahankan dan menyempumakan Republik,
2. Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar dasar kerakyatan,
3. Membela hak dan nasib buruh umumnya, guru padak hususnya.
Para pendiri PGRI yang saat ini masih hidup menerangkan bahwa kesepakatan
penyusunan ketiga tujuan tersebut dicapai dalam suasana pekik "Merdeka!" yang berlalu-
talu, di tengah bau mesiu pemboman oleh tentara Inggris atas studio RRI Surakarta yang
jaraknya hanya ratus- an meter dari tempat sidang di SGP.
Para peserta kongres sempat panik dan mencari perlindungan. Kemudian setelah
pesawat Inggris berlalu, mereka berkumpul kembali dan meneriakkan pekik "Merdeka,
merdeka, merdeka!"
Demikian tingginya kesadaran politik dan perjuangan para guru untuk
mempertahankan kemerdekaan, sehingga para peserta kongres saat itu mengeluarkan
resolusi untuk mengirim telegram kepada para pejuang di Surabaya agar mereka terus
berjuang melawan penjajah. Isi telegram itu juga mengajak semua guru yang ada di seputar
Surabaya untuk ikut serta memanggul senjata guna membantu para pemuda patriot bangsa
yang sedang menghadapi tentara Sekutu.
Hal ini dapat dicatat sebagai peristiwa sejarah yang sangat patriotik. PGRI lahir
sebagai "anak sulung" dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang memiliki sifat
dan semangat yang sama dengan "ibu kandungnya", yaitu semangat pcrsatuan dan kesatuan,
pengorbanan dan kepahlawanan untuk menentang penjajah. PGRI merupakan organisasi
pelopor dan pejuang; karena itu para pendiri PGRI mengangkat “ semangat itu ke dalam
tujuan yang pcrtama di atas. Sementara itu, tujuan yang kedua sangat erat hubungannya
dengan tugas pokok dan fungsi anggota PGRI sebagai pendidik bangsa, yang melalui proses
pendidikan bermaksud mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas hidup
bangsa Indonesia dari segi pendidikan. Tujuan yang ketiga berkaitan langsung dengan PGRI
sebagai wahana meningkatkan perjuangan untuk perbaikan nasib anggotanya. PGRI adalah
organisasi pejuang yang lahir dalam proses sejarah di masa pejuangan untuk merebut dan
mempertahankan kemerdekaan. PGRI adalah wahana para pejuang, pembangun bangsa,
pembimbing putera, pembangun jiwa dan pencipta kekuatan negara. Begitulah jiwa dan
makna PGRI yang diungkapkan dalam "Mars PGRI" yang sepenuhnya cocok dengan
kenyataan.
Proses dan hasil Kongres I PGRI yang bersejarah itu, yang menjadi tonggak awal
lahimya organisasi ini, dengan sifat organisasi; a) Unitaristik; b) Independen; dan c) Non
Partai Politik.
F. PGRI Pada Masa Perang Kemerdekaan (1945-1949)
Asas yang tercantum dalam Anggaran Dasar pendirian PGRI adalah “kedaulatan
anggotanya” cita-cita PGRI sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Para guru Indonesia menginginkan kebebasan dan kemerdekaan, memacu kecerdasan bangsa
dan membela serta memperjuangkan kesejahteraan anggotanya. Sesuai dengan prioritas
perjuangan pada kurun waktu 1945-1949 difokuskan kepada perjuangan fisik bersenjata
untuk mempertahankan kemerdekaan. Para guru pendidik bangsa yang menjadi warga PGRI
tidak mau ketinggalan, mereka sebagian ikut memanggul senjata, berjuang melawan
penjajah, terlibat dalam perang gerilya. Para wanita pun ikut aktif menggerakkan dapur
umum, atau menjadi anggota PMI (Palang Merah Indonesia) bagi para pejuang di garis
depan. Di antara mereka, tidak sedikit pula yang gugur menjadi pahlawan bangsa.
1. Kongres II PGRI di Surakarta: 21-23 November 1946
Melalui kongres ini, PGRI mengajukan tuntutan kepada pemerintah, yaitu: (a)
sistem pendidikan selekasnya didasarkan pada kepentingan nasional; (b) gaji guru
supaya tidak dihentikan; (c) diadakan Undang- Undang Pokok Pendidikan dan Undang-
Undang Pokok Perburuhan.
Tuntutan tersebut mendapat perhatian pemerintah, terbukti dengan ditunjuknya
Rh. Koesnan menjadi anggota Panitia Gaji Pemerintah yang dibentuk oleh Departemen
Keuangan RI.
2. Kongres III PGRI di Madiun: 27-29 Februari 1948
Kongres memutuskan bahwa untuk meningkatkan efektivitas organisasi,
ditempuh jalan dengan memekarkan cabang-cabang yang tadinya setiap keresidenan
memiliki satu cabang menjadi cabang-cabang yang lebih kecil, tetapi dengan jumlah
anggota sedikitnya 100 orang. Diharapkan bahwa cabang PGRI yang lebih kecil itu
dapat lebih efektif. Dalam cakupan daerah yang sangat terbatas itu PGRI mempunyai 76
cabang yang masing- masing temyata dapat menunjukkan aktivitas dan vitalitas yang
tinggi.
Untuk membantu tugas-tugas pengurus besar dalam memimpin dan
mengkoordinasikan cabang-cabang, dibentuklah komisariat-komisariat daerah pada
setiap keresidenan/provinsi dan merupakan Pengurus Besar Pleno.
PGRI memiliki haluan dan sifat perjuangan yang jelas, yaitu: mempertahankan
NKRI, meningkatkan pendidikan dan pengajaran nasional sesuai dengan falsafah
Pancasila dan UUD 1945, dan tidak bergerak dalam lapangan politik (non-partai politik).
Dalam waktu singkat nama PGRI telah dikenal di tengah masyarakat dan pemerintah
termasuk di luar negeri. Hal ini dibuktikan oleh adanya undangan dari National
Education Association (NEA) di Amerikat Serikat untuk mengirimkan wakil-wakil PGRI
guna mengadakan peninjauan terhadap pendidikan di negeri itu selama 8 bulan
(September 1948 s.d. Juli 1949). Juga undangan dari World Confederation of
Organizations of the Teaching Profession (WCOTP) untuk menghadiri Kongres II yang
diadakan pada bulan Juli 1948 di London. Namun karena kesulitan mendapatkan visa,
kedua undangan tersebut tidak dapat dipenuhi
Ketika Pemerintahan Rl kembali dari Bukittingi ke Yogyakarta pada tahun 1949,
berdirilah cabang-cabang PGRI di daerah luar Persetujuan Renville. Pada saat itu,
kedudukan PB PGRI di Surakarta dipindahkan ke Yogyakarta. Kegiatan PGR1 pun
meningkat kembali di berbagai dacrah, baik di pusat (Yogyakarta) maupun di daerah-
daerah BFO (Byzonder Federal Overleg) dengan saling mengadakan kontak untuk
mongkonsolidasikan organisasi.
Dalam bidang politik, dua orang wakil PGRI ditunjuk menjadi anggota Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang merupakan Parlemen Sementara RI. Pengakuan
politis yang amat tinggi kepada PGRI juga diperoleh dari amanat Presiden Soekamo
pada Kongres II PGRI tahun 1946 di Surakarta. Dalam amanat tersebut, Presiden
Soekamo menegaskan bahwa, "Guru bukanlah penghias alam, tetapi guru adalah
pembentuk manusia; guru adalah pendidik rakyat ke arah kejayaan dan keagungan
bangsa; semua orang pandai dan patriot-patriot negara adalah hasil pendidikan para guru;
dalam menghadapi perjuangan dan pembangunan negara, guru harus menjadi
pelopornya; guru adalah pendidik rakyat ke arah kesempurnaan jiwa yang bercita-cita
tinggi bagi bangsa dan negara"
G. PGRI pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)
1. Kongres IV PGRI di Yogyakarta: 26-28 Februari 1950
Dalam pidato sambutan pada kongres, Pejabat Presiden RI Assa'at memuji PGRI
sebagai pencerminan semangat juang para guru sebagai pendidik rakyat dan bangsa.
Oleh karena itu, Assa'at menganjurkan untuk mempertahankan nama, bentuk, maksud,
ujuan, dan cita-cita PGRI sesuai dengan kehendak dan tekad para pendirinya,
sebagaimana tercantum dalam AD/ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga) organisasi ini. Dengan demikian, semangat juang para guru akan terpelihara dan
bahkan dapat diwariskan secara turun temurun kepada guru-guru generasi selanjutnya.
Kongres IV PGRI itu juga dihadiri oleh beberapa utusan dari luar "daerah
Renville", suasana Kongres IV diliputi dengan semangat persatuan dan kesatuan yang
berkobar-kobar. Pengurus Pusat SGI di Bandung datang pada Kongres IV di Yogyakarta
untuk secara resmi menggabungkan diri ke dalam PGRI dengan menyerahkan 38 cabang.
Delegasi Serikat Guru Indonesia (SGI) dari Bandung terdiri atas: Jaman Soejanaprawira,
Djoesar Kartasubrata, M: Husein, Wirasoepena, Omo Adimiharja, Sukarna Prawira, dan
Anwar Sanusi.
Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), secara nasional suasana politik
masih sangat rawan. Rasa saling mencurigai terasa antara orang-orang Republik dan
mereka yang bekerjasama dengan Belanda /NICA. Dalam suasana nasional seperti itulah,
guru-guru yang bemaung di bawah panji-panji PGRI secara aklamasi mengambil
keputusan untuk mempersatukan semua guru di seluruh tanah air dalam satu organisasi
kesatuan yaitu PGR1. Mereka juga sepakat untuk menyingkirkan segala rasa saling
curiga dan semangat kedaerahan yang menjangkiti para guru. Oleh karena itu, Kongres
memutuskan untuk mengeluarkan "Maklumat Persatuan" yang berisikan seruan kepada
seluruh masyarakat, khususnya kepada guru-guru, untuk membantu menghilangkan
suasana yang membahayakan dalam hubungan antara golongan Non (Pro Republik) dan
Ko ( bekerja dengan Belanda ) dan menggalang persatuan demi pejuangan untuk mengisi
kemerdekaan .
Bagaimana sikap PGRI terhadap Vaksentral?
Saat itu pandangan di dalam PB PGRI, bahwa sudah selayaknya PGRI sebagai
serikat sekerja, seperti halnya serikat buruh lainnya, bergabung ke dalam SOBSI (Serikat
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Sesudah Kongres III Madiun terlihat tanda-tanda
adanya usaha beberapa orang dalam Presidium SOBSI yang hendak membawa
Vaksentral ke dalam bentuk pejuangan politik yang tidak menguntungkan, bahkan
merugikan pejuangan PGRI yang saat itu telah bergabung dengan SOBSI. Karena
orientasi politik SOBSI ketika itu condong ke PKI, bahkan kemudian benar-benar
menjadi organisasi PKI, maka pada tanggal 21-22 Agustus 1948 PB PGRI mengadakan
sidang dengan Sentral Biro SOBSI di Yogyakarta. Akhimya melalui pernyataan tanggal
20 September 1948, PGRI mengundurkan diri dari SOBSI sesuai dengan Anggaran
Dasar PGRI sendiri yang non-partai politik serta asas dan dasar peijuangarmya yang
berlandaskan falsafah Pancasila
2. Kongres V PGRI di Bandung: 19-24 Desember 1950
Kongres V diadakan 10 bulan setelah Kongres IV di Yogyakarta. "Selain untuk
menyongsong Lustrum I PGRI, juga untuk merayakan peleburan SGI/PGI ke dalam
PGRI. Dapat dikatakan bahwa kongres tersebut merupakan "Kongres Persatuan", selain
Pancasila diterima sebagai asas organisasi. Kongres menugasi PB PGRI untuk mendesak
pemerintah agar menyusun suatu peraturan baru tentang gaji guru dan mendudukkan
wakilnya dalam panitia penyusunan peraturan gaji, baik secara langsung maupun melalui
Vaksentral.
3. Kongres VI PGRI di Malang: 24-30 November 1952
Kongres ini menyepakati beberapa kcputusan penting, baik dalam bidang
organisasi, pendidikan, maupun kesejahteraan guru. Hal menarik bidang umum,
disepakati supaya anggaran belanja Kementerian PP & K ditingkatkan menjadi 25% dari
seluruh anggaran belanja Negara. Dalam kongres ini disahkan pula "Mars PGRI" ciptaan
Basoeki Endropranoto.
Hal lain terjadi ada indikasi partai politik untuk menguasai PGR1 guna
kepentingan politiknya. Ini nampak dalam susunan kepengurusan PB PGRI yang baru,
hampir 50% duduk orang atau simpatisan PKI, meskipun hal ini belum membawa
pengaruh buruk di kalangan para anggota PGRI. Dalam melaksanakan keputusan
Kongres VI, agenda yang dirasakan paling berat oleh PB PGRI adalah memperjuangkan
anggaran Kementerian PP & K hingga mencapai 25% dari seluruh anggaran pemerintah,
resolusi tentang desentralisasi pendidikan, dan upaya untuk mewujudkan adanya satu
Vaksentral sangat sulit, karena gerakan-gerakan buruh saat itu sudah mulai dipolitisasi.
Sekalipun berat melaksanakan rekomendasi hasil Kongres VI, namun banyak hasil yang
dicapai, baik dalam penataan pendidikan, kesejahteraan, maupun konsolidasi organisasi.
4. Kongres VII PGRI di Semarang: 24 Nov. s.d. 1 Des. 1954
Untuk pertama kalinya Kongres PGRI dihadiri oleh tamu-tamu dari luar negeri,
yaitu: Maria Marchant, wakil FISE yang berkedudukan di Paris; Marcelino Bautista
dari PPTA (Filipina) mewakili WCTOP; Fan Ming, Chang Chao dan Shen Pei Yung dari
Serikat Buruh Pendidikan RRC; dan Jung Singh dari organisasi guru Perak/Malaysia.
Diterima pula kawat ucapan selamat dari dalam maupun dari luar negeri.
Kongres ini menghasilakan beberapa pernyataan baik pernyataan bidang umum,
bidang pendidikan, bidang perburuhan dan bidang organisi. Dalam bidang organisasi,
keputusan yang sangat penting adalah pernyataan PGRI untuk keluar dari GBSI dan
menyatakan diri sebagai organisasi "Non-Vaksentral". Keputusan ini diambil dengan
perbandingan 776 suara setuju melawan 183 suara tidak setuju.
Dalam kongres ini dibicarakan pula masalah pendidikan agama. Terjadi
perbedaan pendapat antara peserta kongres yakni pendapat yang menyetujui agar
pendidikan agama diajarkan di sekolah, dengan mereka yang berpendapat bahwa
pendidikan agama cukup diajarkan di luar sekolah. Pendapat terakhir ini disponsori oleh
guru-guru berhaluan komunis dan simpatisannya. Setelah diadakan pemungutan suara,
temyata pendapat kedua itulah yang menang . Setelah keputusan tersebut diumumkan
oleh PB PGRI, muncul tantangan yang keras dari masyarakat karena keputusan itu
bertentangan dengan UUDS Pasal 41 ayat (3).
Ketika gejala perpecahan mereda, muncul kembali menjelang Pemilu 1955,
terutama dengan semakin gigihnya usaha PKI untuk menguasai PGRI, kondisi itu
mendorong golongan-golongan anti-PKI untuk mendirikan organisasi-organisasi guru di
luar PGRI, misalnya PERGUNU (Persatuan Guru Nandlatul Ulama), IGM (Ikatan Guru
Muhammadiyah), PERGUKRI (Persatuan Guru Kristen Indonesia), dan organisasi-
organisasi guru lainnya yang menjadi underbouw partai politik.
5. Kongres VIII PGRI di Bandung (1956)
Terjadi ketegangan di dalam kongres , hal itu disebabkan Pihak Soebandri dkk
menambah kartu pemilihan (kartu palsu) dalam pemilihan Ketua Umum, sehingga
pemilihan tersebut terpaksa dibatalkan dan diulangi lagi dengan menggunakan kartu
pemilihan yang baru. Otak pemalsuan adalah Hermanu Adi, Ketua II PB PGRI dkk yang
pro PKI. Walaupun M.E. Subiadinata dihalang-halangi, akhirnya ia terpilih menjadi
Ketua Umum PB PGRI menggantikan Sudjono yang kemudian menjadi Ketua I sedang
Ketua II PGRI yang sebelumnya diduduki oleh Hermanu Adi diduduki oleh M. Husen
yang sebelumnya menjabat Ketua PGRI Komisariat Daerah Jawa Barat.
Menurut laporan Kongres VIII Bandung, jumlah anggota PGRI meningkat dari
85.431 orang pada waktu Kongres VII di Semarang menjadi 107.032 orang, tersebar di
511 cabang di seluruh Indonesia,hal ini terjadi setelah usaha konsolidasi dilakukan
dengan berbagai cara seperti; kunjungan ke cabang-cabang, korespondensi dengan
cabang yang intensif, tindakan-tindakan disiplin organisasi.
Periode 1957-1959 masih merupakan tahun-tahun perkembangan organisasi.
Untuk meningkatkan daya juang organisasi pertama kalinya diadakan Kursus Kader di
tingkat pusat yang diikuti oleh wakil-wakil dan tiap komisariat daerah.
Dibidang pendidikan menegaskan kembali tuntutannya mengenai kenaikan ang-
garan belanja Kementerian PP & K hingga mencapai 25% dan keseluruhan APBN. Hal
ini tidak hanya disampaikan kepada pemerintah, melainkan juga kepada lembaga-
lembaga lain dan masyarakat luas dengan harapan agar mereka memahami dan
memberikan dukungan. Sedang sistem pendidikan yang masih mengandung unsur-unsur
pendidikan kolonial pemerintah untuk segera mengubah sehingga lebih bersifat nasional.
H. PGRI pada Masa Demokrasi Terpimpia (1959-1965)
Kongres IX PGRI di Surabaya bulan Oktober/November 1959, masih terasa politik
adu-domba diantara para peserta kongres, terutama pada waktu pemilihan ketua umum
dimana M.E. Subiadinata terpilih kembali sebagai Ketua Umum PB PGRI. Pada Kongres
X di Gelora Bung Karno, Jakarta tahun 1962, muncul selenbaran fitnah terhadap M.E.
Subiadinata dengan menyatakan bahwa ia anti-Manipol. Akibat selebaran ini, maka
dilakukan penyelidikan dan penahanan oleh aparat keamanan terhadap 14 orang
penandatangan "surat fitnah" tersebut. Namun M.E. Subandinata dengan jiwa besar berusaha
membebaskan mereka untuk pulang ke tempatnya masing-masing. Terpengaruh oleh
suasana selama Kongres X berlangsung, akhimya disepakati untuk memasukkan
Pancasila/Manipol Usdek sebagai dasar PGRI.

1. Lahirnya PGRI Non-Vaksentral/PKI


Periode tahun 1962 - 1965 merupakan periode yang sangat pahit bagi PGRI.
Dalam masa ini tejadi perpecahan dalam tubuh PGRI, penyebab perpecahan bukan demi
kepentingan guru atau profesi guru, melainkan karena ambisi politik dari luar dengan
dalih"machtsvorming en macthsaanwending" (pembentukan kekuatan dan penggunaan
kekuatan) yang diterapkan melalui berbagai macam organisasi masyarakat. Kubu
komunis berhasil menunjuk Soepardi dan Goldfried "macan" menjadi Ketua dan Wakil
Ketua pemılihan PB PGRI. Ternyata Goldfried termasuk salah seorang penandatangan
"surat selebaran fıtnah", sehingga timbul protes dari Sidang pleno dan Goldfrıed
akhirnya dikeluarkan dari panitia. Dengan demikian pemilihan Ketua Umum dan
susunan pengurus PB PGRI bejalan lancar dengan memilih kembali M.E. Subiadinata
sebagaî Ketua Umum
Beberapa bulan sesudah Kongres X, PGRI menghadapi kesulitan kekurangan
dana, hal tersebut terjadi karena adanya sabotase pemasukan dana dari Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Iuran dari beberapa cabang yang setia pada PB PGRI di kedua provinsi
tersebut disabot oleh pengurus daerah yang pro-PKI. Meskipun demikian, kegiatan PGRI
tetap bejalan dalam upayanya memperjuangkan nasib para guru.
Masalah dukungan PGRI terhadap masuknya PSPN (Persatuan Serikat Sekerja
Pegawai Negeri) ke dalam SOKSI pada hakekatnya tidak mengubah kekompakan di
lingkungan PB PGRI. Hal ini disebabkan adanya kejelasan bahwa dukungan tersebut
dengan sendirinya tidak berlaku lagi jika dua syarat yang diajukan oleh PB PGRI tidak
terpenuhi , yakni "SOKS1 bukan merupakan Vaksentral" dan "nama SOKSI harus
diganti",.
Suasana tegang terasa setelah PB PGRI ikut serta dalam Musyawarah Penegasan
Pancasila sebagai Dasar Pendidikan Nasional yang berlangsung pada 17 Juli 1963 di
Jakarta. Musyawarah ini diadakan oleh lima partai politik dengan 40 ormasnya sebagai
reaksi terhadap "Seminar Pendidikan Mengabdi Manipol" yang diadakan pada bulan
Februari 1963 dî Jakarta oleh Lembaga Pendidikan Nasional (LPN) yang dibentuk oleh
PKI. Setelah PGRI ikut serta dalam Musyawarah Penegasan Pancasila tersebut, maka
Moejono dan lchwani mengajukan nota pengunduran diri.
Sudah menjadi kebiasan rapat PB PGRI diadakan setiap Selasa malam.
Soebandri, Moejono dan Ichwani mengetahui bahwa pada Selasa malam tanggal 9 Juni
1964 akan dibicarakan masalah SOKS1 sesuai dengan keputusan rapat PB PGRI
sebelumnya. Keputusan PB PGRI untuk menarik kembali dukungannya terhadap
masuknya PSPN ke dalam SOKS1 akan keluar. Oleh sebab itu, kelompok Soebandrı-
Moejono-lchwani menyelenggarakan rapat pada hari Minggu tanggal 7 Juni 1964,
karena bila terlambat, mereka tidak mungkin lagi dapat mempergunakan dalih Non-
Vaksentra1 sebagai senjata propaganda mereka. Secara terbuka mereka tidak berani
membela “Panca Cinta” sebagai isi Moral Sistem Pendidikan Pancawardhana.
Pada malam perkenalan untuk apa yang mereka sebut "PB PGRI Non-
Vaksentra1", temyata tidak banyak orang yang datang. Sebagai penggantinya, mereka
mengerahkan nıurid-murıd sekolah yang tidak tahu menahu urusan politik. Namun acara
perkenalan tersebut dilarang oleh polisi, sehingga dengan cepat panitia mengubahnya
menjadi "Malam Angklung". Pada usaha kedua kali beberapa hari kemudian, mereka
"berhasil" melakukan acara perkenalan tersebut dengan menggunakan aula Departemen
P & K.
2. Pemecatan Massal Pejabat Departemen P & K (1964)
Pidato inaugurasi Dr. Busono Wiwoho pada rapat pertama Majelis Pendidikan
Nasíonal (Mapenas) dalarn kedudukannya sebagai salah seorang wakil ketua,
menyarankan agar Pancawardhana diisi dengan moral "Panca Cinta". Sistem pendidikan
Pancawardhana di landasi dengan prinsip-prinsip: (a) perkembangan cinta bangsa dan
cinta tanah air, moral nasional/internacional/keagarnaan; (b) perkembangan ke cerdasan;
(c) perkembangan emosíonal-artistik atau rasa keharuan dan keindahan lahir batin; (d)
perkem bangan keprigelan atau kerajinan tangan; dan (e) perkembangan jasmani.
Moral Panca Cinta meliputi: (a) cinta nusa dan bangsa; (b) cinta ilmu
pengetahuan; (c) cinta kerja dan rakyat yang bekerja; (d) cinta perdamaian dan
persahabatan antara bangsa-bangsa; (e) cinta orang tua (Suara Guru, No. 11/1995).
Isi pidato tersebut menimbulkan pertentangan dan kegełisahan dikalangan
pendidík. Polemik tentang dasar dan isi moral pendidikan nasional kemudian menjadi
perhatian banyak orang termasuk di lingkungan PGRI, karena dirasakan sangat berkaitan
langsung dengan tanggung jawab setiap orang yang berkecimpung dalam pendidikan. Di
lingkungan Departemen PP & K, polemik itu makin meruncing ketika dalam Rapat
Dinas tanggal 23 Juli 1964 Menteri PP & K, Prof. Dr. Prijono (1957-1966) memancing
kembali suasana polemik tersebut. Akibatnya, Pembantu Menteri, Tartib Prawirodiharjo,
meninggalkan rapat karena dituduh mengkhianati Menterinya.
Keputusan Presiden No. 187/ 1964 dan No. 188/1964 tanggal 4 Agustus 1964
yang diambil atas usul Menteri P & K (perubahan dari PP & K sejak tahun 1964) tanggal
29 Juli 1964 No. 17985/S tentang Reorganisasi Departemen P & K yang mengubah
jumlah Pembantu Menteri P & K dari tiga menjadi dua orang. Hal ini sangat
menggelisahkan kebanyakan pejabat di lingkungan Departemen P & k, karena dirasakan
tidak adanya jaminan hukum (rechtzekerheid) bagi pcgawai dan karier mereka. Maka
sebanyak 28 pegawai tinggi Departemen P & K (seorang kemudian menarik diri)
mengirim surat kepada Menteri Prijono dengan maksud untuk menjernihkan kembali
suasana di Departemen P & K. Surat itu ditanggapi dengan memberhentikan 27 orang
pejabat dengan alasan "atas dasar permintaan sendiri”.
Tindakan Menteri P & K tersebut menimbulkan heboh di seluruh tanah air.
Berbagai ormas dan beberapa perwakilan dari Dinas P & K memprotes keras
pemberhentian tersebut. Sebaliknya, Serikat Sekerja Pendidikan dan apa yang
dínamakan PGRI Non-Vakscntral yang pro-PKI menyokong pemberhentian tersebut.
Posisi Prijono malah semakin kuat. Dalam reshuffle kabinet pada Agustus 1964,
Presiden Soekamo mengangkat Prof. Prijono selaku Menko P & K dan Ny. Artati
Marzuki Sudirjo sebagai Menteri PD & K. Kemudian ”Kelompok 27” yang telah
diberhentikan itu segera mengirimkan kawat kepatla Menteri PD & K yang baru dengan
menyatakan kesediaannya untuk membantu. Akan tetapi surat tersebut tidak mendapat
tanggapan dengan alasan permasalahannya sudah berada di tangan Presiden. Kemudian,
24 dari 27 orang pejabat tinggi tersebut ditampung oleh Markas Besar TNI Angkatan
Darat dan nasibnya diurus oleh Letnan Kolonel Amir Murtono, S.H. (kelak menjadi
Ketua Umum Golkar). Tiga orang pejabat lainnya diangkat oleh Menteri Dalam Negeri:
dua orang sebagai Pembantu Khusus Menteri dan seorang lagi sebagai Ketua PMI Pusut.
Karena heboh mengenai pemecatan 27 orang pejabat berkenaan dengan isi Moral
Pendidikan Pancawardhana, akhimya Presiden membentuk sendiri panitia dengan nama
"Panitia Negara Penyempurnaan Sistem Pendidikan Pancawardhana”. Panitia ini diberi
tugas untuk menyampaikan pertimbangan tentang "pemecatan massal" tersebut. Oleh
panitia Negara, ke-27 orang tersebut dinyatakan tidak bersalah. Namıın demikian, untuk
menyelamatkan muka Mentcri P & K, sebanyak 13 orang diperbolehkan bekerja kembali
di Departemen P & K, sedangkan yang lain tetap ditampung oleh Mabes TNI-AD dan
Depdagri. Akhimya, pada bulan Agustus 1966, mereka direhabilitasi dan dikembalikan
lagi ke Departemen P & K oleh Pemerintah Orde Baru. Panitia Negara juga
menyarankan penyempumaan konsep Sistem Pcndidikan Pancawardhana.
3. PGRI Pasca Peristiwa G30 S/PKI
Bagi PGRI, periode tahun 1966-1972 selain sebagai masa penegakkan Orde
Baru, adalah masa konsolidasi dan penataan kembali organisasi, serta meneruskan dan
menyesuaikan misi organisasi secara tegas dan tepat dalam pola pembangunan nasional
yang baru. Untuk itu diperlukan sistem kaderisasi yang mampu melahirkan pimpinan
organisasi PGRI yang memiliki dedikasi, kemampuan manajerial, dan pengalaman yang
mendukung.
Pejuangan PGRI dalam bidang pendidikan sejak Kongres VIII PGRI tahun 1956
di Bandung mulai dibina kembali. Hal perlu dicatat adalah PGRI tidak mau menyebut
dirinya sebagai "serikat buruh". Hal ini disebabkan jabatan guru secara hakiki berbeda
dan tidak bisa disamakan dengan jabatan buruh murni. Namun demikian, sejak awal
kelahirannya PGRI melaksanakan kerjasama dengan berbagai organisasi buruh.
Pendirian dasarnya adalah semestinya para buruh itu bersatu berdasarkan jenis lapangan
pekejaannya dan berjuang untuk kepentingan buruh -bunıh itu sendri, bukan untuk
kepentingan politik. Identitas PGRI sendiri bersifat unitaristik, independen dan non-
partai politik. Akan tetapi kenyataan membuktikan bahwa ada masanya, terutama pada
zaman Orde Lama, bukan persatuan yang terjalin, melainkan sebaliknya yaitu adanya
vak–vak sentral yang merupakan mantel partai politik.
Mengenai kedudukan PGRI, sejak Kongres VII di Semarang tahun 1954
ditegaskan bahwa PGRI adalah organisasi non-vaksentral, yang kemudian dipakai
kembali oleh PKI dengan arti yang dimanipulasi ketika mendirikan PGRI Non-
Vaksentral tahun 1964 yang dibedakan dengan PGRI-Kongres. PGRI turut
memprakarsai dan menghimpun organisasi-organisasi pegawai negeri dalam bentuk
Rapat Kerja Sama (RKS). Kemudian PGRI ke luar setelah lembaga itu dikuasai oleh
PKI. Selanjutnya PGRI memprakarsai pendirian PSPN (Persatuan Serikat Sekerja
Pegawai negeri) yang ketua umumnya langsung dijabat oleh M.E. Subiadinata (Ketua
Umum PB PGRl). Pada tahun 1967, PGRI memprakarsai berdirinya MPBI (Majelis
Permusyawaratan Buruh Indonesia) yang kemudian berkembang menjadi FBSI (Federasi
Buruh Seluruh Indonesia).
Kelahiran FBSI disambut gembira oleh para buruh, karena mereka merasa
mendapatkan tempat dan bentuk organisasi yang jelas untuk mempejuangkan nasibnya.
Akan tetapi, dalam perkembangannya PGRI tidak mempunyai tempat dalam federasi
tersebut karena berbagai macam perbedaan yang mendasar, diantaranya: (a) FBSI
beranggotakan unsur buruh murni, sedangkan jabatan guru tidak dapat digolongkan
sebagai buruh mumi; (b) anggota FBSI harus buruh swasta, sedangkan anggota PGRI
adalah guru-guru sekolah negeri dan swasta; (c) FBSI berprinsip ”Trade Unionisme”,
sedangkan PGRI berprinsip “profesional”; (d) FBSI berada di bawah pembinaan
Departemen Tenaga Kerja, sedangkan PGRI berada di bawah pembinaan Departemen
P&K.
Sebelum era Orde Baru, pada pertengahan tahun 1950-an ada indikasi yang kuat
bahwa partai-partai politik berusaha membangun kekuatannya untuk memenangkan
Pemilu tahun 1955. Hal ini ditandai dengan berkembangnya aneka ragam organisasi
massa, organisasi-organisasi pelajar pun sengaja dibentuk dengan berafiliasi kepada
organisasi partai politik tertentu.
Sebagai contoh, di lingkungan dunia pendidikan dikenal adanya Ikatan Guru
Marhaenis, PERGUNU (Persatuan Guru NU),Ikatan Guru Muhammadiyah, PERGUKRI
(Persatuan Guru Krısten Indonesia), IGK (Ikatan Guru Katolik), PGII (Persatuan Guru
lslam lndonesia), Persatuan Guru PERT1. Organisasi-organisasi tersebut lebih banyak
berkiprah dalam pembinaan ideologi golongannya daripada menangani masalah-masalah
profesi keguruan. Hanya PGRI yang sejak berdirinya secara konsisten mempejuangkan
untuk memperbaiki nasıb guru serta memfasilitasi peningkatan profesionalismenya.
4. Usaha PGRI Melawan PGRI Non-Vaksentral/PKI
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang kemudian di susul dengan Pidato
Kenegaraan Presiden Soekarno pada tansgal 17 Agustus 1959 merupakan kebijaksanaan
yang diterima dengan penuh penghargaan dan harapan oleh segenap bangsa Indonesıa
yang telah lama mengalami penderitaan sebagai akibat dari kebijaksanaan politik. Akan
tetapi sungguh dalam prakteknya Dekrit tersebut salah arah, sehingga tercipta
pemerintahan diktator. Situası masyarakat benar-benar berbeda. Segenap kegiatan
masyarakat, termasuk kebijaksanaan pemerintah. didasari keyakinan bahwa ”Politik
adalah Pang1ima”. Jurang perpecahan dalam ınasyarakat makin menganga. Orang-orang
dipaksa untuk dapat ”menarîk garis yang tegas tentang siapa kawan dan siapa lawan”,
dan persaingan antar kelompok dan antar individu dalam masyarakat terjadi dengan cara
yang berlebihan. Orang-orang yang berbeda pendapat, apalagi bila dianggap
bertentangan dengan pandangan pemerintah, dengan mudah dituduh ”Kontrev” (kontra-
revolusioner), anti Manipol, agen subversi asing dan sebagainya. Setiap orang berusaha
untuk tidak sampai terkena atau mendapat julukan yang mematikan tersebut‘.
Politik Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) dibangun berlandaskan bentuk
persatuan semu, yang oleh PKI dijadikan sarana untuk memperkuat dominasi politiknya.
Lembaga apapun diusahakan untuk di Nasakomkan. Pemerintahan dipusatkan pada satu
tangan yaitu Bung Kamo sebagai Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPR
dengan bermacam-macam gelar agung lainnya. Semua orang, lembaga, atau bahkan
perguruan tinggî seakan-akan latah bersaing untuk mempersembahkan gelar agung
kepada pemimpinnya. Di sisi lain, untuk menghancurkan wibawa pemerintah, PKI
melontarkan isu adanya ”setan desa”, ”kapitalis birokrat", Nekolim (neo-kolonialisme)
dan sebagainya. Setelah terjadinya tragedi nasional G30S/PKI barulah bangsa Indonesia
menyadari bahwa semua itu merupakan perangkap PKl untuk mempercepat usahanya
merebut kekuasaan
Seperti halnya organisasi-organisasi lain yang sejenis, PGRI tidak luput dari
ancaman tersebut. Pada Kongres IX PGRI di Surabaya (Oktober 1959), infiltrasi PKl ke
dalam tubuh PGRI benar-benar terasa, dan lebih jelas lagi dalam Kongres X di Jakarta
(November 1962). Prinsıp ”siapa kawan siapa lawan” berlaku pula dalam tubuh PGRI.
”Kawan" adalah semua golongan Pancasilais anti-PKI yang dalam pendidikan berusaha
mengamankan Pancasila, dan ”lawan” adalah PKI yang berusaha memaksakan
pendidikan ”Panca Cinta” dan ”Panca Tinggi”. Akan tetapi kekuatan golongan
Pancasilais di PGRI masih lebih kuat dan mampu bertahan menghadapi tantangan-
tantangan tersebut.
Setelah PKI yang diwakili oleh guru-guru berorientasi ideologi komunis tak
mampu melakukan penyusupan ke dalam PGRI, mereka mengubah siasat dengan
melakukan usaha terang terangan untuk memisahkan diri dari PGRI. Seperti
dikemukakan sebelumnya, mereka membentuk organisasi yang menyebut dirinya PGRI
Non- Vaksentral (disingkat PGRI NV) pada bulan Juni 1964. PGRI NV dibentuk di
mana-mana, kadang-kadang di tempat-tempat tertentu hanya ada di atas kertas sementara
anggota-anggotanya pun kadang-kadang bukan guru, melainkan pegawai Jawatan Kereta
Api, buruh perkebunan, atau yang lainnya.
Pergolakan hebat yang ditimbulkan oleh munculnya PGRI NV terasa benar di
daerah, terutama Jawa Timur dan J awa Tengah. Hal ini tergantung pada sedikit
banyaknya guru yang menjadi anggota PKI atau simpatisannya. Situasi makin bertambah
genting setelah Menteri P & K Prof. Dr. Prijono memecat 27 orang pejabat tinggi
Departemen P & K tahun 1964 yang justru orang-orang yang anti-PKI, seperti telah
diuraikan terdahulu.
Untuk menyelamatkan pendidikan dan berbagai ancaman dan perpecahan di
kalangan guru, Presiden Soekarno turun tangan dengan membentuk Majelis Pendidikan
Nasional yang menerbitkan Penpres (Penetapan Presiden) No. 19 tahun 1965 tentang
Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila sebagai hasil kerja dan Panitia
Negara untuk Penyempurnaan Sistem Pendidikan Pancawardhana. Dengan turun
tangannya pemerintah, memang ketegangan sedikit berkurang. Akan tetapi, bagı PGRl,
Penpres tersebut tidak berhasil mempersatukan kembali organisasi ini, karena
perpecahan yang terjadı dalam organisasi ini berakar pada landasan ideologi yang sangat
prinsipil.

I. PGRI Sejak Lahirnya Orde Baru


1. Kesatuan Aksi Guru lndonesia (KAG1)
Dilihat dari perspektif PGRI, peristiwa G30-S/PKI merupakan puncak dari apa
yang sebelumnya berlangsung dalam tubuh PGRI, yaitu perebutan pengaruh antara
kekuatan anti-PKI dan pro-PKI, infiltrasi dan fitnah oleh kelompok pro-PKI, berdirinya
PGRI Non-Vaksentral. Setelah tejadinya peristiwa tersebut, PGRI-Kongres (yang
dibedakan dari PGRI Non-Vaksenlral) di bawah pimpinan M.E. Subiadinata dan kawan-
kawan berperan aktif dalam kubu yang mengganyang PKI dan ormas-ormasnya.
Bersama para pelajar, mahasiswa, sarjana, para guru anggota PGRI turun ke jalan
dengan meneriakkan Tritura (Tri Tunıutan Rakyat), yakni: ”Bubarkan PKI, Ritul Kabinet
100 Menteri, dan Turunkan Harga-harga ” Mereka membentuk kesatuan-kesatuan aksi,
misal nya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa lndonesia), KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda
dan Pelajar Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana lndonesia), sedangkan para guru
membentuk KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia) pada tangsal 2 Februari 1966.
Bagi PGRI-Kongres, KAGI merupakan wahana untuk menyatukan semua
organisasi guru yang tadinya tcerkotak-kotak sebagai produk politik Orde Lama. PGRI
bersama-sama dengan Persatuan Guru NU, Ikatan Guru Muhammadiyah, Ikatan Guru
PS11 (Serikat lslam Indonesia), lkatan Guru Marhaenis (PA Osa-Usep), Persatuan Guru
Kristen lndonesia, Ikatan Guru Katolik, Persatuan Guru lslam Indonesia, dan Persatuan
Guru . PERT1 membentuk SAGI. Khusus di Jawa Barat dibentuk KAPPP (Kesatuan
Aksi Pembela Pendidikan Pancasila) atau disebut juga ”KAGI Edısi Jawa Barat” Perlu
ditambahkan bahwa KAGI pada mulanya terbentuk di Jakarta Raya (KAGI Jaya) dan
Jawa Barat (KAPPP), tetapi kemudian berturııt-turut terbentuk pula KAGI di berbagai
provinsi lainnya.

Tugas utama KAGI adalah:


a) Membersihkan dunia pendidikan Indonesia dari unsur- unsur PKI dan Orde Lama,
yaitu PGRI Non-Vaksentral / PKI, Serikat Sekerja Pendidikan, dan PGTI (Persatuan
Guru Teknik lndonesia);
b) Menyatukan semua guru di dalam satu wadah organisasi guru, yaitu PGRI;
c) Mempejuangkan agar PGRI menjadi organisasi guru yang tidak hanya bersifat
unitaristik, tetapi juga independen dan non-partai politik.
Semula, Kongres XI PGRI direncanakan untuk diadakan pada tahun 1965, namun
sudah dua kali tertunda. Pertama, pada bulan November 1965 kongres tidak jadi di
laksanakan karena teıjadinya peristiwa G30-S/PKI. Kedua, pada bulan November 1966
kongres juga tidak jadi dilaksanakan karena adanya "dualisme" dalam kepemimpinan
nasional dan kehidupan politik di lndonesia, yaitu antara Ir. Soekarno yang secara de
facto telah lumpuh kekuasaannya dengan Mayjen TNl Soeharto yang menjadi Pejabat
Prcsiden ketika itu. Para pendukung Orde Lama tidak mengakui kekuasaan Soeharto
sebagai pimpinan Orde Baru; sebaliknya para pendukung Orde Baru tidak lagi mengakui
kekuasaan lr. Soekamo. Di samping itu, pada saat bersamaan ada anjuran dari
pemerintah untuk tidak menyelenggarakan kongres sehubungan dengan akan
dilaksanakannya Sidang Umum MPRS 1966. Selama tahun 1966, PGRI praktis
disibukkan dengan tugas-tugas utama KAGI dan konsolidasi organisasi yang dimulai
pada awal tahun 1967 melalui persiapan Kongres "PGRI Orde Baru" (Kongres XI) di
Bandung.
Pada tanggal I5-20 Maret 1967 Kongres XI akhimya terlaksana dengan
mengambil tempat di Gedung Bioskop Alun-Alun Bandung. Dalam kongres ini terasa
sekali suasana peralihan dari zaman Orde Lama ke zaman Orde Baru. Antara lain masih
terlihat sisa-sisa kekuatan Orde Lama yang mencoba menguasai kembali kongres dengan
cara menolak PGRI untuk masıık ke dalam Sekber Golkar dan memojokkan M.E.
Subiadinata dkk. agar tidak terpilih dalam PB PGRI. Peranan utusan PGRI Jakarta Raya,
Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Jawa Timur sangat
menonjol dalam mengarahkan Kongrcs XI sebagai tonggak sejarah perjuangan PGRI
pada era pasca-Orde Lama. Kejelasan arah ini mulai tampak ketika sambutan Menteri P
& K Ki Sarino Mangun Pranoto yang masih berbau Orde Lama dıtolak oleh kongres.
Bukti keberhasilan kekuatan Orde Baru dalam kongres ini terlihat dari hasil-hasil
kongres di bidang umum/politik dan susunan PB PGRI Masa Bakti XI. Adapun hasil-
hasil Kongres XI di bidang umum dan politik adalah sebagai berikut:
a) Memenangkan perjuangan untuk menegakkan dan mengembangkan Orde Baru demi
suksesnya Dwi Dharma dan Catur Karya Kabinet Ampera.
b) Mendukung sepenuhnya keputusan dan ketetapan Sidang Umum lstimewa MPRS
1966.
c) Pancasila sebagaı dasar dan falsafah negara sebagaimana tercantunı dalam
Pembukaan UUD 1945.
d) Menolak Manifesto Politik (Manipol) sebagai Haluan Negara.
e) Menjunjung tinggi hak asasi manusia.
f) Semua lembaga negara yang ekstra-konstitusional supaya segera dibubarkan.
g) Mengikis habis sisa-sisa Gestapu/PKI dengan berpegang teguh kepada instruksi
KOTI 22 dan KOGAM 09.
h) PGRI Non-Vaksentral / PKI, Serikat Sekerja Pendidikan, PGTI dinyatakan sebagai
ormas terlarang karena merupakan organisasi antek PKI.
i) Diaktifkannya kembali 27 pejabat Kementerian P & K yang dipecat oleh Menteri P
& K, Prof. Prijono, karena mereka mempertahankan pendidikan yang berdasarkan
Pancasila serta menolak Panca Cinta dan Panca Tinggi.
j) Disetujuinya PGRI untuk bergabung dalam barisan Sekber Golkar
k) PGRI diwakili secara resmi dalam DPRGR/MPRS.
l) Front Nasional dibubarkan.
m) PGRI ditegaskan kembali sebagai organisasi yang bersifat unitaristik, independen,
dan non-partai politik
Selanjutnya, hasil Konsrcs XI PGRI di bidang organisasi antara lain :
a) Konsolidasi dan pengembangan oganisası ke dalam dan ke luar untuk menciptakan
kekompakan pada seluruh potensi pendidikan
b) Perubahan dan penyempurnaan AD/ART PGRI yang sesuai dengan perkembangan
politik Orde Baru.
c) Istilalı Panitera Umum diganti dengan Sekretaris Jenderal, dan Panitera diganti
dengan Sekretaris.
d) Perluasan keanggotaan PGRI dari guru TK sampai dengan dosen perguruan tinggi.
e) Penentuan kriteria/persyaratan pengurus PGRI mulai tingkat Pengurus Besar,
Pengurus Daerah, Pengurus Cabang hingga Ranting
f) Intensifikasi penerangan tentang kegiatan organisasi melalui pers, radio, TV, dan
majalah Suara Guru.
g) Pendidikan kader organisasi secara teratur dan berencana.
h) KAGl dapat berjalan terus selama masih diperlukan dalam menanggapi situasi
perjuangan Tritura-Ampera.
i) PGRI menjadi anggota WCOTP (World Confederation of Organization off the
Teaching Profession).
j) Menyatakan PGRI siap untuk menjadi tuan rumah pelaksanaan Asian RegionaI
Conference (ARC-WCOTP).
2. Konsolidasi Organisasi pada Awal Orde Baru
Konsolidasi organisasi PGRI dilakukan ke daerah-daerah dan cabang-cabang,
dengan prioritas ke daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pembenahan pada kedua
daerah tersebut tidak saja akibat kuatnya pengaruh PGRI Non-Vaksentral/PKI
sebelumnya, tetapi juga menyangkut masalah dualisme dalam kepemimpinan nasional.
Ini bermula dari zaman Orde Lama ketika politik menjadi panglima, sehingga banyak
guru dan pengurus PGRI harus memilih dan berlindung di bawah partai-partai politik
yang berkuasa pada waktu itu.
Menarik juga untuk disimak kembali seri tulisan di Harian Kompas tahun 1967
yang bejudul, “Porak-porandanya Kereta PGRI di Jawa Tengah”. Tulisan ini merupakan
”serangan” kepada PB PGRI Masa Perserikatan (Kongres) XI, karena kelompok tertentu
merasa tidak terwakili di dalam susunan PB PGRI, dan PGRI dianggap terlalu dekat
dengan TNI Angkatan Darat serta Sekber Golkar. Betapapun, ini merupakan bagian dari
sejarah PGRI.
Kunjungan PB PGRI secara intensif ke Jawa Tengah dan Jawa Timur dilakukan
dengan melalui Panglima Militer setempat. Hal ini dilakukan untuk menghimbau para
pengurus daerah yang masih merasa ragu-ragu agar mengerti aspirasi Orde Baru dan
menyadari bahwa sikap ”kepala batu” mereka dapat menyebabkan PGRI dibekukan atau
dibubarkan oleh penguasa militer. Pembentukan KAGI di Jawa Timur dan Jawa Tengah,
antara lain untuk menyelamatkan PGRI dari kemelut politik pada waktu itu. Hasilnya
adalah Konferda PGRI di kedua daerah tersebut berhasil memilih Pengurus Daerah
PGRI yang baru. Sejak selesainya Kongres XI, PB PGKI telah menghadirı Konferda di
21 provinsi, termasuk Irian Barat (kemudian menjadi Irian Jaya, dan sekarang Papua).
Khusus mengenai Irian Barat, sebelıım pelaksanaan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat)
atau Act of Free Choice tepamya pada bulan Maret 1968, Kementerian Dalam Negeri
dan Kementerian P & K memberangkatkan utusan dengan tugas khusus untuk
mengkonsolidasikan PGRI Irian Barat sebagai persiapan menghadapi Pepera yang
akhirnya dimenangkan oleh rakyat yang pro-Republik Indonesia.
Dua daerah di luar Jawa yang ınenghadapi masalah yang cukup serius pada masa
peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru adalah Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
Kelompok yang tadinya menguasai PGRI di kedua daerah ini dengan segala upaya
berusaha bertahan menghadapi perkembangan baru di tanah air. Pada akhir tahun 1967,
dalam pertemuan sehari penuh di sekolah Don Bosco Padang, utusan PGRI/KAGI se-
Sumatera Barat mendapat informasi tentang perkembangan politik selama Orde Baru
dari Ketua Umum PGRI, M.E. Subiadina . Setelah pertemuan itu dilakukan serah terima
jabatan Kepala Perwakilan P & K Provinsi Sumatera Barat di kediaman Gubemur
Sumatera Barat dengan disaksikan oleh Ketua Umum PB PGRI dan Ketua Periodik
KAGI Pusat. Peristiwa ini merupakan penyelamatan PGRl oleh kekuatan Orde Baru di
provınsi tersebut.
Selanjutnya, pada awal tahun I969 atas desakan Panitia Perbaikan Nasib Guru
yang dibentuk oleh PGR1, pemerintah setuju untuk mencairkan kembali tunjangan
kelebihan jam mengajar bagi guru-guru SD di seluruh Indonesia. Pada waktu itu, PB
PGRI diundang di Jl.Merdeka Barat No. 15 Jakarta oleh Menteri P & K, Menteri Dalam
Negeri, dan Menteri Keuangan untuk menyampaikan persetujuan Presiden tentang
tunjangan kelebihan jam mengajar guru tersebut
Hubungan antara PGRI dengan organisasi guru di luar negeri mulai dirintis
kembali. Pada bulan Juli l966 PGRI secara resmi diterima menjadi anggota WCOTP
dalam Kongres Guru se-Dunia di Seoul, Korea Selatan. Hal ini merupakan era baru
dalam kehidupan PGRI. Sementara itu, pelaksanaan Asian Regional Conference (ARC-
WCOTP) di Jakarta pada bulan April 1969 menandai untuk pertama kalinya PGRI
(lndonesia) menjadi tuan rumah konferensi intemasional organisasi guru. Panitia ARC-
WCOTP diketuai oleh Slamet 1 dan sekretaris H.M. Hidayat. Keberhasilan pelaksanaan
konferensi ini telah membuka cakrawala baru dalam hubungan international PGRI
Setelah itu, PGRI diundang untuk mengikuti Trade Union Leader Course di
Negeri Belanda selama 4 bulan, dengan bantuan Departemen Tenaga Keja dan
bekerjasama dengan Serikat Buruh Belanda. Kursus ini diadakan dua angkatan;
Angkatan I pada tahun 1969 dan Angkatan II tahun 1970. Melalui Drs. M. Rusli Yunus,
PGRI diundang pula oleh IFFTU (The International Federation of Free Teachers Union)
dan EEC (European Economic Community) sekarang menjadi Uni Eropa (European
Union / EU) selama satu minggu di Brussel, Belgia, dan satu minggu di Jerman Barat
atas undangan dari FES (Fredetich Eiber Stiftung).
3. Arti Lambang PGRI
Pada tahun 1970, Kongres XII PGRI kembali digelar di Bandung yang
memunculkan Basyuni Suriamihardja untuk pertama kalinya memimpin PB PGRI yang
bertahan lebih dari 25 tahun. Basyuni menjadi orang kedua yang paling lama memimpin
PGRI setelah M.E. Subiadinata. Adapun keputusan-keputusan penting dari kongres ini
adalah sebagai berikut:
a. Perubahan struktur dan basis-basis organisasi PGRI, yaitu tingkat Cabang meliputi
wilayah kabupaten/kotamadya, sedangkan Wilayah Anak Cabang adalah kecamatan.
b. Administrasi organisasi disederhanakan dan diseragamkan untuk seluruh lndonesia.
c. Lambang PGRI dan Mars PGRI dilampirkan dalam buku AD/AR PGRI.
d. Dalam rangka peringatan 25 tahun PGRI (November 1970), PB PGRI hendaknya
menerbitkan Buku Sejarah Perjuangan PGRI, yang juga menegaskan sifat-sifat PGRI
yang unitaristik, independen, dan non-partai politik.
e. Memanfaatkan keanggotan PGRI dalam WCOTP untuk meningkatkan kerjasama
intemasional yang berorientasi pada kepentingan nasional serta mengindahkan
dengan sungguh-sungguh politik bebas- aktif yang dianut oleh Indonesia.
f. Menyetujui PGRI menjadi anggota IFFTU sepanjang lidak merugikan dan tidak
mengurangi identitas PGRI.
g. Dalam rangka kerjasama dengan negara-negara ASEAN, PGRI hendaknya
memainkan peranan, terutama dalam pembangunan pendidikan dan kebudayaan di
Indoncsia.
h. PB PGRI hendaknya menetapkan pedoman tentang kebijaksanaan pengiriman
petugas-petugas PGRI ke luar negeri agar petugas/ pengurus daerah dapat
memperoleh kesempatan.
Kongres XIII PGRI tahun 1973 di Jakarta menetapkan perubahan- perubahan
yang mendasar dalam bidang organisasi, yaitu:
a. Berubahnya sifat PGRI dari organisasi serikat pekeja menjadi organisasi profesi
guru;
b. Ditetapkannya Kode Etik Guru Indonesia;
c. Perubahan lambang dan panji organisasi PGRI yang sesuai dengan organisasi profesi
guru; dan
d. Adanya Dewan Pembina PGRI.
Mengenai arti lambang PGRI, dapat dijelaskan sebagai berikui:
a. Bentuk: cakra/lingkaran melambangkan cita-cita luhur dan daya upaya menunaikan
pengabdian yang terus menerus.
b. Ukuran, corak, dan warna: bidang bagian pinggir lingkaran berwarna merah
melambangkan pengabdian yang dilandasi kemurnian dan beberanian bagi
kepentingan rakyat. Wama putih dengan tulisan ”Persatuan Guru Republik
Indoncsia” melambangkan pengabdian yang dilandasi kesucian dan kasih sayang.
Paduan wama pinggir merah-putih melambangkan pengabdian kepada negara,
bangsa dan tanah air Indonesia.
c. Suluh berdiri tegak bercorak 4 garis tegak dan datar berwarna kuning melambangkan
fungsi guru (pada pendidi kan pra-sekolah, dasar, menengah dan perguruan tinggi )
dengan hakikat tugas pengabdian guru sebagai pendidik yang besar dan luhur.
d. Nyala api dengan 5 sinar warna merah melambangkan arti ideologi Pancasila dan arti
teknis yakni sasaran budi pekerti, cipta, rasa, karsa dan karya generasi.
e. Empat buku mengapit suluh dengan posisi 2 datar dan 2 tegak (simetris) dengan
wama corak putih melambangkan sumber ilmu yang menyangkut nilai-nilai moral,
pengetahuan, keterampilan dan akhlak bagi tingkatan lembaga-lembaga pendidikan
pra-sekolah, dasar, menengah dan tinggi.
f. Warna dasar tengah hijau melambangkan kemakmuran generasi.
g. Arti keseluruhan. Guru Indonesia dengan itikad dan kesadaran pengabdian yang
mumi dengan segala keberanian, keluhuran jiwa dan kasih sayang senantiasa
menunaikan darma baktinya kepada negara, tanah air dan bangsa Indonesia dalam
mendidik budi pekerti, cipta, rasa, karsa, dan karya generasi bangsa menjadi manusia
Pancasila yang memiliki moral, pengetahuan, keterampilan dan akhlak yang tinggi.
Penggunaan. (1) sebagai lambang/lencana; (2) sebagai panji resmi dalam upacara
dan panji hiasan; (3) dipancangkan mendampingi bendera national merah putih dalam
upacara/pertemuan organisasi atau pertemuan lainnya yang diselenggarâkan oleh PGRI
4. Berdirinya’YPLP-PGRI dan Wisma Guru
Kongres XIV PGRI tanggal 26-30 Juni 1979 di Jakarta menghasilkan salah satu
keputusan penting yaitu mengenai pendirian Wisma Guru. Untuk mewujudkannya, mulai
Januari 1980 setiap anggota PGRI dihimbau untuk menyumbang Rp 1.000.
Direncanakan Wisma Guru yang terletak di Il. Tanah Abang III No. 24 Jakarta Pusat ini
sekaligus akan menjadi kantor PB PGRI yang dilengkapi dengan ruang pertemuan,
perpustakaan, kamar pondokan, dan sebagainya.
Dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat yang makin meningkat untuk
memperoleh pendidikan, maka PGRI sejak awal berdirinya telah menyelenggarakan
sekolah-sekolah yang meliputi semua jenis dan jenjang pendidikan dan tersebar di
seluruh tanah air. Sebagian sekolah tersebut dijadikan sekolah negeri. Ada di antara
sekolah-sekolah PGRI yang didirikan atau diselenggarakan oleh Pengurus PGRI
provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan bahkan pribadi-pribadi warga PGRI. Sampai
dengan akhir tahun 1979, belum ada pembinaan yang terarah secara nasional terhadap
sekolah-sekolah tersebut, sehingga peraturan tentang pengelolaan dan pembinaannya pun
sangat beraneka ragam. Keadaan ini bukan hanya menyebabkan kurang efisien dan
efektifhya pengelolaan sekolah-sekolah tersebut, melainkan juga kadang-kadang
merusak citra PGRI di tengah masyarakat. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka
Kongres XIV memutuskan dan menegaskan bahwa pembinaan lembaga pendidikan
PGRI perlu dilakukan secara konsepsional, nasional dan terkendali secara organisatoris.
Keputusan ini diambil karena sudah waktunya PGRI memberikan perhatian yang lebih
serius terhadap pembinaan lembaga pendidikannya.
Untuk melaksanakan keputusan kongres, PB PGRI membentuk YPLP-PGRI
dengan Akta Notaris Moh. Ali No. 21 tanggal 31 Maret 1980 yang berlaku surut sejak
tanggal 1 Januari 1980. Dengan Surat Keputusan PB PGRI No. 951/SK/PB/XIV/1980
tanggal 10 Oktober 1980 diangkat Pengurus Pusat YPLP-PGRI yang pertama Dalam
surat keputusan tersebut ditetapkan pula tugas pokok YPLP PGRI, yaitu melakukan
pembinaan, pengelolaan, dan pengembangan lembaga pendidikan PGRI di seluruh
Indonesia dan bertanggung jawab langsung kepada PB PGRI.
Pada tahap awal pelaksanaan tugasnya, YPLP PGRI mengadakan inventarisasi
terhadap lembaga pendidikan PGRI.
Pada bulan April 1981 diperoleh data sebagai berikut:
a. Jumlah TK/SD/SMTP/SMTA PGRI = 1.530 buah
b. Jumlah guru = 18.711 orang
c. Jumlah murid = 221.063 orang
d. Jmlah Perguruan Tinggi PGRI = 29 buah
e. Jumlah dosen = 213 orang
f. Jumlah mahasiswa = 1.729 orang
Untuk menetapkan pola dan landasan organisatoris bagi pelaksanaan tugas YPLP
PGRI, maka diselenggarakan Musyawarah Kerja National (Mukemas) YPLP PGRI
pertama tanggal 18 - 20 Mei 1981 di Jakarta. Mukemas dihadiri oleh Pengunıs Dati I
PGRI dan yayasan-yayasan pendidikan PGRI yang sudah ada, di seluruh Indonesia.
Mukernas menghasilkan beberapa keputusan penting di antaranya: penyeragaman nama
Yayasan menjadi YPLP-PGRI, penetapan AD/ART YPLP-PGRI, penetapan pedoman
pembinaan lembaga pendidikan PGRI yang bersifat nasional.
Kongres XV PGRI tanggal 16-21 Juli 1984 di Jakarta menggariskan pokok pokok
program PGRI untuk kurun waktu lima tahun mendatang (1984-1989) yang meliputi:
ruang lingkup pembinaan dan pengembangan organisasi PGRI, tanggung jawab dan
peranan PGRI dalam menyukseskan SU MPR 1983, Repelita IV dan Pancakrida Kabinet
Pembangunan V, tanggung jawab dan peranan PGRI dalam ikut menciptakan kerangka
landasan yang kokoh bagi pertumbuhan dan pengembangan pembangunan nasional, dan
tanggung jawab serta peranan PGRI sebagai komponen Orde Barru dalam menghadapi
pelaksanaan Pemilu 1987 dan menyukseskan SU MPR 1988.
Salah satu karya besar PGRI pada Masa Bakti XV ini adalah berhasilnya
pembangunan Gedung Guru Indonesia (disebut juga Wisma Guru) di J1. Tanah Abang
IIJ/24 Jakarta. Keluarnya Undang-Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan membawa konsekuensi pada penyesuaian AD/ART PGRI yang antara
lain menegaskan bahwa PGRI merupakan organisasi profesi. Perubahan ini dilakukan
melalui Konferensi Pusat III Masa Bakti XV tahun 1986. Hikmah dan manfaat yang
dapat diambil dari ketetapan PGRI sebagai organisasi profesi adalah, pertama, medan
pejuangan, pengabdian dan kekaryaan anggota PGRI dapat makin ditingkatkan dan
dimantapkan. Kedua, upaya peningkatan mutu profesionalisme para anggota PGRI dapat
makin diperhatikan selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketiga, dapat dipupuk rasa persatuan dan kesatuan yang makin kokoh di antara para
anggota PGRI sehingga organisasi ini dapat terhindar dari perpecahan akibat tarik
menarik antara berbagai kekuatan politik di luar organisasi, seperti pemah terjadi pada
tahun 1950-an dan 1960-an.
Sedangkan dalam kongres masa bakti XVI dan XVII hanyalah penegasan, bahwa
Dewan Pembina diganti dengan istilah Dewan Penasehat dan selebihnya masih
berorientasi melanjutkan program - program masa bakti sebelumnya disamping
membahas hal hal rutin seperti penyempurnaan Anggaran Dasar dan Anggaran rumah
Tangga Organisasi.
J. PGRI Pada Era Reformasi
1. Profil Siugkat PGRI
Secara singkat, terlebih dahulu dikemukakan profil organisasi ini. Nama
Organisasi adalah Persatuan Guru Republik Indonesia disingkat PGRI, didirikan pada
tanggal 25 November 1945 dalam Kongres Guru Indonesia I di Surakarta, Jawa Tengah.
PGRI berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. PGRI terdaftar di
Departemen Kehakiman berdasarkan Penetapan Menteri Kehakiman tanggal 20
September 1954, Nomor: 1.A.5/82/12. PGRI adalah organisasi pejuangan, profesi, dan
ketenagakerjaan, berskala nasional yang bersifat: (1) unitaristik, yaitu tanpa memandang
perbedaan ijazah, tempat bekerja, kedudukan, suku, jenis kelamin, agama, dan asal usul,
(2) independen, yakni berlandaskan prinsip kemandirian organisasi dengan
mengutamakan kemitrasejajaran dengan berbagai pihak, (3) non-politik praktis, yaitu
tidak terikat dan atau mengikatkan diri pada kekuatan organisasi/partai politik manapun.
Organisasi ini bertujuan: (a) Mewujudkan guru, dosen dan tenaga kependidikan
yang profesional, bermartabat, sejahtera dan terlidungi; (b) Mewujudkwn kesadaran,
sikap disiplin, etos kerja dan kemampuan profesi secara berkelanjutan demi
meningkatnya mutu pendidikan; (c) Berperan aktif membangun sistem yang memberikan
iklim pembelajaran untuk pendidikan yang aktif, intensif, kreatif, efektif dan
menyenangkan;(d) Mendorang kesadaran pemenuhan kewajiban profesi dari para guru,
memperjuangkan pemenuhan hak-hak pemuliaan dan pembahagiaan guru sehingga guru
dapat efektif mencapai pemuliaan dan pembahagiaan bagi peserta didik; (e) Berperan
serta mengembangkan sistem dan pelaksanaan pendidikan nasional; (f) Mewujudkan
cita-cita proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya mencedaskan kehidupan bangsa
2. Tantangan Era Reformasi
Era reformasi merupakan suatu kurun waktu yang dltandai dengan berbagai
perubahan untuk membentuk tatanan baru yang lebih baik guna mencapai tujuan
nasional yang dicita citakan. Perubahan dalam reformasi dilakukan secara konsepsional
dan konstitusional dengan strategi dan program yang lebih efektif. Tatanan baru yang
diupayakan melalui reformasi bersifat holistik dalam keseluruhan tatanan kehidupan
yang mencakup aspek politik, sosial, budaya, dan sebagainya. Adapun yang menjadi
tujuan refomiasi adalah tercapainya suatu tatanan kehidupan yang baru dan lebih baik
dalam masyarakat madani, yaitu masyarakat demokratis, sejahtera dan agamis.
Reformasi merupakan koreksi terhadap tatanan di masa lalu dan sekarang yang
dipandang tidak sesuai dengan tuntutan dan kondisi yang ada, sehingga diperoleh tatanan
masa depan yang lebih baik.
Dalam era reformasi, bagi PGRI sekurang- kurangnya ada tiga lingkup tantangan
yang akan dihadapi, yaitu tantangan yang bersifat global, tantangan nasional dan
tantangan organisasional. Selama reformasi tata kelola organisasi PGRI mulai dilakukan
secara konstitusional yaitu melalui forum kongres. Kongres ke XVIII di Bandung tahun
1998 adalah merupakan titik awal PGRI melakukan reformasi organisasi, hal ini
dibuktikan antara lain PGRI kembali taat melaksanakan asas dan sifat organisasi dan
kembali ke jatidiri PGRI sebagaimana dimaksud AD/ART, Pengurus mulai lebih
memperhatikan dan memperjuangkan aspirassi anggota dibuktikan dengan berhasilnya
perjuangan yang monumental yaitu lahirnya UUGD Nomor : 14 Tahun 2005. Demikian
putusan-putusan kongres berikutnya baik kongres ke XIX, XX, XXI yang di gelar setiap
lima tahunan, orietasi perjuangan mewujudkan aspirasi anggota, dan menjawab
tantangan yang terus bermunculan sebagai dampak perkembangan iptek dan teknologi
pada era industri 4.0.
PGRI mampu beradaptasi dan mewujudkan dirinya sebagai organisasi pembelajar
(learning organization), yaitu organisasi yang senantiasa belajar dan secara
berkesinambungan melakukan transformasi ke arah yang lebih baik dalam mengelola
pengetahuan, penggunaan teknologi, sumberdaya manusia, dan perluasan pembelajaran
untuk beradaptasi dalam lingkungan yang berubah.
Sebagai suatu organisasi pembelajar, PGRI harus memiliki kecakapan untuk: (a)
lebih siap berpartisipasi dan beradaptasi dengan perkembangan lingkungan, (b)
melakukan akselerasi dan mengembangkan hasil, proses dan layanan yang lebih baik, (c)
menjadi lebih cakap untuk belajar dari pesaing dan mitra kerja, (d) melakukan transfer
pengetahuan dari satu bagian organisasi ke bagian lainnya, (e) belajar secara efektif dari
kesalahan-kesalahan sendiri, (f) memberdayakan sumberdaya manusia pada setiap
jenjang organisasi, (g) mempersingkat waktu yang diperlukan untuk menerapkan
perubahan strategis, (h) merangsang perbaikan yang terus menerus pada setiap bidang
dan jenjang organisasi.
3. Tata Kelola Organisasi PGRI
a. Visi, Misi
Dalam pejalanannya sejak berdiri tiga perempat abad yang lalu, PGRI telah
membuktikan dirinya sebagai organisasi yang masih tetap lestari hingga kini dan
tentunya untuk masa-masa yang akan datang. Dalam menghadapi tantangan pada era
global, PGRI harus tetap konsisten terhadap jatidirinya yang bersumber pada visi
masa depannya, yaitu “Terwujudnyam PGRI sebagai organisasi profesi terpercaya,
dinamis, kuat dan bermartabat.
Dengan visi ini, PGRI mengemban sejumlah misi;
1) Mewujudkan PGRI sebagai organisasi profesi;
2) Melaksanakan fungsi dan kewenagnan organisasi profesi;
3) Mewujudkan prinsip-prinsip profesionalisme;
4) Meningkatkan kesejahteraan guru, dosen, dan tenaga kependidikan;
5) Membangun kerjasama dengan pemerintah, pemerintah daerah dan semua pihak
yang diperlukann untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan organisasi serta
memajukan organusasi;
6) Mendorong terwujudnya pendidikan bermutu dan terjangkau masyarakat serta
layananpendidikan yang kreatif, efektif, efisien dan menyenangkan;
7) Berperan aktif dalam menegakkan, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan
Negara kesatuan Republik Indonesia.
Kongres XXII pada tahun 2019 telah menyusun program kerja PGRI 2019 -
2024 yang diarahkan bagi terwujudnya PGRI sebagai organisasi profesi terpercaya,
dinamis, kuat, dan bermartabat. Proram kerja dimaksudkan sebagai strategi upaya
mencapai PGRI yang KIDS sesuai dengan tuntutan zaman sehingga mampu
mewadahi dan mernperjuangkan visi, misi serta aspirasi para guru dan tenaga
kependidikan dalam mengaktualisasikan dirinya sebagai pribadi, profesional,
anggota masyarakat, warga negara, dan hamba Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk mencapai sasaran tersebut, kebijakan umum yang melandasi program
kerja adalah jiwa, semangat, dan nilai-nilai yang lebih nyata sebagai organisasi
profesi dan perjuangan. Nilai-nilai itu adalah Soliditas, Solidaritas, Integritas, dan
Profesionalitas (SSIP), harus dirawat dan diwujudkan bersama. Integritas nilai yang
mengakar pada moral guru yaitu profesional adalah landasan bergerak anggota
sebagai profesi . SSIP harus mendarah daging dalam pergerakan PGRI saat ini dan ke
depan sehingga PGRI sebagai organisasi profesi yang bermartabat dan semakin
kokoh. Sebagai organisasi bermartabat, PGRI terus berbenah menjadi organisasi
profesi modern yang Kuat, Indepernden, Demokratis, dan Sinambung (KIDS) dengan
membangun sistem pengelolaan organisasi yang modern melalui SIK-SIP-ASIK.
Dalam kontek peningkatan mutu pendidikan, PGRI berkomitmen bahwa
guru, kelas, dan sekolah adalah basis utama perjuangan peningkatan mutu
pendidikan. Reformasi pendidikan harus dimulai dari kelas dan aktor utamanya
adalah guru yang diwujudkan dengan perubahan mindset. Untuk ini PGRI
membentuk wadah Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis (APKS) bagi upaya
meninkatkan profesi dan keahlian sejenis. Disamping itu Pengurus Besar
mempelopori pembangunan Gedung Guru Indonesia bukan hanya sebagai kantor
organisasi tetapi sekaligus menjadi Learning Center dimana kemajuan anggota dan
pengurus (guru) dapat ditingkatkan terus menerus melalui kemudahan jaringan dan
teknologi.
PGRI Smart Learning and Character Center (SLCC) yang telah diluncurkan
secara resmi selanjutnya dapat meningkatkan pelaksanaan program peningkatan
kualitas anggota selain penguatan soliditas dan solidaritas. Sedangkan Mossive
Open Online Courses (MOOC) adalah mimpi dan terobosan yang harus terus
diperjuangkan sebagai salah satu layanan pendidkdikan di perguruan tinggi.
b. Program Umum
Program umum atau disebut sebagai program preoritas PB Masa Bakti XXII
tahun 2019-2024 disusun berdasarkan kajian mendalam atas capaian dan refleksi dari
program kerja PGRI Masa Bakti XXI. Program preoritas Pengurus Besar PGRI
Masa Bakti XXII difokuskan kepada 10 program utama ( Dasa Karsa Program )
sebagai berikut
1) Penguatan profesi dan pengakuan PGRI sebagai organisasi profesi.
2) Peningkatan kesejahteraan, dan perlindungan anggota
3) Sistem keanggotaan dan rekrutmen anggota baru.
4) Sistem keuangan dan akuntabilitas tat kelola iuran.
5) Kaderisasi, kepemimpinan, dan peningkatan kinerja pengurus PGRI.
6) Konsolidasi dan efektifitas forum organisasi.
7) Peningkatan kerja sama dan pengembangan usaha.
8) Penataan dan penguatan lembaga pendidikan PGRI.
9) Penata perkantoran dan peraturan organisasi.
10) Penata dan pengembangan perangkat kelengkapan organisasi.

c. Pokok-pokok Program
Dasa Karsa PGRI dikelompokan dalam 3 (tiga) kelompok besar berdasarkan
Jatidiri PGRI sebagai organisasi profesi, organisasi perjuangan, dan organisasi
ketenagakerjaan.
Jatidiri PGRI sebagai:
1) Organisasi profesi yaitu organisasi yang berfungsi untuk mengawal dan
memfasilitasi peningkatan kompetensi profesi para anggota serta melaksanakan
kewenangan organisasi profesi.
2) Organisasi perjuangan yaitu organisasi yang turut serta memperjuangkan layanan
pendidikan yang berkualitas bagi seluruh anak bangsa sebagai salah satu cita –
cita nasional Indonesia merdeka dalam mempertahankan Negara Kesatuan
republik Indonesia (NKRI), dan
3) Organisasi ketenagakerjaan yaitu organisasi yang berfungsi untuk membantu
pemenuhan hak – hak kesejahteraan dan perlindungan anggota.
Kegiatan PGRI lebih difokuskan pada kepentingan anggota yakni guru dan
tenaga kependidikan pada umumnya dengan program kerja yang konsepsional,
terpadu, dan berkesinambungan, melalui kemitraan jaringan kerja dengan pihak
terkait, dalam suasana harmoni kekeluargaan atas dasar keimanan dan ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini disebabkan karena banyak permasalahan
organisasi yang bersumber dari komunikasi organisi yang kurang efektif dan kualitas
sumberdaya manusia (pengurus dan anggota) yang yang belum cukup memadahi.
Oleh karena itu, strategi dasar dalam reformasi PGRI adalah meningkatkan
komunikasi dan kualitas sumberduya manusia organisasi pada berbagai jenjang.
Untuk mewujudkan amanat tersebut, PGRI menggunakan empat strategi dasar yaitu:
(l ) intensifikasi silaturahmi secara vertikal, horisontal, dan diagonal baik secara
internal maupun ekstemal; (2) optimalisasi kemitraan secara berimbang dengan
berbagai pihak terkait atas dasar saling menghormati secara sistemik, sinergik dan
simbiotik; (3) aklualisasi program kerja yang lcbih berpusat pada hak dan martabat
anggota,; (4) transparansi manajemen organisasi dalam berbagai tingkatan
organisasi.
Secara ideal, pelaksanaan kinerja PGRI menuntut dikembangkannya strategi
yang sistemik, sinergik, dan simbiotik dalam mencapai tujuan yang diharapkan.
Strategl sistemik adalah strategi yang memberikan pandangan dari sudut sistem
dengan sub-sistem dan supra-sistem dalam arti hubungan struktural, föngsional dan
interaktif, yang menyangkut masukan, proses, dan keluaran. Strategi ini berkaitan
erat dalam upaya untuk menjaga keseimbangan antara perubahan dengan
kesinambungan, antara konteks dengan koherensi, antara tatanan yang komprehensif
dengan tatanan yang bersifat komplementer. Strategi sinergik bertujuan untuk
mengembangkan organisasi secara lebih luas guna memperoleh manfaat melalui
perencanaan yang proaktif dan inovatif. Strategi simbiotik diarahkan untuk
mengusahakan keterlibatan kolaboratif, membuka jaringan kemitraan dengan pihak
terkait untuk mendapatkan manfaat bersama. Strategi ini menuntut adanya
keseimbangan antara komunikasi dan kongruensi, komitmen dan kepedulian, serta
kerjasama dan persaingan.
d. Membangun PGRI yang Kuat
Sebagai organisasi yang kuat PGRI disangga oleh pilar budaya organisasi
yang sehat, kesadaran yang sama atas keyakinan, prinsip, nilai dan cita-cita atau visi
bersama para anggota. Kesadaran berorganisasi para anggota tersebut mewujud
dalam perilaku berorganisasi menjadi karakter organisasi.
Mesin penggerak kesadaran dan perilaku tersebut adalah kepemimpinan yang
ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Kepemimpinan yang memperoleh kepercayaan karena karakter dan kompetensinya :

1) Kepemimpinan menjadi panutan karena mempunyai kewibawaan moral personal


mengilhami timbulnya kepercayaan yang tinggi tanpa memintanya.
Kepemimpinan yang menundukkan kecerdasan otaknya kepada hati nurani atau
kecerdasan spiritualnya. Kepemimpinan yang kehadiranya membuat keadaan
menjadi berbeda karena kebermanfaatannya.
2) Kepemimpinan menjadi perintis karena memiliki kewibawaan moral visioner,
menciptakan tata keteraturan dengan arah yang jelas tanpa menuntutnya.
Kepemimpinan dengan keberanian menentukan sebuah jalan dengan
kerendahatian dan rasa hormat timbal balik untuk melibatkan orang lain dalam
memutuskan prioritas langkah. Kepemimpinan menjadi penyelaras karena
memelihara visi dengan menyusun struktur, sistem, dan proses yang selaras
dengan keputusan-keputusan strategis yang paling prioritas sehingga organisasi
secara terus menerus berfokus pada tujuan prioritas tertinggi (ambeg parama
artha).
3) Kepemimpinan menjadi pemberdaya dengan mengobarkan semangat keyakinan
mendalam atas potensi dan kapasitas manusia yang tiada batas untuk
mewujudkan visi misi bersama. Dengan kepemimpinan seperti tersebut di atas,
dapat dibangun kekuatan khalayak anggota organisasi sehingga menjadi kekuatan
moral intelektual yang berwibawa dan bermartabat.
Selain pilar budaya adalah pilar struktur yang membingkai agar proses
perjalanan organisasi secara konsisten mengarah ketujuan/cita-cita/visi berdasarkan
keyakinan, prinsip, nilai dasar yang disepakati.
Secara garis besar pilar struktur terdiri dari :
1) Struktur organisasi beserta susunan kepengurusannya.
2) AD, ART, PO, SOP, Kode Etik dan peraturan ketentuan organisasi yang lain.
3) Dokumen perencanaan jangka panjang, menengah dan pendek.

Pilar kiri adalah sistem yang menjamin agar prose pencapaian tujuan bisa
fokus dan terlaksana, konsisten dengan tujuan, keyakinan prinsip dan niali dasar
yang disepakati/diputuskan.
Pilar sturktur dan pilar kultur merupakan hubungan siklus saling menguatkan.
Budaya saling menguatkan sistem/proses dan proses/sistem menguatkan budaya.
PGRI harus berdiri kokoh di atas landasan keyakinan, prinsip, nilai dasar dan
tujuan/cita-cita/visi/misi. Landasan dasar organisasi menjadi rujukan perilaku/budaya
dan sistem/proses yang dibangun.
Organisasi yang digerakkan oleh prinsip atau nilai (values driven
organization) merupakan organisasi yang berkarakter dan berintegritas. Organisasi
yang dinamis dan adaptatif terhadap perubahan membutuhkan komitmen
kepemimpinan terhadap transformasi budaya (juqa sistem) dengan mengawal
perubahan perilaku yang diinginkan sekaligus mengawal nilai-nilai yang harus
diwujudkan (transformasi budaya dan transmisi nilai¬nilai/prinsip dasar)
Gambaran values driven organization.
1) Nilai menggerakkan budaya
2) Budaya mengerakkan anggota
3) Anggota menggerakkan kepuasan pemangku kepentingan (mitra dan masyarakat)
Rangkuman
Sejarah dan Dinamika PGRI tidak dapat dipisahkan dari sejarah pendidikan Indonesia,
PGRI adalah sebuah fenomena yang sangat menarik. Organisasi guru ini lahir, tumbuh dan
berkembang seirama dengan dinamika perkembangan bangsa dan negara Indonesia, terutama
sejak kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Karena itu, PGRI tidak dapat dilepaskan dari
keseluruhan dinamika bangsa Indonesia, bukan hanya pada pendidikan melainkan pada hampir
seluruh aspek kehidupan bangsa ini.
Bab ini menyajikan sejarah dan dinamika perjalanan PGRJ sejak kelahirannya pada 25
November 1945 hingga era reformasi dewasa ini. Isinya mengungkap secara k:ronologis
perkembangan sejarah perjuangan guru dan PGRI sebagai organisasi Profesi , organisasi
Perjuanga, dan organisasi Ketenagakerjaan. Berdasarkan uraian dalam bab ini, secara garis besar
dapat diidentifikasi menjadi empat periode perkembangan PGRI, sebagai berikut:
Periode pertama (1945-1955) merupakan tahap perkembangan awal, yaitu sejak
kelahirannya hingga mulai terjadinya benturan kepentingan politik di dalamnya menjelang
Pemilu 1955 yang hampir membuat organisasi ini hancur. Lahir di tengah bau mesiu dan
dentuman meriam tatkala tentara Sekutu / N1CA berusaha untuk kembali menguasai Indonesia,
PGRI merupakan bagian dari kekuatan bangsa yang berusaha mempertahankan negara
proklamasi. Nasionalisme dan patriotisme sangat kental mewamai saat saat kelahiran PGRI.
Selama revolusi fisik (1945-1949) momentum ini terus dipertahankan, terbukti dari keterlibatan
PGRI sebagai organisasi dan para anggotanya dalam perjuangan bangsa. Memasuki tahun 1950-
an, PGRI sangat aktif memberikan kontribusinya terhadap pembangunan dan penataan sistem
pendidikan yang carut marut sebagai peninggalan dari masa sebelumnya: zaman kolonial
Belanda, masa pendudukan Jepang, dan zaman revolusi fisik. Selama periode pertama ini, PGRI
sebagai organisasi sangat kompak, kuat, dan para pengurus maupun anggotanya memiliki visi
yang sama mengenai organisasi ini serta arah perjuangannya. Friksi antar pengurus dan berbagai
kelompok kepentingan (interest groups) belum banyak muncul selama periode ini. Kalaupun
ada, friksi itu masih sebatas pada persaingan intern organisasi yang dapat mudah diselesaikan
secara intern . Para pengurus dan anggota disibukkan oleh agenda agenda pengembangan
organisasi (misalnya pembukaan Komisariatkomisariat Daerah) dan pemecahan masalah-
masalah pendidikan nasional yang mendesak. PGRI, misalnya sangat aktif dalam memelopori
perumusan konsep pendidikan nasional, terlibat dalam gerakan pemberantasan buta huruf, dan
upaya mengatasi kekurangan guru.
Periode kedua (1955-1966) merupakan tahap yang kritis bagi PGR . Selama periode ini,
mulai terjadi benturan kepentingan dan intrik politik di dalam tubuh PGRI. Intrik politik dimulai
menjelang Pemilu 1955 ketika kelompok pro PKI berusaha menanamkan pengaruhnya dalam
organisasi ini pada Kongres VIII PGRI tahun 1956 di Bandung. Perebutan pengaruh mencapai
puncaknya pada Kongres X PGRI di Jakarta yang disusul dengan lahimya PGRl Non-
Vaksentral/ PKI. Hampir saja krisis ini menghancurkan PGRI. Tetapi berkat kegigihan para
pengurusnya, terutama kematangan Ketua Umumnya, M.E. Subiadinata, krisis itu dapat diatasi.
Terjadinya peristiwa G30S/PK.I pada tahun 1965 yang temyata gagal, turut mempercepat
rontoknya kekuatan kekuatan pro-PKI dalam tubuh PGRI. Pada babak akhir, periode ini ditandai
adanya usaha untuk melakukan konsolidasi ulang terhadap organisasi dalam suasana yang
masih mencekam yaitu masa transisi dari era Orde Lama ke Orde Baru pada tahun 1966-1967.
Periode ketiga berlangsung lama (1967-1998), yaitu sejak lahirnya Orde Baru tahun
hingga berakhirnya era ini. Periode ini dapat di sebut sebagai “Pertumbuhan" setelah organisasi
ini selamat dari ujian berat dan kemudian menemukan momentum pertumbuhannya yang baru,
ibarat sebuah second curve. Sebagai komponen Orde Baru, PGRI menikmati masa-masa
perkembangan, sekaligus stabilitas dan kekohesifan pada intern organisasi. Stabilitas ini secara
simbolis direpresentasikan, antara lain, pada kepengurusan. Setelah melewati empat periode
kepemimpinan di bawah M.E. Subiadinata sebagai Ketua Umum PB-PGRI (1956-1969) yang
diseling oleh Slamet I menyusul wafatnya M.E. Subiadinata tahun 1969 PB-PGRI dipimpin oleh
Basyuni Suriamiharja selama enam periode (1970-1998). Akan tetapi, seperti dikemukakan
terdahulu, periode ini mencatat sisi lain dari perjalanan PGRI, yaitu hubungan mesra organisasi
ini dengan pemerintah yang mempekerjakan para guru. Di samping memiliki aspek-aspek
positif, kedekatan hubungan ini juga pada gilirannya agak menyulitkan posisi PGRI sendiri
dalam memperjuangkan nasib guru. Sangat jelas pula terlihat bahwa pada periode ini, sifat PGRl
sebagai organisasi yang unitaristik, independen, dan non-partai politik terabaikan penegakannya,
atau mungkin diartikulasikan secara berbeda dengan ketika sifat organisasi ini pertama kali
dirumuskan. Bersama para pegawai negeri sipil lainnya (juga TNI/ABRl), PGRl sebagai
organisasi menjadi mesin birokrasi dan mesin politik yang sangat efektif. Para periode ini,
terlihat adanya jarak yang lebar antara peran yang dimainkan di tingkat atas dengan aspirasi dan
harapan yang menggelora di tataran "akar rumput" (para anggota di tingkat bawah). Sebuah
justifikasi dapat dikemukakan terhadap kecenderungan PGRI selama periode ini, yakni pada
masa tersebut sulit bagi sebuah organisasi sebesar PGRI untuk menghindar dari berbagai
tekanan politik yang begitu hebat dan sistematis pada era Orde Baru, tentu saja dengan segala
dilemanya bagi PGRI. Tekanan politik dimaksud telah memaksa hampir semua organisasi
(apalagi dengan jumlah anggota yang raksasa seperti PGRI), bahkan termasuk juga partai
politik, untuk tidak mampu rnengambil "jalan sendiri" di luar koridor yang ditentukan oleh Orde
Baru.
Periode keempat dimulai sejak bergulimya era reformasi, yaitu sejak Kongres XVIII
tahun 1998 di Bandung. Periode ini dapat di sebut sebagai "Masa Perkembangan Lanjut" ketika
PGRJ memasuki babak baru dalam alam yang baru pula. Ia berusaha mengambil jarak secara
lebih fair dari pemerintah dengan tetap mempertahankan "sikap kooperatif". PGRI juga berusaha
untuk kembali kepada "khittah"-nya, yaitu berpegang secara konsisten dan konsekuen pada tiga
sifat dasaryaitu unitaristik, independen, dan non-partai politik. Dalam konteks politik, pada era
multipartai dewasa ini para anggota PGRI dibebaskari untuk menentukan pilihannya (kepada
partai mana mereka akan berafiliasi), karena sebagai organisasi, PGRI telah bertekad untuk tidak
memasuki wilayah tersebut.
Dalam strategi perjuangan dan cara menyampaikan tuntutannya, PGRI menjadi "lebih
"berani" dan vokal, hal ini dibuktikan dari hasil perjuangan yang monumental bagi PGRI yaitu
lahirnya UUGD Nomor: 14 tahun 2005 yang tidak dapat dipisahkan dari perjuangan PGRI.
Pemikiran bahwa PGRI merupakan Serikat Pekerja (Trade Union) selain sebagai asosiasi
profesi mengemuka secara lebih eksplisit dibandingkan dengan pada masa-masa sebelurnnya;
begilu juga strategi perjuangannya mengikuti cara-cara yang lazim dalam Serikat Pekerja.
Artinya, pada saat diperlukan dan kondisi memaksa, tak ragu-ragu PGRI menyatakan
pendiriannya yang (mungkin) "berseberangan" dengan perspektif pemerintah, semata-mata demi
membela kepentingan para anggotanya.
Dalam tatakelola organisasi dilakukan dengan berorientasi pada Visi, Misi dan Tujuan
organisasi sebagaimana ditetapkan dalam AD/ART , serta program kerja yang sudah ditetapkan
dalma Kongres dengan siklus kepemimpinan lima tahunan. Dalam rangka mewujudkan
organisasi PGRI yang Kuat, Independen, Demokratis dan Sinambung ( KIDS) diperlukann tata
kelola yang sistemik dan kredibel. Organisasi yang kuat disangga oleh pilar budaya organisasi
yang sehat, kesadaran yang sama atas keyakinan, prinsip, nilai dan cita-cita atau visi bersama
para anggota. Kesadaran berorganisasi para anggota tersebut mewujud dalam perilaku
berorganisasi menjadi karakter organisasi.
Mesin penggerak kesadaran dan perilaku tersebut adalah kepemimpinan yang ing ngarsa
sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Kepemimpinan yang memperoleh
kepercayaan karena karakter dan kompetensinya Kepemimpinan menjadi panutan karena
mempunyai kewibawaan moral personal mengilhami timbulnya kepercayaan yang tinggi tanpa
memintanya. Kepemimpinan yang menundukkan kecerdasan otaknya kepada hati nurani atau
kecerdasan spiritualnya. Kepemimpinan yang kehadiranya membuat keadaan menjadi berbeda
karena kebermanfaatannya.
Kepemimpinan menjadi perintis karena memiliki kewibawaan moral visioner,
menciptakan tata keteraturan dengan arah yang jelas tanpa menuntutnya. Kepemimpinan dengan
keberanian menentukan sebuah jalan dengan kerendahatian dan rasa hormat timbal balik untuk
melibatkan orang lain dalam memutuskan prioritas langkah. Kepemimpinan menjadi penyelaras
karena memelihara visi dengan menyusun struktur, sistem, dan proses yang selaras dengan
keputusan-keputusan strategis yang paling prioritas sehingga organisasi secara terus menerus
berfokus pada tujuan prioritas tertinggi (ambeg parama artha).
Kepemimpinan menjadi pemberdaya dengan mengobarkan semangat keyakinan
mendalam atas potensi dan kapasitas manusia yang tiada batas untuk mewujudkan visi misi
bersama. Dengan kepemimpinan seperti tersebut di atas, dapat dibangun kekuatan khalayak
anggota organisasi sehingga menjadi kekuatan moral intelektual yang berwibawa dan
bermartabat.
Selain pilar budaya adalah pilar struktur yang membingkai agar proses perjalanan
organisasi secara konsisten mengarah ketujuan/cita-cita/visi berdasarkan keyakinan, prinsip,
nilai dasar yang disepakati. Secara garis besar pilar struktur terdiri dari :
A. Struktur organisasi beserta susunan kepengurusannya;
B. AD, ART, PO, SOP, Kode Etik dan peraturan ketentuan organisasi yang lain;
C. Dokumen perencanaan jangka panjang, menengah dan pendek.
Pilar kiri adalah sistem yang menjamin agar prose pencapaian tujuan bisa fokus dan
terlaksana, konsisten dengan tujuan, keyakinan prinsip dan niali dasar yang
disepakati/diputuskan. Pilar sturktur dan pilar kultur merupakan hubungan siklus saling
menguatkan. Budaya saling menguatkan sistem/proses dan proses/sistem menguatkan budaya.
PGRI harus berdiri kokoh di atas landasan keyakinan, prinsip, nilai dasar dan tujuan/cita-
cita/visi/misi. Landasan dasar organisasi menjadi rujukan perilaku/budaya dan sistem/proses
yang dibangun. Organisasi yang digerakkan oleh prinsip atau nilai (values driven organization)
merupakan organisasi yang berkarakter dan berintegritas. Organisasi yang dinamis dan adaptatif
terhadap perubahan membutuhkan komitmen kepemimpinan terhadap transformasi budaya (juqa
sistem) dengan mengawal perubahan perilaku yang diinginkan sekaligus mengawal nilai-nilai
yang harus diwujudkan (transformasi budaya dan transmisi nilai¬nilai/prinsip dasar)
Evaluasi:
1. Uraikan secara komprehensip latar belakan dan alasan berdirinya organisasi PGRI
2. Buatlah peta konsep tentang perjalanan sejarah organisasi PGRI sejak berdiri sampai
dengan saat ini.
3. Tunjukkan nilai nilai sebagai sifat khas organisasi PGRI yang tumbuh berkembang dalam
dinamika perjalanan sejarah PGRI.
4. Buatlah proyek sebagai wujud implementasi nilai – nilai perjuangan PGRI dalam merespon
fenomena kehidupan masyarakat dewasa ini.
DAFTAR PUSTAKA

Hadiatmadja, R.A. Soepardi., dkk., 2000. Pedidikan sejarah perjuangan PGRI (PSP- PGRI),
Jilid II, III, IV, V. Semarang : IKIP PGRI

Kahin, George Mc. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Nin Bakdi Somenato
(Penterj.), Jakarta – Sinar Harapan & Sebelas Maret University Press.

Kartodirdjo, Sartono.. dkk. 1975. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

Ricklefs, M.C., 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta – PT. Ikrar

PGRI., 2008. Buku Sejarah Perjuangan Jatidiri PGRI

Poerbakawatja, Soegarda. 1970. Pendidikan dalam Indonesia merdeka. Jakarta: Gunung


Agung

Said, Muh. dan Junima Affan, 1987. Mendidik dari zaman ke zaman, Bandung: Jemmars,.
Sjamsuddin, Helius. 1993. Sejarah pendidikan di Indonesia zaman kemerdekaan (1945-
1950). Depdikbud. Jakarta

Sumarsono, Moestoko.1986. Pendidikan Indonesia dari jaman ke jaman. Balai Pustaka:


Jakarta

Tilaar, H.A.R., 2002. Pendidikan untuk masyarakat Indonesia. Jakarta – PT Gramedia

Yunus., 2003. PGRI dari masa ke masa. Jakarta: PGRI YPLP.

You might also like