Professional Documents
Culture Documents
Bab - I. Sejarah Dan Dinamika Pgri
Bab - I. Sejarah Dan Dinamika Pgri
A. Capaian Pembelajaran :
1. Menumbuhkan sikap disiplin, kompetitif dan professional.
2. Menumbuhkan pribadi yang tanggap terhadap sesama dan lingkungannya, tangguh, ulet,
tidak mudah putus asa, jujur, memiliki integritas, takwa dan toleransi, serta jiwa
semangat nilai 1945.
B. Indikator :
1. Mediskripsikan latar belakang dan alasan yang mendorong berdirinya organisasi PGRI.
2. Mengidentifikasi masa perjalanan sejarah organisasi PGRI sejak berdiri tahun 1945
hingga saat ini.
3. Mengidentifikasi nilai – nilai yang tumbuh berkembang sebagai sifat khas organisasi
PGRI selama ini.
4. Meneladani sifat – sifat khas yang tumbuh berkembang dari organisasi PGRI dalam
kehidupan sehari – hari.
C. Sejarah dan Dinamika PGRI
Dalam sejarah pendidikan Indonesia, PGRI adalah sebuah fenomena yang sangat
menarik. Organisasi guru ini lahir, tumbuh dan berkembang seirama dengan dinamika
perkembangan bangsa dan Negara Indonesia, terutama sejak kemerdekaan pada tanggal 17
Agustus 1945. Karena itu, PGRI tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan dinamika bangsa
Indonesia, bukan hanya pada pendidikan melainkan pada hampir seluruh aspek kehidupan
bangsa ini.
Memang siapapun yang mengetahui sejarah PGRI akan dan harus secara jujur
mengakui reputasi organisasi ini. Dari segi keberlangsungan atau daya tahannya PGRI telah
terbukti tahan uji terhadap setiap perkembangan zaman dalam rentang waktu selama ini (75
tahun), tanpa ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa organisasi ini akan makin melemah;
bahkan kelihatan justru semakin kuat sekalipun menghadapi tantangan baru dari organisasi
guru lainnya yang lahir sejak era reformasi. Pada hal, tak terbilang organisasi yang lahir
hampir sezaaman dengan lahirnya PGRI, atau bahkan lebih baru, tetapi tidak mampu
bertahan lama.
Apa sebenarnya yang membuat PGRI demikian?
Sebagai organisasi perjuangan, PGRI merupakan wadah bagi para guru dalam
memperoleh, mempertahankan, meningkatkan, dan membela hak asasinya baik sebagai
pribadi, anggota masyarakat, warga negara, maupun pemangku profesi keguruan.
PGRI berjuang untuk mewujudkan hak-hak kaum guru dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Perjuangan dilakukan melalui berbagai cara dan bentuk yang
konstitusional, prosedural dan konsepsional dalam memperoleh kehidupan guru yang layak
dan sejahtera. Untuk itu PGRI secara konsisten dan konsekuen memperjuangkan
kesejahteraan guru baik lahir maupun batin, baik materil maupun non-materil agar mereka
dapat memperoleh kepuasan kerja yang didukung dengan imbalan jasa yang memadai, rasa
aman dalam bekerja, lingkungan kerja yang kondusif, pergaulan antar pribadi yang baik dan
sehat, serta memperoleh kesempatan pengembangan diri dan karier.
Sebagai warga negara, para anggota PGRI berupaya untuk turut memperjuangkan
tetap tegak dan lestarinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, berperan serta dalam
pembangunan nasional, ikut serta mewujudkan pendidikan nasional.
Dinamika perjuangan guru dalam ikut serta mewujudkan terbentuknya NKRI yang
merdeka dan berdaulat.
D. Gerakan Guru pada Masa Perjuangan Kemerdekaan
Pada zaman Belanda, terdapat bermacam-macam sekolah diperuntukkan bagi
golongan tertentu. Umpamanya sekolah Desa atau Sekolah Rakyat (Volksschool) untuk
masyarakat desa, sekolah Dasar Angka II (Tweede Inlandse School) untuk rakyat biasa di
kota-kota, dan Sekolah Dasar berbahasa Belanda untuk anak-anak ningrat (priyai) atau anak-
anak pegawai pemerintah Hindia Belanda yang gurunya digaji paling sedikit fi 100/bulan
(baca: 100 florijn/gulden). Guru-gurunya adalah tamatan bermacam-macam sekolah guru,
seperti Sekolah Guru Desa, Normalschool (NS), Kweekschool (KS), Hogere Kweckhooi
(HKS), Hollands-Inlandse Kweekschool (HIK), Europese Kweekvhool (EKS), Indische
Hoofdacte. Guru-guru tersebut mempunyai serikat pekerja masing-masing menurut
ijazahnya. Gaji perkumpulan untuk tamatan Sekolah Guru Desa sebesar fi. 7,50 per bulan,
untuk tamatan NS fi 22,5/bulan, untuk tamatan HKS/HIK fi. 70 per bulan, untuk lulusan EKS
fi 125/bulan, dan untuk lulusan Hoofdacte fi 130 per bulan. Perbedaan dalam penggajian dan
kedudukan tersebut tidak jarang menimbulkan pertentangan antar-golongan guru yang
bermacam-macam itu yang tidak menguntungkan dunia pendidikan.
Siasat pecah-belah dilakukan oleh Belanda di semua aspek kehidupan, bukan hanya
dalam pendidikan, melainkan juga dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Kaum Bumiputera
dipersulit untuk memasuki sekolah, terutama sekolah yang berbahasa Belanda seperti: HIS,
ELS, dan MULO.
Para guru lulusan berbagai jenis sekolah yang ada pada masa itu berusaha
memperjuangkan nasibnya. Mereka melihat kekuatan perjuangan yang dilancarkan oleh para
pegawai/buruh untuk memperoleh upah yang wajar, maka pada tahun 1908 lahirlah
Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel in Nederlands Indie (VSTV), disusul kemudian
dengan berdirinya Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) pada tahun 1912, Vereniging
Inlands Personeel BOW (VIPBOW), Perserikatan Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN).
Berkat pidato Sosro Kartono, kakak kandung R.A. Kartini, di depan peserta Kongres
Bahasa tahun 1899 di Belanda, mulai tahun 1907 terjadi perkembangan penting, yaitu; pada
kelas-kelas tinggi Eerste Inlandse School (EIS) diberikan pelajaran bahasa Belanda; EIS
dijadikan 7 tahun, namanya diubah menjadi Hollands Inlandse School (HIS); Sekolah bagi
anak-anak Bumiputera diajarkan bahasa Belanda; terbuka kesempatan bagi putera-puteri
Indonesia untuk memasuki pintu gerbang ilmu pengetahuan umum, ilmu politik, ilmu sosial,
sejarah dan sebagainya.
Untuk mengisi tenaga guru pada HIS, pada tahun 1917 pemerintah Belanda
mendirikan sekolah guru bernama Hogere Kweekschool (HKS) di Purworejo. Lama
belajarnya 3 tahun sesudah Kweekschool (KS). Para guru dalam memperjuangkan nasibnya,
pada tahun 1912 mendirilakan Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) yang diketuai oleh
Karto Soebroto, organisasi ini bersifat unitaristik. Selain memperjuangkan nasib para guru
tantangan berat bagi PGHB adalah menghadapi perpecahan , pecah dalam pengertian
masing-masing anggota berjuang sesuai dengan program kerjanya. Pada tahun 1919, di
samping PGHB, terbentuk gerakan baru diantaranya Persatuan Guru Bantu (PGB), Persatuan
Normalschool (PNS), Oud Kweekschoolieren Bond (KSB), dan School Opzieners Bond
(SOB).
Aktivis tamatan HKS yang giat memprakarsai penyelesaikan kemelut yang menimpa
bond-bond tersebut termasuk PGHB adalah A.W.Karjoso, Atik Suardi, dan Sutopo
Adisaputro. Pada tahun 1924 usaha ketiga orang ini memperlihatkan hasilnya, ikatan-ikatan
yang sesuai dengan jabatan dan pendidikan guru berdiri yang disebut “Groepsbonden” yaitu
Perserikatan Guru Desa, kemudian diganti dengan Voiks Onderwzjzers Bond (VOB),
Perserikatan Guru Bantu (PGB), Persatuan Guru Ambachtsschool (PGAS), Perserikatan
Normalschool (PNS), Hogere Kweekschool Bond (HKSB). Lulusan HIK mendirikan
persatuan sendiri dengan nama Onderwjzers Vak Organisatie (OVO)
Usaha memperjuangkan nasib guru memuncak pada kesadaran dan cita-cita
kemerdekaan, bukan sekedar perjuangan nasib belaka. Rustam Effendi, seorang guru
Abadiyah di Padang, Sumatera Barat, pada tahun 1922 mengumandangkan suara “merdeka”
melalui sajak-sajak dan drama-drama yang dikarangnya, di antaranya berjudul “Bebasari”.
Pada tahun 1932 nama PGHB diganti dengan PGI (Persatuan Guru Indonesia).
Penggantian nama “Hindia Belanda” dengan “Indonesia” dalam nama organisasi ini
mengejutkan Belanda. Sebaliknya, bagi para guru dan bangsa Indonesia umumnya, nama itu
sangat disukai dan diidam-idamkan.
Perang Dunia II pecah pada tahun 1939. Setahun kemudian, Negeri Belanda
diduduki oleh tentara Jerman. Pada tahun 1941 semua guru laki-laki bangsa Belanda
ditugaskan untuk menjadi milisi. Untuk mengatasi kekurangan guru di Indonesia, beberapa
sekolah sejenis digabungkan dan gurunya diisi oleh orang-orang Indonesia. Akan tetapi,
pada zaman pendudukan Jepang keadaan sama sekali berubah. Segala organisasi dilarang,
sekolah ditutup. Praktis segala kegiatan pendidikan dan kegiatan politik, membeku. Barulah
menjelang Jepang takluk kepada tentara Sekutu, sekolah-sekolah itu mulai dibuka kembali.
E. Lahirnya PGRI Tanggal 25 November 1945
Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 merupakan titik kulminasi
perjuangan bangsa Indonesia dan sekaligus merupakan jembatan emas bangsa Indonesia
untuk mewujudkan cita –cita nasioanl. Momentum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945 memiliki efek kehidupan yang sangat luas bagi masyarakat, tak terkecuali kepada para
guru.
Pada tanggal 23-25 November 1945 bertcmpat di Sekolah Guru Puteri (SGP)
Surakarta, Jawa Tengah diselenggarakan Kongres Guru Yang Pertama. Dari kongres itu
lahirlah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang merupakan wahana persatuan dan
kesatuan segenap guru di seluruh Indonesia.
Di antara pendiri PGRI adalah Rh. Koesnan, Amin Singgih, Ali Marsaban, Djajeng
Soegianto, Soemidi Adisasmito, Abdullah Noerbambang, dan Soetono.
Melalui kongres ini, segala bentuk perpecahan antara kelompok guru yang
didasarkan kepada perbedaan tamatan (ijazah) di lingkungan pekerjaan, lingkungari daerah,
aliran politik, agama dan suku, sepakat untuk dihapuskan. Mereka serentak bersatu untuk
mengisi kemerdekaan dengan tiga tujuan:
1. Mempertahankan dan menyempumakan Republik,
2. Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar dasar kerakyatan,
3. Membela hak dan nasib buruh umumnya, guru padak hususnya.
Para pendiri PGRI yang saat ini masih hidup menerangkan bahwa kesepakatan
penyusunan ketiga tujuan tersebut dicapai dalam suasana pekik "Merdeka!" yang berlalu-
talu, di tengah bau mesiu pemboman oleh tentara Inggris atas studio RRI Surakarta yang
jaraknya hanya ratus- an meter dari tempat sidang di SGP.
Para peserta kongres sempat panik dan mencari perlindungan. Kemudian setelah
pesawat Inggris berlalu, mereka berkumpul kembali dan meneriakkan pekik "Merdeka,
merdeka, merdeka!"
Demikian tingginya kesadaran politik dan perjuangan para guru untuk
mempertahankan kemerdekaan, sehingga para peserta kongres saat itu mengeluarkan
resolusi untuk mengirim telegram kepada para pejuang di Surabaya agar mereka terus
berjuang melawan penjajah. Isi telegram itu juga mengajak semua guru yang ada di seputar
Surabaya untuk ikut serta memanggul senjata guna membantu para pemuda patriot bangsa
yang sedang menghadapi tentara Sekutu.
Hal ini dapat dicatat sebagai peristiwa sejarah yang sangat patriotik. PGRI lahir
sebagai "anak sulung" dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang memiliki sifat
dan semangat yang sama dengan "ibu kandungnya", yaitu semangat pcrsatuan dan kesatuan,
pengorbanan dan kepahlawanan untuk menentang penjajah. PGRI merupakan organisasi
pelopor dan pejuang; karena itu para pendiri PGRI mengangkat “ semangat itu ke dalam
tujuan yang pcrtama di atas. Sementara itu, tujuan yang kedua sangat erat hubungannya
dengan tugas pokok dan fungsi anggota PGRI sebagai pendidik bangsa, yang melalui proses
pendidikan bermaksud mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas hidup
bangsa Indonesia dari segi pendidikan. Tujuan yang ketiga berkaitan langsung dengan PGRI
sebagai wahana meningkatkan perjuangan untuk perbaikan nasib anggotanya. PGRI adalah
organisasi pejuang yang lahir dalam proses sejarah di masa pejuangan untuk merebut dan
mempertahankan kemerdekaan. PGRI adalah wahana para pejuang, pembangun bangsa,
pembimbing putera, pembangun jiwa dan pencipta kekuatan negara. Begitulah jiwa dan
makna PGRI yang diungkapkan dalam "Mars PGRI" yang sepenuhnya cocok dengan
kenyataan.
Proses dan hasil Kongres I PGRI yang bersejarah itu, yang menjadi tonggak awal
lahimya organisasi ini, dengan sifat organisasi; a) Unitaristik; b) Independen; dan c) Non
Partai Politik.
F. PGRI Pada Masa Perang Kemerdekaan (1945-1949)
Asas yang tercantum dalam Anggaran Dasar pendirian PGRI adalah “kedaulatan
anggotanya” cita-cita PGRI sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Para guru Indonesia menginginkan kebebasan dan kemerdekaan, memacu kecerdasan bangsa
dan membela serta memperjuangkan kesejahteraan anggotanya. Sesuai dengan prioritas
perjuangan pada kurun waktu 1945-1949 difokuskan kepada perjuangan fisik bersenjata
untuk mempertahankan kemerdekaan. Para guru pendidik bangsa yang menjadi warga PGRI
tidak mau ketinggalan, mereka sebagian ikut memanggul senjata, berjuang melawan
penjajah, terlibat dalam perang gerilya. Para wanita pun ikut aktif menggerakkan dapur
umum, atau menjadi anggota PMI (Palang Merah Indonesia) bagi para pejuang di garis
depan. Di antara mereka, tidak sedikit pula yang gugur menjadi pahlawan bangsa.
1. Kongres II PGRI di Surakarta: 21-23 November 1946
Melalui kongres ini, PGRI mengajukan tuntutan kepada pemerintah, yaitu: (a)
sistem pendidikan selekasnya didasarkan pada kepentingan nasional; (b) gaji guru
supaya tidak dihentikan; (c) diadakan Undang- Undang Pokok Pendidikan dan Undang-
Undang Pokok Perburuhan.
Tuntutan tersebut mendapat perhatian pemerintah, terbukti dengan ditunjuknya
Rh. Koesnan menjadi anggota Panitia Gaji Pemerintah yang dibentuk oleh Departemen
Keuangan RI.
2. Kongres III PGRI di Madiun: 27-29 Februari 1948
Kongres memutuskan bahwa untuk meningkatkan efektivitas organisasi,
ditempuh jalan dengan memekarkan cabang-cabang yang tadinya setiap keresidenan
memiliki satu cabang menjadi cabang-cabang yang lebih kecil, tetapi dengan jumlah
anggota sedikitnya 100 orang. Diharapkan bahwa cabang PGRI yang lebih kecil itu
dapat lebih efektif. Dalam cakupan daerah yang sangat terbatas itu PGRI mempunyai 76
cabang yang masing- masing temyata dapat menunjukkan aktivitas dan vitalitas yang
tinggi.
Untuk membantu tugas-tugas pengurus besar dalam memimpin dan
mengkoordinasikan cabang-cabang, dibentuklah komisariat-komisariat daerah pada
setiap keresidenan/provinsi dan merupakan Pengurus Besar Pleno.
PGRI memiliki haluan dan sifat perjuangan yang jelas, yaitu: mempertahankan
NKRI, meningkatkan pendidikan dan pengajaran nasional sesuai dengan falsafah
Pancasila dan UUD 1945, dan tidak bergerak dalam lapangan politik (non-partai politik).
Dalam waktu singkat nama PGRI telah dikenal di tengah masyarakat dan pemerintah
termasuk di luar negeri. Hal ini dibuktikan oleh adanya undangan dari National
Education Association (NEA) di Amerikat Serikat untuk mengirimkan wakil-wakil PGRI
guna mengadakan peninjauan terhadap pendidikan di negeri itu selama 8 bulan
(September 1948 s.d. Juli 1949). Juga undangan dari World Confederation of
Organizations of the Teaching Profession (WCOTP) untuk menghadiri Kongres II yang
diadakan pada bulan Juli 1948 di London. Namun karena kesulitan mendapatkan visa,
kedua undangan tersebut tidak dapat dipenuhi
Ketika Pemerintahan Rl kembali dari Bukittingi ke Yogyakarta pada tahun 1949,
berdirilah cabang-cabang PGRI di daerah luar Persetujuan Renville. Pada saat itu,
kedudukan PB PGRI di Surakarta dipindahkan ke Yogyakarta. Kegiatan PGR1 pun
meningkat kembali di berbagai dacrah, baik di pusat (Yogyakarta) maupun di daerah-
daerah BFO (Byzonder Federal Overleg) dengan saling mengadakan kontak untuk
mongkonsolidasikan organisasi.
Dalam bidang politik, dua orang wakil PGRI ditunjuk menjadi anggota Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang merupakan Parlemen Sementara RI. Pengakuan
politis yang amat tinggi kepada PGRI juga diperoleh dari amanat Presiden Soekamo
pada Kongres II PGRI tahun 1946 di Surakarta. Dalam amanat tersebut, Presiden
Soekamo menegaskan bahwa, "Guru bukanlah penghias alam, tetapi guru adalah
pembentuk manusia; guru adalah pendidik rakyat ke arah kejayaan dan keagungan
bangsa; semua orang pandai dan patriot-patriot negara adalah hasil pendidikan para guru;
dalam menghadapi perjuangan dan pembangunan negara, guru harus menjadi
pelopornya; guru adalah pendidik rakyat ke arah kesempurnaan jiwa yang bercita-cita
tinggi bagi bangsa dan negara"
G. PGRI pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)
1. Kongres IV PGRI di Yogyakarta: 26-28 Februari 1950
Dalam pidato sambutan pada kongres, Pejabat Presiden RI Assa'at memuji PGRI
sebagai pencerminan semangat juang para guru sebagai pendidik rakyat dan bangsa.
Oleh karena itu, Assa'at menganjurkan untuk mempertahankan nama, bentuk, maksud,
ujuan, dan cita-cita PGRI sesuai dengan kehendak dan tekad para pendirinya,
sebagaimana tercantum dalam AD/ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga) organisasi ini. Dengan demikian, semangat juang para guru akan terpelihara dan
bahkan dapat diwariskan secara turun temurun kepada guru-guru generasi selanjutnya.
Kongres IV PGRI itu juga dihadiri oleh beberapa utusan dari luar "daerah
Renville", suasana Kongres IV diliputi dengan semangat persatuan dan kesatuan yang
berkobar-kobar. Pengurus Pusat SGI di Bandung datang pada Kongres IV di Yogyakarta
untuk secara resmi menggabungkan diri ke dalam PGRI dengan menyerahkan 38 cabang.
Delegasi Serikat Guru Indonesia (SGI) dari Bandung terdiri atas: Jaman Soejanaprawira,
Djoesar Kartasubrata, M: Husein, Wirasoepena, Omo Adimiharja, Sukarna Prawira, dan
Anwar Sanusi.
Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), secara nasional suasana politik
masih sangat rawan. Rasa saling mencurigai terasa antara orang-orang Republik dan
mereka yang bekerjasama dengan Belanda /NICA. Dalam suasana nasional seperti itulah,
guru-guru yang bemaung di bawah panji-panji PGRI secara aklamasi mengambil
keputusan untuk mempersatukan semua guru di seluruh tanah air dalam satu organisasi
kesatuan yaitu PGR1. Mereka juga sepakat untuk menyingkirkan segala rasa saling
curiga dan semangat kedaerahan yang menjangkiti para guru. Oleh karena itu, Kongres
memutuskan untuk mengeluarkan "Maklumat Persatuan" yang berisikan seruan kepada
seluruh masyarakat, khususnya kepada guru-guru, untuk membantu menghilangkan
suasana yang membahayakan dalam hubungan antara golongan Non (Pro Republik) dan
Ko ( bekerja dengan Belanda ) dan menggalang persatuan demi pejuangan untuk mengisi
kemerdekaan .
Bagaimana sikap PGRI terhadap Vaksentral?
Saat itu pandangan di dalam PB PGRI, bahwa sudah selayaknya PGRI sebagai
serikat sekerja, seperti halnya serikat buruh lainnya, bergabung ke dalam SOBSI (Serikat
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Sesudah Kongres III Madiun terlihat tanda-tanda
adanya usaha beberapa orang dalam Presidium SOBSI yang hendak membawa
Vaksentral ke dalam bentuk pejuangan politik yang tidak menguntungkan, bahkan
merugikan pejuangan PGRI yang saat itu telah bergabung dengan SOBSI. Karena
orientasi politik SOBSI ketika itu condong ke PKI, bahkan kemudian benar-benar
menjadi organisasi PKI, maka pada tanggal 21-22 Agustus 1948 PB PGRI mengadakan
sidang dengan Sentral Biro SOBSI di Yogyakarta. Akhimya melalui pernyataan tanggal
20 September 1948, PGRI mengundurkan diri dari SOBSI sesuai dengan Anggaran
Dasar PGRI sendiri yang non-partai politik serta asas dan dasar peijuangarmya yang
berlandaskan falsafah Pancasila
2. Kongres V PGRI di Bandung: 19-24 Desember 1950
Kongres V diadakan 10 bulan setelah Kongres IV di Yogyakarta. "Selain untuk
menyongsong Lustrum I PGRI, juga untuk merayakan peleburan SGI/PGI ke dalam
PGRI. Dapat dikatakan bahwa kongres tersebut merupakan "Kongres Persatuan", selain
Pancasila diterima sebagai asas organisasi. Kongres menugasi PB PGRI untuk mendesak
pemerintah agar menyusun suatu peraturan baru tentang gaji guru dan mendudukkan
wakilnya dalam panitia penyusunan peraturan gaji, baik secara langsung maupun melalui
Vaksentral.
3. Kongres VI PGRI di Malang: 24-30 November 1952
Kongres ini menyepakati beberapa kcputusan penting, baik dalam bidang
organisasi, pendidikan, maupun kesejahteraan guru. Hal menarik bidang umum,
disepakati supaya anggaran belanja Kementerian PP & K ditingkatkan menjadi 25% dari
seluruh anggaran belanja Negara. Dalam kongres ini disahkan pula "Mars PGRI" ciptaan
Basoeki Endropranoto.
Hal lain terjadi ada indikasi partai politik untuk menguasai PGR1 guna
kepentingan politiknya. Ini nampak dalam susunan kepengurusan PB PGRI yang baru,
hampir 50% duduk orang atau simpatisan PKI, meskipun hal ini belum membawa
pengaruh buruk di kalangan para anggota PGRI. Dalam melaksanakan keputusan
Kongres VI, agenda yang dirasakan paling berat oleh PB PGRI adalah memperjuangkan
anggaran Kementerian PP & K hingga mencapai 25% dari seluruh anggaran pemerintah,
resolusi tentang desentralisasi pendidikan, dan upaya untuk mewujudkan adanya satu
Vaksentral sangat sulit, karena gerakan-gerakan buruh saat itu sudah mulai dipolitisasi.
Sekalipun berat melaksanakan rekomendasi hasil Kongres VI, namun banyak hasil yang
dicapai, baik dalam penataan pendidikan, kesejahteraan, maupun konsolidasi organisasi.
4. Kongres VII PGRI di Semarang: 24 Nov. s.d. 1 Des. 1954
Untuk pertama kalinya Kongres PGRI dihadiri oleh tamu-tamu dari luar negeri,
yaitu: Maria Marchant, wakil FISE yang berkedudukan di Paris; Marcelino Bautista
dari PPTA (Filipina) mewakili WCTOP; Fan Ming, Chang Chao dan Shen Pei Yung dari
Serikat Buruh Pendidikan RRC; dan Jung Singh dari organisasi guru Perak/Malaysia.
Diterima pula kawat ucapan selamat dari dalam maupun dari luar negeri.
Kongres ini menghasilakan beberapa pernyataan baik pernyataan bidang umum,
bidang pendidikan, bidang perburuhan dan bidang organisi. Dalam bidang organisasi,
keputusan yang sangat penting adalah pernyataan PGRI untuk keluar dari GBSI dan
menyatakan diri sebagai organisasi "Non-Vaksentral". Keputusan ini diambil dengan
perbandingan 776 suara setuju melawan 183 suara tidak setuju.
Dalam kongres ini dibicarakan pula masalah pendidikan agama. Terjadi
perbedaan pendapat antara peserta kongres yakni pendapat yang menyetujui agar
pendidikan agama diajarkan di sekolah, dengan mereka yang berpendapat bahwa
pendidikan agama cukup diajarkan di luar sekolah. Pendapat terakhir ini disponsori oleh
guru-guru berhaluan komunis dan simpatisannya. Setelah diadakan pemungutan suara,
temyata pendapat kedua itulah yang menang . Setelah keputusan tersebut diumumkan
oleh PB PGRI, muncul tantangan yang keras dari masyarakat karena keputusan itu
bertentangan dengan UUDS Pasal 41 ayat (3).
Ketika gejala perpecahan mereda, muncul kembali menjelang Pemilu 1955,
terutama dengan semakin gigihnya usaha PKI untuk menguasai PGRI, kondisi itu
mendorong golongan-golongan anti-PKI untuk mendirikan organisasi-organisasi guru di
luar PGRI, misalnya PERGUNU (Persatuan Guru Nandlatul Ulama), IGM (Ikatan Guru
Muhammadiyah), PERGUKRI (Persatuan Guru Kristen Indonesia), dan organisasi-
organisasi guru lainnya yang menjadi underbouw partai politik.
5. Kongres VIII PGRI di Bandung (1956)
Terjadi ketegangan di dalam kongres , hal itu disebabkan Pihak Soebandri dkk
menambah kartu pemilihan (kartu palsu) dalam pemilihan Ketua Umum, sehingga
pemilihan tersebut terpaksa dibatalkan dan diulangi lagi dengan menggunakan kartu
pemilihan yang baru. Otak pemalsuan adalah Hermanu Adi, Ketua II PB PGRI dkk yang
pro PKI. Walaupun M.E. Subiadinata dihalang-halangi, akhirnya ia terpilih menjadi
Ketua Umum PB PGRI menggantikan Sudjono yang kemudian menjadi Ketua I sedang
Ketua II PGRI yang sebelumnya diduduki oleh Hermanu Adi diduduki oleh M. Husen
yang sebelumnya menjabat Ketua PGRI Komisariat Daerah Jawa Barat.
Menurut laporan Kongres VIII Bandung, jumlah anggota PGRI meningkat dari
85.431 orang pada waktu Kongres VII di Semarang menjadi 107.032 orang, tersebar di
511 cabang di seluruh Indonesia,hal ini terjadi setelah usaha konsolidasi dilakukan
dengan berbagai cara seperti; kunjungan ke cabang-cabang, korespondensi dengan
cabang yang intensif, tindakan-tindakan disiplin organisasi.
Periode 1957-1959 masih merupakan tahun-tahun perkembangan organisasi.
Untuk meningkatkan daya juang organisasi pertama kalinya diadakan Kursus Kader di
tingkat pusat yang diikuti oleh wakil-wakil dan tiap komisariat daerah.
Dibidang pendidikan menegaskan kembali tuntutannya mengenai kenaikan ang-
garan belanja Kementerian PP & K hingga mencapai 25% dan keseluruhan APBN. Hal
ini tidak hanya disampaikan kepada pemerintah, melainkan juga kepada lembaga-
lembaga lain dan masyarakat luas dengan harapan agar mereka memahami dan
memberikan dukungan. Sedang sistem pendidikan yang masih mengandung unsur-unsur
pendidikan kolonial pemerintah untuk segera mengubah sehingga lebih bersifat nasional.
H. PGRI pada Masa Demokrasi Terpimpia (1959-1965)
Kongres IX PGRI di Surabaya bulan Oktober/November 1959, masih terasa politik
adu-domba diantara para peserta kongres, terutama pada waktu pemilihan ketua umum
dimana M.E. Subiadinata terpilih kembali sebagai Ketua Umum PB PGRI. Pada Kongres
X di Gelora Bung Karno, Jakarta tahun 1962, muncul selenbaran fitnah terhadap M.E.
Subiadinata dengan menyatakan bahwa ia anti-Manipol. Akibat selebaran ini, maka
dilakukan penyelidikan dan penahanan oleh aparat keamanan terhadap 14 orang
penandatangan "surat fitnah" tersebut. Namun M.E. Subandinata dengan jiwa besar berusaha
membebaskan mereka untuk pulang ke tempatnya masing-masing. Terpengaruh oleh
suasana selama Kongres X berlangsung, akhimya disepakati untuk memasukkan
Pancasila/Manipol Usdek sebagai dasar PGRI.
c. Pokok-pokok Program
Dasa Karsa PGRI dikelompokan dalam 3 (tiga) kelompok besar berdasarkan
Jatidiri PGRI sebagai organisasi profesi, organisasi perjuangan, dan organisasi
ketenagakerjaan.
Jatidiri PGRI sebagai:
1) Organisasi profesi yaitu organisasi yang berfungsi untuk mengawal dan
memfasilitasi peningkatan kompetensi profesi para anggota serta melaksanakan
kewenangan organisasi profesi.
2) Organisasi perjuangan yaitu organisasi yang turut serta memperjuangkan layanan
pendidikan yang berkualitas bagi seluruh anak bangsa sebagai salah satu cita –
cita nasional Indonesia merdeka dalam mempertahankan Negara Kesatuan
republik Indonesia (NKRI), dan
3) Organisasi ketenagakerjaan yaitu organisasi yang berfungsi untuk membantu
pemenuhan hak – hak kesejahteraan dan perlindungan anggota.
Kegiatan PGRI lebih difokuskan pada kepentingan anggota yakni guru dan
tenaga kependidikan pada umumnya dengan program kerja yang konsepsional,
terpadu, dan berkesinambungan, melalui kemitraan jaringan kerja dengan pihak
terkait, dalam suasana harmoni kekeluargaan atas dasar keimanan dan ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini disebabkan karena banyak permasalahan
organisasi yang bersumber dari komunikasi organisi yang kurang efektif dan kualitas
sumberdaya manusia (pengurus dan anggota) yang yang belum cukup memadahi.
Oleh karena itu, strategi dasar dalam reformasi PGRI adalah meningkatkan
komunikasi dan kualitas sumberduya manusia organisasi pada berbagai jenjang.
Untuk mewujudkan amanat tersebut, PGRI menggunakan empat strategi dasar yaitu:
(l ) intensifikasi silaturahmi secara vertikal, horisontal, dan diagonal baik secara
internal maupun ekstemal; (2) optimalisasi kemitraan secara berimbang dengan
berbagai pihak terkait atas dasar saling menghormati secara sistemik, sinergik dan
simbiotik; (3) aklualisasi program kerja yang lcbih berpusat pada hak dan martabat
anggota,; (4) transparansi manajemen organisasi dalam berbagai tingkatan
organisasi.
Secara ideal, pelaksanaan kinerja PGRI menuntut dikembangkannya strategi
yang sistemik, sinergik, dan simbiotik dalam mencapai tujuan yang diharapkan.
Strategl sistemik adalah strategi yang memberikan pandangan dari sudut sistem
dengan sub-sistem dan supra-sistem dalam arti hubungan struktural, föngsional dan
interaktif, yang menyangkut masukan, proses, dan keluaran. Strategi ini berkaitan
erat dalam upaya untuk menjaga keseimbangan antara perubahan dengan
kesinambungan, antara konteks dengan koherensi, antara tatanan yang komprehensif
dengan tatanan yang bersifat komplementer. Strategi sinergik bertujuan untuk
mengembangkan organisasi secara lebih luas guna memperoleh manfaat melalui
perencanaan yang proaktif dan inovatif. Strategi simbiotik diarahkan untuk
mengusahakan keterlibatan kolaboratif, membuka jaringan kemitraan dengan pihak
terkait untuk mendapatkan manfaat bersama. Strategi ini menuntut adanya
keseimbangan antara komunikasi dan kongruensi, komitmen dan kepedulian, serta
kerjasama dan persaingan.
d. Membangun PGRI yang Kuat
Sebagai organisasi yang kuat PGRI disangga oleh pilar budaya organisasi
yang sehat, kesadaran yang sama atas keyakinan, prinsip, nilai dan cita-cita atau visi
bersama para anggota. Kesadaran berorganisasi para anggota tersebut mewujud
dalam perilaku berorganisasi menjadi karakter organisasi.
Mesin penggerak kesadaran dan perilaku tersebut adalah kepemimpinan yang
ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Kepemimpinan yang memperoleh kepercayaan karena karakter dan kompetensinya :
Pilar kiri adalah sistem yang menjamin agar prose pencapaian tujuan bisa
fokus dan terlaksana, konsisten dengan tujuan, keyakinan prinsip dan niali dasar
yang disepakati/diputuskan.
Pilar sturktur dan pilar kultur merupakan hubungan siklus saling menguatkan.
Budaya saling menguatkan sistem/proses dan proses/sistem menguatkan budaya.
PGRI harus berdiri kokoh di atas landasan keyakinan, prinsip, nilai dasar dan
tujuan/cita-cita/visi/misi. Landasan dasar organisasi menjadi rujukan perilaku/budaya
dan sistem/proses yang dibangun.
Organisasi yang digerakkan oleh prinsip atau nilai (values driven
organization) merupakan organisasi yang berkarakter dan berintegritas. Organisasi
yang dinamis dan adaptatif terhadap perubahan membutuhkan komitmen
kepemimpinan terhadap transformasi budaya (juqa sistem) dengan mengawal
perubahan perilaku yang diinginkan sekaligus mengawal nilai-nilai yang harus
diwujudkan (transformasi budaya dan transmisi nilai¬nilai/prinsip dasar)
Gambaran values driven organization.
1) Nilai menggerakkan budaya
2) Budaya mengerakkan anggota
3) Anggota menggerakkan kepuasan pemangku kepentingan (mitra dan masyarakat)
Rangkuman
Sejarah dan Dinamika PGRI tidak dapat dipisahkan dari sejarah pendidikan Indonesia,
PGRI adalah sebuah fenomena yang sangat menarik. Organisasi guru ini lahir, tumbuh dan
berkembang seirama dengan dinamika perkembangan bangsa dan negara Indonesia, terutama
sejak kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Karena itu, PGRI tidak dapat dilepaskan dari
keseluruhan dinamika bangsa Indonesia, bukan hanya pada pendidikan melainkan pada hampir
seluruh aspek kehidupan bangsa ini.
Bab ini menyajikan sejarah dan dinamika perjalanan PGRJ sejak kelahirannya pada 25
November 1945 hingga era reformasi dewasa ini. Isinya mengungkap secara k:ronologis
perkembangan sejarah perjuangan guru dan PGRI sebagai organisasi Profesi , organisasi
Perjuanga, dan organisasi Ketenagakerjaan. Berdasarkan uraian dalam bab ini, secara garis besar
dapat diidentifikasi menjadi empat periode perkembangan PGRI, sebagai berikut:
Periode pertama (1945-1955) merupakan tahap perkembangan awal, yaitu sejak
kelahirannya hingga mulai terjadinya benturan kepentingan politik di dalamnya menjelang
Pemilu 1955 yang hampir membuat organisasi ini hancur. Lahir di tengah bau mesiu dan
dentuman meriam tatkala tentara Sekutu / N1CA berusaha untuk kembali menguasai Indonesia,
PGRI merupakan bagian dari kekuatan bangsa yang berusaha mempertahankan negara
proklamasi. Nasionalisme dan patriotisme sangat kental mewamai saat saat kelahiran PGRI.
Selama revolusi fisik (1945-1949) momentum ini terus dipertahankan, terbukti dari keterlibatan
PGRI sebagai organisasi dan para anggotanya dalam perjuangan bangsa. Memasuki tahun 1950-
an, PGRI sangat aktif memberikan kontribusinya terhadap pembangunan dan penataan sistem
pendidikan yang carut marut sebagai peninggalan dari masa sebelumnya: zaman kolonial
Belanda, masa pendudukan Jepang, dan zaman revolusi fisik. Selama periode pertama ini, PGRI
sebagai organisasi sangat kompak, kuat, dan para pengurus maupun anggotanya memiliki visi
yang sama mengenai organisasi ini serta arah perjuangannya. Friksi antar pengurus dan berbagai
kelompok kepentingan (interest groups) belum banyak muncul selama periode ini. Kalaupun
ada, friksi itu masih sebatas pada persaingan intern organisasi yang dapat mudah diselesaikan
secara intern . Para pengurus dan anggota disibukkan oleh agenda agenda pengembangan
organisasi (misalnya pembukaan Komisariatkomisariat Daerah) dan pemecahan masalah-
masalah pendidikan nasional yang mendesak. PGRI, misalnya sangat aktif dalam memelopori
perumusan konsep pendidikan nasional, terlibat dalam gerakan pemberantasan buta huruf, dan
upaya mengatasi kekurangan guru.
Periode kedua (1955-1966) merupakan tahap yang kritis bagi PGR . Selama periode ini,
mulai terjadi benturan kepentingan dan intrik politik di dalam tubuh PGRI. Intrik politik dimulai
menjelang Pemilu 1955 ketika kelompok pro PKI berusaha menanamkan pengaruhnya dalam
organisasi ini pada Kongres VIII PGRI tahun 1956 di Bandung. Perebutan pengaruh mencapai
puncaknya pada Kongres X PGRI di Jakarta yang disusul dengan lahimya PGRl Non-
Vaksentral/ PKI. Hampir saja krisis ini menghancurkan PGRI. Tetapi berkat kegigihan para
pengurusnya, terutama kematangan Ketua Umumnya, M.E. Subiadinata, krisis itu dapat diatasi.
Terjadinya peristiwa G30S/PK.I pada tahun 1965 yang temyata gagal, turut mempercepat
rontoknya kekuatan kekuatan pro-PKI dalam tubuh PGRI. Pada babak akhir, periode ini ditandai
adanya usaha untuk melakukan konsolidasi ulang terhadap organisasi dalam suasana yang
masih mencekam yaitu masa transisi dari era Orde Lama ke Orde Baru pada tahun 1966-1967.
Periode ketiga berlangsung lama (1967-1998), yaitu sejak lahirnya Orde Baru tahun
hingga berakhirnya era ini. Periode ini dapat di sebut sebagai “Pertumbuhan" setelah organisasi
ini selamat dari ujian berat dan kemudian menemukan momentum pertumbuhannya yang baru,
ibarat sebuah second curve. Sebagai komponen Orde Baru, PGRI menikmati masa-masa
perkembangan, sekaligus stabilitas dan kekohesifan pada intern organisasi. Stabilitas ini secara
simbolis direpresentasikan, antara lain, pada kepengurusan. Setelah melewati empat periode
kepemimpinan di bawah M.E. Subiadinata sebagai Ketua Umum PB-PGRI (1956-1969) yang
diseling oleh Slamet I menyusul wafatnya M.E. Subiadinata tahun 1969 PB-PGRI dipimpin oleh
Basyuni Suriamiharja selama enam periode (1970-1998). Akan tetapi, seperti dikemukakan
terdahulu, periode ini mencatat sisi lain dari perjalanan PGRI, yaitu hubungan mesra organisasi
ini dengan pemerintah yang mempekerjakan para guru. Di samping memiliki aspek-aspek
positif, kedekatan hubungan ini juga pada gilirannya agak menyulitkan posisi PGRI sendiri
dalam memperjuangkan nasib guru. Sangat jelas pula terlihat bahwa pada periode ini, sifat PGRl
sebagai organisasi yang unitaristik, independen, dan non-partai politik terabaikan penegakannya,
atau mungkin diartikulasikan secara berbeda dengan ketika sifat organisasi ini pertama kali
dirumuskan. Bersama para pegawai negeri sipil lainnya (juga TNI/ABRl), PGRl sebagai
organisasi menjadi mesin birokrasi dan mesin politik yang sangat efektif. Para periode ini,
terlihat adanya jarak yang lebar antara peran yang dimainkan di tingkat atas dengan aspirasi dan
harapan yang menggelora di tataran "akar rumput" (para anggota di tingkat bawah). Sebuah
justifikasi dapat dikemukakan terhadap kecenderungan PGRI selama periode ini, yakni pada
masa tersebut sulit bagi sebuah organisasi sebesar PGRI untuk menghindar dari berbagai
tekanan politik yang begitu hebat dan sistematis pada era Orde Baru, tentu saja dengan segala
dilemanya bagi PGRI. Tekanan politik dimaksud telah memaksa hampir semua organisasi
(apalagi dengan jumlah anggota yang raksasa seperti PGRI), bahkan termasuk juga partai
politik, untuk tidak mampu rnengambil "jalan sendiri" di luar koridor yang ditentukan oleh Orde
Baru.
Periode keempat dimulai sejak bergulimya era reformasi, yaitu sejak Kongres XVIII
tahun 1998 di Bandung. Periode ini dapat di sebut sebagai "Masa Perkembangan Lanjut" ketika
PGRJ memasuki babak baru dalam alam yang baru pula. Ia berusaha mengambil jarak secara
lebih fair dari pemerintah dengan tetap mempertahankan "sikap kooperatif". PGRI juga berusaha
untuk kembali kepada "khittah"-nya, yaitu berpegang secara konsisten dan konsekuen pada tiga
sifat dasaryaitu unitaristik, independen, dan non-partai politik. Dalam konteks politik, pada era
multipartai dewasa ini para anggota PGRI dibebaskari untuk menentukan pilihannya (kepada
partai mana mereka akan berafiliasi), karena sebagai organisasi, PGRI telah bertekad untuk tidak
memasuki wilayah tersebut.
Dalam strategi perjuangan dan cara menyampaikan tuntutannya, PGRI menjadi "lebih
"berani" dan vokal, hal ini dibuktikan dari hasil perjuangan yang monumental bagi PGRI yaitu
lahirnya UUGD Nomor: 14 tahun 2005 yang tidak dapat dipisahkan dari perjuangan PGRI.
Pemikiran bahwa PGRI merupakan Serikat Pekerja (Trade Union) selain sebagai asosiasi
profesi mengemuka secara lebih eksplisit dibandingkan dengan pada masa-masa sebelurnnya;
begilu juga strategi perjuangannya mengikuti cara-cara yang lazim dalam Serikat Pekerja.
Artinya, pada saat diperlukan dan kondisi memaksa, tak ragu-ragu PGRI menyatakan
pendiriannya yang (mungkin) "berseberangan" dengan perspektif pemerintah, semata-mata demi
membela kepentingan para anggotanya.
Dalam tatakelola organisasi dilakukan dengan berorientasi pada Visi, Misi dan Tujuan
organisasi sebagaimana ditetapkan dalam AD/ART , serta program kerja yang sudah ditetapkan
dalma Kongres dengan siklus kepemimpinan lima tahunan. Dalam rangka mewujudkan
organisasi PGRI yang Kuat, Independen, Demokratis dan Sinambung ( KIDS) diperlukann tata
kelola yang sistemik dan kredibel. Organisasi yang kuat disangga oleh pilar budaya organisasi
yang sehat, kesadaran yang sama atas keyakinan, prinsip, nilai dan cita-cita atau visi bersama
para anggota. Kesadaran berorganisasi para anggota tersebut mewujud dalam perilaku
berorganisasi menjadi karakter organisasi.
Mesin penggerak kesadaran dan perilaku tersebut adalah kepemimpinan yang ing ngarsa
sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Kepemimpinan yang memperoleh
kepercayaan karena karakter dan kompetensinya Kepemimpinan menjadi panutan karena
mempunyai kewibawaan moral personal mengilhami timbulnya kepercayaan yang tinggi tanpa
memintanya. Kepemimpinan yang menundukkan kecerdasan otaknya kepada hati nurani atau
kecerdasan spiritualnya. Kepemimpinan yang kehadiranya membuat keadaan menjadi berbeda
karena kebermanfaatannya.
Kepemimpinan menjadi perintis karena memiliki kewibawaan moral visioner,
menciptakan tata keteraturan dengan arah yang jelas tanpa menuntutnya. Kepemimpinan dengan
keberanian menentukan sebuah jalan dengan kerendahatian dan rasa hormat timbal balik untuk
melibatkan orang lain dalam memutuskan prioritas langkah. Kepemimpinan menjadi penyelaras
karena memelihara visi dengan menyusun struktur, sistem, dan proses yang selaras dengan
keputusan-keputusan strategis yang paling prioritas sehingga organisasi secara terus menerus
berfokus pada tujuan prioritas tertinggi (ambeg parama artha).
Kepemimpinan menjadi pemberdaya dengan mengobarkan semangat keyakinan
mendalam atas potensi dan kapasitas manusia yang tiada batas untuk mewujudkan visi misi
bersama. Dengan kepemimpinan seperti tersebut di atas, dapat dibangun kekuatan khalayak
anggota organisasi sehingga menjadi kekuatan moral intelektual yang berwibawa dan
bermartabat.
Selain pilar budaya adalah pilar struktur yang membingkai agar proses perjalanan
organisasi secara konsisten mengarah ketujuan/cita-cita/visi berdasarkan keyakinan, prinsip,
nilai dasar yang disepakati. Secara garis besar pilar struktur terdiri dari :
A. Struktur organisasi beserta susunan kepengurusannya;
B. AD, ART, PO, SOP, Kode Etik dan peraturan ketentuan organisasi yang lain;
C. Dokumen perencanaan jangka panjang, menengah dan pendek.
Pilar kiri adalah sistem yang menjamin agar prose pencapaian tujuan bisa fokus dan
terlaksana, konsisten dengan tujuan, keyakinan prinsip dan niali dasar yang
disepakati/diputuskan. Pilar sturktur dan pilar kultur merupakan hubungan siklus saling
menguatkan. Budaya saling menguatkan sistem/proses dan proses/sistem menguatkan budaya.
PGRI harus berdiri kokoh di atas landasan keyakinan, prinsip, nilai dasar dan tujuan/cita-
cita/visi/misi. Landasan dasar organisasi menjadi rujukan perilaku/budaya dan sistem/proses
yang dibangun. Organisasi yang digerakkan oleh prinsip atau nilai (values driven organization)
merupakan organisasi yang berkarakter dan berintegritas. Organisasi yang dinamis dan adaptatif
terhadap perubahan membutuhkan komitmen kepemimpinan terhadap transformasi budaya (juqa
sistem) dengan mengawal perubahan perilaku yang diinginkan sekaligus mengawal nilai-nilai
yang harus diwujudkan (transformasi budaya dan transmisi nilai¬nilai/prinsip dasar)
Evaluasi:
1. Uraikan secara komprehensip latar belakan dan alasan berdirinya organisasi PGRI
2. Buatlah peta konsep tentang perjalanan sejarah organisasi PGRI sejak berdiri sampai
dengan saat ini.
3. Tunjukkan nilai nilai sebagai sifat khas organisasi PGRI yang tumbuh berkembang dalam
dinamika perjalanan sejarah PGRI.
4. Buatlah proyek sebagai wujud implementasi nilai – nilai perjuangan PGRI dalam merespon
fenomena kehidupan masyarakat dewasa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hadiatmadja, R.A. Soepardi., dkk., 2000. Pedidikan sejarah perjuangan PGRI (PSP- PGRI),
Jilid II, III, IV, V. Semarang : IKIP PGRI
Kahin, George Mc. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Nin Bakdi Somenato
(Penterj.), Jakarta – Sinar Harapan & Sebelas Maret University Press.
Kartodirdjo, Sartono.. dkk. 1975. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Ricklefs, M.C., 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta – PT. Ikrar
Said, Muh. dan Junima Affan, 1987. Mendidik dari zaman ke zaman, Bandung: Jemmars,.
Sjamsuddin, Helius. 1993. Sejarah pendidikan di Indonesia zaman kemerdekaan (1945-
1950). Depdikbud. Jakarta