You are on page 1of 11

MAKALAH

DISABILITAS DALAM KESEJAHTERAAN SOSIAL

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kesejahteraan Sosial

Dosen Pengampu: Nihayatul Wafiroh

Disusun Oleh :
Silvi Syahadati (2012211042)

PROGAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM
BLOKAGUNG TEGALSARI BANYUWANGI
2022
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tuhan menciptakan manusia di dunia ini adalah sama, namun manusia itu
sendirilah yang membedakan di antara sesama manusia, baik berwujud sikap,
perilaku, maupun perlakuannya. Pembedaan ini masih sangat dirasakan oleh
mereka yang mengalami keterbatasan secara fisik, mental, dan fisik-mental,
baik sejak lahir maupun setelah dewasa, dan kecacatan tersebut tentunya tidak
diharapkan oleh semua manusia, baik yang menyandang kecacatan maupun
yang tidak menyandang cacat. Menurut data World Health Organization
(WHO), jumlah penyandang cacat di negara-negara berkembang mencapai
10% (sepeluh per seratus) dari total penduduk keseluruhan. Pada tahun 2009
Badan Pusat Statistik menerbitkan statisik disabilitas dalam SUSENAS 2009.
Yang menggunakan kategorisasi kecacatan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
(selanjutnya disingkat Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997). Statistik
tersebut menunjukkan bahwa jumlah penyandang cacat di pedesaan berjumlah
1.198.185 jiwa, sementara di perkotaan berjumlah 928.600 jiwa, sehingga
jumlah totalnya sebanyak 2.126.785 cacat.
Penyandang disabilitas sering disebut sebagai orang cacat, yang dianggap
sebagai warga masyarakat yang tidak produktif, tidak mampu menjalankan
tugas dan tanggung jawabnya sehingga hak-haknya pun diabaikan. Indonesia
merupakan Negara yang memiliki berbagai risiko untuk kecacatan. Indonesia
memang telah mempunyai Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat, namun selain implementasinya yang lemah, UU ini
dipandang kurang memberdayakan subyek hukumnya. Istilah “penyandang
cacat” yang digunakan dianggap menstigmatisasi karena kata “penyandang”
menggambarkan seseorang yang memakai “label atau tanda-tanda negatif”
kecacatan itu pada keseluruhan pribadinya (whole person). Mengacu pada
banyaknya jumlah penyandang disbilitas, semestinya memang tidak terjadi
pembedaan perlakuan pemenuhan hak antara orang yang normal dengan
penyandang disabilitas. Dalam segala hal yang berurusan dengan aktivitas
fisik, para penyandang disabilitas mengakui dan menyadari, bahwa mereka
memang “beda”, bukan dalam arti kemampuan, namun lebih pada mode of
production atau dalam caracara berproduksi. Seringkali cara pandang
masyarakat dalam melihat hasil kerja kaum penyandang disabilitas mengacu
kepada pendekatan kuantitas. Hal ini tentu akan menjadi bias dan
mempertegas perbedaan tersebut sehingga perlu dikasihani. Dari segi kualitas,
terasa sulit untuk melakukan penilaian atas hasil karya penyandang disabilitas
dengan orang umum lainnya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri
bahwa secara praktis banyak karya mengagumkan yang dihasilkan para
penyandang disabilitas.
Gerakan persamaan hak dan Gerakan persamaan hak dan tuntutan untuk
aksesibilitas fisik maupun non-fisik sudah lama terjadi di Indonesia. Aktivis-
aktivis penyandang disabilitas yang tergabung dalam organisasi mandiri
penyandang disabilitas atau DPO (Disabled People Organisation) dengan
keras menutut diadakannya sarana dan prasarana aksesibilitas yang
memungkinkan mereka mengakses layanan publik dan persamaan kesempatan
untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan sehari-hari, seperti:
pendidikan, kemasyarakatan, dan politik.
B. Rumusan masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan disabilitas?
2. Apa saja jenis jenis dan Karakteristik Penyandang Disabilitas?
3. Apa saja aksesibilitas kesejahteraan social bagi penyandang
disabilitas?
C. Tujuan masalah
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan disabilitas
2. Untuk mengetahui jenis-jenis dan karakteristik penyandang disabilitas
3. Untuk mengetahui apa saja aksesibilitas kesejahteraan social bagi
penyandang disabilitas

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Penyandang Disabilitas


Dalam upaya mencari istilah sebagai pengganti terminologi
“penyandang cacat” maka diadakan Semiloka di Cibinong Bogor pada tahun
2009. Forum ini diikuti oleh pakar linguistik, komunikasi, filsafat, sosiologi,
unsur pemerintah, komunitas penyandang cacat, dan Komnas HAM. Dari
forum ini muncullah istilah baru, yaitu “Orang dengan Disabilitas,” sebagai
terjemahan dari “Persons with Disability”. Berdasarkan saran dari pusat
bahasa yang menetapkan bahwa kriteria peristilahan yang baik adalah frase
yang terdiri dari dua kata, maka istilah “Orang dengan Disabilitas” dipadatkan
menjadi “penyandang disabilitas” (Darning, 2009). Akhirnya, istilah
“penyandang disabilitas” inilah yang disepakati untuk digunakan sebagai
pengganti istilah “penyandang cacat”. Dengan demikian, dalam disertasi ini
penulis menggunakan istilah “penyandang disabilitas” sebagai terminologi
untuk merujuk kepada mereka yang sebelumnya disebut “penyandang cacat”.
Disabilitas (disability) atau cacat adalah mereka yang memiliki keterbatasan
fisik, mental, intelektual, atau sensorik, dalam jangka waktu lama di mana
ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi
partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan
kesetaraan dengan yang lainnya (Lampiran UU RI Nomor 19 Tahun 2011,
Pasal 1). Istilah “penyandang disabilitas” mempunyai arti yang lebih luas dan
mengandung nilai-nilai inklusif yang sesuai dengan jiwa dan semangat
reformasi hukum di Indonesia, dan sejalan dengan substansi Convention on
the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) yang telah disepakati untuk
diratifikasi pemerintah Indonesia dan sudah disahkan sebagai undang-undang
negara Indonesia pada tahun 2011.. Hal ini bertujuan untuk memperhalus kata
sebutan dan mengangkat harkat serta martabat penyandang disabilitas, karena
makna dari istilah sebutan tersebut berpengaruh terhadap asumsi, cara
pandang, dan pola pikir seseorang terhadap penyandang disabilitas. Menurut
Brown S, pada paradigma lama penyandang disabilitas dilihat sebagai obyek,
selalu diintervensi, menjadi pasien, penerima bantuan, dan sebagai subyek
penelitian. Sedangkan pada paradigma baru penyandang disabilitas dilihat
sebagai pemakai/ pelanggan, rekan yang terberdayakan (empowered peer),
menjadi partisipan riset, dan pemegang kebijakan” (Ro’fah, 2010: 15).
B. Jenis-Jenis Dan Karakteristik Penyandang Disabilitas
1. Kelainan Fisik
a) Tunanetra
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam
penglihatan, dan dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan,
yaitu buta total (totally blind) dan kemampuan melihat amat
rendah (low vision). Definisi yang lain dikemukakan oleh
Kaufman dan Hallahan (Santoso, 2010: 128). Menurut mereka,
tunanetra adalah individu yang memiliki penglihatan lemah atau
akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak
lagi memiliki penglihatan.
b) Tunarungu
Tunarungu adalah suatu keadaan kehilangan pendengaran
yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai
rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya. Andreas
Dwidjosumarto) mengemukakan bahwa seseorang yang tidak atau
kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Tunarungu
dibedakan menjadi dua kategori: tuli (deaf) dan kurang dengar
(low of hearing). Tuli adalah seseorang yang indera
pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga
pendengarannya tidak berfungsi. Sedangkan kurang dengar adalah
seseorang yang indera pendengarannya mengalami kerusakan,
tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan
maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids).
Tingkat ketajaman pendengaran dapat diketahui dengan “tes
audiometris”.
c) Tunadaksa
Tunadaksa adalah suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai
akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi
dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh
penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan
sejak lahir. Tunadaksa sering juga diartikan sebagai suatu kondisi
yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau
gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas
normal individu dalam mengikuti pendidikan dan untuk berdiri
sendiri
2. Kelainan Non Fisik
Anak tunagrahita merupakan salah satu golongan anak yang
berkelainan mental, mempunyai kemampuan intelektual di bawah
rata-rata dan memiliki keterbatasan dalam hal berpikir, perhatiannya
dan daya ingatannya lemah, sukar berpikir abstrak, serta kurang
mampu berpikir logis. Menurut Kauffman & Hallahan dalam Laporan
Pengembangan Kurikulum 2013 PKLK Tahun 2014, keterbatasan
anak tunagrahita sebagai individu yang menyandang keterbatasan
intelektual atau hambatan kognitif dan intelektual berfokus pada
“keterampilan fungsional sesuai dengan usia kronologis dalam setting
lingkungan yang alami (chronologically age-appropriate functional
skills in natural environments)”.
a) Autis
Kata autism berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua
kata yaitu „aut‟ yang berarti „diri sendiri‟ dan „ism‟ yang secara
tidak langsung menyatakan orientasi atau arah atau keadaan
( state ). Sehingga autism sendiri dapat didefinisikan sebagai
kondisi seseorang yang luar biasa asik dengan dirinya sendiri
( Reber, 1985 dalam trevarthen dkk,1998 ). Pengertian ini
menunjuk pada bagaimana anak – anak autis gagal bertindak
dengan minat pada orang lain , tetapi kehilangan beberapa
penonjolan perilaku mereka. Ini , tidak membantu orang lain untuk
memahami seperti apa dunia mereka. Autis pertama kali
diperkenalkan dalam suatu makalah pada tahun 1943 oeh seorang
psikiatris Amerika yang bernama Leo Kanner . ia menemukan
sebelas anak yang memiliki ciri – ciri yang sama, yaitu tidak
mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan individu lain dan
sangat tak acuh terhadap lingkungan di luar dirinya, sehingga
perilakunya seperti tampak hidup di dunia sendiri.
b) Hiperaktif
Ditinjau secara psikologis, hiperaktif adalah gangguan tingkah
laku yang tidak normal yang disebabkan disfungsi neurologia
dengan gejala utama tidak mampu memusatkan perhatian. Begitu
pula anak hiperaktif adalah anak yang mengalami gangguan
pemusatan perhatian. Gangguan pemusatan perhatian sering
disebut ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder),
gangguan ini ditandai dengan ketidakmampuan anak untuk
memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang dihadapi, sehingga
rentang perhatiannya sangat singkat waktunya dibandingkan
dengan anak lain yang seusianya. Menurut Herawan dalam Zaviera
(2008: 14), "Ditinjau secara psikologis, hiperaktif adalah gangguan
tingkah laku yang tidak normal, disebabkan disfungsi neurologis
dengan gejala utama tidak mampu memusatkan perhatian." Anak
dengan gangguan hiperaktivitas tidak bisa berkonsentrasi lama
lebih dari lima menit. Dengan kata lain, ia tidak bisa diam dalam
waktu lama dan mudah teralihrkan perhatiannya kepada hal lain.
hiperaktif merupakan gangguan tingkah laku yang tidak normal,
disebabkan disfungsi neurologis dengan gejala utama tidak mampu
memusatkan perhatian
3. Kelompok Kelainan Ganda
Dalam Bahasa arab kelainan ganda adalah khunsa. Khuns̱ a berasal
dari kata Bahasa Arab diambil dari kata takhannus̱ yang berarti at-
tas̱ anni- kanis̱ a-khanas̱ an “mendua” dan at-takassur “terpecah”, yaitu
lemah dan pecah.20Sedangkan menurut istilah Khuns̱ a adalah orang
yang mempunyai alat kelamin laki-laki (Dzākar/penis) dan alat
kelamin wanita (farj/vagina) atau organ kelamin yang di luar berbeda
denganyangdi dalam artinya di luar berkelamin laki-laki namun di
organ mempunyai induk telur atau bahkan tidak mempunyai alat
kelamin.Kelamin Ganda (Khuns̱ a) dibagi menjadi dua macam yaitu:
Khuns̱ a Ghairu al -Musykil dan Khuns̱ a al-Musykil.
Sedangkan Dalam ilmu kedokteran, kelamin ganda disebut dengan
ambiguous genitalia atau sex ambiguty yaitu suatu kelainan dimana
penderita memiliki ciri- ciri genetik, anatomik dan atau fisiologik
meragukan antara laki- laki dan perempuan.
C. Aksesibilitas Kesejahteraan Social Bagi Penyandang Disabilitas
Kesejahteraan sosial bagi penyandang disabilitas, karenanya,
merupakan wacana multidimensional yang tidak dapat dikaji melalui satu
sudut pandang saja. Kebutuhan penyandang disabilitas yang jauh lebih
beragam dibandingkan dengan kebutuhan orang-orang normal pada umumnya
menjadikan usaha-usaha memenuhinya menjadi sering kali terhambat. Para
penyandang difabilitas yang memiliki kebutuhan berbeda dengan orang-orang
pada umumnya tetap harus diperlakukan sebagai bagian dari warga negara,
karenanya pemerintah berkewajiban untuk menyediakan fasilitas yang
menunjang fungsi sosial mereka sehari-hari. Oleh sebab beragamnya jenis dan
penyebab disabilitas, mengandaikan adanya sejenis layanan tunggal yang
dapat mengakomodir kebutuhan-kebutuhan para penyandang difabilitas pada
dasarnya bukanlah ide yang baik. Setiap orang harus menerima bahwa
kebutuhan penyandang disabilitas yang beragam tersebut harus diterima dan
ditempatkan sebagai bagian dari keragaman manusia secara umum.
Kesejahteraan sosial bagi para penyandang disabilitas, untuk itu, perlu
mendapatkan perhatian lebih serius. Namun, demi efisiensi penyelenggaraan
program-program kesejahteraan sosial, program-program yang ditujukan bagi
kelompok penyandang disabilitas dapat dikembangkan dari program-program
layanan kesejahteraan sosial yang telah ada, namun lebih dibuat sensitive atas
isu-isu disabilitas yang dialami masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat,
yang dimaksud aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi
penyandang cacat dan lansia (Lihat Permen Pekerjaan Umum Nomor 30/
PRT/M/2006 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat {3}) guna mewujudkan
kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Sementara dalam CRPDS (The Convention on the Human Right of Persons
with Disabilities) Pasal 9 Ayat 1 tentang aksesibilitas, dinyatakan bahwa
dalam rangka memampukan penyandang cacat untuk hidup secara mandiri
dan berpartisipasi penuh dalam segala aspek kehidupan, maka negara-negara
pihak harus melakukan langkahlangkah yang diperlukan untuk menjamin
akses penyandang cacat terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi dan
komunikasi serta fasilitas dan pelayanan lainnya yang terbuka atau disediakan
bagi publik, baik di perkotaan maupun di pedesaan, atas dasar kesetaraan
dengan orang-orang lain. Langkah-langkah yang di dalamnya harus mencakup
identifikasi dan penghapusan semua hambatan dan penghalang terhadap
aksesibilitas, antara lain harus berlaku bagi:
a) bangunan, jalan, transportasi, dan fasilitas lainnya, baik di dalam
ruangan termasuk sekolah maupun perumahan, fasilitas kesehatan
dan tempat kerja;
b) informasi, komunikasi, dan pelayanan lainnya termasuk pelayanan
elektronik dan pelayanan gawat darurat

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Disabilitas merupakan bidang kajian yang telah lama dicurigai sebagai
pemantik perdebatan multidimensional dalam diksursus kesejahteraan sosial.
Perdebatan tersebut berakar padapenggunaan Istilah disabilitas itu sendiri.
Di satu sisi, disabilitas secara harfiah memang mengacu pada bentuk
ketidaksempurnaan fungsional yang dialami oleh individu sehingga membuat
mereka rentan terhadap diskriminasi oleh dan eksklusi dari lingkungan sosial
mereka.
Di sisi lain, mayoritas kelompok penyandang disabilitas kerap memprotes
penggunaan istilah disabled. Bagi mereka, disabilitas (kondisi yang mereka
alami) hanyalah bentuk lain dari variasi penciptaan. Kritik mereka umumnya
ditujukan terhadap kegagalan sistem kemasyarakatan modern dalam
mengakomodir perbedaan-perbedaan yang melekat pada diri kelompok
peyandang disabilitas. Bahkan, istilah disabilitas tersebut kerap dianggap
sebagai satu bentuk diskriminasi pada aras bahasa. Agama, dalam kaitannya
dengan penanganan disabilitas, memainkan fungsi penting sepanjang sejarah
umat manusia. Agama hingga batas-batas tertentu menyediakan solusi bagi
masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh para penyandang disabilitas.
Meski demikian, agama juga terbukti mendiskriminasi para penyandang
disabilitas melalui sederet doktrin keagamaan yang memberikan penjelaskan
‘menyesatkan’ mengenai hakikat disabilitas dan sebab-sebab ilahiyah yang
memicunya
DAFTAR PUSTAKA

Ro’fah, dkk., 2010, Membangun Kampus Inklusif, Yogyakarta: PSLD UIN Sunan
Kalijaga

Somantri, T. S., 2006, Psikologi Anak Luar Biasa, Jakarta: Refika Aditama.

Suparno dan Suharmini, T., 2005, “Masalah Perkembangan Bahasa, Kognitif, dan
Kepribadian pada Anak Tunarungu”, Ringkasan Laporan Penelitian, Yogyakarta:
UNY Santoso, S. B., Sekolah Alternatif, Mengapa Tidak?, Yogyakarta: Diva Press

Sasanti, Yuniar,( 2003), Masalah Perilaku Pada Gangguan Spektrum Autism (GSA),

______, tt, Penyandang Disabilitas Istilah Pengganti Penyandang Cacat, [Online].


Tersedia: http://www. kartunet.com. Diakses pada: 25 Oktober 2011.

Zafiera, Ferdinand. 2008. Anak Hiperaktif. Jogjakarta. Katahati

Yani, Achmad. Faraidh dan Mawaris (Jakarta: Pranadamedia Group, 2016).

You might also like