You are on page 1of 27

Study kasus

“AKAR MASALAH KEAMANAN PANGAN JAJANAN ANAK


SEKOLAH (PJAS): STUDI KASUS PADA BAKSO,
MAKANAN RINGAN, DAN MI”

Oleh :

Sri Amelia Sidiki (433420019)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
TAHUN 2022

1
AKAR MASALAH KEAMANAN PANGAN JAJANAN ANAK SEKOLAH
(PJAS): STUDI KASUS PADA BAKSO, MAKANAN RINGAN, DAN MI

Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)

Menurut FAO (2009) pangan jajanan merupakan makanan siap saji dan minuman
yang dipersiapkan dan/atau dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan atau tempat-tempat
lain sejenisnya. Pangan jajanan anak sekolah (PJAS) umumnya dikenal sebagai pangan
siap saji yang ditemui di lingkungan sekolah dan secara rutin dikonsumsi oleh sebagian
besar anak sekolah. Pangan jajanan dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori,
yaitu: (1) Makanan utama; seperti mi, bakso, nasi soto, dan mi ayam, (2) Makanan
ringan; seperti tahu goreng, agar, dan jeli, (3) Minuman; seperti es campur, es sirup, dan
es teh (Kementerian Kesehatan RI 2011). Makanan ringan adalah kelompok makanan
yang paling banyak ditemukan di lingkungan sekolah, yaitu sebesar 54%, diikuti
minuman (26%), dan makanan utama (20%) (BPOM RI 2009).
Kebutuhan gizi anak sekolah usia 6-12 tahun berkisar antara 1550-2050 Kkal.
Sarapan pagi harus memenuhi sebanyak 20-25% kebutuhan kalori sehari. Makan siang
dan makan malam masing-masing 30%, sedangkan makanan selingan atau jajanan dapat
dilakukan dua kali dengan porsi masing-masing 10% (Kementerian Kesehatan RI 2011).
Hasil survei BPOM RI pada tahun 2008 menunjukkan bahwa PJAS menyumbang
31.1% kebutuhan kalori serta 27.4% protein dari konsumsi pangan harian anak sekolah
(BPOM RI 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa konsumsi pangan jajanan cukup
tinggi di kalangan anak sekolah sehingga pangan jajanan berperan penting dalam
memberikan asupan energi dan gizi bagi anak-anak usia sekolah.
Umumnya di lingkungan sekolah terdapat dua kategori penjaja pangan yaitu
kantin atau koperasi sekolah yang berada di dalam sekolah serta penjual pangan jalanan
yang mangkal di sekitar sekolah (BPOM RI 2008). Berdasarkan data yang diperoleh
BPOM RI pada tahun 2008, diketahui sebesar 64.9% pengelola kantin sekolah dan
75.3% penjaja PJAS di sekitar sekolah yang disurvei belum menerapkan praktek
keamanan pangan yang baik. Selain itu diketahui pula bahwa sebesar 16.1% pengelola
kantin sekolah dan 23.1% penjaja PJAS di sekitar sekolah menambahkan BTP ke dalam
produk minuman yang dijual. Masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan
timbulnya bahaya keamanan pangan bagi anak sekolah. Hasil survei BPOM pada tahun
2010 yang menunjukkan bahwa terdapat 141 kejadian luar biasa (KLB) keracunan
pangan terjadi. Dari 141 kejadian, 15% disebabkan oleh PJAS dengan tingkat kejadian
2
tertinggi (69-79%) terjadi di Sekolah Dasar (BPOM RI 2011).
Masalah keamanan pangan banyak ditimbulkan akibat kondisi higiene dan sanitasi
yang tidak memadai, kurangnya pengetahuan penjaja pangan mengenai
bahan tambahan pangan, kurangnya edukasi mengenai pangan yang aman kepada murid
sekolah, serta program pengawasan PJAS yang belum berjalan dengan baik.

Kondisi PJAS yang Tidak Memenuhi Syarat pada Tahun 2011-2013

Data PJAS diperoleh dari hasil program pengawasan PJAS yang dilakukan oleh
Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi BPOM RI. Pengambilan sampel tujuh jenis PJAS
dilakukan pada 3950 SD/MI di 31 provinsi di Indonesia selama tahun 2011- 2013.
Tujuh jenis PJAS yang ditetapkan oleh BPOM RI dan diatur dalam Petunjuk Teknis
PJAS antara lain: bakso, es, jeli/agar, kudapan, makanan ringan, mi, dan minuman
berwarna/sirup. Menurut Petunjuk Teknis Sampling PJAS, kudapan adalah makanan
ringan yang mencakup makanan gorengan (seperti bakwan, ubi goreng, pisang goreng,
tahu isi, cilok, sosis, ayam goreng, batagor, lumpia, pempek, model, tekwan), jajanan
pasar (seperti hunkwe dan dadar gulung, dan sejenisnya, sedangkan makanan ringan
mencakup kerupuk, keripik, produk esktrusi, dan sejenisnya. Tiap tahun dilakukan dua
tahap pengambilan sampel sehingga total
dilakukan enam tahap pengambilan sampel selama tiga tahun. Sebanyak 26857 sampel
telah diambil selama enam tahap pengambilan sampel tersebut.
Berdasarkan data tersebut, dihitung persentase tingkat PJAS yang tidak memenuhi
syarat (TMS) parameter keamanannya. Persentase tersebut dapat menggambarkan
kondisi PJAS yang dijual di lingkungan SD/MI. Persentase PJAS tidak memenuhi
syarat yang tinggi menunjukkan kondisi keamanan PJAS yang buruk dan memiliki
risiko terjadinya cemaran yang tinggi. Persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat
tertinggi adalah pada sampling tahun 2011 tahap II dan yang terendah adalah pada
sampling tahun 2012 tahap II sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.

60 56,76

46,39

50
31,07
29,07

3 23,45

16,41
40

%TMS
30

20

10

2011 Tahap I 2011 Tahap II 2012 Tahap I 2012 Tahap II


2013 Tahap I 2013 Tahap II

Tahun sampling

Gambar 1 Persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat selama tahun 2011-2013 (n = 26857)

Persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat pada tahun 2011 cukup tinggi
karena mencapai angka 50%, namun mengalami penurunan yang cukup drastis dan
mencapai angka 20% pada tahun selanjutnya. Tahun 2013 menunjukkan adanya
peningkatan kembali persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat meskipun tidak
setinggi pada tahun 2011.
Setelah mengetahui perubahan persentase seluruh PJAS yang tidak memenuhi
syarat, selanjutnya dilakukan perhitungan persentase TMS terhadap tiga jenis PJAS
yaitu bakso, mi, dan makanan ringan. Pemilihan ketiga jenis PJAS tersebut didasari
hasil uji lanjut LSD dan kategori PJAS yang sama yaitu makanan. Gambar 2
menunjukkan bahwa persentase bakso yang tidak memenuhi syarat cukup tinggi, yaitu
berkisar antara 20-65% dengan persentase tertinggi terdapat pada tahun 2011 tahap II
dan yang terendah terdapat pada tahun 2012 tahap II. Persentase makanan ringan
yang tidak memenuhi syarat berkisar dari 8-20%. Persentase tertinggi terdapat pada
tahun 2011 tahap I dan yang terendah terdapat pada tahun 2012 tahap II. Sedangkan
4
pada mi, persentase sampel yang tidak memenuhi syarat berkisar antara 7-43%.
Persentase tertinggi mi yang tidak memenuhi syarat terdapat pada tahun 2011 tahap II
dan yang terendah terdapat pada tahun 2012 tahap II. Berdasarkan grafik pada Gambar
1 dan Gambar 2, terlihat bahwa perubahan kondisi PJAS memiliki tren yang
fluktuatif dimana persentase
TMS paling tinggi terdapat pada tahun 2011, kemudian turun cukup drastis pada tahun
2012, dan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2013.

64,21 Mie
70
56,14
Makanan Ringan

Bakso
60
43,04 32,83 31,65

20,13 19,50 20,99 20,83


50
12,88
10,12 8,92 14,34
15,63
10,66
10,70
8,77 7,74
40
% TMS

30

20

10

2011 Tahap I 2011 Tahap II 2012 Tahap I2012 Tahap II 2013 Tahap I
2013 Tahap II

Tahun sampling

Gambar 2 Persentase mi (n = 1953), makanan ringan (n = 4248), dan bakso (n = 1898) yang tidak
memenuhi syarat
5
Program pengawasan PJAS yang singkat dapat menjadi penyebab terjadinya tren
yang fluktuatif. Tahun 2013 merupakan tahun terakhir pelaksanaan program
pengawasan PJAS sehingga diduga pengawasan pada tahun 2013 menjadi lebih longgar
daripada tahun sebelumnya dan mengakibatkan terjadinya peningkatan PJAS yang tidak
memenuhi syarat. Tren fluktuatif juga dapat disebabkan adanya perbedaan jumlah
SD/MI lokasi pengambilan sampel dan jumlah sampel yang diambil pada tiap tahap.
Analisis Ragam
Analisis ragam dilakukan terhadap dua faktor, yaitu rata-rata persentase TMS tiap
jenis PJAS dan provinsi lokasi pengambilan sampel. Hasil analisis ragam pada Lampiran
1 menunjukkan bahwa terdapat keragaman pada interaksi rata-rata persentase TMS
dengan provinsi pada taraf nyata 1%. Analisis dilanjutkan dengan uji lanjut LSD karena
hasil analisis ragam menunjukkan adanya keragaman antar dua faktor. Hasil uji lanjut
LSD pada Tabel 2 menunjukkan bahwa mi memiliki rata-rata persentase TMS yang
tidak berbeda nyata dengan makanan ringan. Hal tersebut dapat diartikan bahwa mi dan
makanan ringan merupakan PJAS dengan persentase TMS paling rendah. Kudapan
merupakan PJAS dengan persentase TMS terendah setelah mi dan makanan ringan.
Rata-rata persentase TMS bakso dan jeli/agar juga tidak berbeda nyata sehingga dapat
dikatakan bahwa kedua PJAS tersebut memiliki tingkat TMS dibawah kudapan.
Minuman berwarna/sirup memiliki tingkat TMS di bawah bakso dan jeli/agar, sedangkan
es merupakan PJAS dengan rata-rata TMS tertinggi.
dan beragam sehingga cukup sulit apabila dilakukan analisis parameter keamanan
pangan penyebab TMS. Berdasarkan pertimbangan tersebut penelitian ini berfokus pada
tiga jenis PJAS yaitu mi, makanan ringan, dan bakso.

Tabel 2 Signifikansi antara rata-rata persentase TMS dengan provinsi lokasi pengambilan sampel

Jenis PJAS Rata-rata TMS (%)


Mi 15.8746 14.3192a
Makanan ringan 16.0508 13.4051a
Kudapan 27.3895 11.2808b
Bakso 35.1184 15.2100c
Jeli/agar 38.7221 24.1784c
Minuman berwarna/sirup 52.7584 21.0253d

6
Es 59.8296 21.7409e

Tabel 3 Signifikansi antar parameter keamanan PJAS

Parameter Keamanan PJAS Rata-rata TMS (%)


Angka Lempeng Total (ALT) 29.83 2.56f
Angka Kapang Khamir (AKK) 24.48 1.74e
Koliform 23.27 8.59e
Siklamat 15.80 12.33d
Asesulfam 5.87 9.19c
E. coli 4.04 2.52c
Boraks 3.88 2.22bc
Nitrit 2.50 2.94abc
Formalin 2.24 2.96abc
Sakarin 1.98 2.22abc
Logam timbal 1.63 1.85abc
Rhodamin B 1.56 1.74abc
Benzoat 1.11 0.66abc
S. aureus 1.10 1.03abc
C. perfringens 0.89 0.99abc
Salmonella 0.56 0.22ab
Sorbat 0.23 0.19a
Metanil yellow 0.09 0.10a

Selain melakukan analisis ragam terhadap faktor rata-rata persentase TMS dan
provinsi, dilakukan pula analisis ragam terhadap rata-rata persentase TMS dengan
parameter keamanan. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya keragaman terhadap
interaksi dua faktor yang diuji pada taraf nyata 1% sehingga dilakukan uji lanjut LSD.
Tabel 3 menunjukkan bahwa siklamat, koliform, AKK, dan ALT merupakan parameter
keamanan dengan persentase TMS tertinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
penyebab utama PJAS tidak layak dikonsumsi adalah adanya cemaran mikrobiologi dan
penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) melebihi batas maksimal yang telah
ditentukan.
Selanjutnya dilakukan analisis ragam terhadap parameter keamanan pada tiap jenis
7
PJAS. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa terdapat keragaman parameter pada taraf nyata 1% untuk bakso
dan makanan ringan dan pada taraf nyata 5% untuk mi.
Parameter Keamanan Pangan pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi Bakso
Bakso merupakan produk pangan yang bahan utama pembuatannya adalah daging
yang dilumatkan, selanjutnya dicampur dengan bahan-bahan lainnya, dibentuk bulatan-
bulatan, dan kemudian direbus. Istilah bakso umumnya diikuti dengan nama jenis
dagingnya, seperti bakso sapi, bakso ayam, atau bakso ikan. Berdasarkan bahan
bakunya, bakso dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu bakso daging, bakso urat, dan bakso
aci. Bakso daging dibuat dari daging yang sedikit mengandung urat, bakso urat dibuat
dari daging yang banyak mengandung urat, sedangkan bakso aci dibuat dengan
penambahan tepung yang lebih banyak dibandingkan jumlah daging yang digunakan
(Anonim 2010).

Tabel 4 Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat pada bakso

% Tidak Memenuhi Syarat


Parameter 2011 2012 2013
I II I II I II
Angka Lempeng23.90 28.95 28.21 33.81 32.72 31.63
Total
Koliform 20.18 24.74 30.16 30.25 31.91 28.48
E. coli 6.14 4.21 6.43 5.67 5.74 5.19
Boraks 3.95 3.68 1.34 1.77 2.59 3.85
Formalin 0.44 0.00 1.55 0.00 0.44 1.39
S. aureus 0.22 1.05 1.41 0.00 3.13 0.00
C. perfringens 0.00 0.00 0.93 2.70 0.89 0.80
Salmonella 0.66 1.05 0.00 0.00 3.13 0.00

500 300 100

450 250 50

400 200 0

350 150
Jumlah TMS

8
100

90

80

70

% Kumulatif
60

50

40

30

20

Parameter 10
Keamanan
0

Jumlah TMS

% Kumulatif

9
Gambar 3 Masalah utama keamanan pangan pada bakso (n = 1898)

Menurut Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.06.1.52.4011 tentang Penetapan


Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan, batas cemaran mikroba
ALT maksimal 1x105 koloni/g dan APM koliform maksimal 10/g. Angka lempeng total
merupakan metode kuantitatif yang digunakan untuk mengetahui jumlah mikroba secara
umum yang ada pada suatu sampel. Uji ALT
hanya menghitung mikroba aerob mesofil dan anaerob mesofil (BPOM RI 2008).
Bakteri koliform dapat digunakan sebagai indikator sanitasi air dan berbagari produk
pangan. Kelompok koliform merupakan bakteri dari famili Enterobacteriaceae yang
terdiri dari empat genus, yaitu Escherichia, Enterobacter, Klebsiella, dan Citrobacter.
Koliform dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu koliform fekal dan koliform
non fekal. Koliform fekal merupakan penghuni normal saluran pencernaan manusia dan
hewan yang dapat ditemukan pada feses dan digunakan sebagai indikator pencemaran.
Koliform non fekal tidak termasuk mikroflora normal di dalam saluran pencernaan,
melainkan ditemukan pada tanaman atau hewan yang telah mati dan sering
menimbulkan lendir pada makanan (Fardiaz 1992).
Pengamatan dilakukan terhadap penjual bakso di salah satu SD di Kecamatan
Dramaga, Bogor dan penggilingan daging di Pasar Anyar, Bogor. Pengamatan
dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai proses
pembuatan dan penyajian bakso. Proses pembuatan adonan bakso dimulai dengan
menggiling daging sapi. Setelah daging sapi lumat maka dilakukan proses pencampuran
dengan tepung sagu, es batu, dan bumbu-bumbu lainnya. Proses pencampuran memakan
waktu yang cukup lama karena tepung sagu dan bumbu- bumbu yang ditambahkan
harus tercampur dengan rata untuk mendapatkan tekstur adonan bakso yang diinginkan.
Proses pencampuran dilakukan dengan mixer khusus untuk pembuatan bakso yang
dibantu dengan tangan. Setelah adonan bakso jadi kemudian diletakkan ke dalam ember-
ember yang telah dilapisi kantong plastik. Mesin penggiling dan mixer digunakan dari
pukul 03.00 hingga selesai yaitu sekitar pukul 07.30. Setiap pergantian daging yang
digiling dan dilumatkan tidak dilakukan pencucian alat. Pencucian mesin penggiling
dilakukan hanya sekali yaitu setelah penggilingan daging pada hari itu selesai. Tempat
penggilingan daging yang didatangi oleh penulis juga menjual daging untuk bakso.
Daging diletakkan di ruangan tanpa pendingin mulai dari dibukanya tempat
penggilingan hingga tutup sehingga daging disimpan dalam suhu ruang sekitar empat

10
jam. Daging yang tidak terjual kemudian disimpan di dalam freezer di lokasi
penggilingan daging. Adonan bakso tersebut kemudian dibawa ke lokasi pemasakan
masing-masing pedagang dan kemudian dijual dengan gerobak. Penjual bakso dengan
gerobak umumnya memiliki alat sanitasi yang minimal. Pedagang bakso yang ditemui
oleh penulis hanya memiliki seember air dan lap sebagai alat sanitasi. Air tersebut
digunakan untuk mencuci mangkok, sendok, dan garpu yang telah digunakan. Jika air di
ember sudah cukup kotor maka baru air dibuang dan diganti dengan yang baru.
Mangkok yang telah dicuci kemudian dikeringkan menggunakan kain lap. Kain lap
tersebut digunakan secara terus-menerus dari awal hingga selesai berjualan.
Mengingat penyebab utama bakso tidak memenuhi syarat adalah masalah ALT
dan koliform yang melebihi batas maksimal serta berdasarkan pengamatan yang
dilakukan, diketahui beberapa sumber kontaminasi terbesar pada bakso antara lain:

1. Kontaminasi dari pekerja


Proses pencampuran daging dengan bahan lain dilakukan menggunakan mesin
mixer dengan bantuan tangan. Penggunaan tangan dilakukan untuk mempermudah
proses pencampuran daging dengan bahan lain. Selain pada proses penggilingan daging,
proses pembentukan bakso dan penyiapan bakso

juga dilakukan dengan menggunakan tangan. Penelitian Lues et al. (2006) menunjukkan
bahwa pekerja menyebabkan timbulnya bakteri seperti E.coli, S. aureus, dan
Salmonella. Sanitasi pada pekerja diperlukan untuk meminimalkan atau bahkan
mencegah perpindahan kontaminan dari tubuh pekerja ke makanan.

2. Mesin dan alat yang digunakan


Mesin penggiling dan mixer daging digunakan selama kurang lebih empat jam
sehari namun hanya dicuci sekali yaitu pada saat penggilingan pada hari tersebut selesai.
Ember digunakan sebagai wadah penampung adonan bakso yang telah selesai digiling
dan dicampur. Ember tersebut dilapisi kantong plastik untuk membawa adonan bakso ke
lokasi pedagang melakukan proses perebusan bakso. Pada ember yang digunakan
terlihat sisa-sisa daging yang telah mengering, Daging yang tersisa pada alat merupakan
sumber nutrisi bagi mikroorganisme untuk tumbuh.

11
3. Bahan baku
Bahan baku bakso yang berupa daging sangat mudah ditumbuhi mikroba, terutama
mikroba perusak dan pembusuk karena mempunyai kadar air yang tinggi (68-75%) serta
mengandung nutrisi yang dibutuhkan mikroba untuk tumbuh, seperti asam amino yang
banyak mengandung nitrogen, karbohidrat yang mudah difermentasi, dan mineral.
Selain itu, pH daging yang mencapai 5.3-6.5 dapat menguntungkan sejumlah
mikroorganisme (Soeparno 2005). Mikroba yang dapat ditemukan pada daging mentah
antara lain Micrococcus spp., Staphylococcus spp., Bacillus spp., kelompok coryneform,
dan Brochothrix spp. Sedangkan mikroba pembusuk yang terdapat pada daging yang
telah digiling adalah Pseudomonas spp. dan Enterobacteriaceae psikotropik (Cerveny et
al. 2009).
Selain daging, es batu merupakan salah satu bahan baku pembuatan bakso dengan
resiko kontaminasi mikroba yang cukup tinggi. Es batu berfungsi untuk
mempertahankan suhu adonan bakso. Suhu optimum untuk ekstraksi protein serabut
otot adalah 4-5 C dan suhu untuk mempertahankan kestabilan emulsi adonan adalah
<20 C. Es yang digunakan pada penggilingan daging yang didatangi penulis
merupakan es yang dibuat sendiri, namun apabila jumlah es tidak mencukupi maka
pemilik penggilingan akan membeli es balok. Berdasarkan penilitian yang dilakukan
oleh Fierliyanti (2006) koliform fekal maupun non fekal relatif tahan terhadap suhu
dingan termasuk pada es batu. Apabila es batu tidak ditangani dengan baik maka resiko
kontaminasi oleh koliform akan sangat besar. SNI 01-3829-1995 tentang es batu
menyatakan bahwa syarat mikrobiologi pada es batu adalah tidak terdapat bakteri
koliform dan koliform tinja.

4. Sanitasi alat makan yang tidak bersih


Alat makan yang telah digunakan, seperti mangkuk, sendok, dan garpu, umumnya
dicuci dengan menggunakan air dan sabun. Air ditampung dalam sebuah ember dan
apabila dirasa air sudah cukup kotor maka pedagang akan mengganti air tersebut dengan
yang baru. Apabila sedang ramai pembeli dan peralatan makan yang ada terbatas, maka
pedagang kurang memperhatikan kebersihan peralatan makan yang dicuci. Sisa
makanan yang tertinggal dalam
ember dan pencucian yang kurang bersih dapat meninggalkan sisa makanan pada
peralatan makan yang dapat menjadi sumber nutrisi bagi bakteri proteolitik seperti
Staphylococcus sp (Agustina 2002).

12
5. Udara
Adonan bakso yang telah digiling di lokasi penggilingan kemudian akan
dibentuk dan dimasak di lokasi masing-masing pedagang. Alat transportasi yang
umumnya digunakan oleh pedagang bakso adalah sepeda motor dan angkutan umum
(angkot). Lokasi penggilingan daging terkadang cukup jauh dari rumah pedagang
sehingga adonan bakso memiliki resiko kontaminasi yang tinggi selama perjalanan
tersebut. Resiko kontaminasi dari udara juga dapat berasal dari udara di ruangan yang
digunakan untuk menggiling dan memasak bakso.
Mikroorganisme tidak dapat tumbuh di udara karena udara tidak mengandung
nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme. Namun spora
dan sel vegetatif dapat terbawa oleh partikel debu dan droplet air di udara. Jumlah dan
jenis mikroorganisme yang terdapat pada udara bervariasi tergantung keadaan
lingkungan. Udara pada ruangan yang dihuni oleh banyak manusia dengan sistem
ventilasi yang buruk umumnnya mengandung berbagai jenis mikroorganisme dalam
jumlah yang besar (Csuros dan Csuros 1999).

• Mi
Menurut SNI 01-2987-1992, mi adalah produk pangan yang terbuat dari
terigu, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan
yang diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan. Persentase mi yang tidak
memenuhi syarat tidak setinggi pada bakso. Hal tersebut dapat disebabkan jenis mi yang
dijual di sekolah beragam Jenis mi yang banyak dijual di lingkungan SD/MI adalah
bentuk olahan dari mi basah dan mi kering yang dapat berupa mi ayam, mi goreng, mi
bakso, ataupun mi instan. Mi kering seperti mi telor dan mi instan umumnya dibuat oleh
industri pangan skala besar dan telah didaftarkan pada BPOM sehingga mutu dan
keamanannya terjamin. Lain halnya dengan mi basah yang umumnya diproduksi oleh
industri kecil dan industri rumah tangga.

Tabel 5 Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat pada mi

% Tidak Memenuhi
Syarat
Parameter 2011 2012 2013
I II I II I II
13
E. coli 4.58 3.80 4.39 9.09 5.23 11.88
Formalin 5.42 20.25 3.90 2.67 4.28 3.25
Boraks 1.67 12.66 1.73 2.67 3.42 0.40
S. aureus 0.42 0.00 1.02 0.80 0.34 2.47
Metanil Yellow 0.00 0.00 0.00 0.00 0.29 0.00

Sama halnya dengan bakso, parameter keamanan pangan yang menyebabkan mi


tidak memenuhi syarat (Tabel 5) juga berubah pada tiap tahap pengambilan sampel
sehingga perlu dibuat diagram Pareto. Berdasarkan diagram Pareto pada
Gambar 4, untuk menyelesaikan masalah keamanan pangan pada mi maka yang harus
diprioritaskan adalah masalah penambahan formalin dan E. coli yang melebihi batas
maksimal.

120 100

90
100
80

70
80
Jumlah TMS

% Kumulatif

60

60 50

40
40
30

Formalin E. coli Boraks S. aureus Metanil 20


20
yellow 10

0 Parameter Keamanan 0

Jumlah TMS

% Kumulatif

14
Gambar 4 Masalah utama keamanan pangan pada mi (n = 1953)

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 033 Tahun 2012 tentang Bahan
Tambahan Pangan, formalin merupakan salah satu bahan yang dilarang digunakan
sebagai BTP. Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.06.1.52.4011 mengatur bahwa
kandungan maksimal APM E. coli baik pada mi kering, mi instan, maupun mi basah
sebesar 10/g. E. coli merupakan flora normal yang terdapat pada saluran pencernaan
hewan dan manusia, namun beberapa serotipe E. coli dapat menyebabkan diare pada
manusia (Fardiaz dan Jenie 1989).
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai proses
pembuatan dan penyiapan mi, dilakukan pengamatan terhadap penjual mi di Kecamatan
Dramaga, Bogor dan lokasi produksi mi basah mentah di daerah Merdeka, Bogor.
Bahan pembuatan mi adalah tepung terigu, air, dan telur apabila ada permintaan dari
pedagang mi. Air yang digunakan adalah air mentah. Menurut produsen mi, adonan mi
yang dibuat tidak ditambahkan bahan tambahan pangan maupun bahan kimia berbahaya
seperti formalin atau boraks. Pada proses pembuatan mi, alat yang digunakan masih
manual. Pakaian yang dikenakan oleh para pekerja juga kurang layak untuk digunakan
pada proses produksi mi. Proses pembuatan mi dimulai dengan mencampur tepung terigu
dan air di atas sebuah meja berukuran besar. Setelah adonan mi terbentuk, selanjutnya
adonan diratakan dengan sebuah alat penggiling yang berukuran cukup besar dan terbuat
dari kayu. Alat penggiling tersebut berfungsi untuk meratakan adonan mi agar adonan
cukup tipis untuk dimasukkan ke mesin pencetak dan pemotong mi. Setelah mi dicetak
dan dipotong kemudian ditambahkan tepung tapioka supaya mi tidak lengket. Mi yang
telah diberi tepung tapioka kemudian ditimbang dan dimasukkan ke dalam kantong
plastik. Mi basah mentah kemudian dibawa ke lokasi pedagang berjualan mi ayam.
Proses pemasakan mi dilakukan apabila ada konsumen yang memesan mi ayam.
Kondisi sanitasi-higiene penjual mi tidak berbeda jauh dengan bakso.
Menurut pedagang dan produsen mi, mi basah mentah hanya mampu bertahan
sehari apabila disimpan di suhu ruang karena tidak ditambahkan BTP pengawet pada
mi, namun apabila dilakukan proses pengukusan maka mi basah mentah akan bertahan
sekitar dua hari. Pendeknya umur simpan mi dapat disebabkan oleh sanitasi-higiene
yang kurang terjaga pada proses pengolahan mi sehingga terjadi kontaminasi mikroba
dan mempercepat terjadinya kerusakan maupun kebusukan pada mi. Hal tersebut dapat
diatasi dengan menambahkan BTP pengawet, namun penambahan pengawet tersebut

15
dianggap kurang efektif dan membutuhkan biaya yang lebih tinggi sehingga produsen
mi memilih menggunakan formalin untuk memperpanjang umur simpan mi.
Formalin merupakan nama dagang dari senyawa formaldehida. Formaldehid
umumnya digunakan sebagai desinfektan untuk rumah, perahu, gudang, dan kain.
Formaldehid murni tidak dijual secara komersial, namun dijual dalam 30-50% (b/b)
larutan mengandung air (Cahyadi 2008). Kandungan formalin rata-rata dalam mi basah
di pasar tradisional Jabotabek adalah 106 mg/kg (mi basah mentah) dan 2914.36 mg/kg
(mi basah matang). Mi yang dijual oleh pedagang produk olahan mi daerah Jabotabek
rata-rata mengandung formalin 72.93 mg/kg (mi basah mentah) dan 3423.51 mg/kg (mi
basah matang). Mi yang dijual di supermarket daerah Jabotabek mengandung formalin
113.45 mg/kg (mi basah mentah) dan 2914.82 mg/kg (mi basah matang) (Gracecia
2005, Priyatna 2005). Berdasarkan survei dan pengujian yang dilakukan oleh IPB
dengan AWB dan PT. Bogasari Flour Mills terhadap pedagang mi basah mentah dan mi
basah matang di Jabotabek pada tahun 2004-2005 menunjukkan bahwa semua sampel
yang diambil positif mengandung formalin. Kandungan formalin rata-rata yang
ditemukan pada mi basah mentah sebesar 113.4 mg/kg bb dan pada mi basah matang
sebesar 3423.5 mg/kg bb. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang
tidak terlalu kuat antara peningkatan konsentrasi formalin terhadap laju pertumbuhan
ALT, kapang, khamir, dan koliform selama penyimpanan.
LD50 oral dari larutan formaldehid 2% pada tikus berkisar antara 500-800 mg/kg
berat badan, sedangkan LD50 guinea pigs adalah 260 mg/kg berat badan. Dosis
mematikan larutan formaldehid 37% bagi pria dewasa adalah 523 mg/kg berat badan
(Bloemen dan Burn 1993 dalam Cahyadi 2008). Konsentrasi formalin yang tinggi dalam
tubuh menimbulkan reaksi kimia dengan hampir semua zat di dalam sel sehingga
menekan fungsi sel dan menyebabkan kerusakan organ tubuh. Hal tersebut terjadi
karena formalin mengkoagulasi protein yang terdapat pada protoplasma dan nukleus.
Konsumsi formalin dalam jumlah yang tinggi dalam tubuh akan bersifat toksik dan
menyebkan gangguan fisiologis serta metabolisme dalam tubuh (Cahyadi 2008).
Selain formalin, penyebab utama mi tidak memenuhi syarat adalah masalah
E. coli yang melebihi batas maksimal. Beberapa sumber kontaminasi E. coli

terbesar pada mi antara lain:

1. Kontaminasi dari pekerja


Penelitian Lues et al. (2006) menunjukkan bahwa pekerja menyebabkan
16
timbulnya bakteri seperti E.coli, S. aureus, dan Salmonella. Peralatan produksi mi yang
masih manual menyebabkan pekerja banyak menggunakan bantuan tangan pada proses
produksi. Tangan yang tidak dicuci dengan bersih dan

langsung kontak dengan bahan pangan dapat meningkatkan jumlah cemaran


mikrobiologis pada produk pangan.

2. Mesin dan alat yang digunakan


Alat yang digunakan pada proses pembuatan mi adalah sebuah meja besar dan alat
penggiling dari kayu berukuran besar untuk membuat adonan mi. Selain itu digunakan
mesin pencetak dan pemotong mi serta meja kecil untuk menambahkan tepung tapioka
pada mi yang sudah dipotong. Berdasarkan penampakan fisiknya, alat-alat tersebut
jarang dibersihkan karena banyak sisa-sisa adonan mi dan tepung yang menempel.
Adonan-adonan mi yang tertinggal pada mesin dan peralatan dapat menjadi nutrisi bagi
pertumbuhan mikroba, salah satunya adalah E. coli. Menurut Legnani et al. (2004)
terdapat 7.1% dari 140 sampel permukaan peralatan produksi pangan yang mengandung
E. coli >1 cfu/cm2.

3. Bahan baku
Bahan baku pembuatan mi adalah tepung terigu dimana mikroorganisme yang
biasa terdapat pada tepung adalah kapang, khamir, dan bakteri. Kerusakan akibat mikroba
jarang terjadi pada produk serealia karena aw produk yang rendah (<0.6) (Cook dan
Johnson 2009). Bahan baku lain yang digunakan pada pembuatan mi adalah air. E. coli
merupakan bakteri indikator yang digunakan untuk mendeteksi adanya kontaminasi oleh
feses pada air dan mendeteksi keberadaan patogen usus (Fardiaz dan Jenie 1989).
Menurut SNI 01-3553- 2006 tentang air minum dalam kemasan, jumlah maksimal
bakteri bentuk koli pada AMDK adalah sebesar <2 APM/100 ml.

4. Sanitasi alat makan yang tidak bersih


Sama halnya dengan pedagang bakso, peralatan sanitasi yang dibawa oleh
pedagang mi adalah seember air yang digunakan terus menerus. Pergantian air
dilakukan apabila air di ember sudah cukup kotor dan ada sumber air bersih di sekitar
lokasi pedagang berjualan. E. coli yang ditemukan pada peralatan makan menunjukkan
air yang digunakan untuk sanitasi alat makan terkontaminasi feses manusia.

17
5. Udara
Lokasi pembuatan mi umumnya cukup jauh dari lokasi pedagang berjualan mi.
Adonan mi beresiko terkontaminasi selama perjalanan dari lokasi produksi ke lokasi
berjualan. Namun kontaminasi dari udara dapat pula berasal dari udara di ruangan yang
digunakan untuk produksi maupun dari udara selama berjualan.
Mikroorganisme tidak dapat tumbuh di udara karena udara tidak mengandung
nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme. Namun spora
dan sel vegetatif dapat terbawa oleh partikel debu dan droplet air di udara. Jumlah dan
jenis mikroorganisme yang terdapat pada udara bervariasi tergantung keadaan
lingkungan. Udara pada ruangan yang dihuni oleh banyak manusia dengan sistem
ventilasi yang buruk umumnnya mengandung berbagai jenis mikroorganisme dalam
jumlah yang besar (Csuros dan Csuros 1999).
• Makanan Ringan
Menurut Surat Keputusan Ketua BPOM RI No. HK.00.05.52.4040 tentang
Kategori Pangan, makanan ringan siap santap meliputi semua jenis makanan ringan asin
atau gurih (savory) atau rasa lainnya. Makanan ringan yang umum ditemui di
lingkungan SD/MI antara lain, kerupuk, keripik kentang, krekers beras (rice crackers),
keripik singkong, keripik tahu, opak, pilus, jagung berondong (pop corn), kacang
garing, kacang bawang, dan masih banyak lagi.

Tabel 6 Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat pada makanan ringan

% Tidak Memenuhi
Syarat
Parameter 2011 2012 2013
I II I II I II
Siklamat 1.75 2.50 7.43 4.20 4.14 2.68
Benzoat 0.13 0.00 0.55 1.39 0.00 0.00
E. coli 0.00 0.50 0.17 0.50 0.82 0.27
Formalin 0.25 0.00 1.44 0.00 0.00 0.00
Sakarin 0.50 0.50 0.78 1.92 1.88 0.00
Rhodamin B 2.13 0.50 10.23 7.43 5.88 1.82
Boraks 4.00 12.00 5.08 7.33 7.39 6.24
S. aureus 0.25 0.00 2.35 0.00 0.47 0.27
18
Metanil Yellow 0.00 1.00 0.18 0.37 0.17 0.00
Sorbat 0.00 0.00 0.00 0.00 0.23 0.00

250 100

90
200
80
Jumlah TMS

70

% Kumulatif
150
60

100 50

40
50
30

20
0
10
Parameter Keamanan
0

Jumlah TMS

% Kumulatif

Gambar 5 Masalah utama keamanan pangan pada makanan ringan (n = 4248)

Persentase parameter keamanan pangan yang menyebabkan makanan ringan tidak


memenuhi syarat berubah-ubah pada tiap tahap pengambilan sampel sebagaimana
ditunjukkan oleh Tabel 6. Makanan ringan yang dijual di SD/MI umumnya diproduksi
oleh industri pangan skala besar dan telah didaftarkan pada BPOM sehingga persentase
tidak memenuhi syaratnya cukup rendah. Diagram Pareto pada Gambar 5 menunjukkan
bahwa untuk menyelesaikan 80% masalah keamanan pangan pada makanan ringan

19
maka masalah yang harus diprioritaskan
adalah masalah penambahan bahan tambahan berbahaya yaitu boraks dan rhodamin B.
Boraks biasa digunakan dalam industri gelas, porselin, alat pembersih, dan
antiseptik (Saparinto dan Hidayati 2006). Penambahan boraks pada bahan pangan
dilarang sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 033 Tahun 2012 tentang
Bahan Tambahan Pangan, namun masih banyak produsen yang menambahkan boraks
pada produk pangan yang dijual. Boraks sering ditambahkan pada makanan ringan
seperti kerupuk dengan tujuan memperbaiki tekstur dan kerenyahan produk kerupuk dan
sejenisnya. Boraks dapat memperkuat tekstur karena boron dapat berikatan silang
dengan protein dan karbohidrat (Nugrahani 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Panjaitan (2010) menunjukkan bahwa bakso yang
dijual di kota Medan mengandung boraks sebesar 0.08-0.29%. Sedangkan penelitian
Juliana (2005) menunjukkan bahwa bakso yang dijual di swalayan Kota Semarang
mengandung boraks hingga 0.345 ppm. LD50 oral asam borat pada tikus jantan sebesar
3450 mg/kg berat badan sedangkan pada tikus betina sebesar 4080 mg/kg berat badan.
LD50 oral natrium tetraborat (boraks) pada tikus jantan sebesar 4550 mg/kg berat badan
dan pada tikus betina sebesar 4980 mg/kg berat badan (NPIC 2012). Keracunan boraks
kronis dapat disebabkan oleh absorpsi dalam waktu lama. Akibat yang ditimbulkan
karena keracunan boraks antara lain anoreksia, berat badan turun, muntah, diare, ruam
kulit, alposia, dan konvulsi (Saparinto dan Hidayati 2006).
Sedangkan rhodamin B adalah zat warna sintetis yang biasa digunakan pada
industri tekstil dan kertas. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
239/Men.Kes/Per/V/85 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai Bahan
Berbahaya menyebutkan bahwa rhodamin B termasuk salah satu dari 30 zat warna yang
dilarang, namun penggunaannya pada produk pangan masih sering ditemukan di
pasaran. Rhodamin B sering ditambahkan pada produk makanan ringan seperti kerupuk
untuk meningkatkan daya tarik terhadap konsumen. LD50 oral rhodamin B pada mencit
sebesar 887 mg/kg berat badan. Terdapat beberapa gejala keracunan akibat rhodamin B,
antara lain iritasi saluran pernapasan apabila terhirup, iritasi kulit apabila terkena kulit,
iritasi mata apabila kontak dengan mata, dan dapat menyebabkan kerusakan hati apabila
tertelan dalam jangka panjang (BPOM RI 2011).
Meskipun lebih banyak makanan ringan yang diproduksi oleh industri besar,
namun tidak sedikit pula makanan ringan yang dibuat oleh industri kecil dan industri
rumah tangga (IRT). Makanan ringan yang diproduksi oleh industri kecil dan IRT inilah

20
yang seringkali menggunakan bahan tambahan yang dilarang seperti boraks dan
rhodamin B. Faktor dan alasan yang menyebabkan terjadi penyalahgunaan bahan
berbahaya pada pangan antara lain ketidaktahuan, ketidakpedulian, motif ekonomi
untuk meraih keuntungan yang lebih besar, kurangnya akses ke lokasi penjual BTP,
bahan-bahan kimia berbahaya tersebut lebih mudah didapat daripada BTP, dan lemahnya
pengawasan pemerintah (Wijaya 2009, Saparinto dan Hidayati 2006).
Langkah-langkah Perbaikan Mutu dan Keamanan PJAS Cemaran
Mikrobiologis
Berdasarkan analisis Pareto yang telah dilakukan, diketahui bahwa cemaran
mikrobiologis merupakan penyebab utama bakso dan mi tidak memenuhi syarat.
Langkah-langkah perbaikan pada Tabel 7 disusun berdasarkan studi pustaka serta
pengamatan langsung terhadap produsen maupun pedagang bakso dan mi.

Tabel 7 Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya cemaran
mikrobiologis

Pemangku
Langkah-langkah Perbaikan
Kepentingan
Produsen dan Pekerja:
pedagang PJAS Sanitasi pekerja dapat dilakukan dengan cara:
a. Mandi sebelum melakukan proses produksi pangan dan
mengenakan pakaian yang bersih.
b. Mencuci tangan dengan sabun sebelum dan setelah kontak
langsung dengan bahan pangan. Pada proses penggilingan dan
pencampuran adonan bakso maupun pada proses pencetakan
mi, pekerja sebaiknya mencuci tangan setiap kali selesai
menggiling satu pesanan.
c. Menggunakan sarung tangan saat kontak dengan bahan
pangan.
d. Pekerja yang sedang menangani bahan pangan dilarang sambil
merokok, mengunyah permen karet, makan, minum, bersin,
batuk, menggunakan aksesoris (seperti gelang, cincin, jam
tangan), menyentuh anggota badan, menggaruk bagian tubuh,
mengupil, mengorek telinga, menjilat jari, menggigit kuku,

21
dan
meludah (Kementerian Kesehatan RI 2011).

Mesin dan Alat yang Digunakan:


a. Sebaiknya mesin yang digunakan (mesin penggiling daging,
mixer, dan mesin pencetak mi) dibersihkan menggunakan air
bersih (disarankan air panas untuk mesin penggiling dan mixer
bakso untuk melarutkan lemak yang tertinggal) dan langsung
dikeringkan pada setiap interval waktu tertentu, misalnya
setiap satu jam, untuk meminimalisir terjadinya kontaminasi.
b. Pencucian peralatan makan hendaknya menggunakan air
mengalir dan sabun agar mengurangi kemungkinan adanya
kontaminasi
c. Pengeringan alat makan menggunakan lap yang kering dan
bersih juga harus dilakukan untuk mengurangi risiko
kontaminasi.
d. Pada tahap penyiapan bakso atau mi dapat menggunakan
capitan atau sendok untuk mengurangi resiko kontaminasi.
Bahan Baku:
a. Pemilik penggilingan bakso harus menjaga keamanan bahan
baku yang digunakan. Hal-hal berikut dapat dilakukan untuk
menjaga keamanan bahan baku yang digunakan:
Daging yang dijual sebaiknya tidak disimpan pada suhu ruang,
melainkan disimpan pada freezer dengan suhu -2 C sampai
5 C untuk menghambat tumbuhnya mikroorganisme perusak
atau pembusuk dan mencegah hampir semua mikroorganisme
patogen. Suhu 5 C ini dianggap sebagai suhu kritis selama

22
Tabel 7 Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya cemaran
mikrobiologis (lanjutan)

• penangangan dan penyimpanan daging (Frazier 1967, Forest


et al. 1975 dalam Soeparno 2005).
• Membuat sendiri es batu dari air matang agar dapat diketahui
tingkat keamanannya dan mengurangi resiko kontaminasi. Air yang
digunakan untuk pembuatan es batu sebaiknya adalah air matang
dengan standar mutu sesuai dengan SNI 01-3553- 2006 tentang air
minum dalam kemasan.
b. Sedangkan untuk menjaga keamanan bahan baku pembuatan mi
dapat dilakukan:
• Tepung terigu sebaiknya disimpan dalam suatu ruangan yang kering
dan tidak lembab. Tempat penyimpanan yang lembab dapat
menyebabkan peningkatan kadar air tepung dan memicu
pertumbuhan mikroorganisme.
• Air yang digunakan untuk pembuatan mi harus dimasak terlebih
dahulu untuk mengurangi jumlah mikroorganisme awal dan
menurunkan resiko kontaminasi. Air yang
digunakan lebih baik apabila mutunya sesuai dengan SNI 01- 3553-
2006 tentang air minum dalam kemasan.
Lingkungan Produksi:
a. Lokasi produksi dijaga tetap bersih, bebas dari sampah, bau, asap,
kotoran, dan debu (BPOM RI 2012).
b. Ruangan yang digunakan untuk proses pembuatan dan pemasakan
bakso maupun mi harus selalu dibersihkan tiap sebelum dan
sesudah dilakukan kegiatan. Ruangan tersebut tidak
boleh digunakan untuk kegiatan selain proses produksi.

23
Penyimpanan:
a. Adonan bakso ataupun mi dikemas dalam wadah yang bersih dan
tertutup rapat untuk meminimalisir kontaminasi selama transportasi
dari lokasi penggilingan ke lokasi pemasakan dilakukan.
b. Bakso ataupun mi yang telah dimasak dan siap dijual serta bahan
tambahan lain (seperti daun bawang, bawang goreng, dan sayur)
yang digunakan sebaiknya disimpan dalam wadah yang bersih dan
tertutup.
c. Bakso dan mi yang dijual sebaiknya tidak disimpan pada suhu
ruang selama >4 jam.
d. Bakso dan mi yang tidak habis terjual sebaiknya disimpan pada
suhu <5 C dalam wadah yang bersih dan tertutup
Sekolah Sekolah dapat memberi edukasi mengenai sanitasi-higiene yang baik
serta cara memilih jajanan yang layak konsumsi kepada siswa-
siswanya melalui kegiatan belajar mengajar di kelas. Berikut
beberapa mata pelajaran dan kompetensi dasar pada Kurikulum
SD/MI 2013 yang sesuai dengan materi tersebut:
• Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan Kelas IV dengan
Kompetensi Dasar:
a. Memahami gizi dan menu seimbang dalam menjaga kesehatan
tubuh.
• Bahasa Indonesia Kelas V dengan Kompetensi Dasar:
a. Memiliki kepedulian dan tanggung jawab terhadap makanan dan
rantai makanan serta kesehatan melalui pemanfaatan bahasa
Tabel 7 Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya cemaran
mikrobiologis (lanjutan)

Indonesia.
b. Menggali informasi dan teks laporan buku tentang makanan dan
rantai makanan, kesehatan manusia, keseimbangan ekosistem,
serta alam dan pengaruh kegiatan manusia dengan bantuan guru
dan teman dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis dengan
memilih dan memilah kosakata baku.
c. Mengamati, mengolah, dan menyajikan teks laporan buku

24
tentang makanan dan rantai makanan, kesehatan manusia,
keseimbangan ekosistem, serta alam dan pengaruh kegiatan
manusia secara mandiri dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis
dengan memilih dan memilah kosakata baku.

Konsumen (siswa
a. Orang tua siswa memiliki peran untuk mengawasi kebiasaan
sekolah jajan anak, mengarahkan, memberikan pemahaman, dan
dan orang tua memberikan contoh kepada anak untuk mengkonsumsi jajanan
siswa) yang aman.
b. Membeli jajanan yang layak konsumsi dengan ciri-ciri sebagai
berikut (Kementerian Kesehatan RI 2011):
• Jajanan disimpan dalam wadah yang bersih dan tertutup
• Tidak banyak lalat yang menghinggapi jajanan
• Tidak beraroma basi/busuk
• Bila dimakan terasa pahit atau tidak enak
• Jajanan memiliki kemasan yang tertutup rapat
c. Mencuci tangan sebelum makan karena cemaran
mikroorganisme dapat berasal dari konsumen yang kurang
memperhatikan kebersihan. Berikut merupakan 10 langkah
mencuci tangan yang benar (Kementerian Kesehatan RI 2011):
1. Basahi tangan dengan air dan tuang sabun ke telapak tangan
2. Gosok telapak tangan
3. Gosok punggung tangan kanan dan kiri secara bergantian
4. Gosok sela-sela jari tangan kanan dan kiri secara bergantian
5. Gosok ujung-ujung jari tangan kanan dan kiri secara bergantian
6. Gosok ibu jari dan pergelangan tangan kanan dan kiri secara
bergantian
7. Gosok telapak tangan dengan ujung-ujung jari kanan dan kiri
secara bergantian, ini dilakukan sambil membersihkan kuku
8. Bilas kedua tangan dengan air bersih
9. Keringkan tangan dengan menggunakan tisu atau lap kering
yang bersih

25
10. Matikan kran air dan bersihkan kran air yang digunakan
untuk mencuci tangan

26
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Bakso daging [Internet]. [diunduh 2014 Sep 30]. Tersedia pada:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/27073/Tekno%20Pan
gan_Bakso%20daging.pdf?sequence=1.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2005.
Analisis risiko dalam sistem keamanan pangan. Keamanan Pangan. 4(8):1-2.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2006. Surat
Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.52.4040 tentang Kategori
Pangan. Jakarta (ID): BPOM RI.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2008.
Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) serta upaya
penanggulangannya. InfoPOM. 9(6):4-7.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2009. Sistem
keamanan pangan terpadu pangan jajanan anak sekolah. Food Watch. 1:1-4.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2009.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No
00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan
Kimia dalam Makanan. Jakarta (ID): BPOM RI.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2011. Peduli
pangan jajanan anak sekolah. InfoPOM: 12(1):1-4
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2011.
Rhodamin B [Internet]. [diunduh 2014 Okt 13]. Tersedia pada:
http://ik.pom.go.id/v2012/katalog/Rodamin%20B.pdf.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012. Cara
Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga. Jakarta (ID):
BPOM RI.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 tentang Bahan
Tambahan Pangan. Jakarta (ID): BPOM RI.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012.
Masyarakat merupakan bagian penting dalam pengawasan pangan.
WartaPOM. 15:5.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Nomor 01-2987-1992.
Tentang Mi Basah. Jakarta: BSN.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia Nomor 01-
3829-1995. Tentang Es Batu. Jakarta: BSN.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia Nomor 01-
3553-2006. Tentang Air Minum dalam Kemasan. Jakarta: BSN.
Cahyadi W. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta
(ID): Bumi Aksara.

Cerveny J, Meyer JD, Hall PA. 2009. Food Microbiology and Food Safety
Compendium of the Microbiological Spoilage of Food and Beverages.
Sperber WH, Doyle MP, editor. Griffin (US): Springer.

27

You might also like