You are on page 1of 4

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/337323489

Komunisme

Article · November 2019

CITATIONS READS

0 5,620

1 author:

Nirwansyah Putra
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
26 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Politik Indonesia Kontemporer View project

Filsafat dan Pemikiran View project

All content following this page was uploaded by Nirwansyah Putra on 18 November 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Komunisme
Nirwansyah Putra
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Oktober 20131

Proletar dan borjuis adalah dua kelompok yang tak berdaya melawan kutukan. Borjuis
menjalani takdir sebagai elit, kaya, mengeksploitasi sumber daya hingga titik maksimal
dan kemudian menyampakkan serpihan-serpihan sisanya. Mungkin itu adalah salah satu
contoh ―kemurahan hati‖ kepada mereka yang non-borjuis.

Proletar terpuruk di koin sebelahnya. Miskin, lemah, tak berdaya dan menjadi alat-alat
produksi yang memerkukuh kehidupan kaum borjuis. Serupa tapi tak sama, proletar
punya tabiat untuk menghapus kalangan borjuis, sementara kaum borjuis mengeliminasi
mereka dari daftar kelompok yang berhak hidup; laiknya kayu-kayu bakar penghangat
malam-malam dingin mereka yang lantas menjadi abu. Dia menjadi dendam kesumat
hingga dunia berakhir dan kemudian beralih ke suatu tatanan yang baru, apapun
bentuknya.

Tidak ada sisi dalam kaum borjuis yang dari sudut moralitas --terutama versi agama dan
aliran filsafat yang menentangnya-- dipandang sebagai sebuah ―kebaikan‖. Tidak ada
poin sama sekali. ―Kebaikan‖ bagi mereka adalah borjuasi itu sendiri, pemusatan
kekuatan manusia pada sumber daya ekonomi yang memersyaratkan habitat hedonis
sebagai frame sosial budaya tempat mereka berkembang biak. Seandainya kaum
penguasa dan kaya menyisihkan duitnya dalam bentuk sedekah, maka itu hanyalah
kamuflase untuk semakin meningkatkan produktivitas kaum proletar, sebuah kaum dari
kelompok terasing ataupun yang diasingkan dari habitat mereka, namun sungguh
dibutuhkan untuk menyangga dan menyambung hidup kaum borjuis. Kuasa dan
kekayaan adalah kondisi.

Persoalannya, bagi Karl Marx, bukanlah memerdebatkan siapa yang lebih dulu muncul,
namun pada pertarungan keduanya. ―The history of all hitherto existing society is the
history of class struggles,” tulisnya dalam The Communist Manifesto.

Marx mungkin saja kurang peduli apakah panggung kehidupan akan terasa sangat
begitu hambar bila hanya ada tontonan pertarungan proletar-borjuis.

***

1
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Waspada Medan edisi Selasa, 8 Oktober 2013.

1
Namun, apa yang disuguhkan sejarah di Indonesia justru lebih detail daripada yang
diangankan oleh Dipa Nusantara Aidit ketika memutuskan untuk mengambil alih Partai
Komunis Indonesia (PKI) pada 1951. Di usianya yang ―masih‖ 38 itu, di hadapannya
terserak sejuta alasan mengapa PKI akan mampu tumbuh berkembang menjadi kekuatan
komunis ketiga terbesar dunia. Kapitalisme Amerika Serikat, negara yang bersama
Inggris dan Eropa Barat dituduh oleh komunis sebagai kelas negara borjuis dalam
struktur negara dunia, justru membesarkan nama dan partainya. Goliath telah keliru
memandang David yang ―kecil‖. Keputusan Goliath untuk meladeni pertarungan
dengan David, justru menjadikan David sebesar dirinya. Peta kelas internasional telah
memberi keuntungan bagi Aidit dan PKI.

Sementara, di dalam negeri, berserak-seraklah manusia-manusia yang dapat diciptakan


sebagai kaum proletar. Mereka adalah kelompok yang selama ini hanya menjadi budak-
budak para tuan tanah, perkebunan, pabrik-pabrik; buruh yang menyambung hidupnya
hanya dalam dan untuk hitungan hari, yang hanya mempunyai satu kesenangan hidup
yaitu gairah dalam keremangan malam bersama para istri dalam gubuk-gubuk mereka.
Inilah benih-benih ―tentara rakyat‖.

Maka, jadilah dia berdiri di depan mereka, memberi mereka tempat untuk menapak di
atas dunia dengan mengusulkan secara radikal, di antaranya, undang-undang agraria. Si
miskin, si budak tadi, ―merasa‖ eksis kembali; mereka (akan) punya tanah untuk
ditapak. Tak hanya itu, Aidit juga mengusulkan agar mereka diberi senjata. Ah, adakah
mereka bersalah karena berjanji berjuang kepada yang memberi eksistensi (plus senjata)
kembali? Toh, mereka tak merasa kalau itu adalah sebuah muslihat.

Sejenak Aidit mengambang, apalagi (karena) Soekarno, Presiden yang memaklumkan


dirinya sebagai Paduka Yang Mulia, telah memberi angin itu. Aidit pun dengan percaya
diri berlindung di balik dasar negara, Pancasila. Dalam ceramahnya di hadapan para
mahasiswa Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) pada 29 Juni 1963 Aidit
melontarkan pemikiran bahwa ideologi komunis juga terangkul dalam Pancasila dan
karena itu punya hak yang sama dalam bingkai Pancasila. Ini sebagian kutipan dari
kata-katanya:

“Tuan Komunisto-phobi rupanya tuan pura-pura lupa bahwa dalam Panca Sila tidak
hanya ada sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dan kami tidak setuju main „urat tunggang‟
seperti Hamka, yang mengatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah urat
tunggang Panca Sila. Sebab, kalau demikian kaum nasionalis dapat pula mengatakan
bahwa sila Kebangsaan adalah urat tunggang Panca Sila, dan kaum Komunis dapat
pula mengatakan bahwa sila Keadilan Sosial adalah urat tunggang Panca Sila. Kalau
sudah demikian apalagi artinya Panca Sila sebagai alat pemersatu? Oleh karena itu
kaum Komunis menentag pemretelan atau pemisahan satu-satu daripada sila-sila
Panca Sila. Kalau setuju Panca Sila terimalah sebagai kesatuan, dan jika demikian ia
tidak bisa lain daripada alat pemersatu atau Eka Sila Gotong Rojong.2
2
D. N. Aidit. "PKI dan Angkatan Darat (Seskoad)", Juli 1963, sumber:
https://www.marxists.org/indonesia/indones/1963-AiditPKIdanAD.htm, diakses ulang pada 18 November 2019.
Dalam catatan keterangan di situs itu, ceramah ini disajikan Aidit pada 29 Juni 1963 di hadapan mahasiswa

2
Perhatikanlah, Aidit merasa bahwa sila kelima Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia, memberi hak bagi komunisme untuk hidup, bersanding-sandingan
dengan agama. Di mana, kalangan agawaman --terutama Islam--, seperti yang sudah
disitir oleh Aidit sendiri, berpandangan bahwa antara komunisme dan Ketuhanan yang
Maha Esa berada dalam hubungan yang kontras. Itulah siasat tafsir politik Aidit
terhadap ideologi negara Pancasila pada waktu itu.

Saya kurang begitu tahu persis, apakah dikumandangkannya konsep Nasional-Agama-


Komunis (Nasakom) oleh Soekarno, adalah karena telah termakan ucapan Aidit ataukah
Soekarno malah telah terjebak oleh angannya bahwa dialah yang menjadi pemersatu,
menjadi naung besar seluruh paham yang ada di Indonesia. Selintas, angan ini tak beda
benar seperti yang sering disebut-sebut dalam konsep ―Raja‖. Tidak payah untuk
disangkal, kalau di penghujung kekuasaannya, Soekarno malah lebih dikenang sebagai
Presiden yang diktator yang memusatkan seluruh kekuasaan di tangannya. Bahkan,
pasangan dwitunggal-nya, Mohammad Hatta, ideolog, intelektual sekaligus proklamator
Republik Indonesia asal Minangkabau itu, memutuskan untuk berpisah dengan
Soekarno.

Membincangkan Indonesia memang akan tak adil bila hanya dipenuhi oleh gerak
Soekarno dan Hatta saja. Bangsa ini memang bukan milik mereka berdua dan bukan
tentang cerita mereka saja. Namun, agaklah aneh bila Hatta kemudian hanya ditulis
sebagai proklamator dan Bapak Koperasi semata. Sementara sisi lain seperti begitu
pahamnya Muhammad Hatta –dan Sutan Sjahrir—akan sosialisme namun kemudian
menjadi target operasi dari komunisme Aidit, luput dari perbincangan.

Tuan dan Puan, burung-burung sejarah telah memberi kita kabar yang sama-sama telah
kita baca, walau mungkin dari versi dan tafsir yang berbeda, kalau Aidit telah gagal
total di titik klimaksnya. Entah mengapa saya merasa Aidit lupa akan detail yang tak
dituliskan oleh Karl Marx, Lenin dan Stalin yang berlatar industri Eropa. Juga detail
yang tak diungkapkan oleh Mao Tse Tung ketika merubuhkan tembok-tembok (sosial
kultural) China.

Benar bila nasib dan pergerakan buruh dan tani menjadi jualan politik paling penting
dari komunis Soviet dan Cina, namun locus sosial, kultur dan politik Indonesia ternyata
berbeda jauh dengan dua negara besar itu. Bukan tak ada kemiripan, tapi yang lebih
pasti justru ketidaksamaan.

Benar bila ada penjajahan dan feodalisme yang sudah berumur ratusan tahun di
Indonesia. Benar bila ketidakadilan seakan-akan sudah menjadi santapan setiap hari
mayoritas orang Indonesia. Kondisi itu, kondisi yang sering disebut ladang subur bagi
paham komunis, ternyata tidaklah membuat komunisme menjadi jawaban bagi apa yang
diinginkan oleh orang Indonesia ketika berbisik, ―Merdeka...‖ (*)

Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) dengan judul "Pertahanan Nasional Harus Tunduk pada
Strategi Umum Revolusi Indonesia", yang kemudian diterbitkan oleh Yayasan Pembaruan, Jakarta, Juli 1963.

View publication stats

You might also like