You are on page 1of 5

Nama : Retty Kusuma Wardhani

NIM : 201210360311174

“Thousands friends zero enemy” dan “dynamic equilibrium” sebagai


kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia

Diplomasi politik Indonesia dilihat dari segi pelaksanaannya telah cukup


banyak melibatkan komponen bangsa. Hal ini guna untuk mencapai kepentingan
nasional dan keamanan bangsa Indonesia. Juga agar Indonesia lebih berperan aktif
dalam menjaga perdamaian dunia, baik dari hubungan bilateral maupun global.
Diplomasi dalam konstelasi politik luar negeri pada hakikatnya adalah muslihat
yang sederhana dalam perundingan untuk mencapai cita-cita bangsa. Efektivitas
diplomasi atau politik luar negeri tidak terlepas dari pergolakan di dalam negeri,
sebab politik luar negeri pada dasarnya merupakan refleksi dari kebijakan politik
domestik.1

Indonesia sendiri sebenarnya sudah memulai diplomasinya ke luar negeri


sebelum kemerdekaan diproklamasikan. Akan tetapi diplomasi Indonesia ke luar
negeri lebih diintensifkan lagi setelah kemerdekaan. Pada saat sebelum
kemerdekaan, diplomasi Indonesia lebih cenderung dengan menunjukkan
eksistensinya pada dunia serta ingin mendapat pengakuan dari negara lain. Dasar
yang dijadikan sebagai acuan dalam politik luar negeri serta diplomasinya yakni
yang dikenal dengan politik bebas aktif. Konsep politik bebas aktif Indonesia
diibaratkan seperti mendayung diantara dua pulau. Kemudian konsep ini yang
dimantapkan oleh rezim Susilo Bambang Yudhoyono dengan semboyan
“thousands friends zero enemy”.

1
Ganewati Wuryandari, 2008. Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 174.
Istilah “thousands friends zero enemy” ini memang cocok dengan
mendayung diantara dua pulau yang mengacu pada politik bebas aktif Indonesia.
Akan tetapi, semboyan dari Susilo Bambang Yudhoyono tersebut menimbulkan
serangkaian kontroversi. Konsep “thousands friends zero enemy” ini pada
kenyataannya belum bisa sepenuhnya diterapkan dalam proses diplomasi
Indonesia. Karena jika kita tidak hati-hati maka bargaining position dari
Indonesia yang lemah akan menjadi boomerang yang dapat merugikan Indonesia
dari segi diplomasinya. Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk dapat
mengerti serta memahami implementasi dari semboyan “thousands friends zero
enemy” tersebut bagi Bangsa Indonesia.

Politik luar negeri Indonesia juga mempunyai landasan-landasan yang


tetap sifatnya yng lahir dari cita-cita hidup dan falsafah bangsa Indonesia.
Sementara itu cara pencapaiannya bisa sangat bervariasi dan berubah disesuaikan
dengan strategi yang akan diterapkan. Strategi yang dipilih pada umumnya akan
disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi pada kehidupan politik dalam
negeri Indonesia dan internasional. Dengan demikian, fungsi politik luar negeri
Indonesia tidak saja harus mampu menciptakan keadaan yang menguntungkan
bagi pelaksanaan pembangunan nasional, tetapi juga harus mampu menyingkirakn
ancaman dari luar negeri yang sedang ataupun mungkin akan terjadi yang dapat
membahayakan upaya pembangunan tersebut. Untuk mencapai hal tersebut,
politik luar negeri Indonesia dalam implementasinya memerlukan suatu
efektivitas yang tinggi.2

Berkaca pada fungsi politik luar negeri Indonesia yang sudah dijelaskan di
atas, maka itu berbanding terbalik dengan konsep “thousands friends zero
enemy”. Dimana konsep tersebut banyak menuai kontroversi di kalangan publik.
Semboyan “thousands friends zero enemy” ini muncul ketika besarnya harapan
publik menuntut agar pemerintahan yang lebih asertif, karena hal inilah maka
semboyan tersebut juga memunculkan anomali. Banyak dari kalangan publik yang

2
Ganewati Wuryandari, 2008. Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 21.
masih mempertanyakan konsep “thousands friends zero enemy” tersebut, tetapi
pada realitanya konsep tersebut masih saja disosialisasikan pada khalayak ramai.
Pergantian rezim kepemimpinan mulai dari Soekarno hingga Susilo Bambang
Yudhoyono menandakan bahwa pentingnya diplomasi bagi Indonesia untuk dapat
mencapai bargaining position yang kuat, walau dengan berbagai persoalan yang
mengiringinya. Berangkat dari penjelasan di atas maka dalam tulisan ini akan
diuraikan bagaimana implementasi dari semboyan “thousands friends zero
enemy” dalam politik luar negeri Indonesia, selain itu juga akan diuraikan
bagaimana dynamic equilibrium dijalankan sebagai dasar kebijakan Indonesia.

“Thousands friends zero enemy” merupakan semboyan yang muncul pada


rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Semboyan ini menunjukkan
bahwa Indonesia ingin menjalin hubungan kerjasama dengan negara lain untuk
mencapai kepentingan nasional. Dengan kata kain, dari semboyan dapat terbaca
secara jelas bahwa sistem pemerintahan sekarang ini mendorong melakukan
kerjasama tanpa adanya keberpihakan pada salah satu pihak. Dari sini juga terlihat
bahwa prinsip Indonesia memiliki sikap yang netral tanpa musuh di tengah-tengah
era globalisasi saat ini.

Sedikit demi sedikit aura positif dari negara lain tentang Indonesia dapat
dibangun dengan baik. Hal ini tentu sangat perlu bagi kedudukan Indonesia
sendiri, dimana untuk menghilangkan pandangan-pandangan negatif dari negara
lain bahwa Indonesia merupakan sarang teroris, tempat terjadinya kasus koruptor
dan lain sebagainya. Aura positif yang dibangun oleh Indonesia menjadikan
Indonesia sebagai pemegang amanah dalam banyak organisasi internasional.
Dapat dikatakan bahwa pada rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini
yang menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah dalam banyak forum internasional
patut dicatat dalam sejarah. Dalam lingkup ASEAN misalnya, Indonesia telah
dipercaya untuk menjadi ketua ASEAN pada tahun 2011, juga Indonesia berperan
aktif dalam forum G20.
Menyimak pernyataan terbaru dari Presiden Susilo Bambang Yodhoyono
sebagai berikut, maka semboyan yang paling relevan bagi Indonesia saat ini
adalah million friends, bukan thousands friends : “Saya punya prinsip dan
falsafah, dan ini mengalir dari prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas
aktif, yang dirumuskan oleh para pendiri republik, para founding fathers, maka
yang cerdas dan bijak dalam dunia yang hidup dalam tatanan globalisasi ini adalah
zero enemy million friends, satu musuh pun terlalu banyak, seribu kawan kurang. 3

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa diplomasi pada saat ini
tidak hanya mengatur hubungan negara satu dengan lainnya, tetapi juga mengatur
hubungan individu antar individu. Hal ini menjadikan tantangan Indonesia dalam
kancah global menjadi semakin kompleks. Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty
Natalegawa mendeskripsikan pernyataan di atas dalam ungkapan keseimbangan
dinamis (dynamic equilibrium). Dynamic Equilibrium merupakan kondisi dimana
terciptanya sebuah keseimbangan dengan mengakomodasi munculnya kekuatan-
kekuatan yang baru di dunia. Konsep dynamic equilibrium Indonesia di wilayah
keanggotaan EAS (East Asia Summit) yang anggotanya mencakup Rusia dan AS
dapat diterima denngan baik. Indonesia turut berperan aktif dalam menciptakan
perdamaian serta stabilitas di kawasan tersebut.

Hal lain yang harus digarisbawahi adalah semakin pentingnya opini


publik dalam perumusan kebijakan. Polugri bukan lagi ranah (domain) ekslusif
elit pembuat kebijakan. Memang, tidak semua opini publik rasional bahkan
kadang kala kontra-produktif, sehingga menuntut pemerintah untuk mampu
memilah dan memilih. Politik luar negeri memang merupakan ranah yang saling
bersinggungan antara realitas dinamika politik domestik negara dan lingkungan
eksternal. Realitas ini menuntut perencanaan dan implementasi kebijakan luar
negeri menjadi semakin multilateral, yang tentu tidak mampu ditangani oleh
jajaran Deplu sendiri. Untuk itu perlu dibangun kemitraan secara luas dengan
semua aktor negara dan non-negara. Elemen masyarakat dalam kasus tertentu bisa

3
www.deplu.go.id 2010, diakses pada 16 April 2014 pukul o5.45 WIB.
saja berperan sebagai kelompok penekan untuk mengontrol dan bahkan
mengarahkan isu dan isi proses pembuatan kebijakan.4

Untuk itu penting bagi Indonesia sendiri agar lebih berhati-hati dalam
pengambilan kebijakan, karena mengingat juga posisi Indonesia sebagai negara
dengan kekuatan menengah. Pilihan dari dynamic equilibrium Indonesia sendiri
dinilai memiliki sesuatu yang unik, karena konsep ini dapat dijadikan sebagai
penghubung ke negara-negara besar seperti Amerika Serikat. Akan tetapi sikap
kehati-hatian Indonesia diperlukan, terlebih lagi negara-negara besar tersebut
memiliki kepentingan tersendiri, jangan sampai nantinya kebijakan serta konsep
Indonesia yang sudah berjalan mulus menjadi “senjata makan tuan” yang akan
merugikan Indonesia sendiri.

4
Ganewati Wuryandari, 2011. Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Arus Perubahan Politik
Internasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 59.

You might also like