You are on page 1of 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Prediabetes

1. Definisi Prediabetes

Prediabetes adalah suatu keadaan dimana terjadinya gangguan toleransi

glukosa atau gangguan glukosa puasa yang mana kondisi di mana nilai

glukosa darah lebih tinggi dari biasanya, tetapi tidak cukup tinggi untuk

diklasifikasikan sebagai diabetes (Okosun & Lyn, 2015). Menurut American

Diabetes Association (2018) prediabetes adalah individu yang kadar

glukosanya tidak memenuhi kriteria untuk mengidap diabetes akan tetapi

terlalu tinggi untuk dianggap normal. Keadaan toleransi glukosa terganggu

(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) atau kadar HbA1c sesuai

dengan keadaaan peningkatan risiko akan terjadinya DM yang mana

merupakan manifestasi dari terjadinya prediabetes. Seiring dengan terus

berkembangnya kejadian prediabetes ini menjadi diabetes mellitus yang

konkrit, dan sehingga angka dari morbiditas dan mortalitas terkait akan

diabetes dan komplikasinya akan terus mengalami peningkatan.

Menurut PERKENI (2019) prediabetes ialah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan hemoglobin terglikasi atau glukosa darah diatas normal, akan

tetapi tidak cukup tinggi untuk memenuhi kriteria diabetes dimana keadaan

toleransi glukosa terganggu (TGT) dan / atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT) atau HbA1c sesuai peningkatan risiko DM yang mana merupakan

manifestasi terjadinya prediabetes. Dengan tingginya prevalensi kejadian

prediabetes menjadi diabetes mellitus yang semakin tampak nyata hingga

angka morbiditas dan mortalitas dengan diabetes dan juga beserta

komplikasinya.

2. Epidemiologi Prediabetes

Menurut International Diabetes Federation (2017) pada tahun 2030

diperkirakan sekitar 398 juta orang di dunia akan mengalami prediabetes.

Sedangkan menurut Aschner (2017) mengatakan prevalensi tolensi glukosa

terganggu mencapai 16,7% dan pada tahun 2045 diperkirakan angkanya akan

turun hingga menjadi 15,9%. Data dari Riskesdas (2018) menunjukkan bahwa

angka prediabetes di Indonesia cukup tinggi yaitu pada keadaan glukosa darah

puasa terganggu (GDPT) sebesar 26,3% dan pada keadaan toleransi glukosa

terganggu (TGT) sebesar 30,8%. Pada Sumatera Barat didapatkan prevalensi

prediabetes yaitu sebesar 1,8%..

3. Kriteria Prediabetes

Kriteria prediabetes dapat di tentukan dengan menggunakan glukosa

plasma puasa atau toleransi glukosa oral. Glukosa plasma puasa sering

dilakukan setelah puasa semalam minimal 8 jam sementara tolerasi glukosa

oral diukur setelah puasa semalam minimal 8 jam, sementara toleransi

glukosa oral diukur setelah puasa semalam dan 75 g glukosa dalam air.

Prediabetes didefinisikan sebagai gula darah puasa antara 100 dan 125 mg/dl
dan / atau kadar toleransi glukosa oral antara 140 dan 199 mg/dl (Okosun &

Lyn, 2015)..

Menurut PERKENI (2019) kriteria prediabetes meliputi toleransi

glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) adalah dimana hasil glukosa plasma

puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam

<140 mg/dL dan Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) adalah hasil

pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan

glukosa plasma puasa <100 mg/dL. Diagnosis prediabetes juga dapat

ditegakkan melihat hasil dari pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan hasil

5,7-6,4% .

4. Manifestasi Klinis Prediabetes

Manifestasi klinis pada prediabetes tidaklah sama dengan manifestasi

klinis seperti DM. pada DM didapati keluhan yang khas seperti polifagia,

polydipsia dan polyuria serta adanya penurunan BB dan sedangkan pada

prediabetes keluhan tersebut tidak ditemukan. Pada prediabetes yang dapat

ditemukan adalah meningkatnya kadar glukosa darah puasa dan kadar glukosa

darah 2 jam setelah makan diatas normal tetapi tidak sampai pada keadaan

kondisi diabetes mellitus (ADA, 2018).


5. Screening Prediabetes

Screening pada individu prediabetes sangat penting dilakukan untuk

dapat mendeteksi lebih awal sehingga dapat dilakukan pengobatan sedini

mungkin untuk mencegah terjadinya komplikasi. Screening merupakan

intervensi yang sangat efektif dalam mencegah berkembangnya prediabetes

menjadi diabetes mellitus dan mencegah terjadinya komplikasi (Karot et al.,

2020). Screening yang dilakukan pada kelompok yang berisiko tinggi pada

dewasa tanpa keluhan DM untuk menegakkan prediabetes sebagai berikut

(ADA, 2019):

Kelompok dengan IMT ≥ 23kg/m2 dan disertai dengan satu atau lebih

dari faktor dibawah ini:

a. Faktor keturunan DM

Riwayat DM pada keluarga dilihat dari saudara sedarah

seseorang yang didiagnosis mengidap DM baik yang hidup

maupun sudah meninggal, seperti ayah,ibu, saudara laki-laki,

saudara perempuan, dan anak. Seseorang yang memiliki riwayat

DM di keluarga memiliki 3 – 4 kali lebih berisiko menderita

prediabetes dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki

riwayat pada keluarganya dan resiko ini akan meningkat seorong

dengan jumlah banyaknya saudara kandung yang mengidap DM


b. Bagian dari ras/etnis tertentu

Beberapa ras tertentu seperti suku Indian di Amerika, Hispanik

dan orang Amerika di Afrika mempunyai risiko lebih besar terkena

prediabetes dikarenakan orang dari ras tersebut yang dulunya

adalah seorang pemburu dan petani yang banyak melakukan

aktivitas fisik, namun seiring waktu sumber makanan lebih banyak

dan gerak badannya mulai berkurang sehungga banyak mengalami

obesitas sampai menderita diabetes mellitus

c. Riwayat penyakit kardiovaskuler

Penyakit kardiovaskuler disebut sebagai penyakit yang

menempati urutan pertama penyebab kematian pada pengidab

diabetes. Hubungan serangan jantung dan penyakit diabetes

berawal dari tingginya kadar gula darah pengidapnya. Kadar gula

yang tinggi dan dibiarkan tidak terkontrol bisa meningkatkan

risiko penyakit jantung menyerang.

d. Hipertensi

Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit kronik yang

ditandai dengan adanya hiperglikemi sebagai akibat dari

berkurangnya suatu produksi insulin maupun adanya gangguan

aktivitas dari insulin ataupun keduanya dan apabila tidak dapat


dikelola dengan baik akan mengakibatkan komplikasi yang salah

satunya adalah hipertensi.

e. Trigliserida >250 mg/dL dan atau HDL <35 mg/Dl

Prediabetes merupakan faktor terjadinya arterosklerosis dimana

kadar glukosa yang tinggi akan merangsang pembentukan

glikogen. Sintesis asam lemak dan kolesterol dari glukosa dalam

kadar yang tinggi dan kerja insulin tidak bekerja dengan maksimal

aatau glukosa tidak dapat diserap oleh tubuh maka akan dapat

mempercepat pembentukan trigliserida dalam hati sehingga

trigliserida berkumpul dan menumpuk dalam darah dan pembuluh

darah.

f. Memiliki sindrom polikistik ovarium pada wanita (PCOS)

Sindrom polikistik ovarium adalah gangguan hormonal pada

wanita yang menyebabkan sel telur diproduksi tidak normal, sel

telur yang diproduksi kecil dan tidak dapat matang atau yang

sering disebut “kista”. Wanita dengan PCOS 4 kali lebih rentan

mengembangkan diabetes disebabkan wanita dengan PCOS rentan

mengalami resistensi insulin sehingga tubuh akan mencoba untuk

memproduksi lebih banyak insulin dan dalam keadaaan kadar

insulin yang tinggi menyebabkan ovarium memproduksi terlalu

banyak testosteron yang mengganggu proses ovulasi dan resistensi


insulin juga dapat memicu kenaikan berat badan yang membuat

gejala PCOS makin memburuk dikarenakan lemak tubuh yang

berlebih dan memproduksi lebih banyak insulin.

g. Kurang aktivitas fisik

Aktivitas fisik ialah keseluruhan gerakan tubuh yang

dihasilkan oleh otot-otot rangka yang memerlukan energi.

Kurangnya aktivitas fisik merupakan salah satu dari faktor risiko

independen untuk penyakit kronis yang diperkirakan menyebabkan

kematian secara dunia dan kurangnya aktivitas cenderung akan

menyebabkan resistensi akan insulin dan prediabetes

h. Keadaan klinis lain seperti obesitas berat

1) Pasien dengan prediabetes dengan nilai GDPT atau TGT

;HbA1c≥5,7% harus melakukan pemeriksaa pada setiap tahun.

2) Wanita dengan diagnosis DMG rutin melakukan pemeriksaan

selama 3 tahun sekali seumur hidup

3) Jika hasil dalam keadaan normal, pemeriksaan dapat diulang

minimal setahun sekali dengan memperhatukan kemungkinan

pemeriksaan yang lebih sering tergantung status resiko dan

juga hasil dari pemeriksaan awal


6. Patofisiologi Prediabetes

Patofisiologi dari prediabetes adalah impaired fasting glucose (IFG)

dan impaired glucose tolerance (IGT) diamana terganggunya sekresi insulin

yang di stimulasi oleh kadar glukosa. Dengan muncul resitensi insulin

kemudian adanya peningkatan sekresi insulin yang merupakan suatu proses

untuk mengkompensasi resistensi insulin dan keadaan kadar gula darah dalam

rentang normal. Akan tetapi dalam lama-kelamaan sel –sel tersebut tidak

mampu lagi dalam mengkompensasi keadaan tersebut dan terjadilah

peningkatan kadar gula darah dan menurunnya fungsi sekresi sel (Eikenberg

& Davy, 2013;Kacker et al., 2018)

Dalam kondisi dimana terjadinya peningkatan kadar gula darah dan

penurunan fungsi sel maka diagnosis DM sudah dapat ditegakkan. Mulanya

tubuh sudah mampu untuk mengkompensasi pada fase prediabetes, tidak ada

tanda dan gejala yang khusus yang dialami penderita prediabetes akan tetapi

jika sudah berlanjut ke tahap diabetes mellitus makan akan timbul keluhan

seperti polifagia, polydipsia dan polyuria dan adanya penurunan BB sebagai

dampak tingginya kadar gula darah (ADA , 2012;Kacker et al., 2018)

B. Faktor Risiko Prediabetes

Menurut Putri dan Rustam (2021) beberapa faktor risiko yang dapat

menyebabkan prediabetes dibagi menjadi dua yaitu, modified factor dan unmodified

factor. Seperti pola makan, pola istirahat, pola aktivitas dan manajemen stress. serta
unmodified factor seperti usia, jenis kelamin, riwayat DM dalam keluarga. Menurut

Lorga, dkk (2012) faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian prediabetes terdiri

menjadi 2 faktor yaitu faktor yang dapat diubah dan yang tidak dapat diubah, dimana

faktor yang dapat diubah seperti indeks masa tubuh (IMT), lingkar pinggang,

hipertensi, perilaku merokok, konsumsi alkohol, aktivitas fisik serta pola diet.

Sementara itu menurut Putri dan Rustam (2021) unmodified factor terdiri dari usia,

jenis kelamin dan riwayat DM dalam keluarga. Berikut merupakan penjelasan dari

masing – masing faktor penyebab prediabetes.

1. Unmodified factor

a. Usia

Menurut American Diabetes Association (2012) usia

merupakan salah satu faktor risiko yang sangat berperan aktif dalam

kejadian prediabetes. Angka kejadia prediabetes dapat mengalami

kenaikan seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Dalam 10

tahun belakangan di dapati kejadian diabetes mellitus pada usia yang

smekain muda terutama di beberapa negara yang telah terjadinya

berbagai ketidak seimbangan antara pengeluaran dan asupan energy

yang di peroleh (Persedia & Perkeni, 2019)

Penelitian ADA (2018) menjelaskan bahwa risiko menderita

prediabetes meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Seseorang

yang berusia lebih dari 45 tahun memiliki risiko menderita prediabetes

sebanyak 9,3 kali dibandingkan dengan orang yang berusia kurang


dari 45 tahun (Wicaksono, 2015). Berdasarkan penelitian Pongoh,dkk

(2020) mengatakan bahwa hal tersebut dapat disebabkan pertambahan

usia akan mengalami yang namanya perubahan akan fisiologis seperti

fungsi hati, fungsi pancreas dalam memproduksi inslin,

adenohipofisis, dan adrenal yang mana dapat menganggu pengaturan

kadar gula dalam darah. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan

oleh Amalia,dkk ( 2021) menunjukkan hasil bahwa dari 56 responden

yang kebanyakan dalam rentang usia 36-45 tahun sebanyak 23

responden (41,1%) dan responden ,dan paling banyak responden yang

berusia26-30 tahun ( 60 %). Hal ini dikarenakan semakin

bertambahnya usia, maka terjadi penurunan fungsi organ tubuh,

termasuk organ pancreas sehingga menyebabkan terjadinya

peningkatan kadar gula darah.

b. Riwaya keluarga DM

Keturunan DM atau riwayat keluarga penderita DM merupakan

salah satu faktor risiko seseorang akan menderita prediabetes. Faktor

genetik yang menyebabkan DM berdampak pada resistensi insulin,

resistensi insulin merupakan keadaan berkurangnya kemampuan

insulin dalam menurunkan kadar glukosa dalam darah. Riwayat DM

pada keluarga dilihat dari saudara sedarah seseorang yang didiagnosis

mengidap DM baik yang hidup maupun sudah meninggal, seperti

ayah,ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan, dan anak. Seseorang


yang memiliki riwayat DM di keluarga memiliki 3 – 4 kali lebih

berisiko menderita prediabetes dibandingkan dengan orang yang tidak

memiliki riwayat pada keluarganya dan resiko ini akan meningkat

seorong dengan jumlah banyaknya saudara kandung yang mengidap

DM (Zhang, dkk 2015a)

DM dapar menurun menurut silsilah keluarga karena DNA

diinformasikan pada gen berikutnya terkait dengan penurunan

produksi insulin. Sebanyak 19 gen telah divalidasi berhubungan

dengan DM tipe 2. Dari 19 varian tersebut, varan gen yang terkuat

adalah TCF7L2, sebesar 15% orang dewasa Eropa membawa dua

salinan gen yang tidak normal sehingga berisiko dua kali menderita

DM tipe 2 sepanjang hidupnya dibandingkan dengan 40% orang yang

bukan sebagai pembawa salinan gen. Hampir semua gen yang tidak

normal tersebut mempengaruhi massa dan sebagian tampak berpotensi

menimbulkan resistensi insulin yang kemudian akan menyebabkan

terjadinya DM (Bilous dan Donelly, 2015). Individu yang memilki

riwayat keluarga DM akan mengalami peningktan resiko untuk

trjadinya DM tipe 2 selain itu, faktor- faktor risiko lain juga sangat

mempengaruhi untuk terjadinya peningkatan risiko DM tipe 2, seperti

kelebihan berat badan, stress dan kurang bergerak (sustrani,2015).


Berdasarkan hasil penelitian cross- sectional yang dilakukan

oleh Zhang ,dkk (2015b) mengatakan proporsi prediabetes pada orang

yang memiliki keturunan dari keluarga DM yaitu sebesar 38,4%. dan

hasil uji bivariatnya nya menghasilkan ada hubungan signifikan antara

riwayat DM pada keluarga sebagai faktor prediabetes dan juga

keturunan DM memiliki resiko mengalami prediabets senilai 4,6 kali

dibandingkan orang yang tidak memiliki keturnan DM dengan

(95%CI, 1,81-11,71).

c. Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah salah satu faktor yang mempengaruhi

resistensi insulin. Perempuan memiliki risiko lebih besar terjadinya

mengalami diabetes mellitus dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini

disebabkan karena perempuan memiliki peluang indeks masa tubuh

lebih besar atau obesitas dibandingkan dengan laki –laki dan juga

dikarenakan akibat proses hormon, sindrom siklus bulanan, pasca

menopause yang mengakibatkan terjadinya distribusi lemak tubuh

mudah terakumulasi hingga terjadi resistensi insulin (Harreiter &

Kautzky-Willer, 2018). Dalam penelitian Amalia,dkk (2021)

mengatakan bahwa dari 56 orang responden yang kebanyakan berjenis

kelamin perempuan yaitu sebanyak 29 responden (51,8%) yang

menunjukkan bahwa perempuan paling banyak menderita diabetes

sebanyak (58%).
Sementara itu penelitian cross-sectional oleh Lorga,dkk (2012)

menyatakan jenis kelamin perempuan mempunyai risiko 2 sampai 3

kali mengalami risiko prediabetes dibandingkan jenis kelamin laki-laki

dengan (95$ CI, 1,49 -4,44). Menurut Alonso-Magdalena ,dkk( 2008)

menyatakan adanya reseptor hormone estrogen atau hormone saat

wanita mengalami siklus menstruasi, ERα dan ERβ pada sel β

pancreas, yang mana meningkatkan insulin. Ini disebabkan insulin

dipengaruhi oleh hormone estrogen dan juga progesterone yang

bersifat antagonis terhadap kadar gula darah. Hal ini disebabkan

karena reseptor dari hormon estrogen pada sel β pancreas yang

menyebabkan pelepasan insulin dimana insulin ini ialah hormon utama

dalam homoestasis glukosa dalam darah sehingga dapat disimpulkan

berisiko mengalami resistensi insulin yang mengakibakan terjadinya

kenaikan kadar glukosa darah saat awal siklus menstruasi.

2. Modified factor

a. Indeks Massa Tubuh

Indeks massa tubuh (IMT) ialah indikator kondisi dimana

tubuh apakah tergolong ideal, underweight atau overweight dengan

perhitungan (BB/TB dalam bentuk kg/m2) dimana indeks massa tubuh

bisa memperkirakan massa tubuh yang termasuk juga didalamnya

seperti lemak dan dengan diketahui IMT seseorang kita bisa

memperkirakan risiko akan kesehatannya (Ii et al., 2018). Indeks masa

tubuh (IMT) lebih dari 24 dianggap kelebihan berat badan dan lebih
dari 30 adalah obesitas (J et al., 2021). IMT dikategorikan menjadi 5,

yaitu underweight <18,5, normal 18,6- 22,9, overweight 23-24,9,

obesitas I 25- 29,9 dan obesitas II ≥ 30 (WHO).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Lorga, dkk (2012)

memperlihatkan data sebesar 24,5% responden dengan IMT lebih dari

normal yang mengalami prediabates dan berdasarkan uji bivariat yang

menghasilkan terdapat hubungan yang signifikan antara IMT ≥ 25

kg/m2 ) sebagai faktor penyebab kejadian prediabetes. Sementara itu

menurut Amalia, dkk (2021) dalam penelitiannya mengatakan dalam

pengukuran IMT paling banyak responden dengan kategori overweight

dan normal dengan masing- masing sebanyak 22 responden (39.3%).

Hasil penelitian menyatakan bahwa ada hubungan antara obesitas atau

kategori overweight dengan prediabetes. Ketika seseorang mengalami

obesitas atau kelebihan berat badan adanya penyimpanan lemak yang

berlebihan hingga menutup sensitifitas insulin terhadap glukosa yang

mana akan menyebabkan terjadi hiperglikemi (Astuti, 2019).

Menurut Ganz et al. (2014) seseorang yang memilki berat

badan berlebih memiliki berat badan berlebih memilki risiko

menderita DM 1,5 kali, obesitas derajat I memilki risiko 2,5 kali,

obesitas derajat II memilki risiko 3,6 kali, dan obesitas derajat III

memilki risiko sebanyak 5,1 kali dibandingkan orang yang memilki

IMT normal. Keadaan berat badan berlebih atau obesitas membuat


tubuh mengalami peningkatan asam lemak, penumpulakn lemak di

intra sel serta pembentukan setokin yang menyebabkan kerusakan

fungsi insulin.

Obesitas atau berat badan berlebih merupakan penyebab dari

resistensi insulin tersering yang berhubungan dengan penurunan

reseptor dan gagalnya reseptor setelahnya insulin yang terkatif ketika

insulin berikatan dengan sub unit a. Pengaktivasian ini akan

mengakibatkan aktif nya autofosforilase dan aksi termediasi insulin

untuk mengontrol kadar gula darah. Hiperinsulinemia ini timbul

karena kegagalan dalam menghantarkan sinyak untuk meregulasi

kadar gula darah, gangguan glukosa darah puasa, impaired glucose

tolerance (IGT), dan diabetes (Syafitri et al., 2019).

b. Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik ialah keseluruhan gerakan tubuh yang

dihasilkan oleh otot-otot rangka yang memerlukan energi. Kurangnya

aktivitas fisik merupakan salah satu dari faktor risiko independen

untuk penyakit kronis yang diperkirakan menyebabkan kematian

secara dunia dan kurangnya aktivitas cenderung akan menyebabkan

resistensi akan insulin dan prediabetes (Sipayung et al., 2017).

Aktivitas fisik/olahraga berperan utama dalam pengaturan

kadar glukosa darah serta untuk menurunkan berat badan dan lemak

tubuh. Olahraga yang dapat dilakukan yaitu seperti senam diabetes,


jalan biasa, jogging, berenang dan bersepeda. Jenis senam yang

dilakukan adalah senam aerobik low impact dan rithmic, aktivitas fisik

yang dimaksud disini adalah aktivitas fisik yang dilakukan setiap hari

minimal dengan waktu 30 menit (Utama,2011).

Kadar glukosa dalam darah salah satunya dipengaruhi oleh

fungsi adrenal. Saat seseraorang melakukan aktivitas fisik sama

artinya melatih kontraksi otot. Kontraksi otot dapat menyebabkan

glukosa lebih banyak masuk ke dalam sel, tanpa bantuan insulin. dan

pada pasien diabetes mellitus sangat dianjurkan untu melakukan

olahraga secara teratur tidak begitu banyak memperlukan insulin

(Karmilah, 2018). Resistensi insulin merupakan kondisi berkurangnya

kondisi sensitif pada insulin yang mana dalam menurunkan kadar

glukosa darah dengan menstimulasi glukosa yang dipakai di jaringan

oto dan lemak dan glukosa produksinya di tekan oleh hati. Resistensi

insulin yang berikatan dengan kurangnya aktivitas fisik dan memicu

terjadinya penyakit DM (Utara, 2016).

Melakukan aktivitas fisik maupun latihan fisik juga sangat

dianjurkan di dalam penatalaksanaan prediabetes. Aktivitas fisik

yang mencakup akan keseluruhan semua aktivitas yang melibatkan

anggota badan, sedangkan latihan fisik lebih kepada yang

terstruktur dan direncanakan. Kegiatan ini sangat penting untuk

menggapai serta mempertahankan penurunan berat badan selain itu

juga menurunkan tekanan darah, memperbaiki akan resistensi


insulin dan dyslipidemia. dan dengan meningkatkan aktivitas fisik

juga akan dapat meningkatkan kerja dari metabolisme jaringan di

otot dan peningkatan kesehatan sistem peredaran darah secara

umum dan meningkatnya aktivitas fisik sangat berpengaruh pada

penurunan kadar glukosa darah setelah 2 jam makan dan juga

sangat berperan aktif dalam mengendalikan glukosa darah

terutama setetlah pembebanan glukosa (Persedia & Perkeni, 2019)

C. Konsumsi Sayur atau Buah

Seseorang yang pola dietnya tidak beragam yaitu sebesar

14,5% Menurut Boeing, dkk (2012) pola diet buah dan sayur bisa

menurunkan risiko diabetes mellitus yang dikarenakan kelompok

pangan tersebut memiliki serat yang tinggi hingga menurunkan

risiko berat badan berlebih yang mana obesitas termasuk faktor

risiko untuk mengalami prediabetes.

Bagi tubuh serat berfungsi dalam penyerapan zat makanan

yang masuk kedalam tubuh, semkain tinggi serat makanan yang

dikonsumsi maka proses penyerapan dan pengosongan lambung juga

akan semakin lama, dengan demikian rasa kenyang yang dirasa akan

semakin lama. Tetapi jika seseorang kurang mengkonsumsi makanan

yang berserat maka proses penyerapan makanan menjadi cepat dan

lambung akan cepat memberikan sinyak untuk makan sehingga terlalu

banyak gula dan lemak yang diserap oleh tubuh, kemudian akan
terjadi peningkatan kadar glukosa darah dalam tubuh yang selanjutnya

akan menyebabkan DM. untuk penderita DM sebaiknya memilih buah

yang tdak manis seperti apel, pisang, jambu atau papaya (Tandra,

2017).

Kemenkes (2014) menjelaskan bahwa ukuran satu porsi sayur

setara dengan satu piring kecil berdiametes 10 cm, 1 sendok panic, 2

sendok sayur , 4 sendok bebek atau setara dengan 5 sendok makan.

Sedangkan untuk ukuran satu porsi buah setara dengan mengkonsumsi

setengah mangkuk buah yang diiris, satu gelas jus atau satu buah

jeruk,apel, jambu biji atau pisang. Untuk porsi konsumsi sayur atau

buah setiap anggota rumah tetangga mengkonsumsi minimal 5 porsi

serat setiap hari yang terdiri dari minimal 3 porsi buah dan 2 porsi

sayuran atau sebaliknya.

D. Lingkar Pinggang

Lingkar pinggang sering dikaitkan dengan penumpukan lemak

sentral dan memicu terjadinya penurunan fungsi insulin. Lemak

perut yang berlebihan akan memicu masalah kesehatan yang

serius, seperti serangan jantung, stroke dan diabetes. Untuk

mengecilkan ukuran lingkar pinggang ada beberapa cara yang

dapat dilakukan, yaitu seperti mengurangi konsumsi makanan yang


mengandung tinggi gula, mengkonsumsi lebih banyak sayur dan

buah, pola makan yang sehat dan melakukan aktivitas fisik seperti

berjalan, berlari, berenang, senam aerobic yang terbukti efektif

untuk mengurangi jumlah lemak pada perut dan menurunkan berat

badan. Ukuran lingkar pinggang digunakan untuk menentukan

obesitas sentral dan kriteria untuk Asia Pasifik yaitu ≥ 90 cm untuk

pria dan ≥ 80 cm untuk wanita. (Tandra, 2017).

E. Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor risiko vascular yang utama pada

diabetes usia lanjut yang mana tekanan darah yang tinggi dapat

menyebabkan pendistribusian gula pada sel tidak berjalan optimal

sehingga akan terjadi akumulasi gula dan kolestrol dalam darah.

Sebaliknya jika kondisi tekanan darah berada pada rentang normal

karena insulin bersifat sebagai zat pengendalian dari system renin

dan angiotensin. Kadar insulin yang cukup menyebabkan terjaga,

tekanan darah diatas 120/90 mm Hg memiliki risiko diabetes dua

kali lipat dibandingkan dengan orang yang tekanan darahnya

normal (Brunner dan Suddarth, 2013).

Untuk mencegah terjadinya peningkatan hipertensi pada aparat

sebaiknya untuk meningkatkan derajat kesehatan seperti

mengurangi konsumsi garam, menghindari kebiasaan merokok,

mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan, mengkonsumsi


makanan rendah lemak, mengontrol berat badan, istirahat yang

cukup dan berolahraga (Bustan, 2015)

F. Prediabetes pada Anggota Kepolisian

POLRI adalah suatu pranata umum sipil yang menjaga ketertiban, keamanan,

dan penegak hukum di Indonesia. Polisi memiliki beban kerja dan tanggung jawab

yang sangat besar dan karena itu pentingnya petugas kepolisian untuk selalu menjaga

kesehatannya agar bisa menjalankan tugas secara baik dan professional. Namun polisi

juga merupakan populasi yang rentan menderita prediabetes. Pada Global Journal of

Medicine and Public Health memperlihatkan polisi dapat memiliki faktor risiko

prediabetes, dilihat dari populasi yang diteliti terdapat polisi dengan indeks masa

tubuh overweight ( 35%) dan obesitas (7%). Sebanyak 64 % populasi polisi yang

diteliti tidak melakukan kegiatan aktivtas fisik ( olah raga) diwaktu luang mereka

(Jahnavi et all ., 2018). Selain itu polisi juga memiliki pekerjaan yang cukup

melelahkan dan memiliki shift kerja termasuk malam hari, , menurut mantan perwira

dan penulis terkenal yaitu Dr. Gilmartin mengatakan bahwa polisi mengalami

peningkatan respons stress simpatis yang menyebabkan diabetes (Kumar et al., 2008).

Berdasarkan data dari Riskesdas yang diambil dari pengukuran gula darah puasa

didapatkan bahwa 28,7% polisi mengalami prediabetes (Kemenkes RI, 2018)


G. Kerangka Teori

Unmodiefied Modiefied factor


factor

1. Indeks Masa Tubuh


2. Lingkar Pinggang
1. Jenis kelamin
3. Aktivitas fisik
2. Usia
4. Makan buah atau
3. Faktor
sayur
genetik
5. Hipertensi

Sensitivitas insulin
terganggu

Gula darah puasa terganggu


& toleransi glukosa
terganggu

Prediabetes

Jika ditangani dengan Jika tidak ditangani


baik dengan baik

Gula darah normal Resistensi insulin

DM
Gambar 2.1. Kerangka Teori
Sumber: Zhang, dkk (2015); Riskesdas (2018); Tabák, dkk ( 2012); Eikenberg dan Davy ( 2013)

You might also like