You are on page 1of 26

REFERAT

DERMATITIS KONTAK IRITAN DAN ALERGI

Oleh :
Lutfi Karimah (11.2018.042)
Pembimbing :
Dr. Hendrik Kunta Adjie, SpKK

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
RUMAH SAKIT HUSADA
PERIODE 03 AGUSTUS – 05 SEPTEMBER
PENDAHULUAN

“Eksema‟ atau “dermatitis‟ adalah peradangan pada kulit (epidermis dan dermis) yang
pada fase akut ditandai secara objektif adanya efloresensi polimorfi (misalnya eritem, vesikel
dan erosi) dan keluhan subjektif gatal, sedangkan pada fase kronis efloresensi yang dominan
adalah skuama, fisura, kulit kering dan likenifikasi.
Dermatitis kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau kronis dari
suatu zat yang bersentuhan dengan kulit. Ada dua jenis dermatitis kontak. Pertama, dermatitis
kontak iritan (DKI) disebabkan oleh iritasi kimia, dermatitis kontak alergi (DKA) disebabkan
oleh antigen (alergen) dimana memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau
tipe lambat). Karena DKI bersifat toksik, maka reaksi inflamasi hanya terbatas pada daerah
paparan, batasnya tegas dan tidak pernah menyebar. Sedangkan DKA adalah reaksi imun yang
cenderung melibatkan kulit di sekitarnya (spreading phenomenon) dan bahkan dapat menyebar
di luar area yang terkena. Pada DKA dapat terjadi penyebaran yang menyeluruh.
Dalam praktek klinis, kedua respon ini (antara iritan dan alergi) mungkin sulit untuk
membedakan. Banyak bahan kimia dapat bertindak baik sebagai iritan maupun alergen. DKA
adalah salah satu masalah dermatologi yang cukup sering, menjengkelkan dan menghabiskan
biaya. Perlu dicatat bahwa 80% dari dermatitis kontak akibat kerja (Occupational Contact
Dermatitis) adalah iritan dan 20% alergi.
TINJAUAN PUSTAKA

I. Dermatitis Kontak Iritan

DKI merupakan reaksi peradangan lokal non imunologik pada kulit yang disebabkan oleh
kontak dengan faktor eksogen maupun endogen, jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa
didahului proses sensitisasi.

Epidemiologi
Data National Health Interview Survei selama 12 Bulan menunjukkan prevalensi
dermatitis kontak akibat kerja sebanyak 1.700 per 100.000 pekerja.
Menurut studi lain, kejadian tertinggi dermatitis kontak pada bidang industri adalah pada bagian
sumber daya alam dan pertambangan, manufaktur, dan bagian pelayanan kesehatan dimana 70-
80% dari kasus dermatitis kontak adalah DKI.
DKI dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras, dan jenis
kelamin. Jumlah penderita dermatitis ini diperkirakan cukup banyak, terutama yang berhubungan
dengan pekerjaan, akan tetapi data epidemiologi penderita DKI sulit didapat. Hal ini disebabkan
oleh banyak penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat, atau bahkan tidak mengeluh.
Dari data yang didapatkan dari U.S. Bureau of Labour Statistic menunjukkan bahwa
249.000 kasus penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan yang tidak fatal pada tahun 2004
untuk kedua jenis kelamin sebesar 15,6% (38.900 kasus) adalah penyakit kulit yang merupakan
penyebab terbesar kedua untuk semua penyakit akibat kerja (okupasional). Juga berdasarkan
survei tahunan dari institusi yang sama, bahwa angka kejadian untuk penyakit akibat kerja pada
populasi pekerja di Amerika, menunjukkan 90- 95% dari penyakit okupasional adalah dermatitis
kontak, dan 80% dari penyakit didalamnya adalah DKI.

Etiologi
Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut,
deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain
ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut, dan vehikulum, juga
dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu lama kontak, kekerapan (terus-menerus
atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan
trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga ikut berperan.
Dermatitis kontak iritan adalah penyakit multifaktor dimana faktor eksogen (iritan dan
lingkungan) dan faktor endogen sangat berperan.
1. Faktor Endogen, antara lain :
 Faktor genetik
Terdapat sebuah hipotesa yang mengungkapkan bahwa individu memiliki kemampuan
mengeluarkan radikal bebas, untuk mengubah level enzim antioksidan, dan kemampuan
untuk membentuk perlindungan heat shock protein yang kesemuanya dibawah kontrol
genetik. Faktor tersebut juga menentukan keberagaman respon tubuh terhadap bahan-
bahan iritan. Selain itu, predisposisi genetik terhadap kerentanan bahan iritan berbeda
untuk setiap bahan iritan. Diduga bahwa faktor genetik mungkin mempengaruhi
kerentanan terhadap bahan iritan. TNF-α polimorfis telah dinyatakan sebagai marker
untuk kerentanan terhadap dermatitis kontak iritan.
 Jenis Kelamin
Gambaran klinik DKI paling banyak pada tangan, dan wanita dilaporkan paling banyak
dari semua pasien. Dari hubungan antara jenis kelamin dengan dengan kerentanan kulit,
wanita lebih banyak terpajan oleh bahan iritan, kerja basah dan lebih suka perawatan
daripada laki-laki. Tidak ada perbedaan jenis kelamin untuk DKI yang ditetapkan
berdasarkan penelitian.
 Umur
Anak dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi. Ada penelitian lain yang
menyatakan iritasi kulit yang kelihatan (eritema) menurun pada orang tua sementara
iritasi kulit yang tidak kelihatan (kerusakan pertahanan) meningkat pada orang muda
 Suku
Karena eritema sulit diamati pada kulit gelap, penelitian terbaru menggunakan eritema
sebagai satu-satunya parameter untuk mengukur iritasi yang mungkin sudah sampai pada
kesalahan interpretasi bahwa kulit hitam lebih resisten terhadap bahan iritan daripada
kulit putih.
 Lokasi Kulit
Ada perbedaan sisi kulit yang signifikan dalam hal fungsi pertahanan, sehingga kulit
wajah, leher, skrotum, dan bagian dorsal tangan lebih rentan terhadap DKI jika
dibandingkan telapak tangan dan kaki yang lebih resisten
 Riwayat Atopik
Adanya riwayat atopik diketahui sebagai faktor predisposisi pada dermatitis iritan pada
tangan. Riwayat dermatitis atopi kelihatannya berhubungan dengan peningkatan
kerentanan terhadap dermatitis iritan karena rendahnya ambang iritasi kulit, lemahnya
fungsi pertahanan, dan lambatnya proses penyembuhan. Pada pasien dengan dermatitis
atopi misalnya, menunjukkan peningkatan reaktivitas ketika terpajan oleh bahan iritan.
2. Faktor Eksogen
Faktor-faktor yang dimaksudkan yaitu:
a. Sifat kimia bahan iritan: pH, kondisi fisik, konsentrasi, ukuran molekul, jumlah,
polarisasi, ionisasi, bahan dasar, kelarutan;
b. Sifat dari pajanan: jumlah, konsentrasi, lamanya pajanan dan jenis kontak, pajanan
serentak dengan bahan iritan lain dan jaraknya setelah pajanan sebelumnya;
c. Faktor lingkungan: lokalisasi tubuh yang terpajan dan suhu, dan faktor mekanik
seperti tekanan, gesekan atau goresan. Kelembaban lingkungan yang rendah dan suhu
dingin menurunkan kadar air pada stratum korneum yang menyebabkan kulit lebih
rentan pada bahan iritan.

Patogenesis
Mekanisme seluler DKI masih belum diketahui. Kelainan kulit timbul akibat kerusakan
sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak
lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak pada lapisan tanduk, dan mengubah
daya ikat air kulit.
Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membran lemak (lipid membrane) keratinosit,
tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria, atau
komponen inti. Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat,
diasilgliserida, platelet activating factor (PAF), dan inositida. Asam arakidonat diubah menjadi
prostaglandin dan leukotrien. Prostaglandin dan leukotrien menginduksi vasodilatasi, dan
meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin.
Prostaglandin dan leukotrien juga bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan
neutrofil, serta mengaktifasi sel mas melepaskan histamin, leukotrien dan prostaglandin lain, dan
PAF, sehingga memperkuat perubahan vascular.
Diasilgliserida dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein,
misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage colony stimulant factor (GMCSF).
IL-1 mengaktifkan sel T-helper mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2, yang
menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.
Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adhesi intrasel-1 (ICAM-1). Pada
kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNFα, suatu sitokin proinflamasi yang dapat
mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adhesi sel dan
pelepasan sitokin.
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya
kontak di kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan iritan lemah akan
menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum
korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya,
sehingga mempermudah kerusakan sel di bawahnya oleh iritan.

Maninfestasi klinis

DKI dibagi berdasarkan sifat iritan. Selain itu juga banyak hal yang mempengaruhi sebagaimana
yang disebutkan sebelumnya. Berdasarkan penyebab tersebut dan pengaruh faktor tersebut, DKI
dibagi menjadi beberapa macam, yaitu :
1. DKI Akut
DKI akut biasanya diakibatkan kecelakan kerja, terjadi ketika kulit terkena iritasi kuat.
Reaksi iritasi mencapai puncaknya dengan cepat, biasanya dalam beberapa menit sampai
beberapa jam setelah paparan, dan kemudian mulai untuk menyembuhkan. Ini disebut
fenomena decrescendo.
Gambar 1. caustic 'luka bakar' dari semen basah

Luka bakar oleh bahan kimia juga termasuk DKI akut. Penyebab DKI akut adalah
iritan kuat misalnya larutan asam sulfat dan asam hidroklorid atau basa kuat, misalnya
natrium dan kalium hidroksida. Intensitas reaksi sebanding dengan konsentrasi dan
lamanya kontak dengan iritan yang terbatas pada tempat kontak. Gejala DKI akut berupa
kulit yang terasa terbakar, pedih, panas, kelainan yang terlihat berupa eritema edema,
bula, mungkin juga nekrosis. Pinggir kelainan kulit berbatas tegas dan pada umumnya
asimetris.
Gambar 2. DKI akut akibat perendaman dalam pemutih
2. DKI Lambat
Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKI akut, tetapi baru muncul 8 sampai
24 jam atau lebih setelah kontak sehingga menyerupai DKA, namun gejala yang lebih
sering dikeluhkan adalah rasa terbakar dibandingkan pruritus. Bentuk DKI umumnya
terlihat selama uji diagnostik patch.1,3 Bahan iritan yang dapat menyebabkan DKI akut
lambat, misalnya podofilin, antralin (dithranol), tretinoin, etilen oksida, benzalkonium
klorida, asam hidrofluorat. Contohnya adalah dermatitis yang disebabkan oleh bulu
serangga yang terbang pada malam hari (dermatitis venenata); penderita baru merasa
pedih esok harinya, pada awalnya terlihat eritema dan sore harinya sudah menjadi vesikel
atau bahkan nekrosis.
3. DKI Kumulatif
Jenis dermatitis kontak ini paling sering terjadi; nama lainnya ialah DKI kronis.
Penyebabnya ialah kontak berulang-ulang dengan iritan lemah (faktor fisik misalnya
gesekan, trauma mikro, kelembaban rendah, panas atau dingin, juga bahan misalnya
deterjen, sabun, pelarut, tanah bahkan juga air).
. Gambar 3. DKI bilateral pada kaki dan pergelangan kaki karena alas kaki yang bersifat oklusif
kronis

DKI kumulatif mungkin terjadi akibat gabungan berbagai faktor. Bisa jadi suatu bahan
secara sendiri tidak cukup kuat untuk menyebabkan dermatitis iritan, tetapi baru dapat terjadi
iritan bila bergabung dengan faktor lain. Kelainan baru terlihat setelah kontak berminggu-
minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian, sehingga waktu dan rentetan kontak
merupakan faktor penting

Gambar 4. Pola iritasi di sela jari berupa ekzema

Berbeda dengan DKI akut, batas lesi pada DKI kronis kurang jelas. Gejala DKI kronis
berupa pruritus dan nyeri akibat retakan kulit yang hiperkeratotik. Tanda-tanda mungkin terlihat
yaitu xerosis, eritema dan vesikel, tetapi likenifikasi dan hiperkeratosis lebih mendominasi.
Bila kontak terus berlangsung, pada akhirnya kulit akan menjadi retak seperti luka iris
(fisura), misalnya pada kulit tumit tukang cuci yang mengalami kontak terus menerus dengan
deterjen. Keluhan penderita umumnya merasa gatal atau nyeri karena kulit retak (fisura). Ada
kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama tanpa eritemi, sehingga diabaikan oleh
penderita. Setelah dirasakan mengganggu, baru mulai diperhatikan.
DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih banyak
ditemukan di tangan dibandingkan dengan bagian lain tubuh.
Contoh pekerjaan yang beresiko tinggi untuk DKI kumulatif yaitu; tukang cuci, kuli
bangunan, montir di bengkel, juru masak, tukang kebun, penata rambut.
4. Reaksi Iritan

Gambar 5. ekzema berbentuk 'diskoid' yang mempengaruhi punggung tangan penata


rambut. Faktor iritan, konstitusional dan alergi sering terjadi bersamaan

Reaksi iritan merupakan dermatitis iritan subklinis pada seseorang yang terpapar
lingkungan pekerjaan yang basah, misalnya penata rambut , katering, dan pekerja logam
dalam beberapa bulan pertama pelatihan. Kelainan kulit monomorf dapat berupa skuama,
eritema, vesikel, pustule, dan erosi. Umumnya dapat sembuh sendiri menimbulkan
penebalan kulit (skin hardening), kadang dapat berlanjut menajdi DKI kumulatif.

Gambar 6. Palmaris kering atau dermatitis disepanjang jari. Sering dikaitkan dengan
pekerjaan basah
5. DKI Traumatik
DKI traumatik dapat berkembang setelah trauma kulit akut, seperti panas atau
laserasi, luka atau DKI akut. Pasien harus ditanya apakah mereka telah membersihkan
kulit dengan sabun atau deterjen yang kuat. Hal ini ditandai dengan lesi ekzema, paling
sering terjadi di tangan. Gejala seperti dermatitis numularis, penyembuhan lambat,
berlangsung selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan, paling cepat 6 minggu
dengan kemerahan, infiltrasi, skala dan fisura di daerah yang terpapar.
6. DKI Noneritematosa
DKI noneritematosa merupakan bentuk subklinis DKI, dengan tahap awal iritasi
kulit ditandai perubahan dalam fungsi sawar stratum korneum tanpa disertai kelainan
klinis.
7. DKI Subyektif (DKI sensorik)
Kelainan tidak terlihat, namun penderita merasa seperti tersengat (pedih) atau
terbakar (panas) yang terjadi dalam beberapa menit setelah kontak dengan bahan kimia
tertentu, misalnya asam laktat atau sorbat, kosmetik atau tabir surya.
8. DKI Gesekan (Friksi DKI)
Terjadi iritasi mekanis yang merupakan hasil dari mikrotrauma atau gesekan yang
berulang. DKI gesekan berkembang dari respon pada gesekan yang lemah, hal ini juga
diketahui mempunyai peran dalam membantu terjadinya DKA dan DKI.
Respon gesekan menyebabkan terjadinya hiperkeratosis, akantosis dan likenifikasi,
dimana secara klinis dapat berupa eritema, skuama, fisura dan gatal pada daerah yang
terkena gesekan. DKI gesekan bisa hanya mengenai telapak tangan dan sering kali
terlihat menyerupai psoriasis dengan plakat merah menebal dan bersisik, tetapi tidak
gatal. Secara klinis, DKI gesekan dapat hanya mengenai pinggiran-pinggiran dan ujung
jemari tergantung oleh tekanan mekanik yang terjadi.
Histopatologik
Gambaran histopatologik DKI tidak karakteristik. Pada DKI akut (oleh iritan primer),
dalam dermis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel mononuklear di sekitar pembuluh darah
dermis bagian atas. Eksositosis di epidermis diikuti spongiosis dan edema intrasel, dan
akhirnya terjadi nekrosis epidermal. Pada keadaan berat kerusakan epidermis dapat
menimbulkan vesikel atau bula. Di dalam vesikel atau bula ditemukan limfosit dan
neutrophil.

Diagnosis
Diagnosis DKI didasarkan atas anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran
klinis yang akurat. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat
sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya.
Sebaliknya, DKI kronis timbulnya lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang
luas, sehingga ada kalanya sulit dibedakan dengan dermatitis kontak alergi. Untuk itu
diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai.
1. Anamnesis
Anamnesis yang detail sangat dibutuhkan karena diagnosis dari DKI tergantung pada
anamnesis mengenai pajanan yang mengenai pasien. Anamnesis yang dapat
mendukung penegakan diagnosis DKI (gejala subyektif) adalah:
a. Onset dari gejala terjadi dalam beberapa menit sampai jam untuk DKI akut. DKI
lambat dikarakteristikkan oleh penyebab pajanannya, seperti benzalkonium klorida
(biasanya terdapat pada cairan disinfektan), dimana reaksi inflamasinya terjadi 8-24
jam setelah pajanan.
b. Onset dari gejala dan tanda dapat tertunda hingga berminggu-minggu ada DKI
kumulatif (DKI Kronis). DKI kumulatif terjadi akibat pajanan berulang dari suatu
bahan iritan yang merusak kulit.
c. Penderita merasakan sakit, rasa terbakar, rasa tersengat, dan rasa tidak nyaman akibat
pruritus yang terjadi

2. Pemeriksaan Fisik
Untuk pemeriksaan fisik bisa ditegakkan dengan melihat lesi berdasarkan Diagnostic
Criteria of Irritant Contact Dermatitis.

Pemeriksaan penunjang
Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk mendiagnosis dermatitis kontak iritan. Ruam kulit
biasanya sembuh setelah bahan iritan dihilangkan. Terdapat beberapa tes yang dapat memberikan
indikasi dari substansi yang berpotensi menyebabkan DKI. Tidak ada tes spesifik yang dapat
memperlihatkan efek yang didapatkan dari setiap pasien jika terkena dengan bahan iritan.
Dermatitis kontak iritan dalam beberapa kasus, biasanya merupakan hasil dari efek berbagai
iritan.
Patch test digunakan untuk menentukan substansi yang menyebabkan kontak dermatitis
dan digunkana untuk mendiagnosis DKA. Konsentrasi yang digunkan harus tepat. Jika terlalu
sedikit, dapat memberikan hasil negatif palsu oleh karena tidak adanya reaksi. Dan jika terlalu
tinggi dapat terinterpretasi sebagai alergi (positif palsu). Patch tes dilepas setelah 48 jam,
hasilnya dilihat dan reaksi positif dicata. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, dan kembali dilakukan
pemeriksaan pada 48 jam berikutnya. Jika hasilnya didapatkan ruam kulit yang membaik, maka
dapat didiagnosis sebagai DKI. Pemeriksaan patch tes digunakan untuk pasien kronis dengan
dermatitis kontak yang rekuren.
Kultur bakteri dapat dilakukan pada kasus-kasus komplikasi infeksi sekunder bakteri.
Pemeriksaan KOH dapat dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya mikologi pada infeksi
jamur superfisial infeksi kandida, pemeriksaan ini tergantung tempat dan morfologi dari lesi.
Pemeriksaan IgE untuk memeriksa peningkatan imunoglobulin E yang dapat mendukung adanya
riwayat atopik.

Diagnosis banding
DKA berbeda dengan DKI. Pada DKA, terdapat sensitasi dari iritan. Gambaran lesi
secara klinis muncul pada pajanan selanjutnya setelah interpretasi ulang antigen oleh sel T
(memori), dan keluhan utama pada penderita DKA adalah gatal pada daerah yang terkena
pajanan.

(a) (b) (c)


Ket :
(a) DKA akut pada pasien alergik menggunakan akrilat pada industri percetakan;
(b) kulit kering, bersisik dengan fisura pada dematitis kontak kronik;
(c) DKA dengan bahan nikel pada kancing jeans berbahan metal.

Pada yang akut, lesi dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian
diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Pada yang kronis terlihat kulit kering,
berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisura, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit
dibedakan dengan DKI kronis, mungkin penyebabnya juga campuran.1 Pada patch tes,
didapatkan hasil positif untuk alergen yang telah diujikan,dan sensitifitasnya berkisar antara 70 ±
80%.

Dermatitis Atopi merupakan keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang
umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak- anak, sering berhubungan dengan
peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopik pada keluarga atau penderita.
Kejadiannya lebih meluas dibandingkan dermatitis kontak dan distribusinya mengikuti
permukaan fleksor.

(a) (b)

Gambar. (a) likenifikasi pada anak muda dengan dermatitis atopik, tanda pada kulit yang
berlebih-lebihan terlihat pada permukaan lengan ekstensor; (b) dermatitis tangan kronis yang
sangat parah pada orang dewasa dengan dermatitis atopik

Tinea pedis biasanya terjadi di antara jari kaki, tapak kaki, dan bagian pinggir atau tepi kaki,
tetapi tinea pedis juga dapat menyebar pada bagian dorsum dari kaki. dermatits kontak biasanya
terjadi pada dorsum pedis. Jika ragu, dapat dilakukan pemeriksaan KOH.

(a)
(b)
Gambar. (a) tinea pedis menyebar pada bagian dorsum dari kaki; (b) kulit kering tipe infeksi
trikopiton rubrum
Penatalaksaan
Beberapa upaya pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita DKI adalah sebagai berikut:
 Hal penting pengobatan DKI adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat
mekanik, fisis maupun kimiawi, serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila hal
ini dapat dilaksanakan dengan sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka DKI
tersebut akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan topikal, mungkin cukup
dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering.
 Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal,
misalnya hidrokortison, atau untuk kelainan yang kronis dapat diawali dengan
kortikosteroid yang lebih kuat.
 Pemakaian alat pelindung diri yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan
bahan iritan, sebagai salah satu upaya pencegahan

Prognosis
Prognosis untuk DKI adalah baik jika penyebab iritasi dapat diketahui dan dieliminasi.
Bila bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak dapat disingkirkan dengan sempurna, maka
prognosisnya kurang baik. Keadaan ini sering terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya
multifaktor, juga pada penderita atopic.

Dermatitis Kontak Alergi

I. Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas
tipe lambat terhadap bahan-bahan kimia yang kontak dengan kulit dan dapat
mengaktivasi reaksi alergi (National Occupational Health and Safety Commision, 2006)

II. Epidemiologi
Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita dermatitis
kontak alergik lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang kulitnya sangat peka
(hipersensitif). Namun sedikit sekali informasi mengenai prevalensi dermatitis ini di
masyarakat (Djuanda, 2003). Angka kejadian dermatitis kontak alergik yang terjadi
akibat kontak dengan bahan-bahan di tempat pekerjaan mencapai 25% dari seluruh
dermatitis kontak akibat kerja (DKAK) (Trihapsoro, 2003). Angka kejadian ini
sebenarnya 20-50 kali lebih tinggi dari angka kejadian yang dilaporkan (National
Institute of Occupational Safety Hazards, 2006)
II.1 Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia
dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia
sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat
pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2003)
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-tumbuhan.
Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap tanaman dari genus
Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison sumac. Toxicodendron
mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3- enta decyl cathecols.
Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam), potassium dichromat (semen,
pembersih alat -alat rumah tangga), formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan),
mercaptobenzotiazol (karet), tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin (cat rambut, bahan
kimia fotografi) (Trihapsoro, 2003).
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi. Misalnya antara
lain:
a. Faktor eksternal (Djuanda, 2011):
1) Potensi sensitisasi allergen
2) Dosis per unit area
3) Luas daerah yang terkena
4) Lamapajanan
5) Oklusi
6) Suhu dan kelembaban lingkungan
7) Vehikulum
8) pH
b. Faktor Internal/ Faktor Individu (Djuanda, 2011):
1) Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya : ketebalan epidermis dan keadaan stratum
korneum.
2) Status imunologik
Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar
matahari.
3) Genetik
Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya mutasi null pada kompleks
gen fillagrin lebih berperan karena alergi nickel (Thysen, 2009).
4) Status higinie dan gizi

III. Patogenesis
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah mengikuti
respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi
hipersensitivitas tipe IV. Reaksi hipersensitivitas di kulit timbul secara lambat (delayed
hypersensitivity), umumnya dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen.
Patogenesis hipersensitivitas tipe IV ini sendiri dibagi menjadi dua fase, yaitu fase
sensitisasi dan fase elisitasi (Trihapsoro, 2003).

Fase Sensitisasi
Sebelum seorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik, terlebih dahulu
mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya (Djuanda, 2003). Perubahan
ini terjadi karena adanya kontak dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten
(alergen yang memilik berat molekul kecil yang dapat menimbulkan reaksi antibodi
tubuh jika terikat dengan protein untuk membentuk antigen lengkap). Antigen ini
kemudian berpenetrasi ke epidermis dan ditangkap dan diproses oleh antigen presenting
cells (APC), yaitu makrofag, dendrosit, dan sel langerhans (Hogan, 2009; Crowe, 2009).
Selanjutnya antigen ini dipresentasikan oleh APC ke sel T. Setelah kontak dengan
antigen yang telah diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk
berdeferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara
spesifik dan sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh,
juga sistem limfoid, sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh
kulit tubuh. Fase saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif disebut fase
induksi atau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu (Djuanda,
2003).

Gambar. Patogenesis dermatitis kontak alergi


Sumber : Health and Safety Executive, 2000

Fase Elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama dan
sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans akan
mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan
merangsang INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit
memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan
limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan
makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang
meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula
yang akan tampak sebagai dermatitis. Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi
melalui beberapa mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel,
kerusakan sel langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2)
oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2 dan
sel T serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut
berperan dengan memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga
histamin berefek merangsang molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa
mekanisme lain, seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau
meredakan peradangan (Trihapsoro, 2003).

IV. Gejala Klinis


Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada
keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema berbatas jelas,
kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah
menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering,
berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan ini
sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga
campuran (Djuanda, 2003).
Sifat alergen dapat menentukan gambaran klinisnya. Bahan kimia karet tertentu
(phenyl – isopropyl – p - phenylenediamine) bisa menyebabkan dermatitis purpura, dan
derivatnya dapat megakibatkan dermatitis granulomatosa. Dermatitis pigmentosa dapat
disebabkan oleh parfum dan kosmetik (Fregert, 1998).
IV.1 Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis
yang teliti. Penderita umumnya mengeluh gatal (Sularsito, 2010).
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit berukuran
numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan
erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat
pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga
meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik,
kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah
dialami, riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya (Sularsito,
2010). Penelusuran riwayat pada DKA didasarkan pada beberapa data seperti yang
tercantum dalam tabel 5.1 berikut.

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola kelainan kulit
seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Berbagai lokasi terjadinya DKA
dapat dilihat pada tabel 5.2. Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di pergelangan tangan
oleh jam tangan; di kedua kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di
tempat yang cukup terang, pada seluruh kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit
lain karena sebab-sebab endogen (Sularsito, 2010).

c. Pemeriksaan Penunjang
a) Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang khas, dapat
menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis.
Diagnosis banding yang utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI). Dalam
keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan, apakah
dermatitis tersebut karena kontak alergi (Sularsito, 2010).
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Bahan yang secara
rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk
uji tempel, dapat langsung digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara
rutin dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi, harus
diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan
dalam vaselin atau minyak mineral. Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya
deterjen, hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu,
atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan dengan
potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan
pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn Chamber, dibiarkan
sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil positif dengan alergen bukan
standar perlu kontrol (5 sampai 10 orang) untuk menyingkirkan kemungkinan terkena
iritasi (Sularsito, 2010).

Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel (Sularsito,
2010):
1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam
keadaan akut atau berat dapat terjadi reaksi „angry back‟ atau „excited skin‟ reaksi
positif palsu, dapat juga menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya semakin
memburuk.
2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian kortikosteroid
sistemik dihentikan (walaupun dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada
pemakaian prednison kurang dari 20 mg/hari atau dosis ekuivalen kortikosteroid lain),
sebab dapat menghasilkan reaksi negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak
mempengaruhi hasil tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.
3) Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca; pembacaan kedua dilakukan
pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.
4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi longgar
(tidak menempel dengan baik), karena memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga
dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar punggung selalu
kering setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan terakhir selesai.
5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita yang
mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan (immediate urticaria type), karena dapat
menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam
ini dilakukan tes dengan prosedur khusus
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan pertama
dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau
minimal. Hasilnya dicatat seperti berikut (Sularsito, 2010):
Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu setelah aplikasi, biasanya 72 atau
96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk membantu membedakan antara
respons alergik atau iritasi, dan juga mengidentifikasi lebih banyak lagi respons positif alergen.
Hasil positif dapat bertambah setelah 96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu dipesan kepada
pasien untuk melapor, bila hal itu terjadi sampai satu minggu setelah aplikasi (Sularsito, 2010).
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi dilakukan setelah
pembacaan kedua. Respon alergik biasanya menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu dan
kedua, berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan ke +++ (reaksi tipe crescendo), sedangkan respon
iritan cenderung menurun (reaksi tipe decrescendo) (Sularsito, 2010).

5.2 GOLD Standard Diagnosis


Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu dilakukan uji tempel.
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk melakukan uji tempel
diperukan antigen standar buatan pabrik, misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E Test.
Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat berupa bahan kimia murni, atau
lebih sering bahan campuran yang berasal dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi.
Mungkin ada sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau walaupun jarang
dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh karena itu, bila menggunakan bahan tidak
standar, apalagi dengan bahan industri, harus berhati-hati sekali. Jangan melakukan uji tempel
dengan bahan yang tidak diketahui (Sularsito, 2010
V. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
a. Memotong kuku – kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan pendek serta tidak
menggaruk lesi karena akan menimbulkan infeksi (Morgan, dkk, 2009)
b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis kontak
alergi
c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang bersentuhan
dengan alergen (Sumantri, dkk, 2005)
d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan perhiasan, aksesoris, pakaian
atau sandal yang merupakan penyebab alergi
2. Medikamentosa
a. Simptomatis
Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM) sebanyak
3-4mg/dosis, sehari 2-3kali untuk dewasadan 0,09 mg/dosis, sehari 3 kali untuk anak –
anak untuk menghilangkan rasa gatal
b. Sistemik
1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali
2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari
3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika (amoksisilin atau
eritromisin) dengan dosis 3x500mg/hari, selama 5 hingga 7 hari
c. Topikal
Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari

3. Pencegahan
Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Sumantri, dkk, 2005). :
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
b. Menghindari substansi allergen
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika
tidak ada sabun bilas dengan air
e. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen
f. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan pakaian lain
g. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen
h. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang berisiko terhadap
paparan allergen

VI. Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat
disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila bersamaan dengan dermatitis
yang disebabkan oleh faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis numularisatau psoriasia)
(Vorvick, 2011; Sularsito, 2007). Faktor lain yang membuat prognosis kurang baik adalah
pajanan alergen yang tidak mungkin dihindari misalnya berhubungan dengan pekerjaan
tertentu atau yang terdapat di lingkungan penderita(Djuanda, 2005).

VII. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh bakteri terutama
Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya herpes simpleks. Rasa gatal yang
berkepanjangan serta perilaku menggaruk dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi
kulit sehingga menciptakan lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu
dapat pula menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan kulit berubah
warna, tebal dan kasar atau disebut neurodermatitis (lichen simplex chronicus) (Bourke,
et al., 2009)
DAFTAR PUSTAKA

1. Baratawijaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
2. Bourke, et al. 2009. Guidelines For The Management of Contact Dermatitis: an update.
Tersedia dalam : http://www.bad.org.uk/portals/_bad/guidelines/clinical%20guidelines/
contact%20dermatitis%20bjd%20guidelines%20may%202009.pdf Diakses pada tanggal
13 Agustus 2020
3. Djuanda, Suria dan Sularsito, Sri. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4.
Jakarta: FK UI
4. Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit.
Jakarta : EGC
5. Siregar, R.S,. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC
6. Sularsito dan Djuanda. 2007. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
ke 5. Jakarta : FKUI
7. Sularsito, Sri Adi dan Suria Djuanda. 2010. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi 6. Jakarta : FKUI
8. Sularsito, Sri Adi, Suria Djuanda. 2011. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulitdan
Kelamin. Jakarta : FKUI
9. Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan di RSUP
Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara, Medan. Tersedia dalam :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6372 diakses pada tanggal 13 Agustus 2020

You might also like