You are on page 1of 13

BANGKIT

Cerpen Karangan: Alfred Pandie

Pandanganku pada langit tua. Cahaya bintang berkelap kelip mulai hilang oleh
kesunyian malam.  Aku berjalan menyusuri lorong malam sepi nan gelap. Cahaya bulan
malam ini begitu indahnya. Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Konflik dengan
orang tua karena tidak lulus sekolah. Hari ulang tahun yang gagal di rayakan. Dan
hadiah sepeda motor yang terpaksa di kubur dalam-dalam karena tak lulus, belum lagi
si adik yang menyebalkan. Teman-teman yang konvoi merayakan kemenangan, sedang
aku?
Hari-hari yang keras kisah cinta yang pedas. Angin malam berhembus
menebarkan senyumku walau sakit dalam hati mulai mengiris. Sesekali aku menghapus
air mataku yang jatuh tanpa permisi. Sakit memang putus cinta.
 Rasanya beberapa saat lalu, aku masih bisa mendengar kata-kata terakhirnya yang
tergiang-ngiang merobek otak ku.
“sudah sana… Kejarlah keinginanmu itu!, kamu kira aku tak laku, jadi begini sajakah
caramu, oke aku ikuti.. Semoga kamu tidak menyesal menghianati cinta suci ini.”
beberapa kata yang sempat masuk ke hpku, di ikuti telpon yang sengaja ku matikan
karena kesal atau muak.
Aku termenung di pinggir jalan, memegang kepalaku yang sakit.
“selamat malam..? Sorii mba kayanya lagi sedih banget boleh aku minta duitnya..”
seorang pemabuk dengan botol bir di tangan kiri dengan jalan yang tak beraturan,
 Ia mengeluarkan sebilah pisau lipat dan mengancamku. Aku hanya terdiam tak
berkata, membuatnya sedikit binggung. Aku meraih tas di sampingku dan menyerahkan
padanya. “ini ambil semua.. Aku tak butuh semua ini. Aku hanya ingin mati…!” Aku
melemparkan tas ke hadapannya yang di sambut dengan senyum picik dan iapun
menghilang di gelapnya malam.
Aku bangkit berdiri dan berjalan menyusuri malam, berdiri menatap air suangai
yang mengalir airnya deras. Di sini di atas jembatan tua ini. Angin sepoi-sepoi
menyerang tubuh ku. Aku berdiri menatap langit yang bertabur bintang, rasanya tak
ada yang penting bagiku sekarang. Perlahan-lahan aku berjalan menaiki jembatan dan
berdiri bebas. Menutup mata dan tinggal beberpa senti lagi aku akan terjatuh. Aku
perlahan mengangkat kaki kananku dan…?
Tiba-tiba sosok pemabuk yang menodong pisau padaku ku tadi, menarik baju ku dan
menampar pipiku kuat, keras sekali tamparannya
“ini uang dan tas mu…!! Aku tak butuh..! Aku lebih baik mati kelaparan dari pada
melihat wanita lemah sepertimu” ia menarik ku turun dan melemparkan tasku di atas
tanah
 Dan ia berlalu pergi.  Aku bangkit dan meraih tas ku kembali menyusuri tangga turun.
Sosok yang tadi, pria mabok yang ternyata seumuran denganku, di sekujur tubuhnya
penuh tato dan tubuhnya kurus sekali. Ia berdiri termenung pada tangga jalan. Sesekali
menatap langit dan menghapus air matanya.
“boleh aku berdiri disini bersamamu? Aku menyapanya tapi ia hanya terdiam
membisu”. Aku berdiri di sampingnya menunggu sampai kapan ia akan berdiri pergi
dari sini.
 “kenapa kamu menamparku..?
 Kenapa kamu menolongku?
 Aku sudah tak berarti lagi. Pria yang aku cintai bertahun-tahun mencapakanku dengan
tuduhan yang tak jelas, aku memulai pembicaraan”.
 Dengan sesekali menghapus air mata akibat dari gejolak di hatiku. “apa kamu akan
terdiam atau aku telah mengusikmu?”. Aku melihatnya dan ia balik menatapku tajam.
Aroma alkohol dari mulutnya jelas tercium saat ia bicara “maafkan aku..? Sungguh aku
minta maaf, menurut ku kamu terlalu lemah, masalah apapun jangan berhenti untuk
bangkit, bukankah setiap hari kita merasakan hal yang sama? Ia berkata sembari
mengulurkan tangannya yang ternyata cuma 2 jari yang utuh, Aku mulai merinding
karena sedikit takut. Sehingga aku tak membalas uluran tangannya. “kaget ya mbak?.
Jari ku yang lain di potong oleh preman karena persaingan. Hidup di jalan seperti ku
ini, hawanya sangat dingin dan penuh nyali besar, bahkan untuk tertidur saja itu sulit.
Harus rela kedinginan, Di gigit nyamuk dan tempat ku tertidur hanya di emperan toko,
Dan kalau sudah penuh oleh gembel lain, terpaksa aku harus mencari tempat lain yang
menurutku layak. Maaf bila aku mengambil tas mu. Aku butuh makan, sudah 3 hari aku
tidak makan, sisa makanan di tong sampah sudah membusuk karena hujan kemarin,
Biasanya aku mencari secerca kenikmatan disana yang masih bisa layak ku telan, rasa
lapar tak akan bisa membuatmu jijik. Setiap hari saat membuka mata yang anda ingat
hanya perut dan perut.”Ia terdiam dan mengalihkan pandanganya luas menembus
angkasa, langit malam ini. Aku hanya terdiam terpaku dengan mulut terbuka, betapa
aku tak percaya setengah mati. Bagaimana mungkin seandainya sekarang aku berada di
posisi ini? Aku yang terlahir dari keluar sederhana namun penuh kehangatan, uang
bukan masalah, aku hanya meminta tanpa pernah tahu bagaimana orang tuaku
mendapatkannya, semuanya cukup, tapi ternyata itu bukan kebahagian, itu nafsu
sesaat, Aku memang memiliki segalanya tapi tidak dengan cinta, selalu ada yang kurang
setiap hari. Tanpa kebersaman kita mati. Terutama pentingnya mensyukuri apa yang
ada. Aku menarik tangan dan menjabat tangannya kuat-kuat yang tinggal dua jari meski
sedikit risih karena aneh menurutku. Aku memberinya sedikit pelukan hangat. Ia
tersenyum memamerkan mulutnya yang bau alkohol dan bau wc umum. Aku
menyerahkan tas ku padanya. “ambil lah.. Aku tak mengenalmu tapi kamu memberi ku
banyak alasan hari ini, kenapa aku harus kuat menghadapi hidupku sekarang dan nanti,
bukankah hidup harus tetap di jalani. Aku sadar masih punya segalanya, bodoh sekali
cuma karena cinta semangatku hilang, belum tentu ia jodohku, belum tentu ia juga
memikirkan hal yang sama, rasa sakitku”. Aku berlari menuruni tangga meninggalkan
ia sendiri yang masih terdiam menatap kembali langit yang menampakan bintang-
bintang kecil yang berkelip dengan jenaka, seakan hari ini tak akan berlalu.
Ketika aku akan menapaki jalan. Kekasihku sedang berdiri di depanku dengan
bunga mawar banyak sekali di tangannya, sementara di belakangnya orang tua dan
adikku yang berdiri di samping mobil, kami saling terdiam untuk beberapa saat ia
memulai.“maafkan aku sayang, ternyata aku yang salah menilaimu, makasih ya?, sudah
membuat hidupku lebih berharga karena ini. Ia menyerahkan bunga dengan sebuah
diary usang punyaku, yang entah dari mana ia mendapatkannya. Tapi disinilah aku bisa
menulis menitikan setiap masalah, rasa banggaku atas kekasihku ini. Aku memeluk erat
tubuhnya lama kami terdiam di iringi tangis dan canda menghiasi malam, sementara
kedua orang tuaku tersenyum senang. Aku mengajak kekasihku menaiki tangga untuk
mengenalkan pada orang yang mengajarkanku banyak hal. Khususnya arti
bersyukur.Kami menapaki jalan tangga dan melirik sekeliling dan mencari namun sosok
itu hilang tak berbekas? Kami turun dan kami pergi ke mall bersama orang tua dan adik
ku untuk merayakan ulang tahunku.
Walaupun tetap aku tak dapat sepeda motor karena tak lulus tapi bukan berarti
kehangatan ini harus berakhir.

Tamat
MARTINI

Oleh: Kurniawan Lastanto

Wanita itu bernama Martini. Kini ia kembali menginjakkan kakinya di lndonesa, setelah tiga
tahun ia meninggalkan kampung halamannya yang berjarak tiga kilometer dari arah selatan
Wonosari Gunung Kidul.
Di dalam benak Martini berbaur rasa senang, rindu dan haru. Beberapa jam lagi ia akan
berjumpa kembali dengan suaminya, mas Koko dan putranya Andra Mardianto, yang ketika ia
tinggalkan masih berusia tiga tahun. Ia membayangkan putranya kini telah duduk dibangku
sekolah dasar mengenakan seragam putih – merah dan menmpati rumahnya yang baru, yang
dibangun oleh suaminya dengan uang yang ia kirimkan dari arab Saudi, Negara dimana selama
ini ia bekerja.
Martini adalah seorang tenaga kerja wanita yang berhasil diantara banyak kisah mengenai
tenaga kerja wanita yang nasibnya kurang beruntung. Tidak jarang seorang TKW pulang
ketanah airnya dalam keadaan hamil tanpa jelas siapa ayah sang janin yang dikandungnya.
Atau disiksa, digilas dibawah setrikaan bersuhu lebih dari 110 derajat celcius, atau tiba – tiba
menjadi bahan pemberitaan di media massa tanah air karena sisa hidupnya yang sudah
ditentukan oleh vonis hakim untuk bersiap menghadapi tiang gantungan atau tajamnya logam
pancung yang kemudian membuat kedubes RI, Deplu dan Depnaker kelimpungan dan tampak
lebih sibuk.
Sangatlah beruntung bagi Martini mempunyai majikan yang sangat baik, bahkan dalam tiga
tahun ia bekerja, ia telah dua kali melaksanakan umroh dengan biaya sang majikan. Majikannya
adalah seorang karyawan disalah satu perusahaan minyak disana. Ia bekerja sebagai seorang
pembantu rumah tangga di El Riyadh dengan tugas khusus mengasuh putra sang majikan yang
sebaya dengan Andra, putranya. Hal ini membuatnya selalu teringat putranya sendiri dan
menambah semangat dalam bekerja.
Dengan cermat Martini memperhatikan sekeliling, akan tetapi ia tidak melihat seorang saudara
atau kerabatpun yang ia kenal. Sempat terbersit rasa iri dan kecewa ketika ia menyaksikan
beberapa rekanannya yang dijemput dan disambut kedatangannya oleh orang tua, anak atau
suami mereka. Namun dengan segera ia membuang jauh – jauh pikiran tersebut. Ia tidak ingin
suuzon dengan suaminya. “mungkin hal ini disebabkan karena kedatanganku yang memang
terlambat tiga hari dari jadwalkepulangan yang direncanakan sebelumnya,” pikirnya huznuzon.
Dan pikiran ini malah membuatnya merasa bersalah, karena ia tidak memberitahukan
kedatangannya melalui telepon sebelumnya.
Akhirnya ia memutuskan untuk menuju terminal pulogadung dengan taksi bandara. Oleh karena
ia tidak tahu dimana pool bus maju lancar terdekat dari bandara soekarno-hatta, ia berharap
diterminal pulogadung ia bisa langsung menemukan bus tersebut dan membawanya ke
wonosari dengan nyaman, karena badannya sekarang sudah terlalu letihuntuk perjalanan
panjangyang ditempuh dari arab Saudi. Tanpa ia sadari, martini telah sampai didepan
rumahnya, rumah yang merupakan warisan ayahnya, yang ia huni bersama mas koko, andra
dan ibunyayang telah renta. Namun bingung dan pertanyaan muncul dalam benaknya. Yang ia
lihat hanyalah rumah tua tanpa berubahan sedikitpun, kecuali kandang sapi didekat
rumahnyayang kini telah kosong. Sama keadaanya dengan tiga tahun lalutatkala ia
meninggalkan rumah tersebut. “mana rumah baru yang mas koko bangun seperti yang ada
difoto yang mas koko kirimkan tiga bulan yang lalu. Apakah ia membeli tanah ditempat lain dan
membangunnya disana. Kalau begitu syukurlah,” pikirnya mencoba huznuzon.
Ia ketuk perlahan – lahan pintu rumahnya. Namun tidak ada seorangpun yang muncul
membukakan pintu “kulo nuwun, mas…! Andra…! Mbok…!”
Beberapa saat kemudian barulah pintu yang terbuat dari kayu glugu tersebut terbuka.” Madosi
sinten mbak?” Tanya seorang bocah berusia 6 tahun yang tak lain adalah andra yang muncul
dari balik pintu.
“Andra aku ini ibumu, sudah lupa ya. Apakah bapakmu tidak menceritakan ihwal
kedatanganku?” ucap martini balik bertanya.
“Ayah? Kedatanagn ibu? Oh mari masuk. Sebentar ya, andra bangunkan mbah dulu,” ujar
Andra sambil berlari menuju kearah kamar neneknya.
Martini masuk kedalam rumah dan duduk diatas amben yang terletak disudut ruangan depan,
seraya memperhatikan keadaan didalam rumah yang ia huni sejak kecil tersebut. Keadaan
dalam rumahpun tidak tampak ada perubahan yang berarti.
“Martini ya. Wah – wah anakku sudah datangdari perantauan,” terdengar suara tua khas ibu
martini sedang setengah berlari keluar dari kamarnya, menyambut kedatangan anaknya, diikuti
oleh andra , membawakan segelas the hangat.
“bagaimana keadaan simbok disini?”, Tanya martini.
“oh, anakku simbok di sini baik – baik saja, kamu sendiri bagaimana, tini?” “saya baik – baik
saja mbok, ngomong – ngomong mas koko dimana mbok?” Tanya martini. Mendengar
pertanyaan itu, tiba – tiba air muka ibu martini berubah, ia tampak berpikir – piker sejenak.
“oh mengenai suamimu, nanti akan simbok ceritakan, sebaiknya kamu ngaso dulu. Kau pasti
capek setelah melakukan perjalanan jauh. Jangan lupa the hangatnya diminum dulu,” saran ibu
martini.
Martini menurut saja apa yang dikatakan ibunya. Setelah menikmati segelas the hangat, ia
mengangkat kaki dan tiduran di atas amben. Namun tetap saja ia tidak dapat memejamkan
matanya. Pikirannya tetap melayang memikirkan suaminya ; dimana dia, apakah dia merantau
ke Jakarta untuk turut mencari nafkah diperantauan, dimana letak rumah barunya, atau apakah
mas koko malah meninggalkan dirinya dan menikah dengan wanita lain?”
“ah tidak mungkin,” pikirnya kembali berusaha untuk tetap huznuzon.
Ia mencoba bangkit lalu menemui ibunya yang sedang memasak dipawon.
“maaf Mbok, dimana mas koko, tini sudah kangen dan ingin berbicara dengannya,” ujar martini
membuka kembali percakapan. Ibu martini tampak kembali berfikir sejenak, lalu berdiri dan
mengambil segelas air putih dingin dari kendi.
“minumlah air putih ini agar kamu lebih tenang, Tini, nanti simbok ceritakan di mana suamimu
berada, kalau kamu memang sudah tidak sabar.”
Sementara itu martini bersiap untuk mendengarkan dengan seksama penuturan ibunya.
“tiga bulan lalu rumah yang dibuat suamimu atas biaya dari kamu sudah jadi. Letaknya didusun
sebelah sana, namun sejak itu pula kesengsem sama seorang wanita. Wanita itu adalah
tetangga barunya. Dua bulan lalu mereka menikah dan meninggalkan andra bersama simbok.
Tentu saja simbok marah besar kepadanya. Namum apa daya, simbok hanyalah wanita yang
sudah renta, sedang ayahmu sudah tiada, dan uang yang simbok pegangpun pas – pasan. Mau
mengirim surat kepadamu simbok tidak bisa, kamu tahukan simbok buta huruf. Mau minta
tolong kepada siapa lagi, sedangkan kamu adalah anakku satu – satunya.
Kamu tidak mempunyai saudara yang bisa simbok mintai tolong untuk mengirimkan surat
kepadamu, sedangkan anakmu, andra masih kelas 1 SD”.
Mendengar penuturan ibunya, martini langsuung menangis, ia sedih marah dan kalut.
“mengapa simbok tidak melaporkannya ke pak kadus dan pak kades, dan beliaupun sudah
berjanji untuk membantu simbok. Namun sampai saat ini simbok belum mendapatkan
jawabannya. Sedangkan suamimu sendiri dan istri barunya , tampak tak peduli denagn suara –
suara miring para tetangga. Dan untuk lapor ke KUA, simbok tidak berfikir sampai kesitu,
maafkan simbok,” tambah ibunya dengan suara yang terdengar bergetar.
“Duh Gusti...., paringono sabar...,." terdengar Martini terisak, berusaha untuk tetap ingat kepada
Yang Maha Kuasa. Bagaimana bisa, suami yang begitu ia cintai dan ia percaya, dapat berbuat
begitu kejam terhadapnya. Apalagi ia sekarang tinggal bersama istri barunya, di rumah hasil
jerih payahnya selama tiga tahun merantau di Arab Saudi.
"Mbok, di mana rumah baru itu berada?” wajah ibunya terlihat ketakutan, ia tidak tahu apa yang
akan dilakukan anaknya dalam keadaan kalut di sana apabila ia tahu letak rumah tersebut.
"Mbok,d i mana Mbok,” Suara Martini semakin tinggi, namun ibunya tetap diam.” Kenapa
simbok tidak mau membertihu. Apakah Simbok merestuinya?_Apakah simbok mendukungnya?
Apakah Simbok membela bajingan itu dari pada saya anakmu sendiri? Apakah.....”
“Diam Tini, teganya kamu menuduh ibumu seperti itu. Kamu mau menjadi anak durhaka?
Ingatlah kamu kepada Tuhan,Nak, ingatlah kepada Gusti Allah,N ak"
Kalimat itu muncul dari mulut ibunya, yang kemudian terduduk menangis mendengar ucapan
pedas anaknya tersebut.
“ya sudah kalau Simbok tidak mau memberitahu. Tini akan cari sendiri rumah itu,” teriak Martini
seraya meninggalkan ibunya yang sangat bersedih, yang berusaha mengejarnya namun
kemudian jatuh tersungkur di halam depan rumahnya karena tidak mampu lagi mengeiarnya.
“Hei , mana Koko, bajingan sialan,"teriak Martini sambil berjalan membabi buta, menyusuri jalan
dengan muka merah Padam. Pikrannya kacau balau.
“Buat apa aku bekerja jauh-jauh mencari uang di Arab Saudi demi kamu dan.Andra tetapi
mengapa kau tega memanfaatkanku, menggunakan uangku untuk membuat rumah dan tinggal
di sana bersama istri barumu, Kurang apa aku?” Mendengar teriakan Martini, kontan para
tetangga di sekitar situ segera berhamburan ke luar rumah. Mereka kebingungan menyaksikan
ulah Tini yang sudah tidak mereka lihat selama tiga tahun, tiba – tiba muncul kembali di dusun
itu dengan tingkah laku yang berubah 180 derajat. Martini yang dulunya lembut, penurut, kini
kasar dan beringasan. Apakah ia telah gila? Apakah yang telah terjadi terhadap dirinya di Arab
saudi? Apakah ia
Dianiaya sebagaimana sering terdengar berita di media massa mengenai TKW yang disiksa?.
Namun kemudian mereka segera menyadari. Hal ini pasti karena Martini telah mengetahui
perbuatan suaminya. Segera saja mereka mengejar dan mencoba menenangkan Martini.
Namun dengan kuat Martini mencoba melepaskan tangannya dari dekapan tetangganva itu.
Dan saat itu pula ia melihat suaminya, ya Koko bajingan itu, keluar dari rumahnya. Koko
tampaknya tidak menghiraukan kedatangannya. Bahkan istri barunya itu
terlihat dengan mesranya berdiri disamping koko yang meletakkan keduavtangannya
dipinggang koko.,,” hei, siapa kamu. Tini ya. Kenapa kamu kesini? Ini rumahku bersama mas
koko. Bukannya kamu sudah mati, kalau belum mendingan kamu mati saja sekarang. Itu lebih
baik, dari pada mau merusak kebahagiaan kami. Bukan begitu mas koko?” ujar wanita yang
ada disebelah koko sambil mengalungkan tangan kanannya dileher koko dengan lembutnya.
Hal ini jelas membuat tini makin marah. “hai , dasar kau, wanita murahan, tidak tahu diri. Koko
adalah suamiku. Dan kau koko, mengapa kau tega menipuku, meninggalkanku hanya untuk
menikahi wanita keparat ini. Dasar bajingan.”
Dekapan tetangga yang memegang Martini akhirnya lepas. Dengan cepat Martini meraih
sebuah bamboo yang tergeletak di bawah pohon nangka dan berlari menuju kearah koko dan
istri barunya. Dengan tidak hati-hati ia menaiki anak tangga yang menuju kedalam rumah baru
itu. Secepat kilat ia mengayunkanbambu itu ke arah mereka berdua. Namun malang, belum
sampai bamboo itu mengenai sasaran, ia kehilangan keseimbangan. Ia terpeleset dari dua
anak tangga dan jatuh terjerembab tak sadarkan diri.
”Mbak – Mbak bangun Mbak. Mau turun di mana Mbak. Ini sudah sampai di wonosari,"
terdengar sayup-sayup suara pemuda yang duduk di dekat Martini.
"Astaghiirullaahaladzlm .Ha...apa...?.. W onosari," Tanya M artini.
“ Ya Mbak sepertinya dari tadi Mbak gelisah tidurnya" ujar pemuda itu
”Apakah benar ini wonosari?" Tanya Martini memastikan seraya mengarahkan pandangannya
keluar jendela. Ya ini adalah daerah yang telah tiga tahun ia tinggalkan.
"Alhamdulillah ya. ,Allah terima kasih," batin Martini bahagia.
“Senyum Terakhir”

Dengan nafas yang terengah-engah setelah mengendarai sepeda. Aku terhenti saat ku melihat
dia, aku tak tahu siapa dia. Wajahnya cukup cantik dan manis, aku singgah membeli segelas air
untuk melepaskan dahaga yang melanda tenggorokanku.

Setelah beristirahat aku langsung mengayuh pedal sepeda untuk pulang ke rumah. Sesampai
di rumah, kedua orang tuaku sedang pergi ke sebuah tempat yang aku tidak tahu. Aku segera
pergi mandi karena badanku sudah bermandi keringat. Setelah mandi aku memakai pakaian
dan menuju taman yang tak jauh dari kompleks rumahku. Aku kaget si dia juga sedang berada
di taman. Tanpa pikir panjang aku langsung menghampirinya.
“Hai…..”, kataku

Dengan senyum aku menyapanya. Tapi dia tidak merespon dan tetap saja membaca sebuah
novel. Sekali lagi aku mengulangi sapaanku.

“Hai.. boleh kenalan gak?”.


“Iya ada apa?”, katanya sambil menatap novel yang dibacanya.
“Aku boleh gak kenalan? Namaku Zhaky”, sambil mengulurkan jemariku.

Dia langsung berdiri lalu meletakkan bukunya di atas kursi dan memberi tahu namanya.
“Namaku Tamara”, katanya dengan senyum.
“Kamu tinggal dimana?”, kataku.
“Aku tinggal di sebelah kiri toko buku dekat gerbang kompleks. Aku baru pindah kemarin.”
“Oooo…. Kamu anak baru yah?”.
“Memang kenapa?”.
“Tidak kenapa-kenapa kok”.
“Ayo aku temani jalan-jalan di taman ini. Lagi pula gak enak juga kalau suasananya begini-
begini saja”, pintaku.
“Ok.. baiklah”, katanya dengan lembut.

Langkah demi langkah mengawali perkenalanku dengan si dia yaitu Tamara. Kami berjalan
mengelilingi taman, dari pada hanya terdiam lebih baik aku memulai pembicaran. Aku
menanyakan banyak hal kepadanya. Dan kami selalu menyelingi pembicaraan kami dengan
candaan yang cukup untuk mengocok perut hingga sakit.
Sekarang sang mentari akan kembali ke peraduannya. Kami berjalan pulang bersama karena
arah rumah kami searah. Tamara berada di depan kompleks sedangkan rumahku ada di lorong
kedua sebelah kanan di kompleks tempat tinggalku. Sesampai di depan rumah Tamara, kami
berhenti dan menyempatkan diri untuk bercanda sebentar.

Suara teriakan Ibunya yang memanggil membuat kami berdua kaget.


“Tamara… Tamara… ayo cepat masuk, udah hampir malam nih!, teriak ibunya.
“Ya bu.. tunggu!, Zhaky aku duluan yah?”, katanya dengan senyum.
“Iya…”, kataku sembari membalas tersenyumnya.
“Kamu juga cepetan pulang, nanti di cariin sama Ibu kamu”.
“Ok… aku pulang yah.. dadah..!”, sambil berjalan dan melambaikan tangan.

Di perjalanan, aku hanya bisa berkata “Baru kali ini aku bisa cepat berkenalan dengan seorang
gadis, apalagi gadis seperti Tamara”. Kini aku berjalan di antara jalan yang sepi dengan sedikit
penerangan dari lampu jalan yang mulai redup dan di kerumuni serangga.

Sesampai di rumah aku di marahi oleh Ibuku.


“Kamu ke mana aja”?, bentak Ibu.
“Maaf Bu, aku tadi dari keliling taman”, kataku sambil menunduk.
“Lain kali jangan pulang telat lagi yah?”.
“ Iya Bu”, sembariku meninggalkan ibu di teras rumah.
***

Keesokan paginya aku bertemu dengan Tamara, ternyata aku sama sekolah dengan dia,
kemarin aku lupa nanya sih. Aku langsung berlari menghampirinya.
“Tamara… Tamara…. tunggu aku!”, kataku sambil berlari.

Tamara berhenti dan memegang pundakku.


“Masih pagi-pagi kok dah keringatan kayak gini?, ini usap keringatmu!”, katanya sembari
menyodorkan sapu tangannya.
“Iya nih, kamunya tuh. Kamu jalannya cepat amat” .
“Iya maaf”, kataya sambil tersenyum.
“Ayo buruan entar pintu gerbang ditutup”.

Sesampai di sekolah aku langsung ke kelas dan ternyata Tamara juga sekelas dengan aku. Dia
duduk di sampingku, karena Dino teman aku baru pindah sekolah dua hari yang lalu. Tamara
naik dan memperkenalkan dirinya ke teman-teman kelasku.
“Hai perkenalkan namaku Tamara Adelia, panggil aja aku Tamara. Aku baru pindah dari
Makassar kemarin, semoga kita semua bisa menjadi teman yang akrab”.
“Ok….”, Teriak semua temanku.

Kini kami semakin dekat. Kami selalu bersama, kami duduk di depan kelas sembari bercerita
tentang tugas sekolah.

“Kamu suka pelajaran apa?”, tanyaku.


“Aku paling suka pelajaran matematika”.
“Kenapa kamu suka pelajaran itu?, padahal pelajaran itu agak rumit dan memusingkan”.
“Karena aku suka aja dengan pelajaran itu, kalau kamu sukanya pelajaran apa?”.
“Aku paling suka dengan pelajaran bahasa Indonesia, yah pelajaran sastra”.
“Kenapa kamu suka pelajaran itu?, tanyaku.
“Seperti kamu tadi, aku suka aja dengan pelajaran itu. Aku sudah buat beberapa cerpen, mau
baca?”, kataku sambil menyodorkan beberapa cerpen karyaku.
“Ini buatan kamu?, aku gak percaya”.
“Iyalah, ini buatan aku. Kamu baca yah dan berikan saran, ok?”.
“Ok…”, katanya sambil tersenyum.
***

“Tttttttteeettt….”, Bunyi bel menandakan kami akan melanjutkan ke pelajaran berikutnya. Tapi,
guru yang mengajar tidak datang. Jadi aku dan Tamara bersama teman-teman yang lain hanya
bercerita tentang hal-hal yang dapat mengocok perut.

Tak lama kemudian, kami pun pulang. Aku bersama Tamara dan temanku yang lain berjalan
menuju pintu gerbang, menertawai hal yang tak patut ditertawai. Di perjalanan pulang Tamara
berteriak, “Auuuuhh sakit, Zhaky bantu aku berdiri!” pintanya sambil meneteskan air matanya.
Kaki Tamara tersandung batu, dan kelihatannya kaki Tamara terkilir.
“Sudah jangan nangis dong, pasti kamu akan sembuh kok”, kataku menyemangati.
“Iya Zhaky, tapi kaki aku sakit banget. Bantu aku berdiri dong!”, pintanya
“Auuuuhh…. Sakit!!”, katanya sambil merintih kesakitan.
“Sini biar aku gendong deh, gak apakan?” .
“Betul mau gendong aku, aku berat loh!”, katanya sambil tersenyum.
“Sakit-sakit gini sempat aja ngelawak, sini naik cepat”.
“Hehehe…. Aku beratkan?”, tanyanya, sambil tertawa.
“Gak kok..”, kataku sambil tersenyum.

Sesampai di depan rumah Tamara, Ibunya yang sedang membaca koran kaget saat melihat
kedatanganku yang menggendong Tamara.
“Tamara, kamu gak apa-apakan nak?”.
“Gak apa-apa kok Bu”, kata Tamara.
“Kakinya terkilir tadi waktu jalan pulang tante”, kataku.
“Terima kasih yah nak ….”
“ Zhaky, tante!”, ucapku dengan maksud memperkenalkan diri.
“Iya terima kasih yah nak Zhaky”, katanya sambil tersenyum.
“Tamara, tante, Zhaky pulang dulu yah?”, kataku.
“Iyaa nak Zhaky, kapan-kapan main ke rumah yah?”, kata ibu Tamara.
“Baik tante”, kataku sambil tersenyum.
Sehabis menggendong Tamara punggungku rasanya ingin copot, benar juga kata Tamara
badannya berat. Tapi, tidak apalah dari pada sahabat aku Tamara gak pulang ke rumah.
Sesampai di rumah aku langsung melepas pakaian dan makan siang. Sesudah itu aku
langsung tidur karena aku lelah banget udah gendong Tamara.
***

Keesokan paginya aku menunggu Tamara di depan rumahnya. Saat melihat dia keluar rumah,
dia sudah bisa berjalan dengan baik. Aku kaget dan bengong melihatnya.

“Woii kamu kenapa bengong kayak gitu?”, tanyanya sambil mencubit pipiku.
“Akh gak apa kok!, eh kok cepat amat sembuhnya?”.
“Iyaa nih, semalam aku dibawa ke tukang urut, rasanya sakit amat waktu di urut”.
“Baguslah, daripada berjalan dengan pincang”, kataku sambil tersenyum.
Sampai di sekolah teman-teman ku berkumpul membicarakan sesuatu, aku dan Tamara
bergegas ke sana dan mendengar apa yang di ceritakan teman-temanku itu.
“Teman-teman, besokkan kita libur bagaimana kalau kita liburan?”, kata Naila.
“Kita mau ke mana ?”, tanyaku memotong pembicaraan.
“Kita akan pergi liburan, baiknya kita ke mana?”, kata Denny.
“Bagaimana kalau kita pergi ke tempat rekreasi terkenal di kota ini!”, kata Tamara.
“Baiklah kita akan ke Pantai Bira!”, kataku.

Tak sabar menunggu saat itu, aku menceritakan sedikit tentang Pantai Bira kepada Tamara.
Kami tidak memerhatikan penjelasan guru, akibat cerita kami yang semakin mengasyikkan. Tak
lama kemudian bel istirahat pun berbunyi. Rasanya aku tidak ingin berpisah dengan Tamara
walau sekejap saja. Tapi, mungkin itu cuman perasaanku saja. Kami berkeliling sekolah
mencari hal-hal yang baru dan melupakan apa yang aku banyangkan tadi.

Tidak lama kemudian, bel kembali berbunyi kami berlari ke kelas. Kami berlari sambil tertawa
dengan senangnya. Rasanya hal ini adalah hal yang terindah bagiku. Sesampai di kelas kami
duduk dan menunggu guru. Tak lama kemudian, guru yang mengajar pun datang.

Aku merasa agak tidak enak badan. Tamara iseng mencubit pipiku dan Tamara kaget.
“Zhaky kamu gak apa-apa, kan?” tanyanya dengan khawatir.
“Aku gak apa-apa kok”, kataku dengan nada yang pelan.
“Kamu sakit dan aku harus antar kamu pulang!”, katanya sambil berjalan menuju guruku.
“Pak, Zhaky sakit”, katanya.
“Baiklah bawa dia pulang, kamu mau mengantarnya?” tanya pak guru.
“Iya pak aku bisa kok”, katanya.

Berhubung sudah hampir pulang Tamara memasukkan barang-barangku ke dalam tas


lalu dia juga membereskan barang-barangnya.
“Ayo aku antar kamu pulang”, katanya.

Tamara meminta izin mengantar aku pulang. Sambil memegang jemari-jemariku dan sesekali
memegang keningku. Tamara selalu bertanya tentang keadaanku. Tapi, aku hanya bisa
menjawabnya dengan kalimat, “Aku baik-baik saja kok, gak usah khawatir”.
Sesampai di rumah aku langsung di bawa Tamara ke kamarku sembari ibu mengomel-
ngomeliku.
“Ini sebabnya kalau makan gak teratur”, katanya.
“Sudah tante, Zhaky ‘kan lagi sakit”, pinta Tamara ke Ibuku.
“Biarlah nak, biar dia tahu rasa”, kata Ibuku.
“Kalau begitu aku pulang dulu tante”.
“Nak nama kamu siapa?”.
“Nama aku Tamara, tante”.
“Terima kasih yah nak Tamara, udah bawa pulang anak tante ini”.
“Iya, sama-sama tante”, katanya.
Aku melihat senyuman indah dari Tamara saat akan keluar dari kamarku.
***

Keesokan paginya, rasanya badanku udah sehat. Aku bergegas menyiapkan barang yang akan
ku bawa. Aku mandi dan sesudah itu berpakaian rapi dan langsung menuju rumah Tamara.
Tapi, Tamara sudah berangkat duluan. Aku langsung ke sekolah. Sampai di sekolah aku
melihat Tamara dan langsung menghampirinya.
“Zhaky, kamu udah sembuh?”, katanya.
“Iya.. aku udah sembuh kok”.
“Betul aku udah sembuh”, kataku sambil meraih tangannya dan meletakkannya di keningku.

Tak berapa lama kemudian, bus yang akan mengantar kami ke Pantai Bira pun datang. Aku
duduk di belakang bersama anak lelaki lainnya. Tamara berada di depan bersama teman
wanitanya. Di perjalanan rasa gelisahku semakin tak menentu. Aku memiliki firasat buruk dan
naas tak berselang beberapa lama mobil yang aku tumpangi kecelakaan.

Aku merasa kepalaku sakit, saat ku pegang kepalaku mengeluarkan darah yang banyak. Tapi,
yang ada di pikiranku sekarang adalah Tamara. Aku langsung berteriak dengan nada yang
lemah. “Tamara.. kamu gak apa-apa, kan?”. Aku tak mendengar suaranya. Aku melihat teman-
temanku terluka dan mengeluarkan banyak darah. Saat aku ke tempat duduk Tamara, aku
melihat kepala Tamara mengeluarkan banyak darah. Rasa sakit yang aku rasa membuat aku
pingsan. “Zhaky, Zhaky, bangun nak, ibu di sini”, kata ibuku sambil menangis.
Mendengar suara itu, aku terbangun. Aku sekarang berada di rumah sakit, aku kaget dan
berteriak.
“Dimana Tamara Bu? Tamara baik-baik sajakan Bu?”.

Ibu hanya terdiam sambil menatap ayah.


“Ibu apa yang terjadi?”, aku mulai meneteskan air mata.
“Maaf nak, kini Tamara sudah berada di tempat lain”, dengan nada yang pelan ibu
memberitahuku.
“Jadi maksud ibu?”.
“Iya Nak, Tamara telah meninggal akibat kecelakaan itu”, kata ibu sembari memelukku.

Aku terduduk di ranjang dan dipeluk ibu sambil menangis dengan keras dan berkata “ Kenapa
dia terlalu cepat meninggalkan aku Bu?”. Aku terdiam dan mengingat saat aku sakit, dia
memberiku senyuman yang kuanggap indah itu dan menjadi senyuman terakhir darinya.

(SELESAI)

 
“ Payung Hitam“

“Non, bangun non.” kata seorang perempuan paruh baya, sambil mengetuk pintu kamar.
Berkali-kali diketuknya pintu kamar tersebut. Tapi, belum ada respon dari sang pemilik kamar.
Baru ketukan ketiga, terdengar suara anak perempuan yang menyahuti ketukan kamar
tersebut.
“Males!” teriak anak perempuan itu. Hah? Males? Hei! Seharusnya kamu bersyukur
masih bisa bersekolah. Coba kamu tengok ke pinggiran kota. Masih banyak anak-anak yang
tidak bisa bersekolah.
“Tapi non…  Sudah siang, nanti sekolahnya terlambat.” kata wanita paruh baya itu yang
sekarang kita ketahui bernama bi Inah.
“Kenapa bi? Gak mau bangun tuh anak?” kata seorang pemuda berambut coklat yang
entah darimana asalnya itu. Bi Inah menoleh ke pemuda yang berdiri di belakangnya itu.
“Iya den.  Itu si non katanya males, aduh gimana nih den? Nanti bibi diomelin tuan and
nyonyah.” kata bi Nha cemas.
“Yaudah biar saya aja bi yang bangunin tuh anak,” usul pemuda itu.
“Tapi den?” kata bi nha tambah cemas.
“Udah biarin saya aja” paksa pemuda itu.
Akhirnya bi Nha pun mengalah dan kembali kedapur. Dalam hitungan jari,  akhirnya
pemuda itu mengetuk pintu berwarna merah maroon itu dengan sangat kerasnya. Rusak dah
tuh pintu. Tok… Tok… Tok…
“ADE BANGUN GA!!! Nanti abang bilangin mamih papih loh?” ancam pemuda itu. Huh,
beraninya main ngacem. Payah sekali pemuda ini. Benar-benar payah.
“BILANG AJA! GAK TAKUT!!!” teriak perempuan itu tak kalah kencangdari dalam kamar.
“Masa gitu? Ayo cepetan sekolah, nanti COKLAT dan baju plus topi
dari Swiss gak bakal abang kasih loh!” ancam pemuda itu.
Akhirnya pintu kebuka, keluarlah seorang gadis imut nan manis. Bisa dilihat
rambutnya yang berwarna kuning emas itu sedikit acak-acakan.
“Iya aku sekolah, tapi kasih yah coklat dan pesenanku ya?” kata gadis itu sambil
tersenyum manja. Pemuda itu tersenyuma lebar.
“Iya beneran, cepetan mandi langsung kemeja makan. Nanti telat!” kata pemuda itu
dengan bijak lalu melangkah pergi meninggalkan anak perempuan itu.
“Oke,” jawab gadis itu dengan semangat dan langsung masuk kekamar menuju kamar mandi.
.
Setelah kejadian beberapa menit yang lalu atau mungkin jam, akhirnya mereka pun
sampai disekolah. Sang adik pun turun dari mobil, dan segera pamit ke kakaknya. Kakaknya
pun langsung berangkat ke kampusnya.
“DOR!!!!!” ‘astagah siapa itu ? bikin jantungan saja,’ pikir Rika dalam hati. Rika pun
membalikan badan kebelakan terlihatlah seorang laki-laki berparas tinggi dan tampan, yang
hampir saja membuat Rika mati dipagi hari karena terkena serangan jantung.
“Shin!!! Kau hampir saja membuatku mati!” ucap Rika sewot. Yaiyalah gimana gak
sewot? Kalau lagi badmood tiba-tiba ada yang ngagetin? Bikin orang cepet mati aja. Dan
tersangka hanya nyengir merasa tidak bersalah. Rasanya Rika ingin membunuh orang itu saja,
tapi dia ingat kalau ini masih disekolah lagi pula dia teman baik rika.

Teng..teng..teng...
Bell masuk pun berbunyi, semua anak murid lari berhamburan masuk kedalam kelas.
Maklum saja sekolah ini sangat ketat, guru-gurunya pun selalu datang tepat waktu dan sekolah
ini sangat luas, jadi kalau tidak buru-buru mati saja riwayatmu.
-RIKA-
Hosh...hosh...hosh akhirnya nyampe kelas juga,aku langsung melirik ke meja guru,
AMAN!!! Syukurlah gurunya belum datang. Langsung saja aku masuk dan menaru tas dimeja
dan menjatuhkan pantat ku ditempat dudukku yang biasa. Ku lihat shin langsung nimbrung
ketemen-temennya, huft dasar shin...
Sretttt... terbukalah pintu kelas dan menampakan guru berparas kurang cantik dan killer.
“Hei kalian!  Ngapain kalian arisan disitu?! Cepat kembali ketempat duduk masing-masing!”
omel guru itu dan tidak lupa dengan tatapan dendam nyipelet. Mereka pun lari terbirit-birit
ketempat duduk mereka. Akupun tertawa tertahan melihat tingkah mereka. Lagi, siapa suruh
bukannya langsung duduk rapih eh malah wara-wiri, hihihi.
“Sekarang kita kuis!tutup buku kalian!” kata –lebih tepatnya perintah- bu Aisyah. Mati
gue!! Gue kan belum belajar!! Mampus lu!!. “bu, kok mendadak sih? Kita kan belum bekajar bu.”
Tiba-tiba ada yang berbicara seperti itu, aku pun pun mencari tahu, dan ternyata itu Cherry!
OMG! Thank you Cherry! Semoga dengan kamu berbicara sepertiu itu, ibu Aisyah akan
memberi keringanan kepada kita! Amin.
Dan ternyata usahanya Cherry tidak sia-sia, dang guru pun mengizinkan anak-anaknya
untuk belajar terlebih dahulu selama lima menit, syukurlah!!! Thanks Cherry! Kamu emang the
best deh! Akupun memutuskan untuk belajar, dari pada nanti tidak bisa.

45 menit kemudian
“Cukup! Cepat kumpulkan! Yang telat tidak akan Ibu nilai!” ancam bu Aisyah, huwaaa
syukurlah aku sudah selesai. Bismillah semoga dapat nilai bagus amin! Fufufu ku tiup lembar
jawabanku, semoga dengan begitu doaku terkabulkan amin... “Shin! Reia! Kadoi! Otsu! Cepat
kumpulkan! Kalau tidak, tidak akan saya nilai!” omel ibu Aisyah. Wasuh nih guru kerjaannya
ngomel-ngomel melulu nih. Shin dan kawan-kawan cepatlah, aku pun berdoa untuk
keselamatan mereka hahaha. “Sebentar bu, sedikit lagi.” Mohon Reia, astagah! Wajahnya itu!!
Imut bangetttt!!! Reia, semoga bu Aisyah mempan yah dengan wajahmu itu, Amin. “yasudah,
cepat kumpulkan!” ucapbu Aisyah, sepertinya dia mulai lelah karena marah-marah melulu
hahaha.
Teng... teng.. teng.. bel pelajaran selanjutnya.
Huft untung saja mereka sudah ngumpulin, kalau tidak makin ribet ini, bu Aisyah pun
pergi dan kami siap-siap untuk memasuki pelajaran selanjutnya yaitu olah raga yey! Aku
senang sekali dengan pelajaran olah raga. “puk~” siapa neh yang nepok undakku, ku balikan
badan dan kulihat Shin tengah tersenyum kepada ku, baru saja ingin ku buka mulutku dan
mengatakan sesuatu eh dia udah duluang ngomong “Ganti baju bareng yuks?” WHAT THE......
“KYAAAA SHIN MESUMMMMM!!!!” teriakku. Astagah Shin kau mesummmm!!!!!! Kupul saja
shin dan dia malah tertawa lalu menarik tanganku yang sedang memukul-mukul dia “hei.. hei...
aku cuman bercanda.” Jelas Shin sambil tertawa, huft kukira beneran huft dasar SHINNNNNN!!!
Kau membuatku malu.
“Ihhhhhh Shinnnnn!!! Pergi sana!!!” usirku, pasti wajahku merah banget huwaaaaaa
Shinnn!!! Awas saja kau. Shin pun pergi sambil tersenyum penuh kemenangan, sial!. “RI-
CHAN~!” astagah siapa lagi manusia yang mempunyai suara melengking dan ngagetin aku?
Kenapa banyak banget orang yang pengen aku kena serangan jantung? Ya tuhan! Apa salah
hambamu?. Aku pun berbalik arah dan ku lihat manusia ;berwajah manis berambut hitam
sedang nyengir kearahku, dan ternyata manusia itu adalah Cherry. Huft, “Apa Che-Chan?
Jangan teriak-teriak lah, suara mu tuh berisik sekali.” Ucapku datar. “hehe maap Ri-chan.” Ucap
Cherry sambil nyubit pipiku, arggghhh “Cherry sakit!!!” ucapku kesal. “Sudahlah mendingan kita
ganti baju trus caw.” Lanjutku sebelum dia mulai cerocos gak penting yang membuat kuping
sakit, “Iya deh. Yuks~”
Di lapangan
“baiklah sekarang kita akan melakukan lari marathon~!” ucap guru olah raga yang
sangat fanatik kepada warna hijau. “Baiklah guru guy!!!” balas seorang lelaki fanatik tu guru.
Lihat lah, poninya saja sama, baju olahraganya aja sama huft dasar~.
Duhh... duh... pusing banget ini.. ya tuhan... ada apa ini? Astagfirulloh sakit banget ini...
“Ri-chan, kenapa? Tidak apa-apa kan?” tanya Shin, nadanya penuh dengan khawatir.
“Kepalaku sakit banget Shin... a-aduh Shin... S-sakitttttttttt banget ini.” Ucapku dengan
lirih menahan sakit, ya tuhan sakit banget ini kepalaku..
Tess.. tess.. tesss
‘apa ini?’ kuusap hidungku dan ternyata darah? Hah? Darah? Kudengar suara Shin
memekik kaget melihat darah ditangan dan hidungku. “Ri-chan? Kamu berdarah! astagah.”
Ucap Shin khawatir dan panik, seketika semua hitam.

-SHINTARO-
Astagah... Ri-chan... apa yang terjadi padamu sayang?. Kugendong Ri-chan, menuju
ruang kesehatan, saat tiba disana aku pun langsung menaruh Ri-chan ditempat tidur, dan
dokter sekolah pun langsung memeriksa Ri-chan..
Ri-chan, apa yang padamu? Ri-chan bangunlah...
“Morimoto-san, sebaikanya Kamenashi-san dibawa kedokter saja.” Ucap dokter itu.
Apa? kenapa musti dibawa kerumah sakit? Ri-chan, apa yang terjadi padamu? “Memangnya
Ri-chan kenapa dok?” tanya ku panik. “sebaiknya dibawa saja. Saya takut terjadi apa-apa
terhadap Kamenashi-san.” Jawab dokter itu kalem. Ya tuhan.... “baiklah dok, saya akan bawa
dia kerumah sakit, Cher, tolong izinin gue sama Ri-chan yah.” Ucap ku kepada Cherry. “Iya
Shin, pasti! Semoga aja tidak terjadi apa-apa ya sama Ri-chan, amin. Lo hati-hati ya Shin.”
“sip.. thanks ya.. gue berangakt dulu ya..”

Rumah Sakit
‘Ya tuhan ada apa ini? Ri-chan sebenernya kamu kenapa? Kamu sakit apa?’ ku usap
wajahku yang frustasi. Dokter kenapa lama banget?
Tap.. tap.. tap
“Shin-kun, Ri-chan kenapa? Dan dimana dia?” tanya wanita cantik penuh dengan
kepanikan, “Lagi diperiksa dokter tan.” Jawabku tenang. Aku harus tenang agar orang yang
didepanku tidak histeris.
Dokter pun keluar dari dari ruang UGD, kami pun segera menghampiri dokter itu “Dok..
Gimana Ri-Chan dok?” tanya wanita itu panik “Tenang bu, saya menyarankan Ri-chan di
ST.Scan. ini baru prediksi saya, Ri-chan mengidap penyakit leukimia.” Ucap dokter itu kalem.
APA??? LEUKIMIA? GAK MUNGKIN.... RI-CHAN!!! INI GAK MUNGKIN!!! “APA DOK? GAK
MUNGKIN!!” teriak ku ke dokter itu dan dokter itu pun menjelaskan bahwa di sekujur tubuh rika
banyak lembam dan luka yang disebabkan bukan dari luka penyiksaan atau sebagiannya, tetapi
disebabkan oleh penyakit leukimia dan kata bunda dakota bahwa Ri-chan sering pingsan dan
mimisan astaghhh kenapa bisa?

5 bulan kemudian
Ternyata Ri-chan memang mengidap penyakit leukimia, oh astagah kenapa bisa?
Kenapa? Kata dokter umur ia tidak lama lagi. Kenapa? Bahkan aku belum menyatakan cinta..
oh tidakkk!! Kenapa? Kenapa cepat sekali??. Wajahnya saat tidur cantik sekali tetapi pucat
sekali, Ri-chan ini sungguh seperti mimpi.. “ngggghh... Shin-kun?” tanya dia sambil tersenyum.
Aku pun ikt tersenyum, Ri-chan aku sayang kamu. Andai kamu tau itu.. “ng-nggak papa.
Gimana kamu? Sudah merasa baikan?” tanyaku mempertahankan senyum diwajahku. Ia pun
tersenyum “ya, tapi masih pusing dan tulang –tulang rasanya sakit sekali.” Ucap dia lirih. Oh
astagahhh...
“Shin-kun. Aku pusing sekali. Shin-kun tadi aku lihat Nii-chan, kata Nii-chan sebentar
lagi aku akan bersama dia, Shin-ku aku nitip bunda dan ayah yah.. Shin-kun aku sayang kamu.”
Ucap ia lirih, tidak! Kamu gak boleh ikut kakakmu.. kamu harus disini! Walaupun kemungkinan
kamu sembuh hanya 40% tapi tidak ada yang tidak mungkin! “Ri-chan, kamu ngomong apa?
kamu gak boleh ikut Yuya-nii! Kamu harus disini! Aku cinta kamu.. aku sayang kamu.” Ucapku
lirih dan aku pun menangis, ia pun menangis. “Shin-kun aku juga cinta kamu, sayang kamu.
Tapi waktu ku sudah sebentar lagi, aku akan bersama Nii-chan. Shin-kun kamu jangan sedih,
jangan nangis lagi. Aku sayang kamu Shin-kun.” Ucap Ri-chan, oh astagah.. kenapa? Ri-chan.
Tiba-tiba Ri-chan pingsan.. oh astagah.. “DOKTER.. DOKTER... SUSTER..” teriakku
memanggil dokter suster dan dokter suster pun langsung memeriksa Ri-chan. Banyak sekali
alat, oh tidak!! Ri-chan!!!
Tap.. tap.. tap..
“Shin-kun, Ri-chan gimana? Kenapa? Apa yang terjadi?” aku merasa dejavu. Tapi
bedanya wanita ini bersama dengan lelaki. Wanita ini menangis dan lelaki itu menenangkannya,
tetapi lelaki itu juga menangis, melihat mereka menangis membuatku ingin menangis kembali.
Sedih rasanya melihat mereka seperti itu. Sakit rasanya melihat Ri-chan lagi merenggang
nyawa di dalam ruangan itu. Ya tuhan, tolong selamatkan Ri-chan, kumohon. Kumohon tuhan..
tolong selamatakan Ri-chan...
“dok, dok gimana Ri-chan?!” ucap wanita itu setengah memekik. Dan dokterpun hanya
nunduk. Ya tuhan kumohon jangan!! Jangan!! Jangan sekarang!! Kumohon!!!
“maafkan kami, kami sudah berusaha sebaik mungkin.” Ucap dokter itu penuh rasa
bersalah. “TIDAKKKKK!!! DOK!! GAK MUNGKIN!! INI SEMUA GAK MUNGKIN!!! DOK,
KEMBALIKAN RI-CHAN!!!” oh ya yatuhan... kenapa? Kenapa bisa? Tuhan. Kenapa kau ambil
ia begitu cepat? Kenapa?
35 tahun kemudian
Sudah 35 tahun yang lalu Ri-chan meninggalkan ku tetapi, hati ini masih ada ia, ia
seperti angin, aku tidak dapat melihatnya, tetapi aku dapat merasakannya.
Hari ini adalah hari kematian Ri-chan, aku berencana akan kemakam Ri-chan. Ini adalah
acara tahunanku yang wajib diadakan. Aku pun masuk ke mobil spotku ya, walaupun aku sadah
tua tapi aku masih kuat untuk menyetir mobil sendirian karena aku tinggal sendirian. Ya aku
menjadi perjaka tua, dan seorang workerholic, karena apa? karena hatiku telah kututup rapat
untuk yang lain. Hariku hanya milik Ri-chan, tragis memang, tapi mau diapain lagi, memang
begini adanya.
Akhirnya aku sampai di pemakaman keluarga ‘Kamenashi.’ Ku parkirkan mobil sport ini
ditemapt parkir. Saat aku mau keluar, tiba-tiba hujan deras, sialan sekali hujan ini, tapi
seingetku aku menyimpan payung deh. Aku pun mulai mencari payung dan ternyata ketemu,
tiba-tiba aku inget Ri-chan, yatuhan Ri-chan, ini adalah payung saat kamu meninggal. Aku pun
tidak mau lama-lama didalam mobil. Aku pun keluar mobil dengan payung hitam ini.
Aku pun sampai di depan makam yang bertulisan ‘Kamenashi Rika’ ku cium nisannya,
dan akupun memanjatkan doa kepada tuhan agar Ri-chan bahagia disamping tuhan, Amin. Ri-
chan apa kabar kamu disana? Apakah kamu bahagia disana? Tunggu aku Ri-chan, aku akan
menyusulmu.
“Morimoto-san?” tiba-tiba ada yang memanggilku, dan akupun menengok kearah suara
dan kutemukan Wanita cantik dan lelaki tampan, yang kuketahui mereka adalah Kamenashi
Dakota dan Kamenashi Kazuya yaitu orang tua Ri-chan.
“apa kabar? Gimana sudah nikah?” tanya wanita itu, sudah lama aku tidak melihat
mereka. Dan banyak perubahan terhadap mereka, tubuh mereka sudah ringkih dan sepertinya
sering sakit-sakitan, yatuhan kasian sekali mereka. Apakah mereka bahagia? Kedua anak
mereka telah dipanggil yang maha kuasa, mereka tinggal berdua, yatuhan aku ingin sekali
seperti mereka.
“baik-baik saja. Bagaimana dengan kalian? Apakah masih sehat?”
“Seperti yang kamu lihat.” Aku tersenyum lirih mendengar jawaban Om kazuya.
Yatuhan, buatlah mereka bahagia, amin. Kulihat mereka berdoa untuk Ri-chan. “baiklah kami
pulang dulu, kamu sehat-sehat ya.” Nasihat tante Dakota. “iya, hati-hati dijalan.”
Aku pun kembali menatap makam Ri-chan, setelah kepergian kedua orang tua Ri-chan.
Tuhan tolong kabulkan permohonanku karena dia membuat Saya mempunyai cinta dalam
hidup saya.dan Itu membuat saya kuat. Dan Mungkin Tuhan punya rencana lebih besar untuk
Saya daripada rencana Saya untuk diri sendiri. Jadi saya mohon kabulkan doa saya.
Duh..duh.. jantungku sakit sakit. Yatuhan jangan kambuh dulu kumohon. Sa-sakit,
sekali... RI-CHAN? APA AKU TIDAK SALAH LIHAT? Yatuhan, kuulurkan tanganku kiewajah Ri-
chan, dan ia pun tersenyum hangat, wajahnya makin cantik. “Shin-kun, maukah kau ikut
denganku?” tanya Ri-chan, yatuhan ini aku diajak kemana? Apakah aku diajak untuk tinggal
bersama Ri-chan dan engkau? Yatuhan aku siap kalau engkau ingin membawaku bersama.
Tiba-tiba semua gelap.
          Shintaro terjatuh disebelah makam Ri-chan dan ditengah-tengahnya terdapat payung
hitam yang dipakai Shintaro dan seketika hujan pun berhenti, dan pelangi pun mulai muncul.
Dan terlihatlah Shin dan Rika sedang bergandengan tangan dan tersenyum bahagia. Ya,
payung hitam ini telah menjadi lambang cinta mereka yang abadi. Begitupun dengan kematian
mereka. Bahwa jodoh Shin adalah Rika, dan jodoh Rika adalah Shin.

-Tamat-

You might also like