You are on page 1of 4

Nama : Indri Pratiwi

Jurusan : pendidikan biologi

Argumentasi Kritis Tentang Gerakan Transformasi Ki Hadjar Dewantara Dalam


Perkembangan Pendidikan Sebelum Dan Sesudah Kemerdekaan

Terbelenggu dalam pusaran tirani penjajahan Belanda, telah mendorong Ki Hajar


Dewantara untuk memaknai pendidikan secara filosofi sebagai upaya memerdekakan
manusia dalam aspek lahiriah (kemiskinan dan kebodohan), dan batiniah (otonomi berpikir
dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik). (Syaharuddin & Heri Susanto :
2019)

Kondisi sekolah yang ada di tanah air, MULO dan HIS, yang menguntungkan
Pemerintah Kolonial juga menjadi alasan bagi Ki Hadjar Dewantara untuk mendirikan
Perguruan Taman Siswa. Pada masa itu, putra-putri Indonesia yang di sekolahkan di HIS
dididik dengan sistem pendidikan Pemerintah Kolonial, yang jelas sesuai dengan harapan dan
kepentingan mereka. (Bartolomeus Samho, SS, M.Pd & Oscar Yasunari, SS, MM : 2010)

Hal ini justru menjadikan bangsa indonesia kehilangan jati dirinya karena konten
pelajaran yang dimuat hanya bacaan, baik secara implisit maupun eksplisit merupakan upaya
secara sistematis agar generasi Indonesia melupakan, merendahkan diri dan martabat
bangsanya sendiri. Perkembangan pendidikan zaman dulu tidak terlepas dari peran Ki Hajar
Dewantara. Menurut Ki Hajar Dewantara, Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan
kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

Konsep pendidikan yang diterapkan oleh ki hajar dewantara adalah dengan


memanusiakan manusia (humanis) secara utuh dan penuh kearah kemerdekaan lahiriah dan
bathiniah. Dimana dalam pendidikan itu harus bersentuhan dengan upaya konkret berupa
pengajaran dan pendidikan. Pengajaran berupa usaha untuk membangun kognisi sesorang
atau belajar dari yang tidak tahu menjadi tahu (proses kognitif) sehingga menyadarkan
seseorang bahwa manusia itu mempunyai hak-hak sama yang merupakan anugrah dari Tuhan
Yang Maha Esa. Sementara pendidikan adalah makna, perenungan atas ilmu yang diperoleh
atau keselarasan antara ilmu yang didapat dengan perbuatan dan sikap. Proses belajar pada
waktu itu yang diterapkan Ki Hajar Dewantara, peserta didik tidak dipaksa untuk melakukan
suatu hal yang bisa menyebabkan tekanan batin tetapi peserta didik belajar dan bertumbuh
kembang sesuai dengan potensinya masing-masing.

Menurut Ki Hajar Dewantara guru merupakan fasilitator, pengarah, penuntun atau


pengasuh bukan penyuruh. Dari konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara Ia berupaya
membangun dan menyelenggarakan pendidikan untuk manusia di Indonesia dengan konsep,
landasan, semboyan dan metode yang menampilkan kekhasan kultural Indonesia. Pendidikan
dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan antara satu
dengan yang lainnya karena pendidikan terjadi didalam interaksi antara manusia pada suatu
masyarakat yang berbudaya.

Setelah kemerdekaan Indonesia mulai mendirikan pendidikan yang bebas bagi


masyarakat Indonesia. Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi pasca
kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang bebas terhadap
pendidikan (Bartolomeus Samho, SS, M.Pd & Oscar Yasunari, SS, MM : 2010). Dimulai dari
pendidikan yang rendah di Indonesia dimulai pada awal kemerdekaan disebut dengan
Sekolah Rakyat (SR) masa pendidikannya awalnya 3 tahun menjadi 6 tahun. Selain
pendidikannya, saya juga mengetahui adanya perubahan kurikulum saat merdeka sampai
sekarang.

Kurikulum awal kemerdekaan yaitu kurikulum 1947 adalah kurikulum pertama sejak
Indonesia merdeka. Pada masa tersebut siswa lebih diarahkan bagaimana cara bersosialisasi
dengan masyarakat. Proses pendidikan sangat kental dengan kehidupan sehari-hari. Aspek
afektif dan psikomotorik lebih ditekankan dengan pengadaan pelajaran kesenian dan
pendidikan jasmani. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana menumbuhkan
kesadaran bela negara (Bartolomeus Samho, SS, M.Pd & Oscar Yasunari, SS, MM : 2010).

Kemudian Kurikulum 1952, kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem
pendidikan Indonesia. Pada masa ini memang kebutuhan peserta didik akan ilmu
pengetahuan lebih diperhatikan, dan satuan mata pelajaran lebih dirincikan. Namun, dalam
kurikulum ini siswa masih diposisikan sebagai objek karena guru menjadi subjek sentral
dalam pentransferan ilmu pengetahuan. Kurikulum 1964, kurikulum ini pengetahuan
akademik untuk pembekalan pada jenjang SD (Bartolomeus Samho, SS, M.Pd & Oscar
Yasunari, SS, MM : 2010).

Kurikulum 1968, kurikulum pertama pada era orde baru. Pada masa ini siswa hanya
berperan sebagai pribadi yang pasif, dengan hanya menghapal teori-teori yang ada tanpa ada
pengaplikasian dari teori tersebut. Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada
kurikulum ini. Maka secara praktis, kurikulum ini menekankan pembentukkan peserta didik
hanya dari segi intelektualnya saja (Bartolomeus Samho, SS, M.Pd & Oscar Yasunari, SS,
MM : 2010).

Kurikulum 1975, Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan agar pendidikan lebih
efektif dan efisien berdasar MBO (management by objective). Metode, materi, dan tujuan
pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal
dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan (Bartolomeus
Samho, SS, M.Pd & Oscar Yasunari, SS, MM : 2010).

Kurikulum 1984 mengusung pendekatan proses keahlian. Model ini disebut Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA). Pada kurikulum ini siswa diposisikan sebagai subjek dalam
proses belajar mengajar. Siswa juga diperankan dalam pembentukkan suatu pengetahuan
dengan diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, bertanya, dan mendiskusikan
sesuatu. Sementara dasar dan tujuan pendidikan sama dengan kurikulum 1975 (Bartolomeus
Samho, SS, M.Pd & Oscar Yasunari, SS, MM : 2010).
Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum
untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga
daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan
lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar. Pengajaran dari hal yang konkrit ke hal yang
abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit dan dari hal yang sederhana ke hal yang
kompleks. Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk
pemantapan pemahaman. Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa
permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan
materi (content oriented), di antaranya adalah beban belajar siswa terlalu berat karena
banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/ substansi setiap mata pelajaran. Kemudian
materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan
berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-
hari. (Bartolomeus Samho, SS, M.Pd & Oscar Yasunari, SS, MM : 2010).

Kurikulum 2004 diluncurkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Pada


pelaksanaan kurikulum ini, posisi siswa kembali ditempatkan sebagai subjek dalam proses
pendidikan dengan terbukanya ruang diskusi untuk memperoleh suatu pengetahuan. Siswa
justru dituntut untuk aktif dalam memperoleh informasi. Kembali peran guru diposisikan
sebagai fasilitator dalam perolehan suatu informasi. Kegiatan pembelajaran menggunakan
pendekatan dan metode yang bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber
belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif (Bartolomeus Samho, SS, M.Pd & Oscar
Yasunari, SS, MM : 2010).

Kurikulum 2006, pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi


dasar. Kurikulum ini juga dinamakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam
kurikulum ini, unsur pendidikan dikembalikan kepada tempatnya semula yaitu unsur teoritis
dan praksis. Namun, dalam kurikulum ini unsur praksis lebih ditekankan dari pada unsur
teoritis. Setiap kebijakan yang dibuat oleh satuan terkecil pendidikan dalam menentukan
metode pembelajaran dan jenis mata ajar disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan
lingkungan sekitar. (Bartolomeus Samho, SS, M.Pd & Oscar Yasunari, SS, MM : 2010).

Kurikulum 2013, memiliki tiga aspek penilaian, yaitu aspek pengetahuan, aspek
keterampilan, dan aspek sikap dan perilaku. Kurikulum terbaru di abad ke-21 yaitu
Kurikulum Merdeka yang dikembangkan sebagai kerangka kurikulum yang lebih fleksibel,
sekaligus berfokus pada materi esensial dan pengembangan karakter dan kompetensi peserta
didik. (H. R. Alpha Amirrachman, M.Phil., Ph.D. H. Teuku Ramli Zakaria, M.A., Ph.D.)

Transformasi pendidikan dari zaman orde lama sampai zaman reformasi dengan
penerapan kurikulum yang berbeda menurut saya masih menekankan pada aspek kognitif.
Hal ini menurut saya akan mengenyampingkan aspek afektif dan psikomotor. Perkembangan
karakter peserta didik tidak tumbuh secara maksimal sehingga perkembangan ilmu
pengetahuan peserta didik kurang selaras dengan perbuatan dan sikap. Contohnya sekarang
banyak orang pintar tapi tidak menggunakan hatinya dalam bertindak seperti korupsi.
Perubahan kurikulum yang selalu berubah-ubah merupakan ciri bahwa indonesia belum
menemukan jati diri dalam pendidikan. Namun sebagai upaya dalam memperbaiki
pendidikan di Indonesia Menteri Pendidikan Nadiem Makarim telah melakukan perubahan
kurikulum yaitu kurikulum merdeka belajar. Kurikulum ini jika dilihat dari isinya lebih
fleksibel, sesuai dengan namanya “MERDEKA” berarti sebuah pendidikan atau proses
pembelajaran yang memerdekakan baik itu bagi peserta didik maupun tenaga pendidiknya.
menurut saya sistem pendidikan saat ini jangan sampai menghilangkan budaya pendidikan
zaman dulu. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh Ki Hajar Dewantara jangan dilupakan
apalagi dihilangkan.

Menurut Bartolomeus Samho, SS, M.Pd Oscar Yasunari, SS, MM : 2010, setelah
mengelaborasi konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan membahas tantangan-tantangan
implementasinya dalam praksis pendidikan, kami merumuskan lima rekomendasi berikut ini,
yang penting diperhatikan lembaga pendidikan dan praktisi pendidikan di Indonesia dewasa
ini, bahwa pendidikan hendaknya diarahkan untuk:

1. Memerdekaan lahiriah dan batiniah (sehingga menjadi pribadi yang memiliki otonomi
intelektual, otonomi eksistensial, otonomi sosial).
2. Membangun kesadaran peserta didik bahwa dirinya adalah bagian integral dari alam
semesta.
3. Membentuk perasaan peserta didik untuk mencintai ketertiban dan kedamaian.
4. Membentuk sikap tanggungjawab dalam diri peserta didik agar setia dan
bertanggungjawab dalam memelihara nilai-nilai dan bentuk-bentuk kebudayaan
nasional.
5. Membangun rasa nasionalisme dalam diri peserta didik sehingga ia merasa satu
dengan bangsanya dan cinta akan bangsanya.
6. Membangun rasa persaudaraan dalam diri peserta didik yang berskala planeter (lintas
batas) sehingga melalui keluhuran akal budi dan kebeningan nuraninya tumbuh
perasaan cinta kasih terhadap sesama manusia.

You might also like