You are on page 1of 19

ASPEK POLITIK, SOSIAL DAN BUDAYA DALAM PENDIDIKAN

ISLAM
Sholikin1

Abstract: Educational institutions hope society participation. This is the a community


based management application concept which is in accordance with Islamic concept that
emphasizes parent’s responsibility towards their children’s education. Islamic education
institutions’ progress is determined by their ability in establishing cooperation with the
community in a fact. This condition is because of the support of system changes from
centralization to decentralization and regional autonomy. This shows that education from
social aspect is regarded as one of social construction or created by social interaction
between school residents and community. Another support is the relationship of
educational goals, curriculum, teaching and learning process, and other educational
components. Meanwhile, the cutural aspect in Islamic education can be implemented in
educational vision, mission, goals, curriculum, teaching and learning programs,
management, academic atmosphere and multicultural education. This is appropriate with
pluralistic Indonesian society, both cultural, ethnic, social, political, economic
stratification and so on. This article discusses about politic, social, cultural aspects related
to Islamic education, such as; the importance of community empowerment, community-
based management in facing the future, mobilizing the participation of parents and the
community, and the role of education council and school committee in improving the
quality of Islamic education.

Keywords: society perticipation, Islamic educational institution

Pendahuluan
Pendidikan Islam,2 sebagai usaha dan karya manusia, berkembang seiring dengan
dinamika dan perubahan pranata sosial. Jika mampu mengikuti irama perubahan, maka
akan survive. Sebaliknya jika lamban, maka cepat atau lambat akan tertinggal dan
ditinggalkan di landasan. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa
eksistensi pendidikan Islam merupakan salah satu syarat mendasar dalam meneruskan dan
mengabadikan kebudayaan manusia. Hal ini disebabkan karena pendidikan Islam, sebagai
bagian dari sistem pendidikan nasional, memegang amanat untuk membina dan
membangun manusia Indonesia seutuhnya, sebagaimana tercermin dalam pembukaan
UUD 1945, untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.3
Secara tegas dinyatakan dalam amanat Pasal 31 UUD 1945 dan perubahannya yang
menyebutkan bahwa (1) tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, (2)
1
Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 Jombang Jawa Timur.
2
Kata pendidikan dalam bahasa Inggris yaitu education dan bahasa Arab disebut tarbiyah, yang berarti
tumbuh dan berkembang. Abu Luwis al-Yasu’i, al-Munjid fi al-Lughah wa al-Munjid fi al-A’lam (Beirut:
Dar al-Masyriq, tt.), 81.
3
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Hasil Amandemen (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), 3.
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.4
Bagi umat Islam, agama merupakan dasar utama dalam mendidik anak-anaknya
melalui sarana-sarana pendidikan. Dengan menanamkan nilai-nilai agama akan sangat
membantu terbentuknya sikap dan kepribadian anak kelak pada masa dewasa. Dapat
dikatakan bahwa pendidikan Islam adalah usaha yang diarahkan kepada pembentukan
kepribadian anak agar sesuai dengan ajaran Islam atau suatu upaya dengan ajaran Islam,
memikir, memutuskan dan berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam serta bertanggung jawab
sesuai dengan nilai-nilai Islam.5
Secara yuridis, pendidikan Islam berada pada posisi strategis, baik pada UUSPN
Nomor 2 Tahum 1989 maupun pada Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Sebagaimana yang terlihat pasal 1 ayat 5 UU Sisdiknas yang menyebutkan bahwa
pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.6 Pasal 4
UU menyatakan bahwa pendidikan nasioanal bertujuan mengembangkan peserta didik
agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, berbudi mulia, sehat berilmu, kompeten, terampil, kreatif, mandiri, estetis,
demokratis dan memiliki rasa kemasyarakatan dan kebangsaan.7 Sedangkan Pasal 13 ayat
1 huruf a UU Sisdiknas menyatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan
pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan
diajarkan oleh pendidik yang seagama.8
Mencermati pasal-pasal tersebut di atas, terlihat bahwa pendidikan agama (Islam)
tidak hanya menekankan kepada pengembangan IQ, tetapi EQ dan SQ secara harmonis.
Pendidikan Islam dituntut harus mampu melahirkan insan yang beriman-takwa, berakhlak
mulia dan memiliki kualitas intelektual yang tinggi.
Terkait aspek kelembagaan, pendidikan Islam tidak dapat melepaskan diri dari
faktor lingkungan pendidikan yang menjadi salah satu penentu keberhasilan pendidikan itu

4
Ibid, 25.
5
Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 152.
6
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Eko Jaya, 2003),
5.
7
Ibid, 8.
8
Ibid, 11.
sendiri dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Lingkungan pendidikan adalah segala
sesuatu yang ada dan terjadi di sekeliling proses pendidikan ittu berlangsung terdiri dari
manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda mati. Keempat kelompok benda-benda
lingkungan pendidikan itu ikut berperan sebagai usaha setiap peserta didik
mengembangkan dirinya, namun manajemen pendidikan menaruh perhatiannya terutama
lingkungan yang berwujud manusia, yaitu masyarakat.9
Lingkungan pendidikan yang dimaksud adalah masyarakat. Terdapat hubungan
saling memberi dan saling menerima antara lembaga pendidikan dengan masyarakat
sekitarnya. Lembaga pendidikan merealisasikan cita-cita warga masyarakat tentang
pengembangan putra-putri mereka. Hampir tidak ada orang tua siswa yang mampu
membina sendiri putra-putri mereka untuk dapat tumbuh dan berkembang secara total,
integratif dan optimal seperti yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Itulah sebabnya
lembaga-lembaga pendidikan mengambil alih tugas ini. Lembaga pendidikan memberikan
sesuatu yang sangat berharga kepada masyarakat.
Lembaga pendidikan sebenarnya melaksanakan fungsi ganda terhadap masyarakat,
yaitu memberikan layanan dan sebagai agen pembaharu. Fungsi layanan karena lembaga
pendidikan melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat berupa memberikan pendidikan
dan pengajaran kepada putra-putri mereka. Sedangkan sebagai agen pembaharu karena
harus selalu mengikutsertakan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan agar
hasilnya lebih efektif.
Dengan mengadakan kontak hubungan dengan masyarakat, akan memudahkan
lembaga pendidikan menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi lingkungan yang
meliputi aspek politik, sosial dan budaya. Lembaga pendidikan lebih mudah menempatkan
diri di masyarakat, dalam arti dapat diterima sebagai bagian dari milik warga masyarakat
dan mampu mengikuti arus dinamika masyarakat lingkungannya. Dengan demikian,
lembaga pendidikan akan mampu bertahan lama dan memiliki nama baik di hati
masyarakat. Lembaga pendidikan yang tidak memiliki nama baik di masyarakat yang
simpatik dan mau mengantarkan anaknya ke lembaga pendidikan tersebut.
Berdasarkan konsep di atas, pemerintah menyerukan bahwa pendidikan adalah
tanggung jawab bersama antara pemerintah, orang tua dan masyarakat. Seruan ini
mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan harus tidak menutup diri, melainkan selalu
mengadakan kontak hubungan dengan orang tua dan masyarakat sekitarnya sebagai

9
Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 177.
penanggung jawab pendidikan. Hal ini sejalan dengan konsep Islam tentang kewajiban
setiap masyarakat (orang tua) untuk selalu mendidik dan mengarahkan anaknya agar tidak
terjerumus kepada api neraka, sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. al-Tahrim: 6.
Lembaga pendidikan, dengan demikian, bukan badan yang berdiri sendiri dalam
membina pertumbuhan dan perkermbangan putra-putri bangsa, melainkan suatu bagian
yang tidak terpisahkan dari masyarakat yang luas. Dia sebagai sistem terbuka, yang selalu
mengadakan kerjasama dengan warga masyarakat lainnya, secara bersama-sama
membangun di bidang pendidikan. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena masyarakat
sadar tentang manfaat pendidikan sebagai modal utama dalam membangun dan
memajukan bangsa, termasuk masyarakat dan keluarga sendiri.
Artikel ini akan membahas aspek politik, sosial dan budaya yang terkait dengan
pendidikan Islam, yang meliputi pentingnya pemberdayaan masyarakat, manajemen
berbasiskan masyarakat dalam menyongsong masa depan, menggalang partisipasi orang
tua dan masyarakat serta peran dewan pendidikan dan komite sekolah dalam meningkatkan
mutu pendidikan Islam.

Pembahasan
A. Pemberdayaan Masyarakat
Kata power dalam empowerment diartikan sebagai daya, sehingga empowerment
diartikan sebagai pemberdayaan. Daya dalam arti kekuatan yang berasal dari dalam, tetapi
dapat diperkuat dengan unsur-unsur penguatan yang diserap dari luar.10 Pada konteks
pemberdayaan masyarakat, dapat dilihat dalam berbagai sisi. Pertama adalah menciptakan
suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di
sini, titik tolaknya adalah bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang
dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya atau potensi
manusia dengan upaya mendorong memotivasikan dan membangkitkan kesadaran tentang
potensi yang dimiliki dan berupaya untuk mengembangkannya. Kedua adalah memperkuat
potensi atau daya serta upaya untuk mengembangkannya. Ketiga adalah memperkuat
potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Untuk itu diperlukan
langkah-langkah yang nyata, program yang terarah dan menciptakan iklim dan suasana
yang kondusif. Keempat adalah memberdayakan mengandung arti melindungi. Dalam
melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak

10
Ginanjar Kartasasmita, Manajemen dan Visi Pembangunan Indonesia (Jakarta: Intermasa, 1997), 8.
seimbang dan eksploitasi yang kuat terhadap yang lemah. Upaya memberdayakan
masyarakat harus terarah. Kelima adalah pemberdayaan adalah konsep yang menyeluruh
(holistic). Pemberdayaan itu menyangkut dapat memberikan nilai tambah dalam ekonomi,
sosial, budaya dan politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 11
Salah satu ciri masyarakat pada milenium ketiga adalah masyarakat industri.12 Visi
masyarakat Indonesia, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kartasasmita, ada dua konsep
besar. Pertama adalah manusia Indonesia yang berpendidikan lebih tinggi, lebih sehat,
pengetahuan umumnya lebih luas, makin cerdas manusia dan pekerjaannya makin
terspesialisasi, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin canggih, makin
berdisiplin dan dengan interaksi yang makin intensif dengan dunia internasional. Kedua
adalah kualitas demokrasi meningkat, kehidupan masyarakat yang transparan,
berkembangnya sikap pembaruan dan kritis masyarakat serta meningkatnya kualitas
partisipasi masyarakat.13
Widodo mengemukakan gambaran kualitas SDM Indonesia yang diharapkan pada
milenium ketiga. Pertama adalah manusia yang sadar ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kedua adalah manusia kreatif. Ketiga adalah manusia beretika solidaritas. Manusia yang
sadar ilmu pengetahuan dan teknologi adalah manusia yang sadar ilmu dalam arti manusia
serba tahu dan mereka merasa bahwa proses belajar tidak pernah selesai. Manusia tersebut
harus mampu belajar sepanjang hayat (life long learning), karena dunia berubah dengan
cepat. Sedangkan manusia sadar iptek menurut Mangunwijaya, sebagaimana dikutip
Widodo, adalah manusia perantau dalam arti kultural dan gaya hidup, dalam cara pikir dan
suasana hati dengan iklim penghayatan multidimensional.14
Manusia yang sadar iptek memiliki beberapa indikator. Pertama adalah
kemampuan belajar sepanjang hayat membuat manusia mampu dua atau tiga karakter
sekaligus. Kedua adalah manusia mampu mencerna informasi yang bertubi-tubi
membanjiri dari luar, termasuk di dalamnya hasil teknologi canggih dan mampu membuat
analisis secara tajam atas segala perubahan. Ketiga adalah mampu berpikir secara kreatif,
integrative dan konseptual. Kemampuan-kemampuan tersebut ibarat masuknya informasi
kepada seseorang sebagai komoditi yang mahal di samping komoditi yang lainnya. Dalam
perkembangan iptek, terutama teknologi informasi, bahwa informasi yang diterima peserta

11
Sufyarma, Kapita Selekta Manajemen Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2004), 63.
12
M. Dawam Rahardjo, Menuju Masyarakat Industrial Pancasila (Jakarta: Mizan, 1996), 139.
13
Ginanjar Kartasasmita, Manajemen dan Visi Pembangunan Indonesia, 43.
14
Widodo, Menuju Masyarakat Baru Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1990), 1-2.
didik bukan hanya lewat institusi pengajaran, tetapi juga lewat institusi lain, di antaranya
media massa, baik sadar bahwa pentingnya harga suatu informasi. Manusia mampu
bereaksi secara cepat dalam menghadapi dunia yang berubah secara kompetitif.15
Manusia kreatif mampu menghadapi tantangan baru dan mampu mengantisipasi
perkembangan iptek. Kemampuan yang dimiliki oleh manusia kreatif antara lain adalah
kemandirian, keberanian dan tidak mau kompromi, sebab konformitas merupakan bahaya
terbesar bagi perkembangan kreativitas. Kreativitas disertai keberanian dan bertanggung
jawab sebagai realisasi dari sikap mandiri.
Manusia mandiri akan bersungguh-sungguh menghidupi kehidupan dan tanpa sikap
mandiri manusia akan hidup terus tergantung, kurang gerak untuk memperbaiki
kehidupannya, tidak ada keinginan untuk menciptakan peluang dan selalu menunggu untuk
diberi kesempatan. Manusia yang tidak mandiri dan tidak kreatif akan menghambat
pembangunan. Namun manusia yang memiliki kemandirian dan kreativitas akan memiliki
harga diri, memiliki kepercayaan pada diri sendiri dan memungkinkan manusia tersebut
untuk berprakarsa dan bersaing.
Kemandirian manusia, menurut Kantor Menteri Kependudukan dan Lingkungan
Hidup RI, sebagaimana yang dikutip Widodo dalam Samsul Nizar, dapat dilihat dari
beberapa dimensi. Pertama adalah bebas, dalam arti tumbuhnya tindakan atas kehendak
sendiri dan bukan karena orang lain, bahkan dan tidak tergantung kepada orang lain.
Kedua adalah progresif dan ulet, seperti tampak pada usaha mengejar prestasi, penuh
ketekunan, merencanakan dan mewujudkan harapan-harapannya. Ketiga adalah
berinisiatif, yang berarti mampu berpikir dan bertindak secara rasional, kreativitas dan
penuh inisiatif. Keempat adalah pengendalian dari dalam, adanya kemampuan untuk
mengatasi masalah yang dihadapi, mampu mengendalikan tindakannya dan kemampuan
mempengaruhi lingkungan atas usahanya sendiri. Kelima adalah kemantapan diri (self-
esteem, self confidence), mencakup aspek percaya pada diri sendiri dan memperoleh
kepuasan atas usahanya sendiri.
Manusia beretika adalah manusia yang memiliki pedoman moral etis dalam setiap
tindakan yang dilakukan. Manusia pada milenium ketiga berpegang kepada prinsip
keadilan yang pada hakikatnya berarti memberikan kepada semua pihak yang menjadi
haknya. Manusia yang memahami dan mengamalkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa dalam kehidupan sehari-hari.

15
Sufyarma, Kapita Selekta Manajemen Pendidikan, 32.
Semua orang bernilai sama sebagai manusia. Tuntutan paling mendasar adalah
keadilan dan perlakuan yang sama terhadap semua orang dalam situasi yang sama. Dalam
prinsip keadilan tersebut harus menghargai orang yang telah berhasil dalam berusaha dan
memberikan yang menjadi hak seseorang. Konsep tenggang rasa merupakan salah satu
semangat keadilan sosial. Manusia berkeadilan sosial menghargai manusia lain sebagai
pribadi sebagai perwujudan sikap untuk menghargai diri sebagai pribadi. Manusia
memiliki tiga prinsip moral, yaitu prinsip sikap baik mengacu kepada nilai yang ada,
prinsip hormat kepada orang yang bersikap positif untuk prinsip keadilan dan prinsip
hormat kepada diri sendiri mengacu pada nilai yang tidak terhingga untuk setiap makhluk
manusia.
Tiga kemampuan manusia berkualitas yaitu sadar iptek, kreatif dan beretika
solidaritas sangat berperan dalam menghadapi era globalisasi, khususnya untuk memasuki
milenium ketiga. Era globalisasi merupakan masa yang dunia menjadi begitu terbuka dan
transparan, sehingga ada kesan seolah-olah tidak ada lagi batas suatu negara (boarderless
states). Di dalam era globalisasi dan abad virtual dewasa ini, banyak konsep-konsep sosial
seperti integrasi, kesatuan, persatuan, nasionalisme dan solidaritas, tampak semakin
kehilangan realitas sosialnya dan akhirnya menjadi mitos. Berbagai realitas sosial yang
berkembang dalam skala global, khususnya sebagai akibat kemajuan teknologi informasi,
justru menggiring masyarakat global ke arah akhir sosial.16
Globalisasi ini dimulai dalam bidang teknologi informasi dan ekonomi yang
kemudian mempunyai implikasi kepada bidang-bidang lain. Kekuatan global yang
dimaksud pada umumnya bertumpu kepada kemajuan iptek terutama dalam bidang
informasi serta inovasi baru dalam bidang teknologi yang mempermudah kehidupan
manusia, perdagangan bebas yang ditunjang oleh kemajuan iptek, kerja sama regional dan
iternasional yang telah menyatukan kehidupan berusaha dari bangsa-bangsa tanpa
mengenal batas negara dan meningkatkan kesadaran terhadap hak-hak asasi manusia serta
kewajiban manusia di dalam kehidupan bersama.17
Kewajiban iptek dalam bidang informasi membuat masyarakat tidak merasa bahwa
guru sebagai satu-satunya sumber dalam belajar pada sistem pendidikan tinggi, karena
perguruan tinggi belum mampu mentransfer iptek dalam upaya peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Hal ini dapat berubah sangat cepat dalam struktur ekonomi dunia

16
Samsul Nizar dkk, Isu-Isu Kontemporer Tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), 88-90.
17
HAR. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional (Magelang: Tera Indonesia, 1998), 41.
yang makin menyatu. Era globalisasi telah masuk ke dalam berbagai aspek kehidupan
yang membuat setiap bangsa menjadi bagian dari nilai dunia. Dalam era globalisasi ini
muncul ketidakpuasan masyarakat pada sistem pendidikan, khususnya sistem pendidikan
tinggi. Hal ini dapat dilihat ada rendahnya daya saing tenaga kerja Indonesia sebagai
produk perguruan tinggi terhadap tuntutan lingkungan yang berubah sangat cepat dalam
struktur ekonomi dunia yang makin menyatu. Berkaitan dengan rendahnya daya saing
tenaga kerja Indonesia dikemukakan oleh Umar Juoro bahwa perlu mengantisipasi
perubahan persaingan yang ditentukan oleh kualitas smber daya manusia dan kemampuan
teknologi.18
Tantangan strategi pembangunan nasional adalah menggeser titik tumpu daya saing
nasional pada lemampuan SDM dan teknologi dan pada saat yang sama
mentransformasikan unit-unit usaha kecil dan menengah yang merupakan basis ekonomi
rakyat menjadi salah satu pendukung utama kekokohan perekonomian nasional. Fokus
sekarang adalah pada pembangunan manusia (people centered development), baik dalam
mendukung pertumbuhan maupun pemerataan hasil-hasilnya. Peran serta masyarakat
dalam kegiatan produktif akan semakin menentukan perekonomian, baik dalam pengertian
meningkatkan daya saing maupun dalam memeratakan hasil pembangunan.
Masyarakat madani, di sisi lain, diskursusnya di Indonesia pertama kali digagas
oleh Muhammad AS Hikam pada tahun 1993 melalui karyanya Democracy and Civil
Society. Konsep ini mengambil inspirasi karya Adam Ferguson melalui bukunya yang
berjudul An Essay on The History of Civil Society dan telah dipublikasikan sejak tahun
1767. Kemudian malalui forum Islamika Festifal Istiqlal pada tahun 1995, Anwar Ibrahim
(Deputi PM Malaysia saat itu) mencoba memberikan formulasi yang lebih spesifik dengan
menelusuri akar permasalahannya melalui sejarah umat Islam. Konsep masyarakat madani,
secara semantik merupakan terjemahan dari al-mujatama’ al-madani dengan derivasi kata
madinah yang berarti masyarakat kota. Di sisi lain, Madani berasal dari kata tamaddun dan
madaniyah yang bermakna peradaban. Dengan demikian, masyarakat madani identik
dengan masyarakat kota yang beradab. Profil masyarakat tersebut mengacu kepada
struktur masyarakat yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad Saw ketika menata
masyarakat Madinah. Jika dicermati lebih lanjut format penataan masyarakat Madinah
yang dilakukan Nabi Saw, dengan data otentik yang dapat dijadikan rujukan, adalah

18
Umar Juoro, Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Teknologi (Jakarta: Amanah Putra Nusantara,
1996), 168.
sebuah undang-undang yang disusun Nabi Saw berdasarkan kesepakatan seluruh penduduk
Madinah dan sekitarnya yang terekam secara eksplisit dalam konstitusi yang dikenal
dengan Piagam Madinah. Dalam teks Piagam Madinah, masyarakat yang dibangun Nabi
Saw jelas memiliki karakter masyarakat heterogen, baik segi keturunan, budaya dan
agama. Di dalamnya terdapat masyarakat muslim, yaitu golongan Muhajirin dan Anshor,
kaum Yahudi dan Arab non-muslim.19
Perubahan menuju masyarakat madani dan untuk selanjutnya menuju masyarakat
etis diperlukan individu dan masyarakat yang berkemampuan tinggi. Peran pendidikan
adalah mempersiapkan individu dan masyarakat, sehingga memiliki kemampuan dan
motivasi serta berpartisipasi secara aktif dalam aktualisasi dan institusionalisi masyarakat
madani. Misalnya untuk menjadi pelaku aktif dalam ekonomi pasar, masyarakat
membutuhkan lembaga-lembaga perekonomian madani, dalam sektor manufaktur ataupun
jasa, yang efektif dan hanya mungkin diisi oleh sumber daya manusia bermutu tinggi.
Dalam bidang politik, untuk membangun sistem politik multi partai, lembaga perwakilan
yang representatif, pemerintah bersih dan berwibawa juga membutuhkan sumber daya
manusia profesional dalam bidangnya dan memiliki komitmen tinggi terhadap tata nilai
dan sistem masyarakat madani yang diperjuangkan.
Pada masyarakat pra-modern, pendidikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab
keluarga. Namun dengan semakin kompleksnya masyarakat, keluarga tidak mungkin lagi
menunaikan fungsi pendidikan secara tuntas. Dalam masyarakat modern, muncul sistem
pendidikan yang diyakini mampu melaksanakan fungsi pendidikan dengan baik, sistem
pendidikan ini cenderung lebih banyak dikelola dan diwarnai kepentingan negara.
Memang tidak dapat diingkari bahwa pendidikan juga menjadi kepentingan negara, namun
tetap menjadi kepentingan masyarakat dan keluarga.
Kebijaksanaan reformasi pendidikan yang meliputi aspek-aspek makro, yaitu visi
sampai manajemen, dan aspek-aspek mikro, yaitu kebijaksanaan mengenai proses
pendidikan, isi dan prosedur pembelajaran harus terjadi. Pendidikan harus mampu
menghasilkan manusia unggul secara intelektual, mantap secara moral, kompetensi
menguasai iptek dan memiliki komitmen tinggi untuk berbagai peran sosial. Pada level
makro, dibutuhkan sistem pendidikan nasional yang demokratis, desentralisasi dan
berorientasi kemajemukan, semua itu tercermin di antaranya dalam pemerataan dan
aksebilitas kesempatan pendidikan. Desentralisasi kewenangan yang harus disertai dengan

19
Syakirman M. Noor, Menuju Masyarakat Madani (Padang: Baitul Hikmah Press, 2000), v.
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mengatur manajemen mutu. Pada level mikro, proses
pendidikan harus terjadi dalam iklim demokratis, kesempatan melakukan diversifikasi
secara profesional, dalam koridor mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.
Hasil dan manfaat pendidikan jangka panjang dapat mendukung kelanjutan
masyarakat madani. Kebijaksanaan pendidikan jangka menengah dan pendek untuk
membantu bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis nasional secara
berkepanjangan dan kompleks sampai dicapai pemulihannya dalam bidang ekonomi,
politik, sosial budaya dan hukum yang peradaban. Penataan jangka panjang harus
menghasilkan sistem pendidikan yang mampu saling mendukung dengan sistem
masyarakat madani Indonesia yang pluralistis, etis dan relegius.
Jaring pengaman sosial (social safety net) yang efektif sangat mendesak diperlukan
untuk mengeliminasi ancaman yang membayangi bangsa ini, yaitu terjadinya kemerosotan
mutu satu atau dua generasi muda sebagai akibat krisis ekonomi, kekurangan gizi,
ketidakmampuan belajar dan drop out. Kebutuhan pendidikan berkelanjutan (continuing
education) membutuhkan berbagai alternatif pelayanan pembelajaran atau pendidikan
alternatif, terutama sekali untuk membantu kelompok ekonomi lemah dan yang terkena
pemutusan hubungan kerja, yang mereka ini bertanggung jawab moral untuk
meyekolahkan anaknya.
Pemberdayaan masyarakat madani membutuhkan beberapa pra-syarat, antara lain
adanya kebebasan pers, kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat dan berkumpul,
kontrol sosial berjalan dengan baik, tegaknya supremasi hukum dalam masyarakat dan
pemerintah serta masyarakat dan pemerintah harus tunduk pada hukum yang berlaku. Di
samping itu, perlu juga diperhatikan dalam pemberdayaan masyarakat madani. Pertama
adalah pendidikan kewargaan harus mampu menumbuhkan perspektif historis, kesadaran
nilai-nilai kebangsaan yang dibutuhkan dalam masyarakat madani. Kedua adalah dalam
pembentukan kepribadian yang unggul, perlu dikembangkan juga kemampuan intelegensi
yang berdimensi majemuk (multiple inteligence), termasuk di dalamnya adalah intelegensi
emosional, moral dan spiritual. Ketiga adalah pengembangan berbagai pendekatan dengan
pemberdayaan dan pendayagunaan media komunikasi massa, cetak dan elektronika.
Masyarakat juga membutuhkan literasi teknologi, sehingga tidak buta teknologi
(technological literacy).
Berbagai hal di atas adalah gambaran pemberdayaan masyarakat yang berwujud
pada terbentuknya masyarakat madani (civil society) yang diharapkan mampu menghadapi
tantangan global untuk mempertahankan nilai-nilai luhur budaya bangsa dan menjadi dasar
(basic) bagi pengembangan lembaga pendidikan Islam. Ajaran Islam pun berbicara tentang
konsep masyarakat yang sejahtera lahir batin dan senantiasa berada dalam curahan
ampunan Allah Swt, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Saba’: 15.
B. Pendidikan Berbasis Masyarakat
Terdapat kaitan erat antara organisasi, administrasi dan manajemen. Organisasi
adalah sekumpulan seseorang dengan ikatan tertentu yang merupakan wadah untuk
mencapai cita-cita mereka. Administrasi adalah tata kerja pemerintahan dengan fungsi
merencanakan, mengorganisasi dan mempimpin. Sedangkan manajemen adalah proses
mengintegrasikan sumber-sumber yang tidak berhubungan menjadi sistem total untuk
menyelesaikan suatu tujuan, seperti alat, media, bahan, uang dan sarana.20
Manajemen pada dunia pendidikan dapat diartikan sebagai aktivitas memadukan
sumber-sumber pendidikan agar terpusat dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yang
telah ditentukan sebelumnya. Dipilih manajemen sebagai aktivitas, bukan sebagai
individu, agar konsisten dengan istilah administrasi dengan administrator sebagai
pelaksananya dan supervisi dengan supervisor sebagai pelaksananya. Kepala sekolah,
misalnya, bisa berperan sebagai administrator dalam mengemban misi atasan, sebagai
manajer dalam memadukan sumber-sumber pendidikan dan sebagai supervisor dalam
membina guru-guru pada proses pembelajaran.
Administrasi, dengan demikian, adalah kerjasama antar anggota organisasi untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang mengenai kegiatan-kegiatan rutin, seperti
administrasi pengajaran, kesiswaan, kepegawaian, keuangan dan sarana prasarana.
Manajemen adalah kegiatan-kegiatan tidak rutin yang menangani gejolak, baik positif
maupun negatif, yang membutuhkan pemikiran dan aktivitas khusus untuk
menyelesaikannya, termasuk yang bertalian dengan sumber-sumber pendidikan. Gejolak
positif misalnya adalah ketidakmampuan guru dalam melaksanakan metode pembelajaran
baru. Sedangkan gejolak negatif misalnya adalah mengatasi demonstrasi siswa yang SPP-
nya tidak mau dinaikkan.
Manajemen berbasis masyarakat (community based management) memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhan setempat dengan mengandalkan kekuatan dan sumber daya yang digali dari
masyarakat. Dalam khazanah bangsa Indonesia, sudah sejak lama berkembang lembaga-

20
Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, 1-3.
lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren yang menggunakan prinsip-prinsip ini.
Lembaga-lembaga seperti itu tumbuh dan berkembang secara mandiri, tanpa banyak
uluran tangan pemerintah.21
Penyelenggaraan pendidikan, menurut sistem ini, harus mengikutsertakan
masyarakat karena masyarakatlah yang menjadi stakeholders yang pertama dan utama dari
proses pendidikan. Hal ini berarti proses pendidikan, tujuan pendidikan dan sarana
pendidikan, termasuk pula mutu pendidikan adalah merupakan tanggung jawab
masyarakat setempat. Tidak mengherankan jika dewasa ini suatu gerakan community
based management merupakan dasar dari pembangunan suatu masyarakat demokratis. Hal
ini merupakan dampak dari pemberlakuan sistem desentralisasi pendidikan sebagai
dampak dari otonomi daerah.
Berkenaan dengan hal ini, Nabi Muhammad Saw telah menjelaskan urgensi prinsip
kerjasama dalam rangka mencapai tujuan dakwah Islamiyah dan penyebarannya di seluruh
pelosok dunia pada waktu itu. Orang-orang Islam melaksanakan taktik atas saran yang
disampaikan oleh Salman Al-Farisi dalam perang Khandaq. Mereka dengan bersemangat
dan bersungguh-sungguh menggali parit. Nabi Saw memerintahkan untuk menggali parit
itu dan turut serta menggali. Nabi Saw memindahkan tanah dari parit hingga debu
menyelimuti tubuhnya.22 Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat menekankan
pentingnya kerjasama dalam berbagai hal untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
C. Menggalang Partisipasi Orang Tua
Masyarakat memandang sekolah (lembaga pendidikan) sebagai cara yang
meyakinkan dalam membina perkembangan para peserta didik, sehingga masyarakat
berpartisipasi dan setia kepadanya. Namun hal ini tidak otomatis terjadi terutama di
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan karena banyak warga
masyarakat yang belum paham tentang makna lembaga pendidikan, terlebih jika kondisi
sosial ekonominya rendah, mereka hampir tidak hirau kepada lembaga pendidikan. Pusat
perhatian mereka adalah pada kebutuhan dasar kehidupan sehari-hari.
Keikutsertaan warga masyarakat dalam pembangunan pendidikan di sekolah ini
sudah sepatutnya para manajer pendidikan melaui tokoh-tokoh masyarakat aktif
menggugah perhatian mereka. Para manajer dapat mengundang para tokoh ini untuk
membahas kerjasama dalam meningkatkan pendidikan. Dalam pertemuan ini mereka akan

21
Isjoni, Serial Manajemen: Arah Pendidikan Riau (Pekanbaru: Unri Press, 2003), 33-34.
22
Nawwal al-Thuwairaqi, Sekolah Unggulan Berbasis Sirah Nabawiyah, ter. Asmuni (Jakarta: Darul Falah,
2004), 134-135.
mengadu pendapat, bertukar pikiran, untuk menemukan alternatif-alternatif peningkatkan
pendidikan. Keputusan diambil secara musyawarah untuk memperoleh alternatif yang
terbaik.
Komunikasi tentang pendidikan kepada masyarakat tidak cukup hanya dengan
informasi verbal saja, tetapi juga perlu dilengkapi dengan pengalaman nyata yang
ditunjukkan kepada masyarakat, seperti pameran, kemampuan para siswa tampil dalam
acara cerdas cermat di televisi, piagam penghargaan yang diterima siswa berprestasi dalam
bidang tertentu dan berbagai penemuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan. Di samping
itu, jika lembaga pendidikan sanggup mencetak lulusan siap pakai, semua itu merupakan
faktor yang ikut membuat warga masyarakat berpartisipasi aktif dalam pembangunan
pendidikan disekolah.23
Pada negara-negara maju, terutama yang menganut sistem desentralisasi sekolah,
kesadaran masyarakat sebagai pemilik dan penanggung jawab lembaga pendidikan sudah
tinggi. Partisipasi mereka sudah besar, baik dalam perencanaan pelaksanaan maupun
dalam melakukan kontrol. Mereka benar-benar merasa memiliki, sehingga sumbangan
moral dan material mereka terhadap lembaga pendidikan begitu besar. Mereka melakukan
semua itu karena mereka yakin sekali bahwa pendidikan adalah modal utama bagi
peningkatan kehidupan keluarga, masyarakat dan bangsa.24
Di Indonesia, meskipun garis-garis besar aktivitas pendidikan beserta metode
kerjanya sudah diberikan oleh pemerintah pusat, tidak berarti tidak ada yang perlu
dipikirkan oleh para manajer pendidikan beserta tokoh-tokoh masyarakat dalam
pendidikan, antara lain dewan pendidikan, komite sekolah, persatuan orang tua siswa dan
lain sebagainya. Berkaitan dengan hal ini, betapa Islam juga memberikan perhatian yang
tinggi terhadap urgensi sekolah/madrasah melibatkan orang tua dan masyarakat dalam
penyelenggaraan lembaga pendidikan. Muhammad al-Balihisyi menulis bahwa jika
sekolah/madrasah mampu membangun komunikasi dengan para wali murid, maka berarti
sekolah itu telah mampu menciptakan suasana yang baik dan kondusif bagi para murid
serta suasana yang jauh dari berbagai kesulitan.25 Manajemen sekolah, dengan demikian,
harus berusaha menciptakan suasana yang penuh kasih sayang dan saling pengertian ketika
berhubungan dengan orang tua, masyarakat, sekalipun mereka berbeda-beda tingkatannya.
D. Peran Dewan Pendidikan
23
Nanang Fattah, Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 114.
24
Ibid, 187.
25
Nawwal al-Thuwairaqi, Sekolah Unggulan Berbasis Sirah Nabawiyah, 50.
Pemerintah, melalui Kemendikbud, melakukan berbagai terobosan untuk mencapai
paradigma baru untuk peningkatan mutu pendidikan. Hal ini sejalan dengan semangat
otonomi pendidikan, sebagai dampak dari perubahan paradigma pemerintahan dari
sentralisasi ke arah desentralisasi. Produk perubahan ini memberikan kesempatan kepada
msyarakat untuk dapat meningkatkan peran serta dalam pengelolaan dan pengawasan
terhadap kebijakan pendidikan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mewujudkan
melalui dewan pendidikan, sebagai amanat rakyat yang tertuang dalam UU Nomor 25
Tahun 1999 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2002-2004.26
Pembentukan dewan pendidikan untuk kabupaten dan kota bukan mengada-ada,
namun memiliki dasar hukum yang jelas. Dasar itu meliputi tujuh poin, salah satunya
adalah Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah.27 Pasal 1 dari Kepmendiknas tersebut ditetapkan bahwa (1) Pada setiap
kabupaten/kota dibentuk dewan pendidikan atas prakarsa masyarakat dan/atau pemerintah
kabupaten/kota. (2) Pada setiap satauan pendidikan atau kelompok satuan pendidikan
dibentuk komite sekolah atas prakarsa masyarakat, satuan pendidikan dan/atau pemerintah
kabupaten/kota.
Untuk melaksanakan amanat rakyat tersebut, maka pemerintah melalui
Kepmendiknas di atas, sejak tahun 2001 sudah melaksanakan rintisan sosialisasi
pembentukan dewan pendidikan di Provinsi Sumatera Barat, Bali dan Jawa Timur. Dari
hasil sosialisasi disimpulkan bahwa keberadaan dewan pendidikan sangat dipandang perlu
dan cukup strategis sebagai wahana untuk meningkatkan mutu pendidikan dan masyarakat
sendiri cukup antusias mendukung gagasan ini. Hasil evaluasi menunjukkan kiranya perlu
adanya materi sosialisasi berupa buku panduan, petugas sosialisasi dan koordinasi dengan
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Dewan pendidikan adalah badan yang mewadahi peran serta masyarakat untuk
meningkatkan mutu, pemerataan dan efesiensi pengelolaan pendidikan kabupaten/kota.
Dewan ini bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan hirarki dengan dinas pendidikan
kabupaten/kota maupun lembaga pemerintah lainnya. Dewan pendidikan merupakan
organisasi masyarakat pendidikan yang memiliki komitmen dan loyalitas serta memiliki
kepedulian terhadap kualitas pendidikan di daerah.

26
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004
(Jakarta: Sinar Grafika, 2001), 169-170.
27
Kepmendiknas RI Nomor 044/U/2002 Tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dalam Sisdiknas
2003 (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), 109.
Keberadaan dewan pendidikan sebagai mitra (patnership), baik bagi pihak
eksekutif, legislatif maupun dinas pendidikan. Dewan ini berperan seperti tercantum
melalui Kepmendiknas tersebut. Pertama adalah pemberian pertimbangan atau advisory
agency dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan. Kedua adalah sebagai
pendukung atau supporting agency, baik berbentuk finansial, pemikiran maupun tenaga
dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketiga adalah sebagai pengontrol atau controlling
agency, untuk transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan.
Keempat adalah sebagai mediator antara pemerintah selaku eksekutif dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah selaku legislatif dengan masyarakat.28
Jika dihayati dan direnungkan, dewan pendidikan itu bersifat mandiri dan
independen. Anggota dan pengurus terdiri dari tokoh-tokoh pendidikan, praktisi
pendidikan, LSM, tokoh masyarakat, yayasan penyelenggara pendidikan, dunia industri,
PGRI dan perwakilan komite sekolah. Pada umumnya mereka adalah pekerja sosial dan
honor bukan menjadi prioritas bagi mereka, akan tetapi yang sangat terpenting adalah
mutu pendidikan dapat ditingkatkan dan keluaran SDM berkualitas.
Kepmendiknas di atas menunjukkan banyak tugas dan peran serta fungsi dewan
pendidikan. Selain peran di atas, fungsi dewan pendidikan antara lain mendorong
komitmen masyarakat pendidikan bermutu, melakukan kerjasama dengan masyarakat,
pemerintah dan DPRD, menampung dan menganalisis aspirasi, ide dan tuntutan yang
diajukan masyarakat, memberikan masukan, pertimbangan dan rekomendasi kepada
pemerintah daerah, DPRD, mendorong orang tua berpartisipasi dalam pendidikan,
melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan dan
keluaran pendidikan dan lain sebagainya. Berdasarkan poin-poin tersebut, benar adanya
tugas dewan pendidikan sangat berat. Namun menyadari tentunya tugas yang dibebankan
tidak akan terlaksana dengan baik tanpa dukungan dari eksekutif maupun legislatif, mana
mungkin dewan pendidikan bekerja maksimal.
Komite sekolah, di sisi lain, identik dengan sebutan lain, seperti komite pendidikan,
dewan sekolah, majelis sekolah dan lain sebagainya. Nama komite sekolah merupakan
nama generik, artinya, bahwa nama badan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
masing-masing dan badan ini berada di satuan pendidikan. Berdasarkan perspektif historis
persekolahan dari tingkat SD, SLTP, SLTA di Indonesia, sesungguhnya masyarakat
sekolah, khususnya orag tua peserta didik, telah mengenal dan memerankan sebagian

28
Isjoni, Serial Manajemen, 47-48.
fungsinya sesuai dengan aspek hukum yang mendasarinya dalam membantu
penyelenggaraan pendidikan. Sebelum tahun 1974, masyarakat orang tua peserta didik di
lingkungan masing-masing sekolah telah membentuk persatuan orang tua dan guru
(POMG). Sesuai dengan perkembangan tuntutan mayasrakat terhadap penyelenggaraan
pendidikan jalur sekolah semakin meningkat, maka POMG pada awal tahun 1974
dibubarkan dan dibentuk badan penyelenggara pembantu penyelenggara pendidikan (BP3)
berdasarkan instruksi bersama Mendikbud, Mendagri Nomor 17/0/1974 dan Nomor
29/0/1974 tentang pembentukan BP3.
Instruksi bersama tersebut ditindaklanjuti oleh surat edaran PUOD/17/1/1982
Nomor 5306.MPK/78 tanggal 9 Pebruari 1978 tentang iuran BP3. Pasang surut
perkembangan penyelenggaraan pendidikan jalur dan jenis sekolah tidak dapat dilepaskan
dari partisipasi masyarakat, khususnya orang tua peserta didik, termasuk keberadaan BP3.
Seiring dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan dan hasil
pendidkan yang diberikan oleh sekolah dan perubahan sistem penyelenggaraan tatanan
pemerintahan dari sistem sentralisasi ke arah desentralisasi, maka dicarikan pilihan
konseptual yang dapat memecahkan persoalan persekolahan. Salah satu konsep yang
diduga akan memberikan pilihan pemecahan masalah adalah manajemen berbasis sekolah
(MBS). Dalam konteks MBS, partisipasi masyarakat merupakan faktor strategis. Oleh
sebab itu dipandang perlu ada suatu penataan peran dan fungsi BP3 yang selaras dengan
tuntutan maka sekarang dan masa depan.
BP3, dalam kurun waktu 26 tahun, pada umumnya masih belum berjalan sesuai
dengan harapan, terutama kelemahan dalam implementasi peran dan fungsinya.29 Pada saat
ini, selain adanya BP3 dibentuk pula komite sekolah yang beranggotakan kepala sekolah
sebagai ketua dan salah seorang guru, ketua BP3, ketua LKMD dan tokoh masyarakat
sebagai anggota. Pembentukan komite ini dimaksudkan untuk menangani pelaksanaan
rehabilitasi bangunan sekolah di jenjang SD/MI dan pembangunan unit gedung baru di
jenjang SMP/MTs. Sedangkan di jenjang SMK, selain BP3, dibentuk pula majelis sekolah
yang memiliki peran menjembatani sekolah dengan industri dalam pelaksanaan magang
dan bursa kerja khusus, kerjasama sekolah dengan Disnaker dalam pemasaran lulusan
SMK.
Pada saat implementasi MBS, organisasi yang ada tersebut mengalami pergeseran
peran dan fungsi serta melebur menjadi organisasi baru yang disebut dewan sekolah.

29
Nanang Fattah, Konsep Manajemen Berbasis Sekolah, 110.
Pembentukan dewan sekolah diharapkan mampu mewujudkan masyarakat sekolah yang
memiliki komitmen dan loyalitas serta peduli terhadap peningkatan kualitas peserta didik.
Tujuan pembentukan dewan sekolah adalah, (1) mewadahi dan meningkatkan partisipasi
para stakeholder pendidikan pada tingkat sekolah untuk turut serta merumuskan,
menetapkan, melaksanakan dan memonitoring pelaksanaan kebijakan sekolah dan
pertanggungjawaban yang terfokus pada kualitas pelayanan peserta didik secara
proporsional dan terbuka, (2) mewadahi partisipasi para stakeholder turut serta dalam
manajemen sekolah sesuai dengan peran dan fungsinya, berkenaan dengan perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi program sekolah secara proporsional, (3) mewadahi partisipan,
baik individu maupun kelompok sukarela (volounteer) pemerhati atau pakar pendidikan
yang peduli kepada kualitas pendidikan secara proporsional dan profesional selaras dengan
kebutuhan sekolah, (4) menjembatani dan turut serta memasyarakatkan kebijakan sekolah
kepada pihak-pihak yang memiliki keterkaitan dan kewenangan di tingkat daerah.30
Dewan sekolah yang dibentuk sesuai dengan jenjang dan jenis sekolah dalam
posisinya sebagai mitra kerja sekolah memiliki wewenang bersama-sama sekolah
menetapkan rencana strategis pengembangan sekolah, menetapkan standar pelayanan
sekolah, membahas bentuk kesejahteraan personil sekolah, menetapkan RAPBS, mengkaji
dan menilai kinerja sekolah, merekomendasikan kepala sekolah atau guru yang berprestasi
untuk promosi kepada pihak yang berwenang dan merekomendasikan kepala sekolah atau
guru berwenang untuk menerima sanksi. Sedangkan dalam posisinya sebagai mitra kerja
sekolah, dewan sekolah memiliki punyai tugas pokok bersama-sama sekolah, yaitu (1)
merumuskan dan menetapkan visi dan misi sekolah, (2) menyusun standar pelayanan
pembelajaran disekolah, (3) menyusun rencana strategis pengembangan sekolah, (4)
menyusun dan menetapkan program sekolah tahunan, termasuk RAPBS, (5) membahas
dan turut menetapkan pemberian tambahan honorarium kepada kepala sekolah, guru dan
karyawan sekolah, (6) mengembangkan potensi ke arah prestasi unggulan, baik bersifat
akademis maupun non-akademis, (7) menghimpun dan menggali sumber dana dari
masyarakat untuk meningkatkan kualitas pelayanan sekolah, (8) mengelola kontribusi
masyarakat baik material maupun non-material yang diberikan kepada sekolah, (9)
mengevaluasi program sekolah secara profesional, (10) mengidentifikasi berbagai
permasalahan dan memecahkannya bersama-sama dengan pihak sekolah, (11) memberikan
respons terhadap kurikulum yang dikembangkan, (12) memberikan motivasi dan

30
Ibid, 118.
penghargaan kepada tenaga pendidik atau tenaga administrasi dan seseorang yang berjasa
kepada sekolah secara profesional dan lain sebagainya.31

Penutup
Pendidikan Islam, sebagai sebuah lembaga, tidak terlepas dari aspek politik, sosial
dan budaya yang ada pada lingkungan masyarakat sekitarnya. Kemajuan lembaga
pendidikan sangat ditentukan dengan kemampuan lembaga pendidikan itu sendiri dalam
menjalin hubungan kerjasama harmonis dengan masyarakat sekitar. Kondisi tersebut
didukung oleh perubahan sistem pendidikan dari sentralisasi menjadi desentralisasi dan
otonomi daerah, yang menempatkan kewenangan penyelenggaraan pendidikan sepenuhnya
menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah daerah. Masyarakat memiliki
tanggung jawab yang besar terhadap kelangsungan pendidikan bagi anak-anaknya.
Partisipasi masyarakat selalu diharapkan lembaga pendidikan. Bentuk partisipasi
masyarakat terhadap lembaga pendidikan seperti dewan pendidikan dan komite sekolah.
Keduanya telah mendapat legitimasi secara yuridis dari pemerintah melalui UU dan
Kepmendiknas. Fakta ini merupakan aplikasi dari konsep pendidikan berbasis masyarakat
(community based management). Konsep ini sejalan dengan konsep Islam yang
menekankan tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya. Dengan
demikian, ke depan optimalisasi peran dewan pendidikan dan komite sekolah harus
senantiasa dilakukan untuk memajukan lembaga pendidikan, khususnya lembaga
pendidikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Fattah, Nanang. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2004.

Isjoni. Serial Manajemen: Arah Pendidikan Riau. Pekanbaru: Unri Press, 2003.

Juoro, Umar. Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Teknologi. Jakarta: Amanah
Putra Nusantara, 1996.

Kartasasmita, Ginanjar. Manajemen dan Visi Pembangunan Indonesia. Jakarta: Intermasa,


1997.

Kepmendiknas RI Nomor 044/U/2002 Tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah


dalam Sisdiknas 2003. Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

31
Ibid, 122.
Nizar, Samsul dkk. Isu-Isu Kontemporer Tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia,
2010.

Noor, Syakirman M. Menuju Masyarakat Madani. Padang: Baitul Hikmah Press, 2000.

Pidarta, Made. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Rahardjo, M. Dawam. Menuju Masyarakat Industrial Pancasila. Jakarta: Mizan, 1996.

Sufyarma. Kapita Selekta Manajemen Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2004.

al-Thuwairaqi, Nawwal. Sekolah Unggulan Berbasis Sirah Nabawiyah, ter. Asmuni.


Jakarta: Darul Falah, 2004.

Tilaar, HAR. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional. Magelang: Tera


Indonesia, 1998.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun


2000-2004. Jakarta: Sinar Grafika, 2001.

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Hasil Amandemen. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:


Eko Jaya, 2003.

Widodo. Menuju Masyarakat Baru Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1990.

al-Yasu’i, Abu Luwis. al-Munjid fi al-Lughah wa al-Munjid fi al-A’lam. Beirut: Dar al-
Masyriq, tt.

Zuhairini dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.

You might also like