You are on page 1of 6

Pertemuan Ketiga

E. Asas-asas Hukum Acara


I. Asas-asas Hukum Acara Perdata/Agama
Ada beberapa asas-asas Hukum Acara
Perdata yang sudah lazim dan banyak
dipergunakan dalam Peradilan Perdata umum dan
Peradilan Agama. Azas tersebut diantaranya:
1. Peradilan Agama adalah Peradilan Negara
(pasal 2 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009 jo.
pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama.
2. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-
orang yang beragama Islam dan yang
menundukkan diri pada hukum islam (pasal 1
angka 1 UU Nomor 7 Tahun 1989).
3. Hakim membantu para pihak dalm pembuatan
gugatan (pasal 4 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun
2009 jo. pasal 58 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun
1989).
4. Peradilan Agama menerapkan dan
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila (pasal 2 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun
2009).
5. Peradilan Agama memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara berdasarkan hukum
Islam (pasal 2, 49 dan Penjelasan Umum UU
Nomor 7 Tahun 1989).
6. Hakim bersifat menunggu (pasif);
1) Hakim pasif (pasal 118 ayat (1) HIR, pasal
142 ayat (1) RBg.)
2) Yang bekepentinganlah yang mengajukan,
hakim menunggu (index ne, procedat ex
officio). (Vide pasal 118 HIR, 142 RBG).
3) Ruang lingkup dan bidang pokok sengketa
ditentukan para pihak. Para pihak dapat
mengakhiri sendiri sengketa, sedangkan
hakim tidak. (Vide, pasal 130 HIR, 154 RBG).
4) Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan
dilarang memutus lebih dari yang dituntut.
(Vide, pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR). (beda
dengan pidana bisa lebih berat). Para pihak
yang harus membuktikan.
7. Persidangan bersifat terbuka untuk umum
kecuali UU menentukan lain (pasal 13 ayat (1)
UU Nomor 48 Tahun 2009).
1) Jika putusan tidak dibaca tidak dalam siding
terbuka untuk umum berarti tidak sah dan
dapat batal demi hukum.
2) Dalam hal tertentu persidangan harus
tertutup untuk umum. (Pasal 54, 59 dan 80
UU Nomor 7 Tahun 1989)
8. Peradilan dilakukan menurut hukum, hakim
tidak membeda-bedakan orang, Hakim tidak
boleh memihak dan hakim harus mendengar
keterangan kedua belah pihak perperkara
(Pasal 132a, 121 ayat (2) HIR, pasal 4 ayat (1)
UU Nomor 48 Tahun 2009 jo. pasal 58 ayat (1)
UU Nomor 7 Tahun 1989).
9. Putusan hakim harus disertai alasan dan
pertimbangan putusan (pasal 315 HIR) jika tidak
maka putusan bisa banding/kasasi. (pasal 50
ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009, pasal 62
ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989, pasal 184
ayat (1)dan pasal 195 RBg.).
10. Beracara di pengadilan agama dikenakan
biaya (pasal 121 ayat (1) dan (4) 182, 183
HIR/pasal 145 ayat (4) RBg.).
1) pihak yang tidak mampu, bisa beracara
secara gratis/prodeo (Pasal 237 HIR)
11. Beracara di pengadilan agama tidak ada
keharusan mewakilkan, tetapi dapat juga
dengan. kuasanya ((pasal 123 HIR/ pasal 142
RBg.).
12. Proses Peradilan dilakukan dengan sederhana,
cepat dan biaya ringan (pasal 2 ayat (4) UU
Nomor 48 Tahun 2009 jo. pasal 57 ayat (3) UU
Nomor 7 Tahun 1989).
13. Peradilan dilakukan bebas dari pengaruh dan
campur tangan dari luar (pasal 3 ayat (2) UU
Nomor 48 Tahun 2009).
14. Peradilan dilakukan dalam persidangan Majelis
dengan sekurang-kurangnya tiga orang Hakim
dan salah satunya sebagai Ketua, sedang yang
lain sebagai anggota, dibantu oleh Panitera
Sidang (pasal 11 ayat (1), (2) dan (3) UU Nomor
48 Tahun 2009).
15. Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar
terhadap Hakim yang mengadili (pasal 17 ayat
(1) UU Nomor 48 Tahun 2009).
16. Hakim wajib mendamaikan para pihak baik
dalam proses litigasi maupun non litigasi (pasal
130 HIR, 154 RBg, pasal 82 UU Nomor 7 Tahun
1989, Pasal 39 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun
1974, perma Nomor 1 tahun 2016).
17. Hakim wajib mengadili setiap perkara yang
diajukan kepadanya (pasal 10 ayat (1) UU
Nomor 48 Tahun 2009).
18. Tiap putusan dimulai dengan kalimat
“Bismillahir rahmaanir rahiim” diikuti dengan
“Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang
Maha Esa” (pasal 57 UU Nomor 7 Tahun 1989,
pasal 2 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009).
19. Tiap-tiap pemeriksaan dan perbuatan hakim
dalam penyelesaian perkara harus dibuat berita
acara (pasal 186 HIR jo. Pasal 51 UU Nomor 48
Tahun 2009 dan pasal 96 UU Nomor 7 Tahun
1989).
20. Terhadap setiap putusan diberikan jalan upaya
hukum berupa verzet, banding, kasasi,
peninjauan kembali dan derden verzet (pasal
23, 24 dan 26 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun
2009).
21. Pelaksanaan putusan Pengadilan wajib
menjaga terpeliharanya peri kemanusiaan dan
peri keadilan (pasal 54 ayat (3) UU Nomor 48
Tahun 2009).

You might also like