I. Asas-asas Hukum Acara Perdata/Agama Ada beberapa asas-asas Hukum Acara Perdata yang sudah lazim dan banyak dipergunakan dalam Peradilan Perdata umum dan Peradilan Agama. Azas tersebut diantaranya: 1. Peradilan Agama adalah Peradilan Negara (pasal 2 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009 jo. pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 2. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang- orang yang beragama Islam dan yang menundukkan diri pada hukum islam (pasal 1 angka 1 UU Nomor 7 Tahun 1989). 3. Hakim membantu para pihak dalm pembuatan gugatan (pasal 4 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 jo. pasal 58 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989). 4. Peradilan Agama menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila (pasal 2 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009). 5. Peradilan Agama memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara berdasarkan hukum Islam (pasal 2, 49 dan Penjelasan Umum UU Nomor 7 Tahun 1989). 6. Hakim bersifat menunggu (pasif); 1) Hakim pasif (pasal 118 ayat (1) HIR, pasal 142 ayat (1) RBg.) 2) Yang bekepentinganlah yang mengajukan, hakim menunggu (index ne, procedat ex officio). (Vide pasal 118 HIR, 142 RBG). 3) Ruang lingkup dan bidang pokok sengketa ditentukan para pihak. Para pihak dapat mengakhiri sendiri sengketa, sedangkan hakim tidak. (Vide, pasal 130 HIR, 154 RBG). 4) Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang memutus lebih dari yang dituntut. (Vide, pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR). (beda dengan pidana bisa lebih berat). Para pihak yang harus membuktikan. 7. Persidangan bersifat terbuka untuk umum kecuali UU menentukan lain (pasal 13 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009). 1) Jika putusan tidak dibaca tidak dalam siding terbuka untuk umum berarti tidak sah dan dapat batal demi hukum. 2) Dalam hal tertentu persidangan harus tertutup untuk umum. (Pasal 54, 59 dan 80 UU Nomor 7 Tahun 1989) 8. Peradilan dilakukan menurut hukum, hakim tidak membeda-bedakan orang, Hakim tidak boleh memihak dan hakim harus mendengar keterangan kedua belah pihak perperkara (Pasal 132a, 121 ayat (2) HIR, pasal 4 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 jo. pasal 58 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989). 9. Putusan hakim harus disertai alasan dan pertimbangan putusan (pasal 315 HIR) jika tidak maka putusan bisa banding/kasasi. (pasal 50 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009, pasal 62 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989, pasal 184 ayat (1)dan pasal 195 RBg.). 10. Beracara di pengadilan agama dikenakan biaya (pasal 121 ayat (1) dan (4) 182, 183 HIR/pasal 145 ayat (4) RBg.). 1) pihak yang tidak mampu, bisa beracara secara gratis/prodeo (Pasal 237 HIR) 11. Beracara di pengadilan agama tidak ada keharusan mewakilkan, tetapi dapat juga dengan. kuasanya ((pasal 123 HIR/ pasal 142 RBg.). 12. Proses Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (pasal 2 ayat (4) UU Nomor 48 Tahun 2009 jo. pasal 57 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 1989). 13. Peradilan dilakukan bebas dari pengaruh dan campur tangan dari luar (pasal 3 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009). 14. Peradilan dilakukan dalam persidangan Majelis dengan sekurang-kurangnya tiga orang Hakim dan salah satunya sebagai Ketua, sedang yang lain sebagai anggota, dibantu oleh Panitera Sidang (pasal 11 ayat (1), (2) dan (3) UU Nomor 48 Tahun 2009). 15. Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap Hakim yang mengadili (pasal 17 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009). 16. Hakim wajib mendamaikan para pihak baik dalam proses litigasi maupun non litigasi (pasal 130 HIR, 154 RBg, pasal 82 UU Nomor 7 Tahun 1989, Pasal 39 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974, perma Nomor 1 tahun 2016). 17. Hakim wajib mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya (pasal 10 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009). 18. Tiap putusan dimulai dengan kalimat “Bismillahir rahmaanir rahiim” diikuti dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa” (pasal 57 UU Nomor 7 Tahun 1989, pasal 2 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009). 19. Tiap-tiap pemeriksaan dan perbuatan hakim dalam penyelesaian perkara harus dibuat berita acara (pasal 186 HIR jo. Pasal 51 UU Nomor 48 Tahun 2009 dan pasal 96 UU Nomor 7 Tahun 1989). 20. Terhadap setiap putusan diberikan jalan upaya hukum berupa verzet, banding, kasasi, peninjauan kembali dan derden verzet (pasal 23, 24 dan 26 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009). 21. Pelaksanaan putusan Pengadilan wajib menjaga terpeliharanya peri kemanusiaan dan peri keadilan (pasal 54 ayat (3) UU Nomor 48 Tahun 2009).