Professional Documents
Culture Documents
Filsafat Fenomenologi
Filsafat Fenomenologi
Sedangkan Sumarno, Karimah, dan Damayani dalam buku Filsafat dan Etika
Komunikasi (2004: 13-14) pengertian filsafat dapat dibedakan menjadi:
1. Filsafat sebagai suatu sikap. Filsafat merupakan sikap terhadap kehidupan dan
alam semesta.Bagaimana manusia yang berfilsafat dalam menyikapi hidup dan
alam sekitarnya.
2. Filsafat sebagai suatu metoda. Berfilsafat artinya berpikir secara reflektif, yakni
berpikir dengan memerhatikan unsure di belakang objek yang menjadi pusat
pemikirannya.
3. Filsafat sebagai kumpulan persoalan. Befilsafat artinya berusaha untuk
memecahkan persoalan-persoalan hidup.
4. Filsafat merupakan sistem pemikiran. Socrates, Plato, atau Aristoteles
merupakan tokoh filsafat yang menghasilkan sistem pemikiran yang menjadi acuan
dalam menjawab persoalan, sebagai metode, dan cara bersikap kenyataan.
5. Filsafat merupakan analisis logis. Filsafat berarti berbicara tentang bahasa dan
penjelasan makna-makna yang terkandung dalam kata dan pengertian.Hampir
setiap filsuf memakai metode analisis untuk menjelaskan arti istilah dan pemakaian
bahasa.
6. Filsafat merupakan suatu usaha memperoleh pandangan secara menyeluruh.
Filsafat mencoba menggabungkan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai macam
ilmu serta pengalaman manusia menjadi suatu pandangan dunia yang menyeluruh.
Sementara Muntasyir dan Munir (2002: 3) memberikan klasifikasi
pengertian tentang filsafat, sebagai berikut :
1. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan
alam yang biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal).
2. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan
sikap yang sangat kita junjung tinggi (arti formal).
3. Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya
filsafat berusaha untuk mengombinasikan hasil bermacam-macam sains dan
pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang
alam (arti spekulatif).
4. Filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan
konsep. Corak filsafat yang demikian ini dinamakan juga logosentris.
5. Filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung, yang mendapat perhatian
dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
2.3 Tokoh-tokoh Fenomenologi
1. Edmund Husserl (1859-1938)
Menurut Husserl, memahami fenomenologi sebagai suatu metode dan ajaran
filsafat. Sebagai metode, Husserl membentangkan langkah-langkah yang harus
diambil agar sampai pada fenomeno yang murni. Untuk melakukan itu, harus
dimulai dengan subjek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk kembali
pada kesadaran murni. Sedangkan sebagai filsafat, fenomenologi memberikan
pengetahuan yang perlu dan essensial tentang apa yang ada. Dengan kata lain,
fenomenologi harus dikembalikan kembali objek tersebut.
Metode fenomenologi menurut Husserl, menekankan satu hal penting yaitu,
penundaan keputusan. Penundaan keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung
(bracketing) untuk memahami fenomena. Pengetahuan yang kita miliki tentang
fenomena itu harus kita tinggalkan atau lepaskan dulu, agar fenomena itu dapat
menampakkan dirinya sendiri.
Untuk memahami filsafat Husserl ada beberapa kata kunci yang perlu diketahui.
Diantaranya:
1. Fenomena adalah realitas esensi atau dalam fenomena terkandung
pula nomena(sesuatu yang berada di balik fenomena)
2. Pengamatan adalah aktivitas spiritual atau rohani.
3. Kesadaran adalah sesuatu yang intensional (terbuka da terarah pada subjek
4. Substansi adalah kongkret yang menggambarkan isi dan stuktur kenyataan
dan sekaligus bisa terjangkau.
Usaha untuk mencapai segala sesuatu itu harus melalui reduksi atau penyaringan
yang terdiri dari :
1. Reduksi fenomenologi, yaitu harus menyaring pengalaman-pengalaman
dengan maksud mendapat fenomena dalam wujud semurni-murninya. Dalam artian
bahwa, kita harus melepaskan benda-benda itu dari pandangan agama, adat
istiadat, ilmu pengetahuan dan ideologi.
2. Reduksi eidetis, yaitu dengan menyaring atau penempatan dalam tanda
kurung sebagai hal yang bukan eidos atau intisari atau hakikat gejala atau
fenomena.
3. Reduksi transcendental, yaitu dalam penerapannya berdasarkan subjeknya
sendiri perbuatannya dan kesadaran yang murni.
Namun, menurut para pengikut fenomenologi suatu fenomena tidak selalu harus
dapat diamati dengan indera. Sebab, fenomena dapat juga dilihat atau ditilik secara
ruhani tanpa melewati indera, fenomena tidak perlu suatu peristiwa.
2. Max Scheller (1874-1928)
Scheller berpendapat bahwa metode fenomenologi sama dengan cara
tertentu untuk memandang realitas. Dalam hubungan ini kita mengadakan
hubungan langsung dengan realitas berdasarkan intuisi (pengalaman
fenomenologi).
Menurutnya ada 3 fakta yang memegang peranan penting dalam pengalaman
filsafat. Diantaranya :
1. Fakta natural, yaitu berdasarkan pengalaman inderawi yang menyangkut
benda-benda yang nampak dalam pengalaman biasa.
2. Fakta ilmiah, yaitu yang mulai melepas diri dari penerapan inderawi yang
langsung dan semakin abstrak.
3. Fakta fenomenologis, merupakan isi intuitif yang merupakan hakikat dari
pengalaman langsung.
3. Martin Heidegger (1889-1976)
Menurut Heidegger, manusia itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya.
Kemampuan seseorang untuk bereksistensi dengan hal-hal yang ada di luar dirinya
karena memiliki kemampuan seperti kepekaan, pengertian, pemahaman, perkataan
atau pembicaraan. Bagi heidegger untuk mencapai manusia utuh maka manusia
harus merealisasikan segala potensinya meski dalam kenyataannya seseorang itu
tidak mampu merealisasikannya. Ia tetap sekuat tenaga tidak pantang menyerah
dan selalu bertanggungjawab atas potensi yang belum teraktualisasikan.
Dalam persfektif yang lain mengenai sesosok Heidegger menjadi salah satu
filsafat yang fenomenal yaitu bahwa ia mengemukakan tentang konsep suasana
hati (mood). Seperti yang kita ketahui bahwa dengan suasana hatilah kita diatur
oleh dunia kita, bukan dalam pendirian pengetahuan observasional yang berjarak.
Biasanya, dengan posisi kita yang sedang bersahabat dengan suasana hati, maka
kita akan bisa mengenali diri kita yang sesungguhnya. Karena suasana hati bisa
menjadi tolak ukur untuk mengetahui hakikat diri dengan banyaknya pertanyaan
yang muncul seperti pencarian jati diri siapa kita sesungguhnya, apa kemampuan
kita, dan apa kekurangan atau kelebihan yang kita miliki, bagaimanakah kehidupan
kita yang selanjutnya dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Konsep inilah yang
menguatkan pendapat banyak orang mengenai sesosok orang yang mampu
melihat noumena dan phenoumena.
4. Maurice Merlean-ponty (1908-1961)
Sebagaimana halnya Husserl, ia yakin seorang filosof benar-benar harus
memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman. Pengalamannya sendiri tentang
realitas, dengan begitu ia menjauhkan diri dari dua ekstrim yaitu :
Pertama hanya meneliti atau mengulangi penelitian tentang apa yang telah
dikatakan orang tentang realita, dan Kedua hanya memperhatikan segi-segi luar
dari pengalaman tanpa menyebut-nyebut realitas sama sekali.
Walaupun Marlean-Ponty setuju dengan Husserl bahwa kitalah yang dapat
mengetahui dengan sesuatu dan kita hanya dapat mengetahui benda-benda yang
dapat dicapai oleh kesadaran manusia, namun ia mengatakan lebih jauh lagi, yakni
bahwa semua pengalaman perseptual membawa syarat yang essensial tentang
sesuatu alam di atas kesadaran.
Oleh karena itu deskripsi fenomenologi yang dilakukan Marlean-Ponty tidak
hanya berurusan dengan data rasa atau essensi saja, akan tetapi menurutnya, kita
melakukan perjumpaan perseptual dengan alam. Marlean-Porty menegaskan sangat
perlunya persepsi untuk mencapai yang real.