You are on page 1of 1

Alasan Memasang Penjor Galungan Saat Penampahan

Saat Penampahan Galungan yang dilaksanakan pada Selasa (Anggara) Wage Dunggulan,
masyarakat Hindu Bali biasanya akan memotong babi maupun ayam. Namun, selain memotong babi
atau ayam, juga memasang penjor.
Akan tetapi, belakangan dengan alasan agar tak krodit atau karena ada kesibukan saat
Penampahan, banyak masyarakat yang memasang penjor Galungan saat Penyajaan Galungan. Bahkan
ada pula yang memasang saat Penyekeban Galungan.

Kenapa penjor Galungan harus dipasang saat Penampahan Galungan?

Wakil Ketua PHDI Bali, Pinandita Ketut Pasek Swastika, mengatakan penjor Galungan dipasang
saat Penampahan dikarenakan saat itu umat Hindu niyasa kebaikan yang tertanam dalam diri dan
keburukan 'dihias' agar menjadi kebaikan. 
Bambu yang digunakan memiliki sisi yang lurus dan juga melengkung. Sisi yang lurus niyasa
kebaikan, sementara yang melengkung niyasa keburukan yang kemudian dihias dengan hal baik untuk
menjadi kebaikan.
Swastika mengatakan penjor atau pering selonjor ini dibuat dari batang bambu utuh yg masih ada
tiga cabang. Bambu ini kemudian dihias sedemikian rupa yang dilengkapi dengan pala bungkah, pala
gantung, jajan, pisang, plawa dan dua butir kelapa. Juga dilengkapi dengan kain atau kasa putih kuning
serta sampian penjor.
Sementara itu, pegiat lontar, Putu Eka Guna Yasa mengatakan jika penjor ini adalah lambang
dari Bhatara Mahadewa yang berstana di Gunung Agung atau Bhatara Siwa. Sarana pembuatannya
yaitu pala bungkah atau segala jenis umbi-umbian, pala gantung segala jenis yang tergantung seperti
buah-buahan, palawija atau biji-bijian, bambu, kasa putih kuning, lamak.
Penjor tersebut ditancapkan di depan pintu masuk saat penampahan sore agar esoknya
saat Galungan masih dalam keadaan segar. Kesegaran ini diperlukan dikarenakan penjor berkaitan
dengan upacara Dewa Yadnya sehingga persembahan yang dipersembahkan harus segar.
Juga sesuai keyakinan bahwa leluhur akan datang ke pemerajan dan penjor segar ini merupakan
bentuk penghormatan secara sekala. “Akan lebih baik jika warnanya dari kuning dan putih dari janur
dan ambu. Selain itu penjor ini juga berkaitan dengan upacara Dewa Yadnya sehingga apa yang
dipersembahkan harus segar,” katanya.
Guna menambahkan, makna ambu atau busung yang digunakan dalam penjor dikarenakan warna
putih dari ambu dan kuning dari janur agar ada warna galang (terang) saat merayakan kemenangan
darma melawan adharma. Selain itu, ambu yang berwarna putih juga dijadikan sebagai sarana
pengingat dahulu oleh Sang Rama saat membedakan antara Subali dan Sugriwa dan dipasang pada
ekornya sehingga bisa pula ditafsirkan bahwa ambu ini digunakan sebagai simbul kebenaran karena
dengan pasti Rama bisa memanah Subali yang dianggap salah memerangi adiknya sendiri yaitu
Sugriwa.
Selain itu penggunaan bambu dalam membuat penjor juga memiliki makna tertentu. Menurutnya,
secara filosofis bambu dianggap sebagai tumbuhan yang tegak lurus ke atas kemudian setelah di
puncak merunduk ke bawah yang juga sering diidentikkan dengan pemimpin bahwa kebenaran harus
ditancapkan setelah di atas jangan lupa yang di bawah.
“Pada teks lontar Jnana Sidanta, bambu dijadikan metafora untuk kerinduan atman dengan
paramatman. Sehingga ada istilah dewa ambara yoga di mana bambu dianggap sebagai tubuh dan
udara di dalam bambu disebut atman. Siang dan malam atmam ini mencari jalan keluar agar udara
dalam bambu bertemu udara bebas atau mahaudara,” kata Guna. Sehingga bambu digunakan sebagai
sarana karena antara udara yang ada di dalam bambu dengan jiwatman yang ada di dalam tubuh
manusia dianggap memiliki kesejajaran.

You might also like