Professional Documents
Culture Documents
Kesimpulan
Organisasi ini pada awal berdirinya menitikberatkan pada pembaharuan di bidang agama
dan pendidikan Islam. Dalam perkembangannya organisasi ini juga terlibat dalam politik
yang berlangsung di Indonesia. Menurut Taufik Abdullah, Muhammadiyah hanya mungkin
dapat dipahami kalau sejarah ditempatkan dalam dinamika hubungannya dengan masyarakat
dan Negara di Indonesia ini.
Muhammadyah juga lahir sebagai perwujudan gagasan kritis dan keberanian untuk
mempelopori gerakan pemurnian pengamalan ajaran Islam. Muhammadiyah lahir sebagai
hasil evaluasi keadaan umat Islam di zamannya.
Muhammadiyah adalah salah satu gerakan yang sangat memperhatikan perubahan sosial
yang mencakup semua aspek kehidupan. Oleh karena itu Muhammdiyah sebagai gerak
dakwah amar ma’ruf nahi munkar untuk masa-masa mendatang tidak cukup melalui
kegiatan yang bersifat praktis seperti masa-masa lalu. Inovasi-inovasi baru sangat perlu
ditemukan untuk menanggapi permasalahan yang bercorak baru. Reinterprestasi baru konsep-
konsep Islam juga sangat perlu mendapat perhatian kita.
Sejarah pendirian Muhammadiyah tahun 1912, organisasi ini berkaitan dengan ide
pembaruan Islam. Ide yang digagas KH Ahmad Dahlan itu mencakup bidang yang luas,
mulai dari praktik beragama hingga praktik sosial kemasyarakatan. Dalam praktik beragama,
misalnya, Ahmad Dahlan memelopori pelurusan arah kiblat berdasarkan ilmu falak
(astronomi), pengorganisasian zakat, haji, serta shalat Idul Fitri dan Idul Adha di lapangan.
Pendirian masjid dan mushala di tempat umum dan perkantoran juga adalah salah satu buah
pemikiran Ahmad Dahlan (Abdul Munir Mulkhan, Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan
Kiai Ahmad Dahlan, 2010).
Jejak kearifan praktik sosial kemasyarakatan ditandai sikap terbuka Ahmad Dahlan menyerap
puncak peradaban tanpa memandang bangsa dan agama pengemban peradaban itu. Berbagai
aksi sosial yang dikembangkan banyak terinspirasi pengalaman orang Kristiani dan warga
Belanda, Inggris, atau Portugis. Pendirian rumah sakit, panti sosial, taman pustaka,
penerbitan, serta sekolah modern merupakan karya yang terinspirasi oleh pengelolaan
kehidupan sosial dan kesehatan kaum non-Muslim (Abdul Munir Mulkhan, 2010).
Tak bisa dilupakan pula bagaimana Ahmad Dahlan menggerakkan perempuan memperoleh
ilmu dan melakukan aksi sosial di luar rumah. Kaum perempuan didorong meningkatkan
kecerdasan melalui pendidikan formal dan nonformal seperti pengajian dan kursus. Pada
1922 berdiri perkumpulan perempuan yang kelak diberi nama Aisyiah. Satu lompatan nilai
sosial terjadi ketika Siti Walidah, istri Kiai Dahlan, tanpa suami, menghadiri undangan
Musyawarah Ulama di Serambi Masjid Besar Solo dalam kapasitasnya sebagai ulama
perempuan.
Kini, Muhammadiyah adalah salah satu gerakan Islam terbesar di Indonesia yang
diorganisasikan secara modern. Unit kegiatannya tersebar merata ke seluruh pelosok negeri
yang meliputi pendidikan, kesehatan, santunan sosial, hingga kegiatan ritual ibadah dan
pengajian. Menurut buku Profil Muhammadiyah (2000), saat ini terdapat tak kurang dari
ribuan taman kanak-kanak, 2.907 SD/madrasah ibtidaiyah, 1.731 SLTP/madrasah
tsanawiyah, 929 SLTA/madrasah aliyah, 55 pesantren, lebih dari 184 perguruan tinggi, 312
lembaga pelayanan kesehatan, 240 panti asuhan, 19 Bank Perkreditan Rakyat (BPR), lebih
dari 800 koperasi, dan 190 Baitulmaalwat Tamwil.
Gambaran itu memperlihatkan Muhammadiyah memiliki peran sosial yang kuat. Peran sosial
inilah yang dirasakan masyarakat, seperti tergambar dalam jajak pendapat yang digelar
Litbang Kompas pada 30 Juni hingga 2 Juli 2010. Hasil jajak pendapat menampilkan evaluasi
dan ekspektasi masyarakat terhadap kiprah Muhammadiyah.
Praktik sosial menonjol yang terungkap terutama adalah keberhasilan Muhammadiyah dalam
pelayanan pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Sebagian besar responden (71 persen)
menyatakan, Muhammadiyah berhasil turut serta membantu memajukan kualitas pendidikan
masyarakat. Secara khusus, 73,1 persen responden mengakui Muhammadiyah berhasil dalam
menyampaikan visi keislaman dalam pendidikan. Di bidang ekonomi dan kesehatan hampir
separuh jumlah responden (43,7 persen dan 42,5 persen) setuju, Muhammadiyah membantu
memajukan perekonomian dan menyediakan pelayanan kesehatan yang berkualitas untuk
masyarakat.
Advertisment
Lembaga independen Perjalanan Muhammadiyah yang hampir satu abad tak luput dari
persinggungannya dengan kondisi politik bangsa. Era reformasi menjadi penanda khusus
karena saat itu beberapa tokoh Muhammadiyah turut membidani lahirnya Partai Amanat
Nasional (PAN). Dalam perjalanannya, dukungan terhadap PAN terus menurun, bahkan
beberapa tokoh Muhammadiyah mencabut dukungannya dan mendirikan Partai Matahari
Bangsa (PMB) pada 2006.
Dinamika politik ini tak bisa mengubah Muhammadiyah sebagai organisasi independen yang
tidak mau terikat pada satu parpol pun. Hal ini tecermin pula dalam jajak pendapat yang
merekam ekspektasi publik berkaitan dengan hubungan Muhammadiyah dan partai.
Jajak pendapat ini mengungkap bagian terbesar responden (51,2 persen) menyatakan tidak
perlu dibentuk sebuah partai yang secara khusus mewadahi kepentingan dan gagasan
Muhammadiyah. Bahkan, dengan tegas sebagian besar (83,9 persen) responden menyatakan
Muhammadiyah harus tetap mempertahankan eksistensinya sebagai organisasi independen.
Pola penyikapan seperti ini didorong oleh kekhawatiran sebagian responden (53,5 persen),
Muhammadiyah akan sekadar menjadi alat partai untuk merebut kekuasaan.
Ulama dan akademisi Pada 3-8 Juli 2010 Muhammadiyah menggelar muktamar yang ke-46
di Yogyakarta. Pada kesempatan ini pula akan dipilih pemimpin baru yang akan membawa
organisasi ini mengarungi satu abad lebih perjalanannya. Bagi publik, sebuah organisasi
keagamaan sebesar Muhammadiyah selayaknya dipimpin sosok yang memiliki beberapa
kriteria tersendiri.
Sosok ulama, tak pelak, menjadi syarat utama terpenting yang dikemukakan separuh
responden (50 persen). Kriteria penting kedua bagi publik adalah latar belakang akademik
yang dimiliki seorang ketua Muhammadiyah. Tak kurang dari 19,7 persen responden
menyatakan calon pemimpin Muhammadiyah seyogianya juga seorang akademisi. Hal ini
dipastikan mengacu pada sosok pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, tokoh intelektual
pembaru yang membawa gagasan bernas melampaui zamannya. Intelektualitas tidak terbatas
pada bidang agama, tetapi juga memasuki ranah sosial politik kemasyarakatan.
Ekspektasi publik juga disandarkan kepada generasi muda untuk memimpin Muhammadiyah
di masa datang, seperti terekam dalam pendapat 9,9 persen responden. Pilihan terhadap kaum
muda berkait erat dengan upaya kaderisasi yang sejak lama dilakukan Muhammadiyah.
Pemimpin baru Muhammadiyah nantinya akan menghadapi tantangan baru. Tantangan ini
utamanya menyangkut arah organisasi, apakah akan dibawa kepada institusi yang berjiwa
eksklusif atau semakin inklusif membuka diri seperti harapan hampir seluruh responden jajak
pendapat ini (94,7 persen).