You are on page 1of 24

MAKALAH USHUL FIQH

“SYARA MAN QOBLANA dan MADZHAB SOHABI”

DOSEN PENGAMPU :
H. HENDRA WIJAYA M. ED

DISUSUN OLEH :
AURA AZIZZA (3120210012)
LULU LUTHFIAH SABRINA (3120210018)
MUHAMMAD RIADI ALAUDIN (3120210060)

FAKULTAS AGAMA ISLAM


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM AS – SYAFI’IYAH
TAHUN AJARAN 2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
dapat menyelasaikan makalah ini. Tanpa pertolongannya mungkin kami tidak
sanggup menyelesaikannya dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah dan dalam rangka
memperdalam pemahaman tentang judul pemakalah yang sedang dibicarakan,
yang sangat diperlukan dalam suatu harapan mendapatkan keamanan dalam
memahami hukum yang berlaku.

Kami menyadari dalam proses penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna serta banyak kekurangan-kekurangan, baik dari segi tata bahasa
maupun yang lainnya. Harapan yang paling besar dari penyusunan ini adalah
mudah-mudahan apa yang kami susun ini penuh manfaat. Baik untuk pribadi
maupun untuk secara umum.

Jakarta, 12 November 2022

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………….1

DAFTAR ISI………………………………………………………………………2

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………3

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………3

1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………..5

1.3 Tujuan Makalah……………………………………………………………….5

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………6

2.1 Pengertian Madzhab Sohabi dan Shar’u Man Qoblana………………………..6

2.2 Perbedaan Ulama akan Keabsahan Madzhab Sohabi

Dan Shar’u Man Qoblana……………………………………………………..8

2.3 Relevansi Madzhab Sohabi dan Shar’u Man Qoblana

Dengan Sumber Hukum Islam Lainnya………………………………………17

2.4 Contoh Madzhab Sohabi dan Shar’u Man Qoblana

Sebagai Sumber Hukum Dalam Ekonomi……………………………………18

BAB III PENUTUP……………………………………………………………..21

3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………..21

3.2 Saran………………………………………………………………………….21

3.3 Daftar Pustaka………………………………………………………………..21

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu rukun iman adalah beriman kepada para nabi dan para rasul yang
menerima wahyu dari Allah SWT. Dan menyampaikan wahyu itu kepada
umatnya. Keimanan ini mengandung arti percaya akan risalah yang dibawa
rasul dan melaksanakan pesan – pesan Allah yang disampaikannya. Kita tidak
membedakan antara seorang rasul dengan rasul lainnya. Setiap Rasul, mulai
dari Nabi Adam sampai pada Rasul terakhir, Nabi Muhammad, membawa
pesan Allah yang berkenaan dengan dua hal, yaitu tentang apa – apa yang
harus diimani dan apa – apa yang harus diamalkan oleh manusia dalam
kehidupannya. Iman menyangkut hal paling dalam dari kehidupan, sedangkan
amal berkenaan dengan kehidupan lahir yang dengan sendirinya dapat
dipengaruhi oleh kihudupan di dunia.

Oleh karena hal yang berkenaan dengan keimanan tidak terpengaruh oleh yang
bersifat lahir (duniawi), maka bentuk dan pola keimanan yang diajarkan oleh
seluruh Rasul itu pada dasarnya adalah sama, semuanya bertumpu pada tauhid.
Hal ini secara konsisten berlaku tetap dari semenjak ajaran yang dibawa Nabi
Adam sampai ajaran Nabi Muhammad.

3
Sebaliknya, karena amal menyangkut hal luar, maka ia dapat terpengaruh oleh
kehidupan manusia (duniawi) yang selalu mengalami perubahan. Karena itu,
maka apa yang harus dilakukan oleh umat dari seseorang Rasul pada suatu
masa, tidak mesti dengan apa-apa yang harus dilakukan oleh umat Nabi dan
Rasul yang datang sebelumnya.
Setiap Rasul yang datang belakangan, di samping bertugas membawa syariat
yang baru untuk umatnya. Juga melakukan semacam koreksi(penyempurnaan)
dan pembatalan syariat sebelumnya yang tidak diberlakukan lagi bagi umatnya.
Hal ini berarti bahwa apa yang harus dijalankan umatnya, diantaranya ada yang
sama dengan syariat sebelumnya dan ada syariat yang baru sama sekali.

Sumber hukum Islam merupakan pijakan utama bagi untuk menggali hukum
Islam dari dalil – dalil yang ada, baik dalil yang disepakati ulama maupun dalil
yang masih diperselisihkan. Qaul Shahabi dan Syar’u Man Qablana merupakan
dalil syar’I yang menjadi perbincangan ulama tentang kehujjahannya dalam
penetapan hukum. Kajian dari dua dalil syar’I tersebut menjadi tema yang
menarik dikalangan ahli ushul fiqh, meskipun mereka menempatkannya pada
posisi dalil yang diperselisihkan. Akan tetapi, mayoritas ulama menggunakan
Qaul Ashabi dan Syar’u Man Qablana sebagai sandaran dalam memutuskan
perkara hukum Islam.

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Pengertian Madzhab Sohabi dan Shar’u Man Qoblana
2. Perbedaan Ulama akan Keabsahan Madzhab Sohabi dan Shar’u Man
Qoblana
3. Relevansi Madzhab Sohabi dan Shar’u Man Qoblana dengan Sumber
Hukum Islam Lainnya
4. Contoh Madzhab Sohabi dan Shar’u Man Qoblana Sebagai Sumber Hukum
dalam Ekonomi

1.3 Tujuan Makalah


1. Untuk Mengetahui apa itu Madzhab Sohabi dan Shar’u Man Qoblana
2. Untuk Mengetahui Perbedaan Ulama akan Keabsahan Madzhab Sohabi dan
Shar’u Man Qoblana
3. Untuk Mengetahui Relevansi Madzhab Sohabi dan Shar’u Man Qoblana
dengan Sumber Hukum Islam Lainnya
4. Untuk Mengetahui Contoh Madzhab Sohabi dan Shar’u Man Qoblana
Sebagai Sumber Hukum dalam Ekonomi
5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Madzhab Sohabi dan Shar’u Man Qoblana

1. Madzhab Sohabi
Kata Qaul merupakan bentuk masdar dari “qala – yaqulu - qaulan” yang
berarti perkataan atau pendapat. Sedangkan shahaby adalah orang yang
bersahabat dengan Rasulullah saw dan beragama Islam. Menurut pendapat,
sahabat adalah seseorang yang bertemu dengan Rasulullah dan beriman
kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang
panjang, dijadikan rujukan oleh generasi berikutnya dan mempunyai
hubungan khusus dengan Rasulullah, sehingga secara adat mereka
dinamakan sahabat. Ada lagi yang mengatakan bahwa sahabat merupakan
orang yang berjumpa dengan Nabi, percaya kepada Nabi dan ajarannya
serta bergaul bersamanya meskipun dalam waktu yang tidak lama.

Sedangkan mazhab sahabat atau yang disebut dengan mazhab shahaby ialah
fatwa-fatwa para sahabat mengenai berbagai masalah yang dinyatakan
setelah Rasulullah Saw. wafat. Fatwa-fatwa mereka itu ada yang telah
dikumpulkan sebagaimana mereka mengumpulkan hadis-hadis Rasulullah
Saw. Fatwa-fatwa sahabat ini ada yang
6
berdasarkan sabda dan perbuatan Rasul dan ada juga yang berdasarkan
ijtihad mereka.

2. Shar’u Man Qoblana


Syar’u secara etimologi berarti mengalir. Syariat adalah bentuk isim fa’il
nya secara bahasa adalah tempat yang didatangi orang yang ingin minum
yang dilintasi manusia untuk menghilangkan rasa haus mereka. Syariat juga
diartikan sebagai jalan yang lurus atau thariqatun mustaqimatun
sebagaimana diisyaratkan dalam al – Qur’an Surah Al – Jatsiyah : 18.
Para ulama menjelaskan bahwa syari’at sebelum kita atau syar’u man
qablana ialah hukum-hukum yang telah disyariatkan untuk umat sebelum
Islam yang dibawa oleh para nabi dan rasul terdahulu, dan menjadi beban
hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanaya syariat Nabi Muhammad.
Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan bagi manusia terdahulu
mempunyai asas yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad.
Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi
ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan
rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi
dan perkembangan zaman masing – masing.
7
2.2 Perbedaan Ulama akan Keabsahan Madzhab Sohabi Dan Shar’u
Man Qoblana

1. Madzhab Sohabi
Sebagaimana telah disebutkan bahwa Ulama berbeda pendapat tentang
kehujjahan qaul shahabi. Qaul shahabi merupakan rujukan hukum demi
menyelesaikan peristiwa – peristiwa hukum baru yang terjadi pasca
meninggalnya Rasulullah yang tidak terdapat ketentuannya dalam
Alquran dan Sunnah. Terdapat dua golongan Ulama dalam menyikapi
qaul shahabi sebagai hujjah syar’iyyah, yaitu golongan yang setuju
menjadikan qaul shahabi sebagai hujjah dan golongan yang menolaknya.
Penjelasannya secara rinci ialah sebagai berikut :

A. Ulama yang setuju


Di antara Ulama yang setuju dengan qaul shahabi untuk menjadi hujjah
ialah Imam Malik, Ar Razi, Hanafiyyah, Syafi’i (Qaul Qadim), Ahmad
bin Hanbal (pendapat terkuat). Landasan dalam menjadikan qaul shahabi
sebagai hujjah antara lain:
 QS: Ali-Imran : 110
 QS. At-Taubah : 100
 HR. Al Bukhari : ‫اس َقرْ نِي ُث َّم الَّ ِذي َْن َيلُ ْو َن ُه ْم ُث َّم الَّ ِذي َْن َيلُ ْو َن ُه ْم‬
ِ ‫َخ ْي ُر ال َّن‬
Artinya: “sebaik – baik kamu (adalah yang hidup pada) masaku,
kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.”
8
 HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah :
‫ال ُمهَ ِّد ْينَ ِم ْن بَ ْع ِدي‬  َ‫اش ِد ْين‬ َ ‫َعلَ ْي ُك ْم بِ ُسنَّتِي َو ُسنَّ ِة ال ُخلَفَا ِء‬
ِ ‫الر‬
Artinya: “adalah kewajibanmu untuk mengikuti sunnahku dan sunnah
khulafa al – Rasyidin yang datang sesudahku”.
 Hadis Ibnu Umar : ‫َأصْ َح ِابيْ َكال ُّنج ُْو ِم َف ِبَأي ِِّه ْم ِا ْق َت َد ْي ُت ْم اِهْ َت َد ْي ُت ْم‬
Artinya: “Sahabatku adalah bagaikan bintang, maka siapapun di antara
mereka yang kalian jadikan panutan, maka kalian akan mendapatkan
petunjuk.”
 Ijma’
Keputusan pengangkatan Khalifah Utsman oleh Abdurrahman Ibn Auf
dengan salah satu pertimbangannya yaitu mau mengikuti Khalifah
sebelumnya yakni Abu Bakar dan Umar Ibn Khattab.18
 Dalil Aqli (logika)
Di antara alasan logis yang menjadi dasar kehujjahan qaul shahabi antara
lain:
1) Pendapat Shahabat dijadikan hujjah karena terdapat kemungkinan
bahwa pendapat mereka berasal dari Rasulullah.
2) Kedekatan Sahabat dengan Rasulullah dalam waktu yang lama
memberikan mereka pengalaman yang sangat luas untuk memahami ruh
dari syariat dan tujuan – tujuan pensyariatan.
3) Mereka berguru langsung pada Rasululla sehingga diyakini pendapat
mereka lebih mendekati kebenaran.
9
4) Mereka adalah generasi terbaik yang memiliki sifat ‘adalah dan lebih
jauh dari kemungkinan melahirkan pendapat syara’ tanpa alasan.

Terdapat suatu pendapat yang menyatakan bahwa suatu kaum menyetujui


qaul shahabi menjadi hujjah hanya qaul Abu Bakar dan Umar Ibn
Khattab saja. Sedangkan sebagian Ulama’ Hanafiyyah berpendapat
bahwa qaul shahabi menjadi hujjah hanya khusus pada shahabat ahli
fatwa.

B. Ulama Yang Menolak


Golongan Ulama yang menolak qaul shahabi menjadi hujjah antara lain
Asya’irah, Mu’tazilah, Syafi’i (Qaul Jadid), Syi’ah, Al Karkhi, Ulama
Kontemporer Madzhab Maliki dan Hanafi, Ibnu Hazm. Pendapat mereka
dalam menolak qaul shahabi berdasarkan sebagai berikut: 
 QS. Al Hasyr : 2
َ ٰ ‫ُوا ٰيَُٓأ ۟ولِى ٱَأْلب‬
‫ر‬kِ ‫ْص‬ ۟ ‫فَٱ ْعتَبر‬
ِ
Artinya: “ Maka ambillah kejadian itu untuk menjadi pelajaran wahai
orang – orang yang memiliki pandangan.”
 Dalil Ijma’ 
Para Shahabat sendiri telah bersepakat bahwa bisa jadi di antara mereka
terjadi perselisihan pendapat. Jika qaul shahabi menjadi hujjah, maka
dapat dipastikan adanya kewajiban mengikuti bagi para shahabat lain.
Akan tetapi, hal itu tidak terjadi.
 Dalil aqli (Logika) 
Sahabat juga termasuk golongan mujtahid yang juga memiliki peluang
salah atau lupa. Sama halnya dengan para tabi’in yang juga masuk
golongan mujtahid. Oleh karena itu, Mujtahid generasi tabi’in dan
sesudahnya tidak wajib mengikuti qaul shahabat.
10
 Fakta Historis
Pengakuan beberapa Shahabat yang berbeda pendapat dengan pendapat
Tabi’in menunjukkan bahwa qaul shahabat bukan hujjah. Salah satunya
ialah ketika Anas bin Malik (golongan Shahabat) ditanya tentang suatu
masalah. Beliau berkata: “Tanyakan permasalahan ini pada pemimpin
kita, Al Hasan”. Padahal Al Hasan dari golongan Tabi’in. 

Al Ghazali termasuk seseorang yang meniadakan kehujjahan qaul


shahabi secara mutlak. Beliau berpendapat bahwa para shahabat,
siapapun itu, tidak ada jaminan bahwa mereka terbebas dari kesalahan
sebagaimana keistimewaan Nabi. Bukan suatu rahasia lagi bahwa antar
para sahabat kadang terjadi ikhtilaf. Terjadinya ikhtilaf di antara mereka
merupakan dalil nyata bahwa pendapat mereka tidak dapat dijadikan
hujjah.

Musthafa Said al Khin dalam kitabnya Ushul Al Fikh Al Islami


Tarihuhu wa Tathowwuruhu, menjelaskan secara mendetail tentang
posisi qaul shahabi dalam menjadi hujjah syar’iyyah secara hierarki
dalam sudut pandang masingmasing madzhab. Berikut sikap masing –
masing madzhab terhadap qaul shahabi dalam kekuatannya sebagai
hujjah syar’iyyah: 

 Madzhab Hanafi 
Qaul shahabi dalam madzhab Hanafi menjadi hujjah ketiga setelah
Alquran dan as sunnah di posisi pertama dan kedua. Menurut madzhab
Hanafi, Qaul shahabi menjadi hujjah ketika menjangkau perkara –
perkara yang yang tidak dapat dijangkau oleh qiyas. Dalam hal ini,
mereka mendahulukan qaul shababi daripada qiyas. Sedangkan qaul
shahabi yang menyangkut perkara – perkara yang dapat dijangkau oleh
qiyas, mereka berselisih pendapat. Adayang tetap memprioritaskannya
menjadi hujjah atas qiyas. Ada pula yang memandangnya bukan sebagai
hujjah.
 Madzhab Maliki 
Madzhab Maliki, meletakkan qaul shahabi sama seperti madzhab hanafi,
yaitu menjadi hujjah syar’iyyah ketiga setelah Alquran dan

11
as – sunnah. Mereka secara mutlak lebih mengedepankan qaul shahabi
daripada ijma’ dan qiyas.
 Madzhab Syafi’i 
Madzhab Syafi’i secara institusi juga menjadikan qaul shahabi sebagai
hujjah syar’iyyah. Akan tetapi, peletakannya secara jierarkis berada di
bawah Alquran, sunnah, Ijma’, Qiyas, dan Istishhab. Sedangkan sikap
Imam Asy Syafi’i sendiri ialah, meski dalam qaul qadim mengakui qaul
shahabi sebagai hujjah, akan tetapi dalam qaul jadid beliau hanya
menerima qaul shahabi sebagai hujjah ketika dalam qaul shahabi tersebut
mengandung unsur qiyas.
 Madzhab Hanbali 
Sikap madzhab Hanbali terhadap qaul shahabi ialah sebagaimana sikap
madzhab Hanafi dan Maliki yaitu menerima qaul shahabi sebagai hujjah
ketiga setelah Alquran dan sunnah. Bahkan Imam Ahmad lebih
mendahulukan qaul shahabi daripada hadis dalam tingkatan mursal atau
dhaif.
 Madzhab Syiah 
Golongan syiah sebenarnya menolak secara mutlak terhadap qaul shahabi
dalam menjadi hujjah syar’iyyah. Akan tetapi bagi golongan syiah
Zaidiyyah dan Imamiyyah, mereka menganggap qaul shahabat
yangtermasuk dalam ahl bait merupakan hujjah yang wajib diikuti.
 Madzhab Dzahiri 
Sikap madzhab adz Dzahiri terhadap qaul shahabi ialah menolak secara
mutlak. Mereka berpendapat bahwa tidak boleh bertaqlid kepada
seseorang, termasuk shahabat.
 Mu’tazilah 
Mu’tazilah bersikap sama dengan Adz Dzahiri yaitu menolak qaul shahabi
secara mutlak.
Zakariya Al Anshari menyebutkan tentang beberapa permasalahan yang
berkaitan dengan kehujjahan qaul shahabi salah satunya ialah dapatkah
qaul shahabi yang keluar dari salah seorang sahabat

12
menjadi hujjah bagi sahabat lain. Dalam hal ini, Ulama’ sepakat
mengingkari kehujjahan qaul shahabi bagi sahabat lain. Sedangkan ketika
qaul shahabi dijadikan hujjah bagi umat setelah masa sahabat, maka
Ulama’ berbeda pendapat mengenai hal ini. Perbedaan pendapat Ulama
mengenai kehujjahan qaul shahabi bagi selain Sahabat antara lain : 

1. Qaul Shahabi bukan merupakan hujjah syar’iyyah bagi siapapun dari


kalangan mujtahid baik dari kalangan tabi’in maupun setelahnya.
Pendapat ini merupakan qaul ashah.
2. Qaul Shahabi merupakan hujjah syar’iyyah bagi selain sahabat dan
memiliki derajat di atas qiyas. 
3. Qaul Shahabi merupakan hujjah syar’iyyah bagi selain sahabat yang
derajatnya di bawah qiyas.
4. Qaul Shahabi menjadi hujjah bagi generasi tabi’in dan setelahnya
manakala qaul tersebut telah tersebar dan tidak mendapat pertentangan
dengan pendapat lain.
5. Qaul Shahabi dapat menjadi hujjah bagi selain sahabat ketika
menyalahi qiyas. 
6. Qaul Shahabi yang dapat menjadi hujjah bagi selain sahabat hanya qaul
Abu Bakar Ash Shidiq dengan Umar bin Khattab saja. 

Dari ikhtilaf yang terjadi, Wahbah Zuhaili mengambil suatu tarjih dengan
menyatakan bahwa qaul shahabi yang merupakan pendapat perorangan
bukan merupakan hujjah syar’iyyah yang berdiri sendiri. Sebab memiliki
peluang benar dan salah. Qaul shahabi tersebut dapat menjadi hujjah yang
diikuti ketika memiliki sandaran dalam bentuk nash baik Alquran maupun
sunnah.

2. Shar’u Man Qoblana


Syariat umat terdahulu yang termaktub dalam al – Qur’an dan hadis nabi
berupa kisah maupun hukum tanpa ada pengingkaran, tidak di –
nasakh tetapi juga tidak dinyatakan keberlakuannya dalam syariat kita,

13
para ulama berbeda pendapat apakah syariat tersebut juga berlaku bagi kita
atau tidak. Seperti halnya syariat qishah di dalam kitab Taurat yang
disebutkan di dalam alquran Surah al – Maidah ayat 45: ‫ َعلَ ْي ِه ْم فِيهَا َأ َّن‬k‫َو َكتَ ْبنَا‬
ٌ‫صاص‬ َ ‫ف َواُأْل ُذنَ بِاُأْل ُذ ِن َوالس َِّّن بِال ِّسنِّ َو ْال ُجر‬
َ ِ‫ُوح ق‬ ِ ‫س َو ْال َع ْينَ بِ ْال َع ْي ِن َواَأْل ْنفَ بِاَأْل ْن‬
ِ ‫س بِالنَّ ْف‬
َ ‫النَّ ْف‬
Artinya : “ Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-
Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata,
hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan
luka-luka (pun) ada qishaashnya.”

Maka dalam hal ini para ulama terbagi ke dalam dua pendapat. Yaitu pendapat
jumhur dan sebagian syafi’iyyah.
A. Jumhur Ulama
Mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan riwayat dari
Imam Ahmad yang dipilih oleh sebagian besar Hanabilah memandang
bahwa syar’u man qablana adalah syariat yang berlaku untuk kita
juga. Adapun dalil yang digunakan oleh kelompok pertama ini adalah
sebagai berikut :

Pertama, firman Allah SWT :


‫ِين َهدَى هَّللا ُ َف ِبهُدَا ُه ُم ا ْق َت ِد ْه‬ َ َ‫ُأول‬
َ ‫ِئك الَّذ‬

Artinya : “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah,
maka
Ikutilah petunjuk mereka.”
Di dalam ayat di atas Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk mengikuti
petunjuk nabi – nabi sebelumnya. Sehingga wajib baginya untuk mengikuti
syariat para nabi terdahulu kecuali yang telah di – nasakh .
 
Kedua, firman Allah SWT surat al – Maidah ayat 44:
‫ِإنَّا َأ ْن َز ْلنَا التَّوْ َراةَ فِيهَا هُدًى َونُو ٌر يَحْ ُك ُم بِهَا النَّبِيُّونَ الَّ ِذينَ َأ ْسلَ ُموا‬
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya
(ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan
perkara orang – orang Yahudi oleh nabi – nabi yang menyerah diri kepada
Allah.”

14
Di dalam ayat di atas, Allah SWTmengungkapkan kata ‘nabi’ yang berhukum
dengan kitab Taurat dalam bentuk jamak (an – nabiyyun). Hal itu menjadikan
Nabi Muhammad termasuk ke dalam golongan nabi – nabi tersebut. Sehingga
Nabi Muhammad SAW juga wajib berhukum dengan kitab Taurat sebagaimana
nabi – nabi yang lain. 

Ketiga, Nabi Muhammad SAW pernah ber – istidlal dengan ayat alquran


yang bermuatan syar’u man qablana. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Anas bin Malik dalam kitab Shahih al – Bukhori berikut: ‫ َع ِن‬،‫ك‬ ِ ‫ع َْن َأن‬
ٍ ِ‫َس ْب ِن َمال‬
‫{وَأقِ ِم‬
َ ‫ك‬ َ ‫الَةً فَ ْلي‬k‫ص‬
َ َّ‫ الَ َكف‬،‫ا‬kkَ‫لِّ ِإ َذا َذ َك َره‬k‫ُص‬
َ kِ‫ا ِإاَّل َذل‬kkَ‫ارةَ لَه‬ َ ‫ َي‬k‫ " َم ْن ن َِس‬:‫ا َل‬kkَ‫لَّ َم ق‬k‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َس‬ َ ‫النَّبِ ِّي‬
}‫صالَةَ لِ ِذ ْك ِري‬
َّ ‫ال‬
Artinya : “Dari Anas bin Malik, dari Nabi Muhammad SAW, dia bersabda,
‘Siapa yang lupa mengerjakan shalat maka shalatlah ketika dia ingat, tidak ada
kaffarah baginya selain itu (dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku).”

Surat Thaha ayat 14 yang dijadikan dalil oleh Nabi Muhammad SAW untuk
menguatkan sabdanya tersebut merupakan firman Allah SWT kepada Nabi
Musa a.s. Itu artinya syariat Nabi Musa juga berlaku bagi
Nabi Muhammad SAWdan umatnya. 

Keempat, Nabi Muhammad SAW pernah merajam seorang Yahudi


berdasarkan kepada syariat mereka yang tertulis di dalam kitab Taurat sebelum
turunnya wahyu. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Barra’ bin ‘Azib
berikut: ،‫ك‬ َ ‫ ِه ُد‬k‫ " اللهُ َّم ِإنِّي ُأ ْش‬:‫ا َل‬kkَ‫ا َوق‬kkًّ‫لَّ َم َر َج َم يَهُو ِدي‬k‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َس‬ َّ ِ‫ َأ َّن النَّب‬،‫ب‬
َ ‫ي‬ ِ ‫َع ِن ْالبَ َرا ِء ب ِْن ع‬
ٍ ‫َاز‬
‫َأنِّي َأ َّو ُل َم ْن َأحْ يَا ُسنَّةً قَ ْد َأ َماتُوهَا‬

Artinya : “Dari Barra’ bin ‘Azib bahwasanya Nabi Muhammad ‫ﷺ‬ merajam


seorang Yahudi dan bersabda, “Ya Allah seusungguhnya aku bersaksi pada –
Mu bahwa aku adalah orang yang pertama kali menghidupkan sunnah yang
telah mereka tinggalkan.”

15

B. Sebagian Shafi’iyah
Pendapat kedua yang diwakili oleh sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah
satu riwayat dari Imam Ahmad mengatakan bahwa syar’u man qablana
tidak berlaku bagi kita dan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Dalil yang
menjadi landasan pendapat kelompok kedua ini adalah sebagai berikut:
Pertama, firman Allah SWT surat al – Maidah ayat 48: ‫لِ ُك ٍّل َج َع ْل َنا ِم ْن ُك ْم شِ رْ َع ًة‬
‫َو ِم ْن َهاجً ا‬
Artinya : “Untuk tiap – tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan
jalan yang terang.”
Ayat di atas menunjukkan bahwa setiap nabi memiliki syariatnya masing –
masing yang mana setiap nabi hanya wajib menjalankan apa yang ada
dalam syariatnya saja. 
Kedua, Nabi Muhammad ‫ﷺ‬pernah marah ketika melihat di tangan Umar
bin Khattab ada lembaran kitab Taurat. Seraya berkata, “Seandainya Musa
hidup, tidak ada pilihan baginya kecuali mengikutiku.”  Andaikan syariat
umat terdahulu berlaku bagi umat Nabi Muhammad tentu beliau tidak
akan mengingkari hal tersebut. 
Ketiga, hadis riwayat Jabir bin Abdullah:
‫ " أعطيت خمسا لم يعطهن أحد‬:‫ هللا صلى هللا عليه وسلم‬k‫ قال رسول‬:‫ قال‬،‫عن جابر بن عبد هللا‬
‫ وبعثت إلى الناس‬،‫ وكان النبي إنما يبعث إلى قومه خاصة‬،‫ بعثت إلى األحمر واألسود‬:‫قبلي‬
‫ الحديث‬...‫عامة‬
Dari Jabi bin Abdullah, Rasulullah ‫ﷺ‬bersabda, “Aku diberikan lima hal
yang tidak diberikan kepada siapa pun sebelumku: aku diutus kepada yang
merah dan yang hitam sedangkan nabi tidaklah diutus kecuali hanya pada
kaumnya saja dan aku diutus bagi seluruh manusia...”
Hadis di atas secara tegas menunjukkan bahwa setiap nabi diutus secara
khusus kepada umat tertentu dengan syariat yang khusus pula. Sehingga
syariat seorang nabi tidak berlaku bagi nabi lainnya.

16
Syarat Ber-hujjah dengan Syar’u Man Qablana
Para ulama yang memandang syar’u man qablana sah dijadikan sebagai
dalil, memberikan persyaratan – persyaratan khusus. Tidak semua
syariat umat terdahulu bisa dijadikan hujjah ketika menyimpulkan hukum.
Paling tidak ada dua syarat yang dikemukakan oleh para ulama, yaitu:

1. Tidak di – nasakh dan tidak bertentangan dengan syariat kita


2. Sampai kepada kita lewat jalur yang valid baik dari al – Qur’an
maupun hadis.

Jika melihat syarat kedua di atas, sejatinya berdalil dengan syar’u man
qablana sama halnya dengan berdalil menggunakan ayat al-Qur’an dan
hadis. Sebab, tidaklah syar’u man qablana itu sah menjadi dalil kecuali
termuat dalam al-Qur’an dan sunnah.

2.3 Relevansi Madzhab Sohabi dan Shar’u Man Qoblana degnano


Sumber Hukum Islam Lainnya

Sumber hukum Islam merupakan dalil – dalil syariah (al – adillat al –


Shar’iyah). Dari dalil – dalil ini dapat di – istinbatkan hukum – hukum
syariah yang berbentuk amaliah praktis dan bersifat umum baik melalui
bentuk yang pasti (qat’i) maupun dalam bentuk yang relative (dzanni).
Sedangkan yang dimaksud dengan istinbat (hukum ialah menentukan,
mencarikan atau menetapkan status hukum bagi suatu perkara/perbuatan
dari satu dalil terntentu.

Al – Adillah  ada dua macam. Pertama, satu kelompok dalil yang


disepakati oleh semua jumhur ulama yang digunakan sebagai dasar dan
sumber dalam menetapkan suatu amaliah dan perbuatan (adillah al –
ahkam al – muttafaq ‘alaiha). Kedua, kelompok dalil lainnya dimana hal
itu para jumhur ulama berbeda sikapnya dan masih diperselisihkan (adilla
al – ahkam al – mukhtalaf fiha). Kelompok dalil kedua ini merupakan
basis dalam

17
menemukan hukum, dan sebagian fuqaha mengakui dan sebagian yang
lain tidak menggunakannya bahkan ada yang menolaknya. Kelompok dalil
yang disepakati yaitu Al – Qur’an , Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Sedangkan
dalil yang masih diperselisihkan terdiri atas Istihsan, Istishab, Maslahah
Mursalah, ‘Urf, Sadd Dhariah, Shar’u Man Qablana dan Qaul Shahabi.

Maka al – adillah (dalil – dalil ) itu dapat berupa dalil naqliyah, dalil yang
dikutip dari wahyu dan dalil aqliyah yaitu dalil berdasarkan hasil
pemikiran yang benar. Dalil naqli bersumber dari Al – Qur’an , Sunnah,
dan Ijma’. Sedangkan dalil aqli, yaitu Qiyas, Maslahah Mursalah, Istihsan,
Istishab, ‘Urf, Shar’u Man Qablana dan Qaul Shahabi. Semua dalil ini
memerlukan satu bagian terkait kepada bagian yang lain. Bagaimanapun
dalam melakukan ijtihad, hal itu terjadi degan landasan akal sehat dan juga
berlandaskan dalil naqliy. Sedangkan dalil naqliy itu dapat digunakan
harus dengan nalar, perenungan, pemikiran dan analisis dengan pandangan
yang sehat.

2.4 Contoh Madzhab Sohabi Dan Shar’u Man Qoblana Sebagai


Sumber Hukum dalam Ekonomi

1. Qaul Shahabi

A. Zakat
Fatwa Abu Bakar r.a saat memerangi pembangkang zakat. Beliau
mengatakan “Demi Allah, sungguh saya perangi orang yang membedakan
antara salat dan zakat, karena zakat adalah hak harta. Demi Allah, apabila
mereka menghalangiku dengan sebenarnya (zakat) yang mana mereka
dulu memberikan kepada Rasulullah, maka sungguh akan aku perangi
yang menghalangi tersebut.
B.  Jual Beli Kredit
Jual beli ‘inah merupakan praktik jual beli seperti ketika si A menjual
barang kepada si B dengan harga tertentu dan untuk jangka waktu tertentu
(secara tempo). Kemudian si A membeli kembali barang tersebut dengan
harga lebih rendah secara tunai. Artinya, jual beli ‘inah sama dengan jual
beli kredit dengan tambahan harga.

18
Menurut Ulama Syafi’iyyah, praktik jual beli dalam bentuk sebagaimana
disebutkan diperbolehkan dengan berdasarkan qiyas. Sedangkan Ulama
Malikiyyah, Hanafiyyah, dan Hanabilah memandang bahwa praktik jual
beli tersebut tidak sah dan haram. Mereka menggunakan dasar Qaul
Shahabi yakni qaul Aisyah yang memberi tanggapan buruk terhadap
praktik jual beli yang dilakukan oleh keluarga Zaid bin Arqam. Praktik
jual beli tersebut dengan cara sebagaimana digambarkan sebelumnya.
 
2. Syar’u Man Qablana

A. Fatwa Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Wakalah


Dalam fatwa No. 95/DSN – MUI/VII/2014 tentang SBSN Wakalah, DSN –
MUI men – takyif SBSN tersebut sebagai wakalah bil istitsmar. Salah satu
landasan hukum yang dipakai dalam fatwa tersebut adalah kisah ashabul
kahfi yang dimuat dalam Al – Qur’an Surat Al – Kahfi ayat 19, juga kisah
Nabi Yusuf dalam Surah Yusuf ayat 55

B. Fatwa tentang SBSN Ijarah Aset to be Leased Shar’u Man Qoblana juga
dijadikan sebagai salah satu landasan hukum dalam Fatwa No. 17/DSN –
MUI /VI/2010 tentang SBSN Ijarah Aset to be Leased. SBSN tersebut di –
takyif sebagai Ijarah al Maujudat al Mau’ud Bisti’jariha yaitu akad Ijarah
yang objek Ijarahnya sudah ditentukan spesifikasinya dan sebagian objek
Ijarahnya sudah ada pada saat akad dilakukan, tetapi penyerahan
keseluruhan objek Ijarah dilakukan pada masa yang akan datang sesuai
kesepakatan. Salah satu dalil yang digunakan pijakan adalah kisah Nabi
Musa dalam QS. Al – Qashas ayat 26 dan QS. Al – Kahfi ayat 77

C. Fatwa tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah Ju’alah


Dalam fatwa No. 64/DSN – MUI/XII/2007 tentang SBIS Ju’alah, DSN
menggunakan Shar’u Man Qoblana sebagai salah satu dalilnya. Yang mana
dalil tersebut digunakan sebagai landasan hukum akad Ju’alah yang
diterapkan pada Sertifikat Bank Indonesia Syariah. Dalil yang dimaksud
adalah surah Yusuf ayat 72

19
D. Kafalah/Dhaman
Dalam kisah Nabi Yusuf siapa yang membawa tanda emas dari raja maka
boleh membawa makanan dan dijamin oleh Nabi Yusuf. Meminjam uang
atau menjual barang secara tidak tunai dan tidak menuliskannya
diperbolehkan karena walaupun dalam A-Qur’an menganjurkan untuk
menulis tetapi dalam Hadits dikisahkan Nabi terdahulu melakukannya
tanpa saksi kecuali Allah, sehingga boleh tanpa ditulis dan tanpa disaksikan
manusia tetapi disaksikan oleh Allah.
20
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Mazhab sahabat atau yang disebut dengan mazhab shahaby ialah fatwa – fatwa para
sahabat mengenai berbagai masalah yang dinyatakan setelah Rasulullah Saw wafat.
2. Menurut para ulama syari’at sebelum kita atau syar’u man qablana ialah hukum –
hukum yang telah disyariatkan untuk umat sebelum Islam yang dibawa oleh para
nabi dan rasul terdahulu, dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum
adanya syariat Nabi Muhammad.
3. Ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan qaul shahabi. Terdapat dua golongan
Ulama dalam menyikapi qaul shahabi sebagai hujjah syar’iyyah, yaitu golongan yang
setuju menjadikan qaul shahabi sebagai hujjah dan golongan yang menolaknya.
4.  Syariat umat terdahulu yang termaktub dalam al – Qur’an dan hadis nabi berupa
kisah maupun hukum tanpa ada pengingkaran, tidak di – nasakh tetapi juga tidak
dinyatakan keberlakuannya dalam syariat kita, para ulama berbeda pendapat apakah
syariat tersebut juga berlaku bagi kita atau tidak.
5. Kelompok dalil yang disepakati yaitu Al – Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Sedangkan dalil yang masih diperselisihkan terdiri atas Istihsan, Istishab, Maslahah
Mursalah, ‘Urf, Sadd Dhariah, Shar’u Man Qablana dan Qaul Shahabi.

3.2 Saran
Penulis sadari banyak sekali kesalahan dalam segi penulisan maupun isi
materi yang disampaikan. Oleh karena itu penulis memohon koreksi
terhadap penyusunan makalah ini.
3.3 Daftar Pustaka
Abdul Hakim, “EKSISTENSI QAUL AL-SHAHABI SEBAGAI DALIL
SYAR’I”, Wacana Hukum Ekonomi dan Keagamaan, Vol. 6, No. 1 (2019).
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, (Jakarta: Majlis A’la Indonesia li al-
Dakwah, 1972).

21
Achmad Yasin, Ilmu Ushul Fiqh, (Surabaya: IAIN Press, 2015).
Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, revisi 3 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2009).
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008).
https://dsnmui.or.id/produk/fatwa (diakses pada tanggal 7 Oktober 2020, pukul 2
3.15 WIB).
 
Muchamad Coirun Nizar, “Qaul Shahabi dan Aplikasinya dalam Fiqh
Kontemporer”,Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam”,Vol. 1, No. 1 (2017).
Mundzier Suparta dan Djedjen Zainuddin, Pendidikan Agama Islam Fikih (Semarang:
PT Karya Toha Putra, 2016), cet. 1.
Musthafa Sa’id al-Khinni, Asar al-Ikhtilaf Fi al-Qawa’id al-Ushuliyah Fi Ikhtilaf
al-Fuqaha’, (Mesir: Ar Risalah, 1996).
 
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos WacanaIlmu, 2001).
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid II, (Jakarta: Kencana, 2011).
Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009).
22

You might also like