You are on page 1of 25

PEMERINTAH KOTA LUBUKLINGGAU

DINAS KESEHATAN
UPT PUSKESMAS CITRA MEDIKA
Jl. Yos Sudarso Gg. Binjai/Rumbai RT. II Kel. Taba Jemekeh
Kec. Lubuklinggau Timur I Kota Lubuklinggau

NOTULENSI PENDAMPINGAN INTERNSHIP


Hari, Tanggal : Sabtu, 28 Mei 2022
Pendamping : dr. Kartika Prima Putri
Peserta : dr. Saza Perdana Putri
dr. Dwi Costarica Sawitri
dr. Elveira Oktarianti
dr. Dwi Puji Lestari
Materi :
Gastroenteritis akut adalah diare dengan onset mendadak dengan frekuensi lebih dari 3 kali d
alam sehari disertai dengan muntah dan berlangsung kurang dari 14 hari.
Gastroenteritis akut merupakan masalah yang banyak terjadi pada Negara berkembang diban
ding dengan negara maju yang tingkat higenitas dan sanitasi lebih baik. Menurut data dari W
orld Health Organization (WHO) dan UNICEF, terdapat 1,87 juta orang meninggal akibat ka
sus gastroenteritis setiap tahunnya di seluruh dunia.
Etiologi gastroenteritis dibagi menjadi 4 penyebab : bakteri, virus, parasit dan non infeksi.
Bakteri penyebab tersering adalah Shigella, Salmonella, Campylobacter, E.coli dan Entamoe
ba histolytica. Sedangkan pada anak, infeksi rotavirus merupakan penyebab tersering dengan
persentase sekitar 40-60%.
Pada umumnya gastroenteritis akut 90% disebabkan oleh agen infeksi yang berperan dalam te
rjadinya gastroenteritis akut terutama adalah faktor agent dan faktor host. Faktor agent yaitu
daya penetrasi yang dapat merusak sel mukosa, kemampuan memproduksi toksin yang memp
engaruhi sekresi cairan usus halus serta daya lekat kuman. Faktor host adalah kemampuan tub
uh untuk mempertahankan diri terhadap organisme yang dapat menimbulkan diare akut, terdi
ri dari faktor-faktor daya tangkis atau lingkungan internal saluran cerna antara lain: keasama
n lambung, motilitas usus, imunitas, dan lingkungan mikroflora usus.
Manifestasi klinis dari gastroenteritis akut biasanya bervariasi. dari salah satu hasil penelitian
yang dilakukan pada orang dewasa, mual (93%), muntah (81%) atau diare (89%), dan nyeri a
bdomen (76%) umumnya merupakan gejala yang paling sering dilaporkan oleh kebanyakan p
asien. Selain itu terdapat tanda- tanda dehidrasi sedang sampai berat, seperti membran mukos
a yang kering, penurunan turgor kulit, atau perubahan status mental, terdapat pada <10 % pad
a hasil pemeriksaan. Gejala pernafasan, yang mencakup radang tenggorokan, batuk, dan rinor
ea, dilaporkan sekitar 10%.
Tujuan utama dari pemeriksaan fisik adalah untuk menilai tingkat dehidrasi pasien. Umumny
a penampilan sakit, membran mukosa kering, waktu pengisian kapiler yang tertunda, peningk
atan denyut jantung dan tanda-tanda vital lain yang abnormal seperti penurunan tekanan dara
h dan peningkatan laju nafas dapat membantu dalam mengidentifikasi dehidrasi. Demam lebi
h mengarah pada diare dengan adanya proses inflamasi. Pemeriksaan perut penting untuk me
nilai nyeri dan proses perut akut. Pemeriksaan rektal dapat membantu dalam menilai adanya
darah, nyeri dubur, dan konsistensi feses.
Dalam penanganan diare terdapat beberapa komponen yang harus diperhatikan, diantaranya:
pencegahan, rehidrasi, diet, obat antidiare dan antibiotika.
Untuk mencegah diare terutama pada anak yaitu:
1. Minumlah air yang direbus hingga mendidih dan makanan yang sudah dimasak hingga mat
ang.
2. Susuilah atau beri ASI anak anda selama mungkin, disamping makanan lainnya yang dapat
diberikan sesuai dengan umur si kecil agar jika anak sudah besar memiliki daya taha tubuh ya
ng kuat.
3. Tetaplah memberikan ASI walaupun anak anda menderita diare.
Selain hal di atas, menyediakan sanitas dasar yang sehat seperti air bersih, jamban yang repre
sentatif, mencuci tangan dengan sabun antiseptik akan mengurangi insiden penyakit diar
PEMERINTAH KOTA LUBUKLINGGAU
DINAS KESEHATAN
UPT PUSKESMAS CITRA MEDIKA
Jl. Yos Sudarso Gg. Binjai/Rumbai RT. II Kel. Taba Jemekeh
Kec. Lubuklinggau Timur I Kota Lubuklinggau

NOTULENSI PENDAMPINGAN INTERNSHIP


Hari, Tanggal : Sabtu, 11 Juni 2022
Pendamping : dr. Kartika Prima Putri
Peserta : dr. Saza Perdana Putri
dr. Dwi Costarica Sawitri
dr. Elveira Oktarianti
dr. Dwi Puji Lestari
Materi :
Penyakit Diabetes Mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteris
tik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duany
a.
American Diabetes Association (ADA) dalam standards of Medical Care in Diabetes (2009)
memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe :
- Diabetes Melitus tipe I, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh adanya destruksi
sel β pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi insulin.
- Diabetes Melitus tipe II, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi
insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin.
- Diabetes Melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa faktor lain se
perti kelainan genetik pada fungsi sel β pankreas, kelainan genetik pada aktivitas insul
in, penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis), dan akibat penggunaan obat atau baha
n kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS dan terapi setelah transplantasi organ).
- Diabetes Melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau dialami selama
masa kehamilan.

Faktor risiko DM :
- Genetik
Penyakit Diabetes Melitus tipe II memiliki komponen genetik utama. Kembar monozi
got (96%) sedangkan dizigotik (DZ) hanya pada beberapa kasus, tetapi tidak semua st
udi kembar. Selain itu, 40% kerabat tingkat pertama dapat menjadi faktor risiko terjad
inya Diabetes Melitus tipe II, sedangkan tingkat insiden pada populasi umum hanya 6
%.
- Usia
Berdasarkan data NHANES, prevalensi diabetes meningkat seiring bertambahnya. Pa
da sebagian besar populasi, insiden Diabetes Melitus tipe II lebih rendah sebelum usia
30 tahun, tetapi meningkat dengan cepat dan terus menerus seiring bertambahnya usia.
- Jenis Kelamin
Menurut European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition (EPIC), risik
o terjadinya diabetes pada pria lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang diamati
secara konsisten di berbagai negara Eropa. Namun, konsistensi ini tidak begitu jelas te
rlihat pada populasi Amerika Serikat karena insiden diabetes pada pria lebih tinggi dib
andingkan dengan wanita terjadi pada tahun 2010 tetapi lebih rendah pada tahun 2013,
berdasarkan data NHIS.
- Gaya Hidup
Berbagai macam faktor gaya hidup juga memiliki peran penting pada terjadi nya Diab
etes Melitus tipe II, seperti gaya hidup menetap, kurang aktivitas fisik, merokok dan k
onsumsi alkohol. Substantial epidemiological studies telah menunjukkan bahwa obesi
tas adalah faktor risiko yang paling penting pada terjadinya Diabetes Melitus tipe II, y
ang dapat mempengaruhi perkembangan resistensi insulin dan perkembangan penyaki
t.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
- Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tid
ak dapat dijelaskan sebabnya;
- Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pr
ia, serta pruritus vulva pada wanita.
Diabetes melitus didiagnosis dengan menggunakan kadar glukosa darah (GDP, GDS atau TT
GO) atau HbA1c. Glukosa darah puasa 126 mg/dL (7,0 mmol/L), TTGO 200 mg/dL (11,1 m
mol/L), HbA1c 6,5% (48 mmol/mol) atau glukosa darah sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L).
Tatalaksana
Obat antidiabetik non-insulin
- Biguanida
Biguanida adalah salah satu golongan obat antidiabetes utama, di antaranya yaitu
metformin. Metformin adalah obat yang paling umum digunakan pada terapi lini
pertama diabetes mellitus. Metformin telah terbukti efektif dalam menurunkan
glukosa darah, meningkatkan sensitivitas insulin, mengurangi komplikasi
kardiovaskular dan risiko hipoglikemia, dan merupakan satu-satunya agen
hipoglikemik untuk meningkatkan fungsi makrovaskular dan untuk mengurangi angka
kematian pada pasien Diabetes Melitus tipe II.
- Sulfonilurea
Sulfonilurea adalah lini kedua yang banyak digunakan dalam pengobatan pasien
Diabetes Melitus tipe II yang tidak mengalami obesitas berat, yang bekerja langsung
pada β cells yang sensitive terhadap ATP dan K+ channels dan merangsang sekresi
insulin. Obat ini tetap efektif sampai mencapai targetnya ketika digunakan secara
monoterapi ataupun dikombinasikan dengan obat anti-hiperglikemik lain, tetapi obat
ini bergantung pada keberadaan sel β yang cukup yang berfungsi secara optimal.
- Thiazolidinediones
Thiazolidinediones (TZDs) adalah obat yang dapat meningkatkan sensitivitas insulin,
yaitu troglitazone, rosiglitazone, dan pioglitazone. TZD memiliki efek kerja yang
lebih tahan lama untuk mengatur hiperglikemia daripada sulfonilurea dan metformin,
dan tidak meningkatkan risiko hipoglikemia bila digunakan sebagai monoterapi.
TZDs efektif dalam terapi kombinasi obat antidiabetes lainnya, terutama dalam
kombinasi dengan insulin untuk mengurangi dosis insulin yang tinggi dan
meningkatkan kontrol glikemik pada Diabetes Melitus tipe II.
- α-Glucosidase inhibitors (AGIs)
α-Glucosidase inhibitors contohnya acarbose, voglibose dan miglitol, sangat efektif
untuk hiperglikemia postprandial. Obat ini dapat menghambat enzim mukosa usus (α-
glucosidase) yang mengubah polisakarida kompleks menjadi monosakarida, sehingga
mengurangi penyerapan karbohidrat. Voglibose dapat secara signifikan meningkatkan
toleransi glukosa dan acarbose akan mengurangi risiko penyakit kardiovaskular
seperti infark miokard akut pada Diabetes Melitus tipe II. Obat ini dapat menimbulkan
efek samping seperti perut kembung, diare dan flatusi. Penggunaannya harus dibatasi
pada lanjut usia karena efek samping gastrointestinal dan harus dihindari penggunaan
jangka panjang pada pasien dengan gangguan ginjal.
Obat antidiabetik insulin
Insulin merupakan anti-hiperglikemik yang paling efektif. Terapi insulin dapat memberikan k
ontrol glikemik yang efektif dan dapat memperbaiki banyak kelainan metabolik pada pasien
Diabetes Melitus tipe II. Insulin memiliki empat bentuk injeksi, termasuk rapid acting, short
acting, intermediate acting and long acting, Diantara keempat bentuk tersebut, long acting pa
ling kecil menyebabkan hipoglikemia.
Komplikasi : Pasien DM tipe II lebih rentan terhadap berbagai bentuk komplikasi, jangka pen
dek maupun jangka panjang. Komplikasi berupa penyakit makrovaskular (hipertensi, hiperlip
idemia, serangan jantung, CAD, stroke, cerebral vascular disease, dan peripheral vascular di
sease dan penyakit mikrovaskular (retinopati, nefropati, dan neuropati) dan kanker.
PEMERINTAH KOTA LUBUKLINGGAU
DINAS KESEHATAN
UPT PUSKESMAS CITRA MEDIKA
Jl. Yos Sudarso Gg. Binjai/Rumbai RT. II Kel. Taba Jemekeh
Kec. Lubuklinggau Timur I Kota Lubuklinggau

NOTULENSI PENDAMPINGAN INTERNSHIP


Hari, Tanggal : Sabtu, 25 Juni 2022
Pendamping : dr. Kartika Prima Putri
Peserta : dr. Saza Perdana Putri
dr. Dwi Costarica Sawitri
dr. Elveira Oktarianti
dr. Dwi Puji Lestari
Materi :
Serumen prop adalah penumpukan serumen yang mengakibatkan sumbatan serumen di
liang telinga luar. Serumen prop terbentuk oleh karena gangguan dari mekanisme
pembersihan serumen atau produksi serumen yang berlebih. Sumbatan serumen umumnya
terdiri dari sekresi dari kelenjar serumen yang bercampur dengan sebum, debris eksfoliatif,
dan kontaminan. Pembersihan liang telinga yang tidak tepat (khususnya dengan kapas
telinga) dapat mengganggu mekanisme pembersihan serumen normal dan mendorong
serumen ke arah membran timpani.
Gumpalan serumen yang menumpuk di liang telinga dapat menyumbat dan
menimbulkan rasa tertekan di liang telinga yang menyebabkan gangguan pendengaran berupa
tuli konduktif. Terutama bila telinga masuk air (sewaktu mandi, berenang) dan serumen yang
padat menjadi lembab, serumen dapat mengembang sehingga menimbulkan rasa tertekan dan
gangguan pendengaran semakin dirasakan sangat mengganggu.
Diagnosis
Diagnosis serumen prop ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Melalui
anamnesis, umumnya pasien akan mengeluhkan adanya rasa tersumbat atau ditekan ditelinga.
Gumpalan serumen yang menumpuk di liang telinga menyebabkan rasa penuh. Keluhan juga
dapat disertai dengan gangguan pendengaran dan tinnitus. Perlu juga ditanyakan tentang
keluhan yang timbul setelah telinga pasien masuk air seperti setelah mandi atau berenang.
Melalui pemeriksaan fisik dengan tes pelana, akan ditemukan tanda tanda adanya tuli
konduktif. Pada pemeriksaan dibagian liang telinga terlihat serumen dalam bentuk yang
lunak, liat, keras, serta padat.
Penatalaksanaan
Ad
anya serumen pada liang telinga adalah suatu keadaan normal. Serumen dapat
dibersihkan sesuai dengan konsistensinya. Serumen yang lembek, dibersihkan dengan
kapas yang dililitkan pada pelilit kapas. Serumen yang keras dikeluarkan dengan pengait atau
kuret. Apabila dengan cara ini serumen tidak dapat dikeluarkan, maka serumen harus
dilunakkan lebih dahulu dengan tetes karbogliserin 10% selama 3 hari. Serumen yang sudah t
erlalu jauh terdorong kedalam liang telinga sehingga dikuatirkan menimbulkan trauma pada
membran timpani sewaktu mengeluarkannya, dikeluarkan dengan suction atau mengalirkan (i
rigasi) air hangat yang suhunya disesuaikan dengan suhu tubuh.
PEMERINTAH KOTA LUBUKLINGGAU
DINAS KESEHATAN
UPT PUSKESMAS CITRA MEDIKA
Jl. Yos Sudarso Gg. Binjai/Rumbai RT. II Kel. Taba Jemekeh
Kec. Lubuklinggau Timur I Kota Lubuklinggau

NOTULENSI PENDAMPINGAN INTERNSHIP


Hari, Tanggal : Sabtu, 9 Juli 2022
Pendamping : dr. Kartika Prima Putri
Peserta : dr. Saza Perdana Putri
dr. Dwi Costarica Sawitri
dr. Elveira Oktarianti
dr. Dwi Puji Lestari
Materi :
Tinea pedis atau sering disebut athelete foot adalah infeksi jamur yang paling sering terj
adi pada sela jari dan telapak kaki. Penggunaan istilah athlete foot digunakan untuk menunjuk
an bentuk jari kaki yang seperti terbelah
Tinea pedis terdapat di seluruh dunia sebagai dermatofitosis yang paling sering terjadi.
Kejadiaan tinea pedis lebih tinggi diantara penduduk yang menggunakan tempat-tempat umu
m seperti kamar mandi, pancuran atau kolam renang.
Ada 4 jenis tinea pedis interdigitalis, moccasin, tipe akut ulserasi dan tipe vesiculbulosa
semua dengan karakteristik kulit masing-masing.
1. Interdigitalis
- Diantara jari 4 dan 5 terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis.
- Dapat meluas ke bawah jari (subdigital) dan ke sela jari yang lain.
- Sering terlihat maserasi. Aspek klinis berupa kulit putih dan rapuh. Dapat disertai infe
ksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis, limfangitis, limfadenitis, dan dapat
pula terjadi erisipelas.
2. Moccasin foot
- Pada seluruh kaki, dari telapak kaki, tepi sampai punggung kaki, terlihat kulit menebal
dan bersisik dan seperti bedak
- Eritema biasanya ringan dan terlihat pada bagian tepi lesi
- Tepi lesi dapat dilihat papul dan kadang-kadang vesikel
3. Vesiculo bulosa
- Diakibatkan karena T.mentagrophytes
- Diameter vesikel lebih besar dari 3mm
- Jarang pada anak-anak, tapi etiology yang sering terjadi pada anak-anak adalah T.rubr
um
- Vesikel pustul atau bula pada kulit tipis ditelapak kaki dan area periplantar
4. Tipe akut ulserasi
- Mempengaruhi telapak kaki dan terkait dengan maserasi, penggundulan kulit
- Ko infeksi bakterial ganas biasanya dari garam negative kombinasi dengan T.mentagr
ophytes menghasilkan vesikel pustule dan ulcer bernanah yang besar pada permukaan
plantar

Secara umum penatalaksanaan tinea pedis berupa :


1. Topikal
Menggunakan topikal agen seperti bedak, krim atau spray. Krim dan spray lebih ber
guna daripada bedak. Topikal antifungal seperti Clotrinazole, miconazole, sulconazole, o
xiconazole, ciclopirox, econazole, ketoconazole, naftifine, terbinafine, flutnmazol, bifona
zole, dan butenafine tetapi clotrhnazole, miconazole membutuhkan waktu 4 minggu diba
ndingkan jika menggunakan terbinafine yang membutuhkan waktu 1-2 minggu. Kalau te
rjadi maserasi diantara jari, pisahkan jari dengan busa atau gunakan kapas pada malam h
ari. Aluminium klorida 10% atau aluminium acetat juga dapat berguna. Topikal yang ber
guna untuk organisme gram-negatif adalah salep antibiotik seperti gentamicin untuk lesi
interdigitalis. Keratolitik agen mengandung salisil acid, resorcinol, lactic acid dan urea b
erguna di beberapa kasus walaupun dapat mengakibatkan maserasi.
2. Sistemik
Cetirizine tab 10 mg
Cetirizine adalah obat yang termasuk dalam golongan antihistamin, mekanisme
kerjanya adalah menghalangi zat kimia tubuh yang dsiebut histamine. Hisitamin
adalah mediator kimia yang sering muncul pada reaksi peradangan dan alergi,
memiliki efek pada tubuh berupa kemerahan pada kulit, gatal dan pembengkakan.

Pencegahan Tinea Pedis :


- Menjaga kaki dan sela jari agar tetap kering.
- Membersikan kuku kaki.
- Menggunakan sepatu yang pas dan kaos kaki kering dan bersih.
- Serta menggunakan sandal pada tempat mandi umum atau kolam renang dapat
mencegah terjadinya tinea pedis.
- Menjaga lesi agar tetap kering dan tidak menggaruk lesi

PEMERINTAH KOTA LUBUKLINGGAU


DINAS KESEHATAN
UPT PUSKESMAS CITRA MEDIKA
Jl. Yos Sudarso Gg. Binjai/Rumbai RT. II Kel. Taba Jemekeh
Kec. Lubuklinggau Timur I Kota Lubuklinggau

NOTULENSI PENDAMPINGAN INTERNSHIP


Hari, Tanggal : Sabtu, 2 Juli 2022
Pendamping : dr. Kartika Prima Putri
Peserta : dr. Saza Perdana Putri
dr. Dwi Costarica Sawitri
dr. Elveira Oktarianti
dr. Dwi Puji Lestari
Materi
Kolesterol adalah suatu komponen struktural essensial pada membran dan lapisan luar

dari lipoprotein plasma. Kolesterol merupakan komponen penting dan utama dari sel syaraf

serta sel otak yang disimpan dan disintesis didalam hati. Kolesterol merupakan salah satu

komposisi dari pembentukan beberapa senyawa steroid penting, seperti asam folat, hormon-
hormon adrenal korteks, asam empedu, estrogen, androgen, dan juga progesteron. Apabila

jumlah kolesterol dalam tubuh terlalu tinggi dapat menyebabkab penyempitan pembuluh

darah (aterosklerosis) karena terjadinya pembentukan endapan pada dinding pembuluh darah.

Sintesa kolesterol di tubuh prosesnya melalui dua jalur yaitu endogen dan eksogen.

Dua pertiganya dipenuhi melalui jalur endogen, sisanya dari eksogen yaitu dari asupan

makanan (Murray et al, 2001).

Reaksi jalur biosintesis kolesterol pada tahapnya dibagi menjadi tiga (Lehninger, 2009) yaitu:

a. Pembentukan asam mevalonat dari asetil-KoA

b. Pembentukan skualen dari asam mevalonate

c. Pembentukan kolesterol dari skualen

Sumber kolesterol dalam tubuh berasal dari 2 sumber, yang pertama bersumber pada

produk-produk hewani seperti kuning telur, daging merah, mentega, hati & ampela, lobster

dll. Kedua, kolesterol dibentuk oleh organ tubuh terutama hati (Sherwood, 2001). Pada kadar

normal kolesterol tidak menimbulkan efek negatif bagi tubuh, karena kolesterol telah dirubah

menjadi beberapa komponen lain. Apabila kadar kolesterol tersebut telah melebihi ambang

batas normal, maka dapat menimbulkan resiko negatif bagi tubuh.

Klasifikasi kadar kolesterol total, kolesterol HDL, kolesterol IDL, dan trigliserida

menurut NCEP-ATP III (National Education Program Adult Treatment Panel III) adalah

sebagai berikut:

Tabel 1. Klasifikasi Kolesterol menurut NCEP-ATP III


Jenis Kadar Kategori
<200 Normal
Kolesterol
200 – 239 Mengkhawatirkan
>240 Tinggi
<100 Optimal
100 – 129 Sub Optimal
Kolesterol
130 – 159 Mengkhawatirkan
160 – 189 Tinggi
>190 Sangat Tinggi
>60 Tinggi
Kolesterol
41-59 Mengkhawatirkan
<40 Rendah
<150 Normal
150 – 199 Ambang Tinggi
Trigliserida
200 – 499 Tinggi
>500 Sangat Tinggi

Hiperkolesterolemia adalah kondisi saat kadar konsentrasi kolesterol dalam darah


melebihi batas normal kadar yang seharusnya (Guyton & Hall, 2012). Proses kimiawi
didalam tubuh dipengaruhi oleh beberapa unsu salah satunya yaitu kolesterol. kadar
kolesterol yang melebihi kadar normal dapat menyebabkan aterosklerosis yang dapat
berdampak pada penyakit jantung coroner.
Hiperkolesterolemia dapat muncul akibat dari meningkatnya konsentrasi LDL, baik
karena over produksi ataupun karena penggunaannya. Selain itu, gangguan ini juga dapat
disebabkan oleh rendahnya kadar kolesterol plasma atau High Density Lipoprotein (HDL)
yang kemudian dapat berkembang menjadi gangguan jantung dan peradangan pada darah.
Gangguan dari lipid yang paling utama yaitu pada peningkatan kadar kolesterol total, kadar
trigliserid, kadar Low Density Lipoprotein (LDL), dan penurunan kadar High Density
Lipoprotein (HDL) dalam darah.
Hiperkolesterol dapat meningkat akibat pola hidup yang tidak sehat, seperti
mengonsumsi makanan-makanan tinggi lemak jenuh, protein, serta makanan-makanan rendah
serat dan gizi. Lemak jenuh terkandung dalam sebagian besar lemak hewani (sapi, babi,
ayam, domba, dan kambing) dan minyak nabati terutama minyak kelapa dan minyak sawit.
Penyebab lain timbulnya hiperkolesterolemia adalah faktor keturunan. Suatu
penelitian menunjukkan 1 dari 500 orang menderita hiperkolesterolemia akibat faktor
tersebut. Pada gangguan ini, kadar LDL penderita 2-3 kali lipat lebih tinggi dari normal dan
tak jarang pada usia muda (20-30 tahun) penderita gangguan ini telah terserang infark
miokard.

Terapi farmakologi

Beberapa golongan obat yang dapat digunakan sebagai antikolesterol adalah sebagai berikut:

Golongan
No. Mekanisme Contoh
obat
Menurunkan asam empedu dan
Resin (Bile Kolesteramin
merangsang hati untuk
1. acid Kolestipol
mensintesis asam empedu dari
sequestrant) Kolesevelam
Kolesterol
Statin (HMG Bekerja menghambat HMG- Simvastatin
2.
CoA CoA reduktase menjadi Lovastatin
Reduktase) mevalonate. Pravastatin
Mengurangi sintesis dari VLDL
dan apoliproprotein B yang Gemfibrozil
menyebabkan Fenofibrat
3. Asam fibrat
meningkatnya pemindahan Klofibrat
lipoprotein kaya trigliserida Etofibrat
dari plasma
Menurunkan sintesis hepatic
Niasin
4. Asam nikotinat VLDL, yang menyebabkan
Vitamin B3
pengurangan sintesis LDL.
Mengganggu absorbsi
5. Ezetimibe kolesterol dari membrane fili di Ezetrol
saluran pencernaan.

Mengurangi kolesterol,
Asam lemak trigliserid, LDL dan VLDL serta
6. Minyak ikan
omega-3 dapat meningkatkan
kolesterol HDL.

Terapi non-farmakologi
Terapi non-farmakologi untuk penderita hiperkolesterolemia, yaitu:
1) Mengurangi asupan lemak jenuh
2) Mengonsumsi makanan yang dapat menurunkan kolesterol, seperti: buah, sayur, gandung,
diet serat larut.
3) Menurunkan berat badan
4) Meningkatkan aktivitas fisik/olahraga yang teratur.

PEMERINTAH KOTA LUBUKLINGGAU


DINAS KESEHATAN
UPT PUSKESMAS CITRA MEDIKA
Jl. Yos Sudarso Gg. Binjai/Rumbai RT. II Kel. Taba Jemekeh
Kec. Lubuklinggau Timur I Kota Lubuklinggau

NOTULENSI PENDAMPINGAN INTERNSHIP


Hari, Tanggal : Sabtu, 9 Juli 2022
Pendamping : dr. Kartika Prima Putri
Peserta : dr. Saza Perdana Putri
dr. Dwi Costarica Sawitri
dr. Elveira Oktarianti
dr. Dwi Puji Lestari
Materi
Tuberkulosis Multi Drug Resistance adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
kuman M.tuberculosis yang resisten terhadap rifampisin dan isoniazid dengan atau tanpa obat
TB lainnya. TB MDR dapat berupa primer dan dapat juga berupa sekunder. Resistensi primer
ialah resistensi yang terjadi pada pasien yang belum pernah mendapat OAT sebelumnya
sedangkan resistensi sekunder ialah resistensi yang didapat selama pengobatan yang
sebelumnya sensitif terhadap OAT.6
Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap OAT7 :
 Mono-resistance : kekebalan terhadap salah satu OAT
 Poly-resistance : kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid
dan rifampisin
 Multidrug-resistance (MDR) : kekebalan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan r
ifampisin
 Extensive drug-resistance (XDR) : TB-MDR ditambah kekebalan terhadap salah satu
obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua
(kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).
 Menurut Program Nasional, terdapat 9 kriteria pasien yang menjadi suspek TB-MDR
yaitu7:
 1. Kasus kronik atau pasien gagal pengobatan kategori 2
 2. Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah bulan ke 3 dengan kat
egori 2
 3. Pasien yang pernah diobati TB termasuk OAT lini kedua seperti kuinolon dan kana
misin
 4. Pasien gagal pengobatan kategori 1
 5. Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori
1
 6. Kasus TB kambuh
 7. Pasien yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau kate
gori 2
 8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR konfirmasi
termasuk petugas kesehatan yang bertugas di bangsal TB-MDR.
 9. Ko-infeksi TB-HIV yang tidak respon dengan pemberian OAT
 Bagi pasien yang memenuhi kriteria suspek harus dirujuk ke Rumah Sakit rujukan
TB MDR dan krmudian dikirim ke laboratorium rujukan TB MDR yang ditunjuk untu
k dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat.

Diagnosis
Diagnosis TB MDR dipastikan berdasarkan uji kepekaan M.tuberculosis baik secara
konvensional dengan menggunakan media padat atau cair, maupun metode cepat (rapid test).
Semua fasilitas pelayanan kesehatan yang terlibat dalam pelaksanaan manajemen terpadu
pengendalian TB resisten obat akan merujuk semua suspek TB MDR ke Rumah Sakit
Rujukan TB MDR untuk selanjutnya akan dirujuk ke laboratorium yang telah ditunjuk oleh
Kemenkes RI untuk diperiksa dahaknya dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan biakan dan u
ji kepekaan. Jika hasil uji kepekaan terdapat yang resisten minimal terhadap rifampisin dan I
NH, maka dapat ditegakkan diagnosis TB MDR.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah:
a. Pemeriksaan mikroskopik BTA dengan pewarnaan Ziehl Neelsen
b. Biakan M.tuberculosis dapat dilakukan pada media padat maupun media cair. Masing-
masing media tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
c. Uji kepekaan M.tubeculosis terhadap OAT. Ketepatan uji kepekaan tergantung pada jenis
obat yang diuji. Untuk lini pertama ketepatan tertinggi dimulai dari rifampisin, INH,
sterptomisin dan etambutol. Sedangkan pirazinamid tidak dianjurkan karena tingkat
kepercayannya masih rendah. Untuk lini kedua, aminoglikosida dan floroquinolon
memiliki tingkat kepercayaan dan keterulangan yang baik. Metode yang tersedia yang
sudah direkomendasikan oleh WHO ialah Line Probe Assay (LPA) dan geneXpert test.

Tatalaksana
Pengelompokan OAT yang digunakan dalam pengobatan TB-MDR
Digunakan secara hirarki secara berurutan dimulai dari kelompok satu sampai kelompok
lima.
Golongan Jenis Obat
Golongan-1 Obat lini pertama  Isoniazid (H)
 Rifampisin (R)
 Etambutol (E)
 Pirazinamid (Z)
 Streptomisin (S)
Golongan-2 Obat suntik lini kedua  Kanamisin (Km)
 Amikasin (Am)
 Kapreomisin (Cm)
Golongan-3 Golongan florokuinolon  Levofloksasin(Lfx)
 Moksifloksasin (Mfx)
 Ofloksasin (Ofx)
Golongan-4 Obat bakteriostatik lini  Etionamit (Eto)
kedua  Protionamid (Pto)
 Sikloserin (Cs)
 Terizidon (Trd)
 Para amino salisilat
(PAS)
Golongan-5 Obat yang belum terbukti  Amoksilin/asam
efikasinya dan tidak klavulanat (Amx/
direkomendasikan oleh Clv)
WHO untuk pengobatan
rutin TB MDR

Paduan obat TB MDR yang ada di Indonesia


Pilihan paduan OAT TB MDR saat ini adalah paduan standart pada permulaan
pengobatan akan diberikan sama kepada semua pasien TB MDR. Adapun paduan yang akan
diberikan ialah:
 Km-Eto-Lfx-Cs-Z-E / Eto-Lfx-Cs-Z-E. Paduan ini diberikan kepada pasien yang
sudah dikonfirmasi TB MDR secara laboratories.
 Jika terbukti resisten terhadap kanamisin, maka paduan standar disesuaikan sebagai
berikut : Cm-Lfx-Eto-Cs-Z-E / Lfx-Eto-Cs-Z-E
 Jika terbukti resisten terhadapa kuinolon, maka paduan standar disesuaikan sebagai
berikut: Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-E / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-E.
Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan.
Tahap awal ialah tahap dengan pemberian suntikan paling sedikit selama 6 bulan atau 4 bulan
setelah terjadi konversi biakan. Tahap lanjutan ialah pemberian panduan OAT tanpa
pemberian suntikan setelah menyelesaikan tahap awal. Pada fase awal obat oral diminum
setiap hari (7 hari dalam seminggu), suntikan diberikan 5 hari dalam seminggu (senin-jumat).
Sedangkan pada fase lanjutan obat peroral diminum selama 6 hari dalam seminggu (hari
minggu pasien tidak minum obat). Lama pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan paling
sedikit selama 18 bulan setelah terjadi konversi biakan.

Adapun perhitungan dosis OAT TB MDR dapat dilihat pada table berikut:
OAT BB < 33 kg BB 33-50 kg BB 51-70 kg BB > 70 kg
Pirazinamid 20-30 750-1500 mg 1500-1750 1750-2000
mg/kgBB/hari mg mg
Kanamisin 15-20 500-750 mg 1000 mg 1000 mg
mg/kgBB/hari
Etambutol 20-30 800-1200 mg 1200-1600 1600-2000
mg/kgBB/hari mg mg
Kapreomisin 15-20 500-750 mg 1000 mg 1000 mg
mg/kgBB/hari
Levofloksasin 7,5-10 750 mg 750 mg 750-1000
(dosis standar) mg/kgBB/hari mg
Levofloksasin 1000 mg 1000 mg 1000 mg 1000 mg
(dosis tinggi)
Moksifloksasin 7,5-10 400 mg 400 mg 400 mg
mg/kgBB/hari
Sikloserin 15-20 500 mg 750 mg 750-1000
mg/kgBB/hari mg
Etionamid 15-20 500 mg 750 mg 750-1000
mg/kgBB/hari mg
PAS 150 8g 8g 8g
mg/kgBB/hari

Pendukung nutrisi
Pasien TB-MDR sering mengalami malnutrisi, selain itu OAT lini kedua dapat menyeb
abkan penurunan nafsu makan. Vitamin B6, vitamin A dan mineral sebaiknya ditambahkan d
alam diet sehari-hari.

PEMERINTAH KOTA LUBUKLINGGAU


DINAS KESEHATAN
UPT PUSKESMAS CITRA MEDIKA
Jl. Yos Sudarso Gg. Binjai/Rumbai RT. II Kel. Taba Jemekeh
Kec. Lubuklinggau Timur I Kota Lubuklinggau

NOTULENSI PENDAMPINGAN INTERNSHIP


Hari, Tanggal : Sabtu, 16 Juli 2022
Pendamping : dr. Kartika Prima Putri
Peserta : dr. Saza Perdana Putri
dr. Dwi Costarica Sawitri
dr. Elveira Oktarianti
dr. Dwi Puji Lestari

Materi
Tetanus adalah penyakit akut yang mengenai sistem saraf, yang disebabkan oleh eksoto
ksin yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani. Ditandai dengan kekakuan dan kejang ot
ot rangka. Kekakuan otot biasanya melibatkan rahang (lockjaw), leher dan kemudian menjad
i seluruh tubuh.1 Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja eksotoksin (te
tanospasmin) pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neurom
uskular (neuro muscular junction) dan saraf otonom.

Diagnosis
Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dibandingkan
berdasarkan penemuan bakteriologis. Diagnosis relatif lebih mudah pada daerah dengan
insiden tetanus yang sering, tetapi lebih lambat di negara-negara berkembang dimana tetanus
jarang ditemukan. Selain trismus, pemeriksaan fisik menunjukkan hipertonisitas otot-otot,
refleks tendon dalam yang meningkat, kesadaran yang tidak terganggu, demam derajat
rendah, dan sistem saraf sensoris yang normal. Spasme paroksismal dapat ditemukan secara
lokal maupun general. Sebagian besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir
dan secara umum tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus toksoid yang jelas.
Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C. tetani pada hanya sekitar
sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat bahwa isolasi C. tetani dari
luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau telah menderita tetanus. Frekuensi isolasi
C. tetani dari luka pasien dengan tetanus klinis dapat ditingkatkan dengan memanaskan satu
set spesimen pada suhu 80°C selama 15 menit untuk menghilangkan bentuk vegetatif
mikroorganisme kompetitor tidak berspora sebelum media kultur diinokulasi.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang. Pemeriksaan cairan
serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat akibat kontraksi otot. Hasil
elektromiografi dan elektroensefalografi biasanya normal dan tidak membantu diagnosis.
Pada kasus tertentu apabila terdapat keterlibatan jantungelektrokardiografi dapat
menunjukkan inversi gelombang T. Sinus takikardia juga sering ditemukan. Diagnosis
tetanus harus dibuat dengan hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat dua atau lebih
injeksi tetanus toksoid yang terdokumentasi. Spesimen serum harus diambil untuk memeriksa
kadar antitoksin. Kadar antitoksin 0,01 IU/mL dianggap protektif.
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit. Beberapa
sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Phillips, Dakar, Ablett, dan
Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak sebagai penentu prognosis.

Skor Phillips untuk menilai derajat tetanus

Parameter Nilai
< 48 jam 5
2-5 hari 4
Masa inkubasi 6-10 hari 3
11-14 hari 2
> 14 hari 1
Internal dan umbilikal
Leher, kepala, dinding tubuh 5
Ekstremitas atas 4
Lokasi infeksi Ekstremitas bawah 3
Tidak diketahui 2
Tidak ada 1
Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada neonatus)
> 10 tahun yang lalu 10
< 10 tahun yang lalu 8
Status imunisasi Imunisasi lengkap 4
2
Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa 0
Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa
Keadaan yang tidak mengancam nyawa 10
Trauma atau penyakit ringan 8
Faktor pemberat ASA derajat I 4
2
1

Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan didasarkan pada
empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status imunisasi, dan faktor pemberat.
Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan dan interpretasinya sebagai berikut: (a)
skor < 9 tetanus ringan, (b) skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor > 18 tetanus berat.

Sistem skoring tetanus menurut Ablett


Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada distres pe
rnapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga sedang
dengan durasi pendek, takipnea ≥ 30 kali/menit, disfagia ringan.
Grade III A (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang memanj
ang, distres pernapasan dengan takipnea ≥ 40 kali/menit, apneic spell,
disfagia berat, takikardia ≥ 120 kali/menit.
Grade III B (sangat berat) Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat yang
melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia ber
gantian dengan hipotensi relatif dan bradikardia, salah satunya dapat
menjadi persisten.
Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan menurut
beberapa literatur merupakan sistem skoring yang paling sering digunakan 9,12,14. Udwadia
(1992) kemudian sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett dan dikenal sebagai skor
Udwadia.

Sistem skoring tetanus menurut Udwadia


Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada distres per
napasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga sedang d
engan durasi pendek, takipnea ≥ 30 kali/menit, disfagia ringan.
Grade III (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang memanjan
g, distres pernapasan dengan takipnea ≥ 40 kali/menit, apneic spell, disf
agia berat, takikardia ≥ 120 kali/menit, keringat berlebih, dan peningkat
an salivasi.
Grade IV (sangat berat) Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat yang
melibatkan sistem kardiovaskuler: hipertensi menetap (> 160/100 mmH
g), hipotensi menetap (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), atau hiperte
nsi episodik yang sering diikuti hipotensi.

Sistem skoring lainnya diajukan pada pertemuan membahas tetanus di Dakar, Senegal
pada tahun 1975 dan dikenal sebagai skor Dakar. Skor Dakar dapat diukur tiga hari setelah
muncul gejala klinis pertama.

Sistem skoring Dakar untuk tetanus


Faktor prognostik Skor 1 Skor 0
Masa inkubasi < 7 hari ≥ 7 hari atau tidak diketahui
Periode onset < 2 hari ≥ 2 hari
Umbilikus, luka bakar, uterus, frakt
Penyebab lain dan penyebab yang ti
Tempat masuk ur terbuka, luka operasi, injeksi intr
dak diketahui
amuskular
Spasme Ada Tidak ada
Demam > 38.4oC < 38.4oC
Takikardia Dewasa  > 120 kali/menit Dewasa  < 120 kali/menit
Neonatus > 150 kali/menit Neonatus < 150 kali/menit

Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut:


 Skor 0-1 : tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%
 Skor 2-3 : tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%
 Skor 4 : tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40%
 Skor 5-6 : tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%

Tatalaksana
Prioritas awal dalam manajemen penderita tetanus adalah kontrol jalan napas dan
mempertahankan ventilasi yang adekuat. Pada tetanus sedang sampai berat risiko spasme
laring dan gangguan ventilasi tinggi sehingga harus dipikirkan untuk melakukan intubasi
profilaksis. Rapid sequence intubation dengan midazolam dan suksinilkolin dianggap aman
dan efektif untuk mendapatkan patensi jalan napas. Intubasi nasotrakeal dihindari karena
stimulasi sensoris yang berlebihan. Beberapa rumah sakit yang sering merawat pasien dengan
tetanus memiliki ruangan yang khusus dibangun. Pasien ditempatkan di ruang perawatan
khusus yang sunyi dan gelap untuk meminimalisir stimulus ekstrinsik yang dapat memicu
spasme paroksismal. Pasien harus diistirahatkan dengan tenang untuk membatasi stimulus
periferal dan diposisikan secara hati-hati untuk mencegah pneumonia aspirasi. Pemberian
cairan intravena dilakukan dan hasil pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah penting
untuk menentukan terapi.
Penatalaksanaan berikutnya memiliki tiga tujuan utama, yaitu: (1) menetralisir toksin
dalam sirkulasi; (2) menghilangkan sumber tetanospasmin; dan (3) memberikan terapi
suportif sampai tetanospasmin yang terfiksir pada neuron dimetabolisme.
Tujuan terapi ini berupa: Memulai terapi suportif, debridement luka untuk membasmi
spora, menghentikan produksi toksin dalam luka, menetralkan racun terikat, mengendalikan
manifestasi penyakit dan mengelola komplikasi.
a. jika mungkin bangsal / lokasi yang terpisah harus ditunjuk untuk pasien tetanus. Pasien
harus ditempatkan di daerah yang teduh tenang dan dilindungi dari sentuhan dan pendeng
aran stimulasi sebanyak mungkin. Semua luka harus dibersihkan dan debridement seperti
yang ditunjukkan.
b. Imunoterapi: jika tersedia, berikan dosis tunggal TIHG 3000-6000 IU dengan injeksi i
ntramuskular atau intravena (tergantung pada persiapan yang tersedia) sesegera mungkin ,
3-6
WHO menganjurkan pemberian TIHG dosis tunggal secara intramuskular dengan dos
is 500 IU.4-6 ditambah dengan vaksin TT 0,5 cc injeksi intramuskular. Penyakit Tetanus t
idak menginduksi imunitas, oleh karena itu pasien tanpa riwayat imuniasi TT primer haru
s menerima dosis kedua 1-2 bulan setelah dosis pertama dan dosis ketiga 6-12 bulan kem
udian.
Dosis anti tetanus serum (ATS) yang dianjuran adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU i
ntramuskular dan 50.000 IU intravena. Pemberian ATS harus berhari-hati akan reaksi ana
filaksis. Pada tetanus anak pemeberian anti serum dapatdisertai dengan imunisasi aktif D
T setelah anak pulang dari rumah sakit.
c. pengobatan antibiotik :
 lini pertama yang digunakan metronidazole 500 mg setiap enam jam intravena ata
u secara peroral selama 7-10 hari.2-6 Pada anak-anak diberikan dosis inisial 15 mg/
kgBB secara IV/peroral dilanjutkan dengan dosisi 30 mg/kgBB setiap enam jam s
elama 7-10 hari.
 Lini kedua yaitu Penisilin G 1,2 juta unit/ hari selama 10 hari. 5(100.000-200.000 I
U / kg / hari intravena, diberikan dalam 2-4 dosis terbagi).
 Tetrasiklin 2 gram/ hari, makrolida, klindamisin, sefalosporin dan kloramfenikol j
uga efektif

d. Kontrol kejang: benzodiazepin lebih disukai. Untuk orang dewasa, diazepam intraven
a dapat diberikan secara bertahap dari 5 mg, atau lorazepam dalam kenaikan 2 mg, titr
asi untuk mencapai kontrol kejang tanpa sedasi berlebihan dan hipoventilasi (untuk an
ak-anak, mulai dengan dosis 0,1-0,2 mg / kg setiap 2-6 jam, titrasi ke atas yang diperl
ukan). jumlah besar mungkin diperlukan (sampai 600 mg / hari). sediaan oral dapat di
gunakan tetapi harus disertai dengan pemantauan hati untuk menghindari depresi pern
afasan atau penangkapan. Magnesium sulfat dapat digunakan sendiri atau dalam kom
binasi dengan benzodiazepin untuk mengendalikan kejang dan disfungsi otonom: 5 g
m (atau 75mg / kg) dosis intravena, kemudian 2-3 gram per jam sampai kontrol kejan
g dicapai. Untuk menghindari overdosis, memantau refleks patela sebagai arefleksia
(Tidak adanya patela reflex) terjadi di ujung atas dari rentang terapeutik (4mmol / L).
Jika arefleksia berkembang, dosis harus dikurangi. agen lain yang digunakan untuk m
engendalikan kejang termasuk baclofen, dantrolen (1-2 mg / kg intravena atau dengan
mulut setiap 4 jam), barbiturat, sebaiknya short-acting (100-150 mg setiap 1-4 jam di
orang dewasa; 6-10 mg / kg pada anak-anak), dan chlorpromazine (50-150 mg secara
intramuskular setiap 4-8 jam pada orang dewasa; 4-12 mg intramuskular setiap 4-8 ja
m di anak-anak).
e. Kontrol disfungsi otonom: magnesium sulfat seperti di atas; atau morfin. Catatan: β-bl
ocker seperti propranolol digunakan di masa lalu tetapi dapat menyebabkan hipotensi
dan kematian mendadak; hanya esmalol saat ini dianjurkan.

f. Kontrol pernafasan: obat yang digunakan untuk mengontrol kejang dan memberikan
sedasi dapat mengakibatkan depresi pernafasan. Jika ventilasi mekanik tersedia, ini ad
alah kurang dari masalah; jika tidak, pasien harus dipantau dengan cermat dan dosis o
bat disesuaikan . Kontrol disfungsi otonom sambil menghindari kegagalan pernafasan.
ventilasi mekanik dianjurkan bila memungkinkan. trakeostomi untuk mencegah terjad
inya apneu.

g. cairan yang memadai dan gizi harus disediakan, seperti kejang tetanus mengakibatkan
metabolisme yang tinggi tuntutan dan keadaan katabolik. dukungan nutrisi akan meni
ngkatkan kemungkinan bertahan hidup.

You might also like