You are on page 1of 3

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum salam (pesan)

A. Pengertian dan Hukum akad salam

Kata salam dan salaf secara bahasa memiliki satu makna. Dan secara syara’ adalah
menjual sesuatu yang diberi sifat di dalam tanggungan yang di sebutkan kriterianya. Salam
tidak sah kecuali dengan (shighot), ijab (serah), dan qabul (terima).

Akad salam hukumnya sah dengan cara hal (kontan) dan muajjal (tempo). Jika akad
salam dimutlakkan, maka menjadi sah dengan cara kontan menurut pendapat ashah.

B. Syarat-Syarat Akad Salam

Akad salam hanya sah pada barang yang memenuhi lima syarat.:

1. Muslam fih (barang yang dipesan) harus di batasi dengan sifat yang bisa menimbulkan
berbeda-bedanya keinginan di dalam barang yang dipesan tersebut. Sekira dengan sifat
tersebut ketidakjelasan barang yang dipesan menjadi hilang. Tetapi penyebutan sifat tidak
boleh dengan cara yang bisa mengantarkan barang yang dipesan tersebut sulit ditemukan,
sepeti intan yang besar, dan budak wanita beserta saudara perempuannya atau beserta
anaknya.

2. Muslam fih (barang yang dipesan) harus berupa jenis yang tidak bercampur dengan
jenis yang lain. Secara hukum, tidak sah memesan barang campuran Yang terbuat dari
beberapa komposisi Yang tidak bisa diterangkan dengan detail. Seperti buburharisah Dan
makanan adonan. Jika saja komposisinya bisa dijelaskan dengan detail, maka akad salam
hukumnya sah. Seperti, keju Dan keju uqthi.

3. Syarat yang ketiga disebutkan di dalam perkataan mushannif, “dan barang tersebut
tidak diproses dengan api”, maksudnya api yang digunakan untuk menanak atau
menggoreng barang tersebut.

Jika api digunakan pada barang tersebut untuk memisahkan seperti madu dan minyak
samin, maka sah melakukan akad salam pada barang tersebut.
4. Muslam fih tidak boleh muayyan (sudah ditentukan), bahkan harus berupa hutang.
Sehingga, kalau muslam fih-nya sudah ditentukan, seperti “aku menyerahkan baju ini
seumpama padamu untuk memesan budak ini”, maka secara pasti hal itu bukanlah akad
salam, dan juga tidak bisa sah menjadi akad bai’ menurut pendapat adlhar.

5. Syarat ke lima adalah muslam fih tidak boleh dikhususkan dari barang yang sudah
ditentukan, seperti, “saya menyerahkan dirham ini padamu untuk memesan satu sha’ dari
tumpukkan ini”.

Kemudian, sahnya muslam fih memiliki delapan syarat. Di dalam sebagian


redaksi, “akad salam hukumnya sah dengan delapan syarat.”

1. Pertama; disebutkan di dalam perkataan mushannif, “setelah menyebutkan jenis dan


macamnya, orang yang memesan harus memberi sifat pada muslam fih dengan sifat yang
bisa mempengaruhi harga. Sehingga, saat memesan budak semisal, maka ia harus
menyebutkan macamnya seperti budak Turki atau India, dan menyebutkan jenis laki-laki
atau perempuan, kira-kira usianya, ukurannya tinggi, pendek atau sedang, dan
menyebutkan warna kulitnya seperti putih dan mensifati putihnya dengan agak
kemerahan atau merah mulus. Saat memesan onta, sapi, kambing, kuda, bighal dan
keledai, ia menyebutkan jenis jantan, betina, usia, warna dan macamnya. Saat memesan
burung, ia menyebutkan macam, kecil, besar, jantan, betina, dan usianya jika diketahui.
Saat memesan baju, ia menyebutkan jenis seperti kapas, kattan, atau sutra, dan
menyebutkan macamnya seperti kapas negeri Iraq, menyebutkan panjang, lebar, tebal,
tipis, rapat, renggang, halus dan kasarnya. Untuk contoh-contoh yang lain disamakan
dengan contoh-contoh ini.

Akad salam pada baju yang dimutlakkan, maka diarahkan kepada baju yang baru bukan
baju bekas yang diwarna lagi.

2. kedua menyebutkan ukurannya dengan sesuatu yang bisa menghilangkan


ketidakjelasan pada muslam fih. Maksudnya, muslam fih harus diketahui ukurannya,
yaitu takarannya pada barang yang ditakar, timbangannya pada barang yang ditimbang,
hitungannya pada barang yang dihitung, dan ukurannya pada barang yang diukur.
3. Yang ketiga disebutkan di dalam perkataan mushannif, “Jika akad salam dilakukan
dengan tempo, maka orang yang melakukan akad harus menyebutkan waktu jatuh
temponya, maksudnya jatuh temponya seperti bulan ini. Jika ia memberi tempo akad
salam dengan kedatangan Zaid semisal, maka akad salamnya tidak sah.

4. Keempat muslam fih-nya (diperkirakan) menurut umumnya sudah ada saat saat
istihqoq, yakni (masa pemesan) memilki hak atas penyerahan muslam fih. Bila memesan
sesuatu yang tidak ditemukan saat habis batas waktunya, seperti kurma basah di musim
panas, maka akad salam tidak sah.

5. Kelima adalah menyebutkan tempat penerimaan muslam fih, maksudnya tempat


menyerahkan. Jika tempat akad pertama tidak layak untuk itu, atau layak namun butuh
biaya untuk membawa muslam fih ke tempat penyerahan.

6.Keenam, tsaman-nya harus diketahui dengan ukuran atau langsung melihatnya.

7.Ketujuh, keduanya, maksudnya muslim (orang yang memesan) dan muslam ilaih
(orang yang dipesan) harus melakukan serah terima tsaman sebelum berpisah.
Seandainya keduanya berpisah sebelum menerima ra’sul mal (barang yang digunakan
sebagai harga), maka akad salam tersebut menjadi batal. Atau setelah menerima
sebagiannya saja, maka dalam permasalahan ini terjadi perbedaan pendapat di dalam
tafriqus shufqah. Yang diharuskan adalah penerimaan secara hakiki. Sehingga,
seandainya muslim melakukan akad hiwalah (pengalihan hutang) dengan ro’sul malnya
akad salam, dan muhtal (orang yang menerima peralihan) yaitu muslam ilaih menerima
barang tersebut dari muhal alaih (orang yang diberi beban hutang) di tempat akad, maka
hal itu tidak mencukupi.

8.Kedelapan, akad salam harus dilakukan dengan cara najizan (langsung), tidak berlaku
khiyar syarat pada akad salam. Berbeda dengan khiyar majlis, maka sesungguhnya khiyar
majlis bisa masuk pada akad salam

You might also like