You are on page 1of 15

KEBIJAKAN DAN INOVASI PADA LEMBAGA

PENDIDIKAN MADRASAH

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah

“Analisis Kebijakan dan Inovasi Pembelajaran PAI”

Dosen Pengampu : Dr.TitinNurhidayati,S.Ag.,M.Pd.

Disusun oleh:

Faizah Azizi (2144990006)

Indah Winarni (21449900)

PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM AL-FALAH AS-SUNNIYYAH

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


KENCONG-JEMBER

2022
KATAPENGANTAR

Puji syukur alhamdulilah kami panjatkan ke Hadirat Allah SWT, yang telah memberi
Hidayah dan Inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “Inovasi Kurikulum dan
Pembelajaran“.Sholawat sertasalampenulishaturkankepadaRasulullahSAW,Nabiakhir zaman yang
menjadi uswah hasanah bagi seluruh umat manusia,
yangmenjadilenterakehidupan,jugamenjadisumberinspirasikami dalam menyelesaikan tugas
makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah AnalisisKebijakan dan Inovasi Pembelajaran PAI.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagiparapembaca.Kamimengakuibahwamakalahinimasihbanyakkekurangan,makadari
itukamiberharapkepadapembacauntukmemberikanmasukan –masukanyangmembangununtuk
makalahini.

Jember, 09 Juni 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Sampul
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I. Pendahuluan
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
BAB II. Pembahasan
A. Kebijakan Dan Tahapan Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Madrasah 5
B. Kebijakan Dan Inovasi Pendidikan Islam di Madrasah 12
BAB III. Penutup
A. Kesimpulan 18
Daftar Pustaka19
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu prioritas dan sangat urgent dalam kehidupan manusia,
berbagai hal terkait pendidikan harus selalu berinovasi dan juga pembaharuan-pembaharuan teknis
menuntut untuk berjalan sesuai zaman, begitu juga dengan kebijakan-kebijakan. Kebijakan (policy)
secara etimologi (asal kata) diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu polis yang artinya kota (city). Istilah
kebijakan sering dipertukarkan dengan tujuan (goals), program, keputusan (decisions), standard,
proposal, dan grand design. Secara umum, istilah kebijakan digunakan untuk menunjuk perilaku
seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah, atau sejumlah aktor dalam
suatu bidang kegiatan tertentu. Begitu banyak definisi kebijakan, dan kebijakan pendidikan
mempunyai makna yang begitu luas dan bermacam-macam, sehingga perlu ditinjau dari berbagai
sudut pandang.
Makna kebijakan pendidikan, yaitu kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik atau
kebijakan pendidikan sebagai bagian dari kebijakan publik. Pemahaman ini dimulai dari ciri-ciri
kebijakan publik secara umum. Pertama, kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh negara,
yaitu berkenaan dengan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kedua, kebijakan publik adalah
kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik, dan bukan mengatur orang
perorang atau golongan. Ketiga, dikatakan sebagai kebijakan publik jika terdapat tingkat eksternalitas
yang tinggi, yaitu jika pemanfaat atau yang terpengaruh tidak saja pengguna langsung kebijakan
publik tetapi juga yang tidak langsung.
Madrasah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal di bawah pembinaan
Kementerian Agama (Kemenag), kebijakan dan inovasi yang ada pada lembaga madrasah dalam
menumbuhkan semangat “berkreasi” dan “berkompetisi” adalah suatu keharusan, meningkatkan
profesionalitas, mutu madrasah, dan mutu pendidikan akan memiliki daya tarik tersendiri, walaupun
stigma selama ini madrasah dianggap sebagai “kelas dua”. Madrasah berkualitas yang diharapkan
masyarakat memerlukan kebijakan yang efisien dan inovatif baik dari Sumber Daya Manusia yang
ada dan komponen lainya yang mendukung berkembangnya kualitas Sumber Daya Manusia tersebut
yang saling terkait untuk mencapai tujuan pendidikan di madrasah yang bersangkutan.
Hal ini mengacu pada sistem pendidikan madrasah yang membentuk melalui Learning
Teaching Process atau proses belajar mengajar yang baik dan optimal sehingga mampu menghasilkan
output yang berkualitas dan relevan dengan pembaharuan serta perkembangan era globalisasi ini.
Melihat fenomena ini kebijakan dan inovasi terhadap lembaga pendidikan madrasah era ini harusnya
berinovasi dan mempunyai koridor kebijakan intern dan extern madrasah yang bertujuan agar
madrasah yang menghasilkan output yang bermutu sehingga mampu mewujudkan madrasah
berkualitas yang menjadi harapan masyarakat dimasadepan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah makalah ini
adalah:

1. Bagaimana Kebijakan Pada Lembaga Pendidikan Madrasah ?


2. Bagaimana Implementasi Kebijakan Pendidikan di Madrasah?
C. Tujuan Makalah
Penulisan makalah ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui Kebijakan Pada Lembaga Pendidikan Madrasah


2. Mengetahui Implementasi Kebijakan Pendidikan di Madrasah?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kebijakan Dan Tahapan Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Madrasah

1. Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Madrasah

Tangkilisan sebagaimana dikutip oleh Solichin Abdul Wahab berpendapat bahwa pelaksanaan
kebijakan memerlukan sejumlah keputusan dan tindakan. Ada empat faktor penting dalam
mengimplementasikan kebijakan, yaitu komunikasi, sumber, disposisi atau sikap dan struktur birokrasi.
Keempat faktor tersebut bekerja secara simultan, baik berfungsi dalam memudahkan pelaksanaan
kebijakan dan dapat pula mempengaruhi proses pelaksanaan sehingga kurang berhasil. Perlu
ditegaskan bahwa implementasi adalah proses dinamis yang mencakup keempat variabel tersebut.
Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa fungsi implementasi adalah untuk
membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan
publik yang diwujudkan sebagai “outcome” (hasil akhir) kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah. Sebab itu, fungsi implementasi mencakup pula penciptaan apa yang dalam ilmu
kebijakan publik (policy science) disebut sistem penyampaian/penerusan kebijakan publik (policy
delivery system) yang biasanya terdiri atas cara-cara atau sarana-sarana tertentu yang dirancang/
didesain secara khusus.
Pendidikan merupakan urusan dan masalah publik. Artinya tidak hanya pemerintah sebagai
pemegang kendali negara bertanggung jawab sehingga semua orang harus terlibat dalam memikirkan
kemajuannya. Namun, masyarakat sering ditingkatkan karena model pemerintahannya bersifat
sentralistik. Ketika pemerintahan bersifat sentralistik, masyarakat didominasi oleh negara dan organ di
bawahnya sehingga muncullah penyeragaman di sana-sini, termasuk pendidikan. Penerapan otonomi
daerah mengubah kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi desentralistik. Artinya sistem
pemerintahan yang mengharuskan semua keputusan harus didasarkan pada keputusan secara
demokratis dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Untuk mengimplementasikan kebijakan ada dua pilihan langkah yang memungkinkan, yaitu
langsung mengimplementasikan dalam bentuk program- program, atau dapat melalui kebijakan
derivat (turunan) dari kebijakan publik tersebut. Pembuat kebijakan secara aktif terlibat baik dalam
membuat kebijakan atau mempengaruhi kebijakan.
Pembuat kebijakan adalah orang yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi atau
menentukan kebijakan dan praktek pada tingkat internasional, nasional, regional atau lokal.
Pembuatan kebijakan publik ditandai oleh besar mengatur aktor. Pelaku dapat politisi, pegawai negeri
sipil, pelobi, penasehat, auditor, dalam lain-lain. Mereka dapat merancang kebijakan, menyusun dan
merumuskan kebijakan dan menilai atau menyetujui kebijakan.
Para pembuat kebijakan publik berdasarkan kewenangan dan kekuasaan yang diberikan negara
disesuaikan dengan distribusi kekuasaan dan level kewenangan yang diemban baik legislatif,
eskekutif dan yudikatif. Hal ini berlaku baik pada tingkat nasional/pusat sampai ke daerah. Untuk
jelasnya lihat tabel di bawah ini:
Tingkatan, Pejabat dan Produk Kebijakan

Tingkatan Pejabat/Penyelenggara Produk


Kebijakan Kebijakan
MPR, Presiden, DPR, UUD, TAP
BPK, MA, MK, KY, MPR,
Nasional/Pusat Menteri dan Pejabat UU, Perppu, PP,
Lainnya setingkatKeppres, Inpres,
Menteri, dan Badan-badanPermen, Kepmen,
atau Instruksi Menteri,
komisi lainnya dan lain-lain
Daerah Gubernur, DPRD, Perda, Keputusan
(Provinsi) Dinas dan Badan TingkatGubernur, dan lain-
Provinsi lain
Daerah Bupati/Walikota, Perda, Keputusan
(kabupaten/ Kota) DPRD, Dinas dan Badan Bupati/Walikota,
Tingkat Kabupaten/Kota dan lain-lain

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa policy maker dapat berada pada setiap jenjang
struktur pemerintah, mulai dari nasional/ pusat seperti MPR, Presiden, DPR, BPK, MA dan lain-lain,
pada tingkat daerah seperti provinsi dalam dilakukan oleh Gubernur, DPRD dan lain sebagainya, dan
pada tingkat kabupaten/kota seperti bupati/wali kota, DPRD dan lain lain.
Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional, jalur
pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan
memperkaya. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah,
pendidikan tinggi, dan pada Pasal 30 ayat 1, 2, 3 dan 4 disebutkan hal-hal berikut ini:
a. Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/ atau kelompok masyarakat dari
pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
b. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat
yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/ atau menjadi ahli ilmu
agama.
c. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan
informal.
d. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera,
dan bentuk lain yang sejenis.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan
Agama dan Keagamaan Pasal 1 berbunyi:
a. Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap,
kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang
dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/ kuliah pada semua jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan,
b. Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat
menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/ atau
menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya,
c. Pendidikan diniyah adalah pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan pada semua
jalur dan jenjang pendidikan,
d. Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagaman Islam berbasis
masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis
pendidikan lainnya.
Menurut peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1946 dan peraturan Menteri Agama Nomor
7 Tahun 1950, madrasah mengandung makna sebagai berikut.
a. Tempat yang diatur sebagai sekolah dan membuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama
Islam menjadi pokok pengajarannya.
b. Pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan setingkat dengan madrasah
Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli mengenai pendidikan Islam. Intinya
ada dua. Pertama, pendidikan Islam merupakan aktivitas pendidikan yang diselenggarakan atau
didirikan dengan hasrat dan niat untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam. Dengan
demikian, dalam praktiknya, pendidikan Islam di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam lima
jenis, yaitu:
a. Pondok pesantren atau madrasah diniyah, yang menurut UU. No. 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas sebagai pendidikan keagamaan (Islam) formal seperti Pondok pesantren/
madrasah diniyah (Ula, Wustho,ulya, ma”had ali)
b. Madrasah dan pendidikan lanjutannya seperti STAIN/ IAIN atau UIN yang bernaung di
bawah Departemen Agama.
c. Pendidikan usia dini/ TK, sekolah/ perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh dan/ atau
berada di bawah naungan yayasan dan organisasi Islam.
d. Pelajaran agama Islam di sekolah/ madrasah/ perguruan tinggi sebagai suatu mata pelajaran
atau mata kuliah, dan/ atau sebagai program studi.
e. Pendidikan Islam dalam keluarga atau di tempat- tempat ibadah, dan/ atau forum-forum
kajian keislaman, seperti majlis ta‟lim, dan institusi-institusi lainnya yang sekarang
sedang digalakkan oleh masyarakat, atau pendidikan (Islam) melalui jalur pendidikan non
formal, dan informal.
Kedua, pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dikembangkan dan disemangati atau
dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam. Dalam pengertian yang kedua ini, pendidikan Islam dapat
mencakup (1) kepala sekolah/ madrasah atau pemimpin perguruan tinggi yang mengelola dan
mengembangkan aktivitas kependidikannya yang disemangati atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai
Islam, serta tenaga-tenaga penunjang pendidikan (seperti pustakawan, laboran, teknisi sumber
belajar, dan lain-lain) yang mendukung terciptanya suasana, iklim dan budaya keagamaan Islam di
sekolah/ madrasah atau perguruan tinggi tersebut, dan atau (2) komponen-komponen aktivitas
pendidikan seperti kurikulum atau program pendidikan, peserta didik yang tidak sekedar pasif-
reseptif, tetapi aktif-kreatif, personifikasi pendidik/ guru, konteks belajar atau lingkungan, alat/
media/ sumber belajar, metode, dan lain-lain yang disemangati atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai
Islam, atau yang berciri khas Islam.

2. Tujuan Dan Tahapan Kebijakan


Beberapa karakteristik atau ciri utama masalah kebijakan dapat dirumuskan dari pendapat
Dunn yaitu:

1. Interdependensi (saling tergantung),


Interdependensi (saling tergantung), yaitu: masalah kebijakan dalam suatu bidang (misalnya,
energi listrik) mempengaruhi masalah kebijakan lainnya (misalnya, perawatan kesehatan).
Kondisi ini menunjukkan adanya sistem masalah, yang membutuhkan pendekatan holistik, yaitu
pendekatan yang memandang satu masalah sebagai bagian dari keseluruhan masalah.
2. Subjektif
Subjektif, yaitu suatu kondisi eksternal yang dianalisis dengan menggunakan pendekatan atau
disiplin ilmu tertentu, sehingga menghasilkan kesimpulan mengenai kondisi tersebut. Selanjutnya data
informasi itu ditafsirkan dengan menggunakan berbagai pendekatan atau ilmu pengetahuan yang
berbeda, sehingga menimbulkan kesimpulan lainnya yang berbeda.
Contoh, analisis kondisi ekonomi masyarakat di suatu daerah menghasilkan ukuran tingkat
pendapatan rata-rata per bulan/kk (misalnya) Rp. 300.000/bulan. Tingkat penghasilan ini dinyatakan
kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup yang utama sehari-hari pada 1 keluarga (4 orang). Kondisi
ekonomi ini, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan pendekatan ilmu kesehatan; dan
menghasilkan tafsiran, seperti rendahnya kemampuan membayar pelayanan kesehatan, atau besarnya
peluang gangguan gizi.
Dalam kasus ini yang dinyatakan sebagai masalah (objektif) adalah: tingkat pendekatan yang
tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup, ketika masalah ekonomi ini dikaitkan dengan kesehatan yang
memunculkan masalah kesehatan, maka keterkaitkan itu disebut dengan situasi problematis. Setiap
masalah merupakan elemen dari situasi problematik. Masalah kebijakannya (subjektif) muncul ketika
manusia memikirkan dan bertindak untuk mencari jalan keluar terhadap masalah dan situasi
problematis tersebut.

3. Artifisial
Artifisial (buatan) yaitu: masalah kebijakan hanya mungkin ada jika manusia mempertimbangkan
perlunya merubah situasi problematik. Masalah kebijakan pada dasarnya merupakan buah pandangan
subjektif manusia yang terkait dengan kondisi sosial yang objektif.
4. Dinamis
Dinamis, yaitu masalah dan pemecahannya berada pada suasana perubahan yang terus menerus.
Pemecahan masalah justru dapat memunculkan masalah baru yang membutuhkan pemecahan masalah
lanjutan.

5. Tidak terduga
Tidak terduga, yaitu masalah yang muncul di luar jangkauan kebijakan dan sistem masalah
kebijakan.
Kebijakan memiliki lima tahapan sebagai beirkut:
1. Penyusunan Agenda; Pada tahap awal pembuatan kebijakan, maka para pembuat
kebijakan melakukan sejumlah perumusan masalah mengenai perlu atau tidaknya
mengeluarkan kebijakan. Perumusan masalah tidak dilakukan serampangan, melainkan
dengan terstruktur dan mendalam agar menemukan permasalahan yang masif ada dan
berdampak baik dan tidaknya bagi individu dan kelompok sosial suatu negara.
2. Formulasi Kebijakan; Pembuatan kebijakan dalam pemerintahan termasuk aktivitas
politik. Dalam konteks ini, aktivitas politik dijelaskan sebagai proses pembuatan
kebijakan yang divisualisasikan. Aktivitas politik itu berisikan serangkaian tahap
yang saling bergantung dan diatur menurut urutan waktu, penyusunan agenda,
formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian
kebijakan. Jadi, analisis kebijakan dapat menghasilkan informasi yang relevan
dengan kebijakan pada suatu, beberapa atau seluruh tahap dari proses pembuatan
kebijakan.
3. Adopsi Kebijakan; Kebijakan yang dibuat bisa mengadopsi kebijakan yang sudah
ada di wilayah atau negara lain. Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan
dari mayoritas legislatif, konsensus di antara direktur lembaga, atau keputusan
peradilan. Tujuan rekomendasi kebijakan adalah memberi alternatif kebijakan yang
paling unggul dibanding dengan alternatif kebijakan yang lain.
4. Implementasi Kebijakan; Implementasi kebijakan adalah cara yang dilaksanakan
agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Kebijakan yang telah
direkomendasikan untuk dipilih oleh policy maker bukanlah jaminan bahwa
kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya. Ada banyak variabel yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan baik yang bersifat invidual
maupun kelompok atau institusi.
5. Evaluasi Kebijakan Pendidikan; Kebijakan yang telah dirumuskan dan
dimplementasikan, perlu di evaluasi. Ruang lingkup evaluasi kebijakan meliputi
evaluasi perumusan, implementasi, lingkungan dan evaluasi kinerja.
Selain pembuat kebijakan merasa bahwa meskipun keputusan pelaksanaan terpusat penting,
pelaksana kebijakan harus diberikan kesempatan untuk membuat keputusan. Pelaksana kebijakan
merasa mereka memiliki kapasitas dan tahu bagaimana menerapkan kebijakan dan menyatakan
perlunya bagi mereka untuk diberikan meningkat otoritas pengambilan keputusan untuk tujuan
ini.
Faktor-faktor yang menyebabkan berhasil atau tidaknya suatu kebijakan antara lain
kompleksitas kebijakan yang telah dirumuskan; kejelasan rumusan masalah dan alternatif
pemecahan masalah; sumber-sumber potensial yang mendukung; keahlian pelaksanaan kebijakan;
dukungan dari khalayak sasaran; dan efektivitas dan efisiensi birokrasi.
Ada tiga proses kebijakan, yaitu tahap formulasi, implementasi, dan evaluasi. Ketiga proses
kebijakan diuraikan agar secara holistik makna kebijakan sebagai suatu proses manajemen dapat
dipahami dengan baik. Kebijakan pendidikan berproses melalui tahapan-tahapan, yaitu perumusan
kebijakan pendidikan, legitimasi kebijakan pendidikan, komunikasi dan sosialisasi kebijakan
pendidikan, implementasi kebijakan pendidikan, mengupayakan partisipasi masyarakat dalam
kebijakan pendidikan dan evaluasi kebijakan pendidikan.
Selanjutnya, Hough sebagaimana dikutip Mudjia Raharjo menjelaskan tahapan-tahapan dalam
proses kebijakan, yaitu mencakup (1) kemunculan isu dan identifikasi masalah, (2)
perumusan dan otorisasi kebijakan, (3) implementasi kebijakan, (4) dan perubahan atau pemberhentian
kebijakan.
Pada tahap kemunculan isu dan identifikasi masalah, dilakukan pengenalan terhadap suatu
masalah atau persoalan yang memerlukan perhatian pemerintah, masalah-masalah yang mendapat
tempat dalam agenda publik dan agenda resmi, serta mobilisasi dan dukungan awal bagi strategi
tertentu. Pada tahap perumusan dan otorisasi kebijakan, dilakukan eksplorasi berbagai alternatif,
perumusan seperangkat tindakan yang lebih dipilih, usaha-usaha untuk mencapai konsensus atau
kompromi, otorisasi formal strategi tertentu seperti melalui proses legislasi, isu pengaturan dan
penerbitan arahan-arahan.
Pada tahap implementasi, dilakukan interpretasi terhadap kebijakan dan aplikasinya
terhadap kasus tertentu, serta pengembangan satu atau lebih program sebagai alternatif yang dipilih
untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

B. Kebijakan Dan Inovasi Pendidikan Islam di Madrasah

Proses kebijakan dapat digambarkan sebagai suatu sistem yaitu ada input, proses dan output.
Input proses kebijakan adalah isu kebijakan atau agenda pemerintah, sedangkan proses kebijakan
berupa perumusan formulasi kebijakan dan implementasi kebijakan. Isu dan formulasi kebijakan
merupakan proses politik yang dilakukan elit politik dan kelompok-kelompok penekan. Sementara
output dari suatu proses kebijakan adalah kinerja kebijakan.
Prasyarat perumusan masalah kebijakan adalah “pengakuan atau dirasakannya keberadaan”
suatu situasi masalah kebijakan. Perumusan masalah kebijakan dapat dipandang sebagai proses
dengan 4 fase yang saling tergantung, yaitu:
1. Pencarian Masalah atau Problem Search
Masalah kebijakan harus dicari dari berbagai pelaku kebijakan. Biasanya, para analis akan
menjumpai formulasiformulasi masalah yang saling terkait dan bersaing secara dinamis, yang
terbentuk dari oleh situasi sosial, dan terdistribusi pada seluruh proses pembuatan kebijakan.
Kondisi yang dihadapi oleh analis ini disebut dengan meta problem (kompleksitas masalah).
Selanjutnya, analis harus menetapkan mana yang menjadi masalah substantif (masalah pokok yang
menjadi pusat perhatian).
Contoh: krisis nasional (meta problem atau situasi problematik) sektor ekonomi dan moneter
diikuti oleh krisis politik, telah menyebabkan terjadi krisis kesehatan masyarakat. Pilihan masalah
substantif adalah bidang kesehatan, yang didukung oleh fakta menurunnya status kesehatan
masyarakat secara drastis.

2. Pendefinisian Masalah atau Problem Definition


Meta masalah harus didefinisikan dengan jelas untuk mengetahui keterkaitan satu masalah
dengan masalah lainnya, dan untuk mempermudah penemuan masalah substantif. Selanjutnya,
masalah substantif harus didefinisikan secara mendasar dan umum. Contoh, apakah fenomena itu
merupakan masalah kesehatan, jika ya, maka masalah tersebut harus dikonsepkan dan didefinisikan
dengan jelas dan memperlakukannya dalam ketentuan faktor-faktor kesehatan.
Contoh: krisis ekonomi, moneter dan politik (meta problem) harus didefinisikan dengan jelas
dan dapat dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, krisis kesehatan (substantif) sebagai akibat dari
meta problem, harus didefinisikan menurut ukuran kesehatan. Misalnya, menurunnya status
kesehatan masyarakat ditandai oleh meningkatnya jumlah anak-anak dengan status gizi buruk sekian
persen.
3. Spesifikasi Masalah atau Problem Specification
Jika masalah substantif sudah didefinisikan, maka masalah yang lebih rinci dan spesifik dapat
dirumuskan; dan menghasilkan masalah formal. Rumusan masalah formal ini yang akan menjadi
pusat perhatian analis. Contoh, Masalah formal bidang kesehatan sektor gizi pada situasi krisis
nasional, yang meliputi sediaan bahan pangan, daya beli masyarakat, program pelayanan gizi di
sarana pelayanan kesehatan.
4. Pengenalan Masalah atau Problem Sensing
Masalah formal harus disampaikan kepada para pelaku kebijakan, untuk mendapat umpan balik,
yaitu apakah sesuatu itu sudah benar-benar menjadi masalah kebijakan. Jika para pelaku
kebijakan menyatakan bahwa masalah formal tersebut benar-benar dapat menjadi masalah
kebijakan; maka seorang analis dapat melanjutkan tugasnya untuk melakukan analisis dengan
benar, dalam rangka menghasilkan informasi dan argumen sebagai input pembuatan kebijakan
publik sektor pendidikan.

Berkaitan dengan pendidikan antara kebijakan dan inovasi adalah dua hal yang membutuhkan effort
tinggi dan saling berk Inovasi adalah suatu ide/ hal-hal yang bersifat praktis, metode, cara, segala hal
ciptaan manusia yang dianggap sesuatu hal yang baru bagi seseorang/kelompok masyarakat.
Munculnya inovasi atau pembaharuan dipicu oleh adanya permasalahan yang harus diatasi, di dalam
inovasi mengandung unsur:
1. Hasil pemikiran yang original artinya inovasi yang dilahirkan benar-benar hasil dari pemikiran
kita sendiri bukan hasil meniru atau mengambil pemikiran orang lain
2. Kreatif maksudnya inovasi yang kita hasilkan dapat memberikan sudut pandang baru tentang
solusi suatu permasalahan
3. Tidak konvensional maksudnya adalah inovasi yang muncul bukan merupakan rutinitas atau
sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dalam lingkungan tersebut
4. Penerapannya bersifat praktis artinya inovasi yang dilahirkan mengandung unsur kenyamanan
serta kemudahan.

Beberapa contoh kebijakan intern dan inovasi dalam kurun akhir ini dengan adanya pandemi
yang melanda Negara beberapa kebijakan dan inovasi diterapkan guna untuk menuntaskan kegiatan
belajar mengajar. Sebutan Layanan pendidikan bergerak (mobile education service) atau kelas
berjalan (mobile classroom), merupakan pelayanan pendidikan dengan sistem jemput bola (door-to-
door) yang dilakukan oleh tutor pada peserta didik dari satu tempat ke tempat lain.
Kelas berjalan dapat berupa mobil yang berkeliling atau dengan menggunakan sepeda motor
yang dilengkapi degan peralatan yang diperlukan, seperti kemasan bahan pelajaran dalam CD yang
dapat ditayangkan melalui layer komputer VCD/DVD/TV yang dapat disaksikan oleh kelompok
belajar. Mobil atau sepeda motor keliling tersebut beserta tutornya secara rutin mengunjungi peserta
didik baik perorangan maupun kelompok.
Inovasi pembelajaran yang diterapkan dilembaga madrasah juga E-Learning, yaitu
pembelajaran pendidikan kesetaaan secara on line (e-learning) sebagai alternatif bagi peserta didik
yang relative sulit untuk bertemu langsung dengan tutor atau meninggalkan tempat kerjanya. Dalam e-
learning pemberian informasi dalam pembelajaran yang lebih langsung kepada peserta didik dapat
dilakukan melalui tatap muka audio visual dan internet, seperti yang dilakukan sampai sekarang
meskipun sudah sedikit kendala dan bisa leluasa bertatapmuka aplikasi Zoom dan goeglemeet
BAB III
KESIMPULAN

Dalam Undang-Undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) tahun 2003, menyebutkan bahwa
pasal 17 ayat (2) menyebutkan pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar dan Madrasah Ibtidaiyah
(MI) dan bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan madrasah
Tsanawiyah dan bentuk lain yang sederajat. Sedangkan pasal 18 ayat (3) pendidikan menengah
berbentuk sekolah menengah atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) dan bentuk lain yang sederajat.
Dalam perkembangannya, kurikulum pendidikan agama dari waktu- kewaktu senantiasa
mengalami perubahan seiring dengan kemajuan zaman. Semua ini dilakukan adalah dengan tujuan
peningkatan kualitas pendidikan agama di lembaga pendidikan agama dan menghilangkan pengaruh
dikotomi dalam dunia pendidikan Islam selama ini di Indonesia. Beberapa permasalahan madrasah
masih menjadi ketidaktuntasan tapi dengan selalu berinovatif akan bisa mewujudkan yang diharapkan
dulu madrasah berslogan “Madrasah Lebih Baik, Lebih Baik Madrasah” berinovasi dengan formula
baru dengan logo dan motto Madrasah “Madrasah Hebat, Madrasah Bermartabat”
Hal itu memacu madrasah dalam menjadi lembaga pendidikan yang lebih unggul dan bisa
memiliki tingkat harkat kemanusiaan atau hargadiri yang bermartabat. Slogan “Ayo Sekolah
Madrasah” dan beberapa flatfoom lainnya adalah bentuk kecil implementasi Kebijakan dan inovasi
pendidikan dalam madrasah. Indicator yang erat kaitannya dengan lima prinsip kerja madrasah yaitu
kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas, kerja berkualitas, kerja ikhlas. intinya kebijakan dan inovasi
tersebut adalah upaya mewujudkan pendidikan pada lembaga madrasah yang inovatif.
DAFTAR PUSTAKA

A. Malik Fadjar (ed), Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta; Logos Ilmu, 1999.

Abdul Rachman Saleh, Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa,

Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.


, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa: Visi, Misi dan Aksi,

Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.


Abdul Wahid, Isu-isu Kontemporer Pendidikan Islam, Semarang: Need’s Press, 2008), Cet. I.

Abdurrahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.

Abdurrahman. Recik-Recik Dakwah. Bandung: Sinar Baru, 1993.

Abu Rokhmad, “Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal”, Jurnal Walisongo,
Volume 20, Nomor 1, Mei 2012.
, Tantangan dan Peluang Pendidikan Islam di Era Globalisasi, Jakarta: UIN Jakarta,
2009.

Abul Hasan Ali Al Husni An Nadwi. Pertarungan antara Alam Pikiran Islam dengan Alam Pikiran
Barat. Bandung: Al Ma’arif, 1983.

Adian Husaini, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2010.

Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2006.


Agus Maimun dan Agus Zaenul Fitri, Madrasah Unggulan: Lembaga Pendidikan Alternatif di
Era Kompetitif, Malang: UIN Malang Pressm 2010.

Agus Suwignyo, Pendidikan Tinggi dan Goncangan Perubahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008.

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008.

Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2009), Cet. I.

Akmal Sutja, Pengembangan Diri Pendidikan Budi Pekerti untuk SMA/SMK Kelas XI, Jakarta:
Intermasa, 2007.

Alan Cowling dan Philip James, Culture: Academy of Management Journal,

June: tt.
Ali Asyraf, New Horizon of Islamic Education, dalam Sori Siregar (terjemah), Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1996.

Aminuddin Bakry, “Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik”,


Jurnal MEDTEK, Volume 2, Nomor 1, April 2010.
Andi Prastowo, “Fenomena Pendidikan Elitis Dalam Sekolah/Madrasah Unggulan Berstandar
Internasional”, Jurnal Pendidikan Islam, Volume I, Nomor 1, Jun 2012/1433.
Angelino, Colonial Policy I, The Hague, 1931.

Anonim, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta Balai Pustaka, 1989.

You might also like