You are on page 1of 8

Jurnal Akuakultur Indonesia, 4 (1): 41–48 (2005) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.

php/jai 41
http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id

PERTUMBUHAN Spirulina platensis YANG DIKULTUR DENGAN PUPUK


INORGANIK (Urea, TSP dan ZA) DAN KOTORAN AYAM

Growth of Spirulina platensis Cultured with Inorganic Fertilizer (Urea, TSP and ZA) and
Chicken Manure

N. B. P. Utomo1), Winarti1), & A. Erlina2)


1)
Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor 16680
2)
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau, Jepara

ABSTRACT

This experiment was conducted to compare the effectiveness of inorganic fertilizer and chicken manure on
population growth and nutrient content of Spirulina platensis. It was found that Spirulina platensis cultured in
inorganic medium reached a maximum population on day-9 with a density of 614.77x103 Sin/ml, containing
56.39% of crude protein and 17.92% of lipid. On the other hand, Spirulina platensis cultured in 250 ppm of
chicken manure reached a maximum population on day-4 with a density of 434.32x103 Sin/ml, containing
45.39% of crude protein and 12.50% of lipid.

Keywords: spirulina, Spirulina platensis, culture, inorganic fertilizer, chicken manure, population maximum

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan efektivitas pupuk inorganik (urea, TSP dan ZA) dan
kotoran ayam terhadap pertumbuhan dan kandungan nutrien Spirulina platensis. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Spirulina platensis dikultur menggunakan pupuk inorganik mencapai puncak populasi
pada hari ke-9 dengan kepadatan 614,77x103 Sin/ml, mengandungkan protein kasar 56,39% dan lemak
17,92%. Sementara itu, Spirulina platensis dikultur menggunakan kotoran ayam 250 ppm mencapai puncak
populasi pada hari ke-4 dengan kepadatan 434,32x103 Sin/ml, kandungan protein kasar 45,39% dan lemak
12,50%.

Kata kunci: spirulina, Spirulina platensis, kultur, pupuk inorganik, kotoran ayam, populasi maksimal

PENDAHULUAN (Ehrenberg, 1990). Pigmen tersebut antara


lain klorofil (0,08%), beta karoten (0,23%)
Spirulina platensis merupakan alga hijau dan xanthofil (0,12-0,15%) (Santillan, 1982).
berfilamen yang sudah banyak digunakan Selain sebagai pakan alami Spirulina banyak
sebagai sumber pakan alami untuk digunakan sebagai imunostimulan, obat-
pembenihan larva udang, ikan dan krustase obatan, kosmetik dan pewarna alam
karena memiliki nilai nutrisi yang tinggi. (Richmond dalam Borowitzka, 1988).
Kandungan protein Spirulina platensis Kelimpahannya dialam disebagian besar
adalah 60-70%, sekitar 85-95% dari protein perairan Indonesia terbatas (Sachlan, 1982),
tersebut dapat dicerna dengan baik, namun penggunaanya cukup luas maka perlu
sedangkan lemaknya cukup rendah yaitu 1,5- dilakukan kultur Spirulina secara
12% (Ciferri, 1983). Spirulina mengandung berkesinambungan.
bermacam-macam vitamin seperti vitamin Nutrien merupakan salah satu faktor yang
B1, B3, B6, B12, pro vitamin A dan vitamin E berpengaruh pada komposisi biokimia alga.
(Venkataraman, 1983). Spirulina yang Kultur Spirulina yang sudah dilakukan
digunakan sebagai pakan tambahan pada ikan menggunakan pupuk Walne yang harganya
hias dapat menambah pewarnaan karena mahal sehingga dicari alternatif pupuk lain.
pigmen yang terkandung didalamnya Salah satu nutrien yang bisa digunakan untuk
Jurnal Akuakultur Indonesia, 4 (1): 41–48 (2005) 42

kultur Spirulina adalah pupuk komersil Kultur Spirulina platensis


(Urea, TSP dan ZA) dan pupuk kotoran
ayam. Nitrogen yang terkandung dalam Kultur skala laboratorium dilakukan
pupuk Urea dan ZA serta fosfat yang dengan menggunakan botol kultur 1 liter
terkandung dalam pupuk TSP mudah larut sebanyak 12 buah yang diisi dengan air laut
dalam air (Hakim et al., 1986). Pupuk 15 ppt dan dilakukan pemupukan dengan
kotoran ayam dapat digunakan untuk dosis kotoran ayam yang berbeda yaitu 250
mengganti bahan-bahan kimia dan ppm, 300 ppm, 350 ppm dan sebagai kontrol
mencukupi unsur hara makro yang menggunakan pupuk komersil seperti urea 80
penggunaanya relatif banyak sehingga biaya ppm, ZA 20 ppm, TSP 30 ppm kemudian
kultur alga menjadi lebih murah. Unsur hara ditambahkan FeCl3 2 ppm, EDTA 5 ppm dan
yang terkandung dalam kotoran ayam antara vitamin B12 0,001 ppm pada masing-masing
lain 0,5% N, 0,5% P dan 0,5% K serta perlakuan. Bibit Spirulina platensis
beberapa unsur lain seperti Ca, Mg, S, Fe, Co dimasukkan pada masing-masing media
dan Zn (Buckman dan Brady, 1982). dengan kepadatan 10.000 Sin/ml dan ditutup
menggunakan busa kemudian ditempatkan
pada rak yang dilengkapi dengan aerator dan
lampu TL 40 Watt sebagai sumber cahaya.
BAHAN & METODE
Hasil terbaik dari kutur ini kemudian
dikembangkan dalam skala masal.
Persiapan wadah dan media
Kultur massal dilakukan dalam wadah
Penelitian dilakukan di Laboratorium 200 liter sebanyak 4 buah dengan kepadatan
Pakan Alami, Balai Besar Pengembangan awal 50.000 sel/ml dengan sumber
Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. pencahayaan dari lampu TL 20 Watt
Pencampuran air tawar dan air laut dilakukan (intensitas 2000 lux). Media kultur berupa air
untuk memperoleh salinitas 15 ppt sebagai bersalinitas 15 ppt dengan pupuk berupa
media kultur Spirulina platensis. Sterilisasi kotoran ayam dari hasil kultur skala
air dilakukan setelah proses penyaringan laboratorium terbaik dan ditambahkan FeCl3
dengan penambahan klorin 10 ppm selama 2 ppm, EDTA 5 ppm dan vitamin B12 0,001
24 jam, kemudian dinetralkan menggunakan ppm.
Natrium Thiosulfat 5 ppm. Sterilisasi wadah Pemanenan Spirulina platensis dilakukan
kultur berupa botol 1 liter dilakukan dengan setelah mencapai puncak populasi dengan
cara dicuci menggunakan sabun dan dijemur. melihat warna air dan pertimbangan lama
Sedangkan untuk bak 200 liter dilakukan waktu kultur (10-14 hari setelah tebar).
sterilisasi menggunakan kaporit 10 ppm Pemanenan dilakukan menggunakan selang
melalui perendaman selama 24 jam dan dan disaring menggunakan plankton net 20
dikeringkan menggunakan sinar matahari µm. Biomas Spirulina platensis yang
selama 2 hari. diperoleh dihitung bobotnya dan dianalisa
Proses ekstraksi kotoran ayam diawali proksimat dengan metode AOAC dalam
dengan pengeringan kemudian penggilingan Watanabe (1988).
sehingga didapatkan butiran halus. Kotoran
ayam yang halus dan bersih dilarutkan
dengan aquades dan disimpan selama HASIL & PEMBAHASAN
seminggu. Setelah satu minggu, larutan
tersebut disaring menggunakan kapas dan Pertumbuhan Spirulia platensis
disaring kembali menggunakan plankton net.
Untuk menghindari kontaminasi Pertumbuhan Spirulina platensis
mikroorganisme lain maka larutan hasil megikuti pola pertumbuhan normal, yaitu
penyaringan tersebut disterilisasi melalui fase lag, fase eksponensial, fase
menggunakan autoklaf. stasioner, fase penurunan pertumbuhan dan
fase kematian (Gambar 1). Pada fase awal
terjadi pertumbuhan yang lambat karena
alokasi energi dipusatkan untuk penyesuaian
Jurnal Akuakultur Indonesia, 4 (1): 41–48 (2005) 43

diri terhadap media kultur dan untuk pupuk komersil karena dosis pupuk yang
pemeliharaan sehingga hanya sebagian kecil digunakan memiliki unsur hara yang lebih
bahkan tidak ada energi yang digunakan tinggi sehingga mencukupi kebutuhan sel
untuk pertumbuhan. Setelah hari ke-3 terjadi Spirulina platensis untuk tumbuh. Nitrogen
pertumbuhan yang sangat cepat yang ditandai yang terkandung dalam pupuk TSP mudah
dengan meningkatnya jumlah sel pada larut sehingga membantu penyerapan alga
populasi. Setelah pertumbuhan sel mencapai terhadap unsur-unsur hara tersebut (Hakim et
puncak, maka tidak terjadi penambahan al., 1986). Rata-rata pertumbuhan populasi
jumlah sel lagi karena laju pertumbuhan maksimal perlakuan kotoran ayam 250 ppm
seimbang dengan laju kematian (fase cukup tinggi yaitu 451,66 × 103 Sin/ml yang
stasioner). Fase berikutnya adalah penurunan diduga karena kandungan unsur haranya
pertumbuhan yang ditandai dengan sudah mencukupi untuk pertumbuhan sel.
menurunnya jumlah sel. Pertumbuhan Namun nilai tersebut semakin menurun
populasi terus berkurang seiring dengan dengan semakin tingginya dosis kotoran
waktu kultur dan laju kematian lebih tinggi ayam yang diberikan karena kelebihan
dari laju pertumbuhan (fase kematian). nutrien tersebut bisa menjadi racun bagi
Pada awal kultur kandungan nutrien organisme perairan (Fay, 1983).
masih tinggi sehingga dapat dimanfaatkan Pencapaian puncak populasi pada pupuk
oleh populasi alga dengan baik untuk komersil lebih lama dibandingkan dengan
reproduksi dan pertumbuhan yang ditandai pupuk kotoran ayam. Hal ini diduga kotoran
dengan peningkatan jumlah sel. Jumlah ayam lebih cepat dimanfaatkan oleh spirulina
populasi meningkat namun tidak ada untuk pertumbuhannya. Pada setiap media
penambahan nutrien, sedangkan pemanfaatan kultur baik pupuk komersil maupun kotoran
nutrien oleh alga terus berlanjut (Round, ayam perlu ditambahkan Fe (Hastuti dan
1973) sehingga terjadi persaingan antar alga Djunaidah, 1993) karena unsur tersebut
yang menyebabkan terjadinya penurunan berperan aktif dalam pembentukan klorofil
pertumbuhan. Peningkatan populasi alga yang akhirnya berpengaruh terhadap proses
menyebabkan berkurangnya nutrien dengan fotosintesis. Selain itu penambahan vitamin
cepat sehingga terjadi penurunan laju B12 dapat mempercepat pertumbuhan,
pertumbuhan. Selain itu adanya bayangan sedangkan EDTA sebagai pengikat Fe dan
populasi dari selnya sendiri (Self shading) sebagai sistem buffer.
juga menyebabkan berkurangnya intensitas
cahaya yang diserap sehingga dapat Laju pertumbuhan spesifik
mengakibatkan kematian (Fogg, 1975).
Jumlah populasi tertinggi dicapai pada Laju pertumbuhan spesifik
perlakuan pupuk komersil sebesar 614,77 × menggambarkan kecepatan pertambahan sel
103 Sin/ml pada hari ke-9 dan kepadatan alga persatuan waktu yang dapat dipakai
terendah dicapai oleh perlakuan 350 ppm tolak ukur untuk mengetahui daya dukung
kotoran ayam sebesar 214,54 × 103 Sin/ml media terhadap pertumbuhan alga (Myers,
pada hari ke-7 (Gambar 1). 1995). Laju pertumbuhan fotosintesis
Hasil kultur menunjukkan bahwa media mikroalga dipengaruhi oleh faktor suhu,
pupuk komersial dan kotoran ayam cahaya dan nutrien (Richmond, 1988). Laju
memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan spesifik menunjukkan tidak ada
pertumbuhan populasi maksimum Spirulina perbedaan nyata (P>0,05). Hal ini berarti
platensis. Perlakuan pupuk komersil dan pemberian pupuk komersil dan kotoran ayam
kotoran ayam 250 ppm tidak berbeda nyata memberikan pengaruh yang sama terhadap
(P>0,05) terhadap pertumbuhan populasi, kecepatan pertambahan sel Sin/hari. Hal ini
sedangkan pupuk komersil dengan kotoran diduga karena adanya batas maksimal
ayam 300 ppm dan 350 ppm berbeda nyata penggunaan unsur hara dari medium oleh sel
(P<0,05; Gambar 2). Pertumbuhan populasi Spirulina platensis atau terjadi
maksimum tertinggi terjadi pada perlakuan penghambatan proses biosintesis.
Jurnal Akuakultur Indonesia, 4 (1): 41–48 (2005) 44

700000

600000
Populasi (Sin/ml)
500000

400000

300000

200000

100000

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Hari ke

Komersil Ka 250 ppm Ka 300 ppm Ka 350 ppm

Gambar 1. Pertumbuhan populasi Spirulina platensis pada setiap perlakuan selama 11 hari. Ka: Kotoran
ayam.

700000 624511a
Jumlah populasi (Sin/ml)

600000
ab
500000 451663

400000 233970 b
290481b
300000

200000
100000

0
Komersil Ka 250 ppm Ka 300 ppm Ka 350 ppm
Perlakuan

Gambar 2. Rata-rata kepadatan populasi maksimum Spirulina platensis pada setiap perlakuan
selama 11 hari. Ka: Kotoran ayam. Huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata
(P<0,05).
Jurnal Akuakultur Indonesia, 4 (1): 41–48 (2005) 45

12.00
9.00a
Waktu pencapaian (hari) 10.00

a
8.00 5.67
a a
4.67 6.00
6.00

4.00

2.00

0.00
Komersil Ka 250 ppm Ka 300 ppm Ka 350 ppm
Perlakuan

Gambar 3. Rata-rata waktu pencapaian populasi maksimum Spirulina platensis pada setiap
perlakuan. Ka: Kotoran ayam. Huruf yang bebeda menyatakan berbeda nyata
(P<0,05).

1.20 0.85 a
Laju pertumbuhan spesifik

1.00
(pembelahan/hari)

0.80 a
0.57
a
0.60 0.46a 0.55

0.40

0.20

0.00
Komersil Ka 250 ppm Ka 300 ppm Ka 350 ppm
Perlakuan

Gambar 4. Rata-rata laju pertumbuhan spesifik Spirulina platensis pada saat pencapaian populasi
maksimum. Ka: Kotoran ayam. Huruf yang bebeda menyatakan berbeda nyata
(P<0,05).
Jurnal Akuakultur Indonesia, 4 (1): 41–48 (2005) 46

45.00
36.51 a
40.00 a
27.70
Waktu generasi (jam) 35.00
21.70
a 30.44 a
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
Komersil Ka 250 ppm Ka 300 ppm Ka 350 ppm
Perlakuan

Gambar 4. Rata-rata laju waktu generasi maksimum Spirulina platensis pada saat pencapaian
populasi maksimum pada setiap perlakuan. Ka: Kotoran ayam. Huruf yang bebeda
menyatakan berbeda nyata (P<0,05).

Waktu generasi maksimum mempengaruhi komposisi nutrisi dan pigmen


Spirulina platensis (Kabinawa, 1997).
Waktu generasi maksimum (waktu Kandungan nitrat dan fosfat pada medium
penggandaan) menunjukkan waktu yang komersil masing-masing sebesar 0,6 ppm dan
digunakan populasi sel untuk bertambah 0,5 ppm. Sedangkan pada medium kotoran
menjadi dua kalinya. Kecepatan ayam 250 ppm nitrat dan fosfat masing-
pertumbuhan eksponensial biasanya masing 0,11 ppm dan 0,06 ppm.
dinyatakan dalam waktu generasi karena
pertumbuhan populasi umumnya terjadi Parameter kualitas air
secara eksponensial. Waktu generasi
dipengaruhi oleh faktor biologios (bentuk Kisaran parameter kualitas air selama
dan sifat jasad) dan faktor non biologis penelitian ditunjukkan pada Tabel 2.
(nutrien, suhu dan cahaya) (Suriawiria, 1986 Perubahan temperatur yang terjadi selama
dalam Rusyani, 2001). Waktu generasi antara penelitian masih dalam batas layak bagi
masing-masing perlakuan menunjukkan hasil pertumbuhan Spirulina platensis. Temperatur
yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini yang dapat ditoleransi oleh Spirulina
berarti perlakuan pupuk komersil maupun platensis adalah 20-40 C dengan temperatur
kotoran ayam dengan dosis 250, 300 dan 350 optimum antara 25-35 C. Temperatur
ppm memberikan pengaruh yang sama mempengaruhi semua aktifitas metabolisme,
terhadap waktu generasi. keberadaan dan pengambilan nutrien
(Vonshak, 1997). Salinitas berpengaruh
Analisa proksimat Spirulina platensis terhadap organisme dalam mempertahankan
tekanan osmotik dengan lingkungannya.
Hasil analisa proksimat (Tabel 1)
Spirulina platensis bersifat euryhaline
menunjukkan bahwa spirulina yang dikultur
dengan kisaran salinitas antara 15-30 ppt
pada media pupuk komersil lebih tinggi
(Hastuti dan Djunaidah, 1993), sehingga
dibandingkan dengan medium kotoran ayam
tingkat salinitas selama penelitian masih
250 ppm. Hal ini diduga karena unsur
dalam kisaran yang layak. Demikian pula
haranya lebih tinggi (nitrat dan fosfat).
Konsentrasi nitrogen dalam medium diduga
47

Tabel 1. Hasil analisa proksimat Spirulina platensis yang dikultur dengan pupuk komersil (Urea
80 ppm, TSP 30 ppm dan ZA 20 ppm) dan kotoran ayam (KA) 250 ppm

Parameter Perlakuan
Inorganik KA 250 ppm
Protein (%) 56,39 45,39
Lemak (%) 17,92 12,5
BETN (%) 8,03 25,9
Kadar abu (%) 12,70 3,82
Serat kasar (%) 6,56 11,90

Tabel 2. Kisaran parameter kualitas air selama penelitian

Parameter Satuan Awal penelitian Akhir penelitian


Temperatur C 26,80 - 27,40 27,20 - 30,80
Salinitas ppt 15 - 16 20 - 35
pH - 8,0 - 8,1 8,1 - 8,7
Intensitas cahaya Lux 2500 - 3000 2500 - 3000
Nitrat ppm 0,02 - 0,6 Tidak terdeteksi
Fosfat ppm 0,03 - 0,5 0,02 - 0,03

dengan pH yang tercatat selama penelitian KESIMPULAN


masih mendukung karena pH optimal untuk
pertumbuhan Spirulina platensis adalah 8,5- Perlakuan pupuk inorganik mencapai
9,5 (Soong, 1980). Cahaya yang optimal ntuk puncak populasi pada hari ke-9 dengan
pertumbuhan optimal alga adalah 1500-3000 kepadatan 614,77 × 103 Sin/ml dengan
lux, dengan demikian pencahayaan yang kandungan protein sebesar 56,39% dan
diberikan selam penelitian sebesar 2500- lemak sebesar 17,92%. Perlakuan kotoran
3000 lux mencukupi untuk proses ayam 250 ppm mencapai puncak populasi
fotosintesisnya. pada hari ke-4 dengan kepadatan 434,324 ×
Nitrat dibutuhkan oleh fitoplankton untuk 103 Sin/ml dengan kandungan protein sebesar
mempertahankan kelangsungan hidupnya 45,39% dan lemak sebesar 12,50%.
dalam proses fotosintesis. Fosfat dibutuhkan
oleh fitoplankton untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Kandungan fosfat DAFTAR PUSTAKA
pada media pupuk komersil dan kotoran
ayam 350 ppm semakin menurun dengan Borowitzka, M. A and L. J. Borowtzka.
bertambahnya waktu kultur karena 1998. Microalgal Biotechnology.
dimanfaatkan untuk pertumbuhan Spirulina. Cambridge University press. Cambridge.
Pada media kotoran ayam 250 ppm dan 300 New York USA.
ppm semakin meningkat karena sumber
fosfat selain dari media juga berasal dari
dekomposisi sel alga yang telah mati.
48

Buckman, H. O. and N. C. Brady. 1982. Ilmu Rusyani, E. 2001. Pengaruh dosis zeolit yang
Tanah. Bharata Karya Aksara. Jakarta. berbeda terhadap pertumbuhan Isochrysis
531 hal. galbana klon Tahiti Skala Laboratorium
dalam media komersil. Skripsi. Fakultas
Ciferri, O. 1983. Spirulina The Edible Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
mocroorganisme. Microbial Review. Pertanian Bogor. Bogor.
American Society.
Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Fakultas
Ehrenberg, M. 1990. Microalgae: a Fish Perikanan Undip. Semarang. 117 hal.
Farm for the Future. Fish Farming
International. Santillan, C. 1982. Mass Production of
Spirulina. Experienta, 38: 40-43.
Fay, P. 1983. The Blue Green (Cyanophyta –
Cyanobacteria). Studies in Biology. Soong, P. 1980. Production and
Institut of Biology; no. 160. London. 88p. Development of Chlorella and Spirulina
in Taiwan. pp: 77-113. In: G. Shelef and
Fogg, G. E. 1975. Algal Culture and Soeder (Eds.). Algal Biomass Elsevier,
Phytoplankton Ecology. 2nd Ed. Amsterdam.
University of Wiscounsin Press. USA.
Venkataraman, L. V. 1983. A Monograph on
Hakim, N., Y. Nyakpa, A. M. Lubis, S. G. Spirulina platensis Biotechnology and
Nugroho, A. Dika B. H. Go dan H. H. Aplication. Central Food Technology
Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Researh Institut. Mysore, India.
Universitas Lampung. 212 hal.
Vonshak, A. 1997. Spirulina platensis
Kabinawa, I. N. K., N. W. S. Agustini, D. (Arthrospira), Phusiology, Cell Biology
Susilaningsih, D. R. Permana, Yudiadi, and Biotechnology. Taylor and Francis.
Abduirahman. 1997. Pengujian produk
biomasa mikroalga sebagai bahan baku Watanabe, T., C. Kitajima and S. Fujita.
pakan. Puslitbang Biotekhnologi LIPI. 1988. Dietary Requirements in Fish
Bogor. Nutrition and Mariculture. Department of
Aquatic Bioscience, Tokyo University of
Fisheries. IICA.

You might also like