Professional Documents
Culture Documents
Bab 2 Tinjauan Pustaka
Bab 2 Tinjauan Pustaka
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
• Os lacrimalis
• Os palatinum
nasal dinding orbita tepat di belakang tepian inferior orbita dan lateral dari duktus
nasolakrimalis (Eva, 2000).
Nervus Optikus
Dibentuk oleh akson-akson yang berasal dari lapisan sel ganglion retina, yang
membentuk lapisan serabut saraf, lapisan retina terdalam. Kontusio dan konkusio
dapat menyebabkan edem dan inflamasi di sekitar diskus optik berupa papilitis,
dengan sekuele berupa papil atrofi. Keadaan ini sering disertai pula dengan
kerusakan koroid dan retina yang luas. Kontusio dan konkusio yang hebat juga
mengakibatkan ruptur atau avulsi nervus optikus yang biasanya disertai kerusakan
mata berat (Asbury, 2000).
e. Uvea
Uvea terdiri dari iris, korpus siliare, dan khoroid. Bagian ini adalah lapisan
vaskular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera. Bagian ini ikut
memasok darah ke retina (Eva, 2000).
• Iris
Iris adalah perpanjangan korpus siliare ke anterior. Iris berupa suatu
permukaan pipih dengan apertura bulat yang terletak di tengah, pupil. Iris terletak
bersambungan dengan permukaan anterior lensa, yang memisahkan kamera
anterior dari kamera posterior, yang masing-masing berisi humor aqueus. Iris
mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran pupil pada
prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas
parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi yang
ditimbulkan oleh aktivitas simpatis. Segera setelah trauma, akan terjadi miosis dan
akan kembali normal bila trauma ringan. Bila trauma cukup kuat, maka miosis
akan segera diikuti dengan iridoplegi dan spasme akomodasi sementara. Dilatasi
pupil biasanya diikuti dengan paralisis otot akomodasi, yang dapat menetap bila
kerusakannya cukup hebat. Penderita umumnya mengeluh kesulitan melihat dekat
dan harus dibantu dengan kacamata.
Perdarahan pada jaringan iris dapat pula terjadi dan dapat dilihat melalui deposit-
deposit pigmen hemosiderin (Eva, 2000).
• Korpus siliaris
Korpus siliaris, yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan
melintang, membentang ke depan dari ujung anterioir khoroid ke pangkal iris
(sekilta 6 mm). Korpus siliaris terdiri dari suatu zona anterior yang berombak-
ombak, pars plikata dan zona posterior yang datar, pars plana. Processus siliaris
berasal dari pars plikata. Processus siliaris dan epitel siliaris pembungkusnya
berfungsi sebagai pembentuk humor aquaeus. Kerusakan vaskular iris, akar iris,
dan korpus siliaris dapat menyebabkan terkumpulnya darah di kamera okuli
anterior, yang disebut hifema. Trauma tumpul dapat merobek pembuluh darah iris
atau badan siliar. Gaya-gaya kontusif akan merobek pembuluh darah iris dan
merusak sudut kamera okuli anterior. Tetapi dapat juga terjadi secara spontan atau
pada patologi vaskuler okuler. Darah ini dapat bergerak dalam kamera okuli
anterior, mengotori permukaan dalam kornea (Eva, 2000).
• Khoroid
Khoroid adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sklera. Khoroid
tersusun dari tiga lapisan pembuluh darah khoroid; besar, sedang, dan kecil.
Semakin dalam pembuluh terletak di dalam khoroid, semakin lebar lumennya.
Kontusio dan konkusio bola mata menyebabkan vitreus menekan koroid ke
belakang dan dikembalikan lagi ke depan dengan cepat (contra-coup) sehingga
dapat menyebabkan edema, perdarahan, dan robekan stroma koroid. Bila
perdarahan hanya sedikit, maka tidak akan menimbulkan perdarahan vitreus.
Perdarahan dapat terjadi di subretina dan suprakoroid. Akibat perdarahan dan
eksudasi di ruang suprakoriud, dapat terjadi pelepasan koroid dari sklera. Ruptur
koroid secara oftalmoskopik terlihat sebagai garis putih berbatas tegas, biasanya
terletak anterior dari ekuator dan ruptur ini sering terjadi pada membran Bruch.
Kontusio juga dapat menyebabkan reaksi inflamasi, nekrosis, dan degenerasi
koroid (Eva, 2000).
f. Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna dan hampir
transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Dibelakang
iris, lensa digantung oleh zonula, yang menghubungkan dengan korpus siliare.
Disebelah anterior terdapat humor aquaeus, dan disebelah posteriornya terdapat
viterus. Kapsul lensa adalah suatu membran semipermiabel yang akan
memperbolehkan air dan elektrolit masuk (Eva, 2000).
Lensa ditahan ditempatnya oleh ligamentum yang dikenal dengan zonula (zonula
zinnii), yang tersusun dari banyak fibril dari permukaan korpus siliare dan
menyisip ke dalam ekuator lensa (Eva, 2000).
Lensa mata menerima cahaya dari pupil dan meneruskannya pada retina. Fungsi
lensa mata adalah mengatur fokus cahaya, sehingga cahaya jatuh tepat pada bintik
kuning retina. Kerusakan yang terjadi pada lensa paska-trauma adalah kekeruhan,
subluksasi dan dislokasi lensa. Kekeruhan lensa dapat berupa cincin pigmen yang
terdapat pada kapsul anterior karena pelepasan pigmen iris posterior yang disebut
cincin Vosslus. Kekeruhan lain adalah kekeruhan punctata, diskreta, lamelar aau
difus seluruh massa lensa (Eva, 2000).
Akibat lainnya adalah robekan kapsula lensa anterior atau posterior. Bila robekan
kecil, lesi akan segera tertutup dengan meninggikan kekeruhan yang tidak akan
mengganggu penglihatan. Kekeruhan ini pada orang muda akan menetap,
sedangkan pada orang tua dapat progresif menjadi katarak presenil. Dengan kata
lain, trauma dapat mengaktivasi proses degeneratif lensa (Eva, 2000).
Subluksasi lensa dapat aksial dan lateral. Subluksasi lensa kadang-kadang tidak
mengganggu visus, namun dapat juga mengakibatkan diplopia monokular, bahkan
dapat mengakibatkan reaksi fakoanafilaktik. Dislokasi lensa dapat terjadi ke bilik
depan, ke vitreus, subskleral, ruang dalam retina, konjungtiva, dan ke subtenon.
Dislokasi ke bilik depan sering menyebabkan glaukoma akut yang hebat, sehingga
harus segera diekstraksi. Dislokasi ke posterior biasanya lebih tenang dan sering
tidak menimbulkan keluhan, tetapi dapat menyebabkan vitreus menonjol ke bilik
depan dan menyebabkan blok pupil dan peninggian TIO (Eva, 2000)
g. Retina
Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, dan
multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata.
Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalamnya, adalah sebagai berikut:
• Membrana limitans interna
• Lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang
berjalan menuju ke nervus optikus
• Lapisan sel ganglion
• Lapisan pleksiformis dalam, yang mengandung sambungan-sambungan sel
ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar
• Lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal
• Sel pleksiformis luar, yang mengandung sambungan-sambungan sel bipolar
dan sel horizontal dengan fotoreseptor
• Lapisan inti luar sel fotoreseptor
• Membrana limitans eksterna
• Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut
Trauma
mata
trauma trauma
tertutup terbuka
laserasi
kontusio laserasi ruptur
lamellar
a. Trauma tertutup adalah luka pada dinding bola mata (sklera atau kornea)
dan luka ini tidak merusak bagian dari intraokuler.
• Kontusio adalah trauma tertutup pada bola mata yang disebabkan
oleh benda tumpul. Trauma ini dapat mempengaruhi dan
menyebabkan kerusakan-kerusakan di tempat yang lain dari mata.
kecil dengan kecepatan tinggi yang menembus kornea atau sklera, trauma tajam
mata dapat diklasifikasikan atas luka tajam tanpa preforasi dan luka tajam dengan
perforasi yang meliputi perforasi tanpa benda asing inta okuler dan perforasi
benda asing intra okuler.
Menurut Aldy (2009), Trauma tembus dapat disebabkan oleh benda tajam
atau runcing seperti pisau, kuku jari, panah, pensil, pecahan kaca dan lain-lainnya.
Dapat juga disebabkan oleh benda asing yang masuk dengan kecepatan tinggi
seperti peluru dan serpihan besi. Trauma tembus merupakan penyakit mata serius
dan termasuk emergensi medis yang dpaat mengancam visus dan harus dilakukan
tindakan segera, cepat, dan tepat, oleh karena :
• Terbukanya dinding bola mata berarti merupan pintu masuk infeksi
• Bahaya post traumatik iridosiklitis yang dapat terjadi dalam interval waktu
yang lama dari kejadian, walaupun di saat kejadian tidak menunjukkan tanda
peradangan yang aktif.
• Terjadinya peradangan simpatetik ophthalmia merupakan komplikasi yang
paling berbahaya
• Dapat menyebabkan hilangnya visus unilateral.
Menurut Catalano (1992), Trauma benda tajam dapat mengakibatkan
berbagai keadaan sebagai berikut:
a. Trauma tembus pada palpebra
Mengenai sebagian atau seluruhnya, jika mengenai levator apaneurosis dapat
menyebabkan suatu ptosis yang permanen.
b. Trauma tembus pada saluran lakrimalis
Dapat merusak sistem pengaliran air mata dari pungtum lakrimalis sampai ke
rongga hidung. Hal ini dapat menyebabkan kekurangan air mata.
c. Trauma tembus pada orbita
Luka tajam yang mengenai orbita dapat merusak bola mata, merusak saraf
optik, menyebabkan kebutaan atau merobek otot luar mata sehingga menimbulkan
paralisis dari otot dan diplopia. Selain itu juga bisa menyebabkan infeksi,
menimbulkan selulitis orbita, karena adanya benda asing atau adanya hubungan
terbuka dengan rongga-rongga di sekitar orbita.
kali lebih banyak di aqueous daripada di plasma. Kadar askorbat yang rendah
karena trauma basa adalah penyebab kerusakan ciliar body karena
berkurangnya mekanisme transpor aktif.
Ulkus pada stromal kornea juga dapat terjadi. faktor yang menyebabkan
ulkus apabila terjadi kerusakan di epitel kornea, inflamasi, pengeluaran
enzim-enzim proteolitik, hilang rasa, defisiensi airmata, dan gangguan
sintesis kolagen. Kolagenase tipe I berperan dalam ulkus kornea dan di
hasilkan oleh keratosit dan leukosit polimorfonuklear (PMN). Kolagen tipe I
sudah terdeteksi sembilan jam setelah terjadi trauma, namun puncaknya pada
14-21 hari. Kolagenase tipe I biasa dihambat oleh sitokin epitelium, yang
berperan penting dalam mencegah ulkus kornea (Kim, 2002).
Inflamasi juga mengambil peran dalam trauma basa. Infiltrasi PMN terjadi
dalam 12-24 jam setelah terpapar zat basa tersebut. Sel-sel ini menjadi
bersifat kemotaktik oleh karena pengeluaran protein selular dan ekstraselular
dari jaringan yang nekrosis dan pembuluh darah yang rusak. Selain itu,
kolagenase tipe I juga dihasilkan dari netrofil, radikal bebas superoksid
dihasilkan dari respirasi oksidatif netrofil-netrofil tersebut, sehingga
menambah kerusakan jaringan.
Penanganan untuk trauma basa dibagi mendadi penanganan akut dan
kronis. Penanganan akut biasa dilakukan dengan pemberian obat-obatan,
sedangkan penanganan kronik membutukan tindakan pembedahan.
Penanganan akut dibagi menjadi tiga fase yaitu: penanganan segera
(immediate), penanganan lanjutan (intermediate), dan penanganan jangka
panjang (long term). Penanganan immediate termasuk penanganan pH,
mengontrol tekanan, dan pemberian terapi anti-inflamasi. Penanganana
intermediate termasuk re-epitelialisasi, pencegahan infeksi, dan
pengembalian permukaan okular. Penanganan long term termasuk
pencegahan dan penanganan luka parut pada permukaan okular (Kim, 2002).
• Trauma asam
Trauma asam pada mata biasa terjadi disebabkan karena penggunaan asam
tergolong sering di rumah tangga, seperti cairan pembersih, pembersih karat,
dan juga aki mobil. Meskipun trauma asam tergolong lebih ringan dibanding
trauma basa, namun ini bukan masalah utamanya. Asam kuat dengan
konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kerusakan mata yang parah. Sama
seperti trauma basa, trauma asam pada mata juga tergantung pada beberapa
faktor, yaitu: kekuatan asam, konsentrasi, volume larutan, lamanya paparan.
Asam sulfat adalah penyebab tersering trauma asam pada mata.
Penyebabnya berasal dari aki mobil, dimana baterai mobil pada umumnya
mengandung 25% asam sulfit. Trauma ini akan menyebabkan kontusi atau
laserasi pada mata karena ledakannya. Asam sulfat terbentuk ketika sulfur
dioksida bercampur dengan air di airmata ataupun kornea. Zat ini larut dalam
lemak dan air dan juga sangat cepat penetrasinya. Penetrasi asam sulfit lebih
cepat ke jaringan dibanding asam klorida, asam sulfat, asam fosfat (Kim,
2002).
Asam terdisosiasi membentuk ion hidrogen di larutan. Ion hidrogen yang
bebas ini dapat menyebabkan sel nekrosis. Anion asam menyebabkan
presipitasi dan denaturasi protein. Saat terjadi presipitasi, ini akan
menyebabkan terbentuknya barier sehingga mencegah penetrasi asam lebih
lanjut pada mata. Presipitasi ini akan memberikan gambaran “ground glass”
setelah trauma. Barier ini akan melindungi mata dari asam lemah, namun
asam kuat dapat berlanjut penetrasi lebih dalam. Kornea sendiri dapat
bertindak sebagai parsial buffer pada asam. pH kornea mulai ternetralisasi
dalam 15 menit dan kembali normal dalam 1 jam. Setelah penetrasi asam di
kornea, presipitasi ekstraselular glikosaminoglikan, sel epitel terkoagulasi
menyebabkan opafikasi kornea, dan hidrasi juga pemendekan dari fibril-fibril
kolagen. Tekanan intraokuler meningkat seiring dengan kolagen yang
menyusut dan perubahan fungsi kerja mata di trabekular. Peningkatan
tekanan intraokular dipertahankan selama paling tidak 3 jam karena
pengeluaran prostaglandin. Kadar askorbat juga akan menurun pada trauma
asam, sama seperti pada trauma basa. Kadar askorbat yang rendah mungkin
dikarenakan kerusakan ciliary body menyebabkan penurunan trasport aktif
askorbat dan kerusakan blood-aqueous barrier (Kim, 2002).
Penatalaksanaan awal pada trauma kimia adalah irigasi segera dengan
larutan non-toksik sampai di tangani lebih intensive. Irigasi tidak boleh
dilakukan dengan tujuan untuk menetralkan efek asam karena dapat
menyebabkan trauma termal akibat reaksi eksotermal (Kim, 2002).
b. Trauma bakar termal
Trauma bakar termal dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu: flame dan
contact burns. Pada flame terjadi paparan secara sekunder antara mata dengan api,
dan pada contact burn terjadi paparan secara langsung misalnya dengan air panas,
atau benda-benda panas. Penyebab trauma bakar termal tersering adalah ledakan
gas (Kim, 2002).
Pada percobaan dengan kelinci oleh Shahan, dia melakukan kauterisasi pada
kornea kelinci tersebut yang menyebabkan hilangnya epitel dan edema pada
stromal. Jika perlakukan dilakukan didaerah limbus maka akan timbul panus pada
daerah tersebut. Oleh Goldblatt dan teman-teman, mereka menegaskan bahwa
kornea dapat bertahan pada suhu 45°C selama 15 menit tanpa kerusakan
makroskopik maupun mikroskopik. Edema stroma ringan di identifikasi secara
makroskopik setelah diberikan perlakuan suhu 45°C selama 45 menit kemudian
dilakukan follow-up selama 1 minggu dan tidak didapati kerusakan jaringan. Pada
temperatur 52°C selama 5 menit diperlihatkan adanya edema pada stroma setelah
di follow-up selama 1 minggu. Jika pada suhu ini diaplikasikan selama 45 menit
akan menimbulkan degenerasi keratosit nuklear dan degenerasi parsial membran
bowman setelah 1 minggu. Pada temperatur yang lebih tinggi akan menyebabkan
kerusakan yang luas, dengan destruksi keratosit dan sel endotel seluruhnya yaitu
pada temperatur 59°C selama 45 menit. Pada temperatur ini menyebabkan
nekrosis pada kornea dalam 1 minggu (Kim, 2002).
Tingkat keparahan trauma termal tergantung pada beberapa hal, yaitu: agen
temperatur, area yang terkena panas, dan lamanya kontak. Luka superfisial akan
menimbulkan warna abu-abu atau putih pada kornea, sampai batas epitelnya
(Kim, 2002).
Penanganan untuk trauma termal, dapat diberikan antibiotik tetes jika terjadi
luka lecet pada kornea. Kebanyakan luka superfisial akan sembuh dalam 24-48
jam tanpa gejala lanjutan. Penatalaksanaan pada luka yang lebih dalam sampai ke
stroma harus diikuti dengan mengontrol inflamasi dan neovaskularisasi. Pada luka
yang parah diperlukan tindakan pembedahan seperti lamellar keratoplasty (Kim,
2002).
c. Trauma Radiasi
Trauma radiasi yang sering terjadi akibat paparan sinar UV sehingga
menyebabkan keratitis pada permukaan kornea, yang akan tampak dengan
pewarnaan fluorescein. Rasa sakit yang sangat parah, fotofobia, dan berntuk
kornea yang tidak teratur akan timbul 6-10 jam setelah paparan diikuti dengan
penurunan ketajaman penglihatan. Nyeri dapat dihilangkan dengan pemberian
obat anastesi topikal untuk jangka pendek. Selain itu juga diberikan obat
antibiotik secara topikal dan pengukuran tekanan okuli tempel selama 24 jam.
Pada umumnya, prognosis baik dan kornea akan kembali normal dalam waktu 24
jam. Namun, sisi mata yang terkena paparan sebelumnya akan lebih sensitif
terhadap cahaya untuk beberapa bulan (Asbury, 2000).
2.3. Dewasa
2.3.1 Definisi Dewasa
Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang
berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah
menjadi dewasa. Hurlock (1999) mengatakan bahwa masa dewasa awal dimulai
pada umur 18 tahun sampai umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan
psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Menurut KKBI
dewasa adalah sudah matang (pikirannya, pandangan, dsb.) atau orang yang sudah
sampai umur; akil balig. KUHPerdata pasal 330, “Belum dewasa adalah mereka
yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan lebih dahulu telah
kawin.” Undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1
ayat (1), “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Artinya batas usia dewasa menurut
aturan ini adalah 18 tahun ke atas. Berdasarkan Undang-Undang no. 13 tahun
2003 tentang ketenagakerjaan, “anak adalah setiap orang yang berumur dibawah
18 (delapan belas) tahun.
Pembagian umur berdasarkan psikologi perkembangan (Hurlock,2000)
bahwa masa dewasa terbagi atas :
a. Masa Dewasa Dini, berlangsung antara usia 18 - 40 tahun
b. Masa Dewasa Madya, berlangsung antara usia 41 - 60 tahun
c. Masa Lanjut Usia, berlangsung antara usia > 61 tahun