You are on page 1of 9

PENGARUH AKUNTABILITAS TERHADAP PERSEPSI BERSIH

KORUPSI DI PEMERINTAH DAERAH

Disusun Untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester

Mata Kuliah Metodologi Penelitian Positif

Oleh:

Agum Gumelar

196020300111017

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2019
1. Latar belakang

Pemberantasan korupsi saat ini sudah menjadi salah satu prioritas utama bagi seluruh negara-
negara di dunia (Klitgaard, Abaroa, & Parris, 2002:9). Salah satu alasannya adalah korupsi sudah
sangat merajalela, sehingga menimbulkan kemarahan yang luar biasa di masyarakat. Korupsi
bukan hanya terjadi ditingkat pemerintah pusat, namun sudah sampai ke tingkat pemerintahan di
daerah. Korupsi dilakukan oleh Kepala Daerah dan para pejabat daerah yang seharusnya
memajukan daerah tersebut. Koruptor telah menguasai sendi-sendi pemerintahan, koruptor saling
menutupi dan melindungi, bahkan mereka melakukan korupsi secara berjamaah sehingga seakan-
akan terbentuk sebuah kelompok koruptor yang mirip dengan kelompok sindikat penjahat mafia.
Alasan utama kenapa korupsi bisa begitu merajalela adalah perkembangan ekonomi dan
komunikasi yang begitu cepat, menyebabkan banyak orang yang tergoda perolehan harta kekayaan
yang lebih besar secara cepat (Klitgaard et al., 2002:9)

Korupsi merupakan isu besar dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, karena


dampak yang ditimbulkan atas korupsi tersebut. Tingkat korupsi yang tinggi pada
penyelenggaraan pemerintahan berdampak pada kinerja pemerintah yang kurang efektif dan
kurang efisien, kualitas infrastruktur public yang buruk, belanja pemerintah yang tidak tepat
sasaran dan berkurangnya pendapatan pemerintah (Mauro, 1995; Rosalina, 2011). Hal tersebut
yang menyebabkan ketidakpuasan masyarakat atas penyelenggaraan pemerintah baik pada
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka memberantas korupsi di Indonesia. Sebelum era
reformasi, pemberantasan korupsi yang lebih dititikberatkan pada cara-cara tradisional seperti
memperberat hukuman bagi pelaku korupsi dan memperbanyak sumber daya pengawas, tidak
membuahkan hasil yang memuaskan. Pada masa orde lama, pemerintah dibawah pimpinan
Presiden Soekarno membentuk Badan Pemberantasan Korupsi dan di beri nama Panitia Retooling
Aparatur Negara (PARAN) pada tahun 1957 yang dibentuk berdasarkan UU Keadaan Bahaya.
PARAN akhirnya dibubarkan setelah operasi yang mereka lakukan dianggap mengganggu prestite
presiden, hingga akhirnya pemberantasan korupsi mengalami stagnansi. Tidak berbeda dengan
periode orde lama, pemerintah orde baru dibawah kepemimpina orde baru juga membentuk Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung. Tim tersebut diharapkan mampu
memberantas sarang-sarang korupsi, namun hasilnya juga kurang memuaskan. Laksamana
Sudomo yang ketika itu menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban
(Pangkopkamtib) juga sempat membentuk Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas diantaranya
memberantas korupsi. Namun operasi tersebut juga tidak dapat berjalan ketika pemberantasan
korupsi dihadapkan pada lingkungan petinggi pemerintah (Kemendikbud, 2011:32).

Kegagalan dalam upaya pemberantasan korupsi memaksa perubahan strategi dalam


pemberantasan korupsi yaitu harus lebih mengedepankan pencegahan. Memerangi korupsi jangan
dianggap sebagai tujuan akhir, tetapi memerangi korupsi adalah sebuah prinsip orientasi untuk
memperbaiki administrasi pemerintahan. Korupsi yang hanya dilihat sebagai penyimpangan atau
ulah dari orang-orang yang tidak memiliki akhlak, kunci keberhasilan dalam memberantas korupsi
adalah bukan dengan memburu satu-dua koruptor, membuat aturan-aturan baru atau membuat
himbauan-himbauan agar semua orang meingkatkan moralnya masing-masing, namun
pemberantasan korupsi adalah dengan mengubah kebijaksanaan dan system. Korupsi akan terus
ada selama ada monopoli plus wewenang dan minus akuntabilitas (Klitgaard, 1998:99); Klitgaard
et al., 2002:29). Strategi yang perlu dilakukan dalam memberantas korupsi adalah dengan
mengurangi monopoli dan wewenang serta meningkatkan akuntabilitas.

Memasuki era reformasi, upaya pemberantasan korupsi bukan hanya menitikberatkan pada
cara-cara tradisional. Pemberantasan korupsi pasca era reformasi lebih diarahkan untuk
mengurangi monopoli dan wewenang serta meningkatkan akuntabilitas. Negara memang
mempertegas upaya pemberantasan korupsi melalui diterbitkannya UU nomor 31 tahun 1999 yang
diperbarui dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta
dengan membentuk badan independent pemberantasan korupsi melalui UU nomor 31 tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun juga negara memperkuat upaya
pemberantasan korupsi melalui upaya revitalisasi administrasi negara atau yang lebih dikenal
dengan istilah reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah menjadi
bagian dari upaya untuk memperkuat negara termasuk didalamnya adalah pemberantasan korupsi.
Dengan reformasi birokrasi, peran dan lingkup investasi negara (pemerintah) dididefinisikan ulang
untuk menjawab tantangan zaman dengan cara menyederhanakan struktur birokrasi serta
mengubah pola piker (mindset) dan pola budaya (cultural set) birokrasi dalam tata kelola
pemerintahan (Mariana, Paskarina, & Nurasa, 2010:3).
Langkah penting dalam pemberantasan korupsi adalah dengan memperkuat akuntabilitas pada
instansi-instansi pemerintah termasuk pemerintah daerah. Melalui Instruksi Presiden (Inpres)
nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabililtas Kinerja Instansi Pemerintah, instansi-instansi
pemerintah termasuk pemerintah daerah diwajibkan untuk melaporkan aktivitasnya dalam
pelaksanaan pemerintahan. Dalam Inpres tersebut djelaskan bahwa akuntabilitas kinerja adalah
perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan
keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang
ditetapkan melalui alat pertanggungjawaban periodic. Akuntabilitas kinerja bagi instansi
pemerintah sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan pelaksanaan pemerintah yang berdaya
guna, berhasil guna, bersih dan bertanggungjawab. Termasuk apakah kinerja pemerintah telah
ekonomis, efisien dan efektif dalam mencapai visi, misi dan tujuan organisasi.

Selanjutnya untuk menignkatkan akuntabilitas keuangan pemerintah, dikeluarkan paket


undang-undang keuangan negara yaitu undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan
negara, undang-undang no 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan undang-undang
nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Keuangan Negara. Paket undang-undang keuangan
negara tersebut merupakan bentuk reformasi di bidang administrasi keuangan negara (Afriyanti,
Sabanu, & Noor, 2015).

Dalam rangka peningkatan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintah di daerah, pemerintah


mengeluarkan Peraturan Pemerintah no 56 Tahun 2001 tentang Pelaporan Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah yang diperbarui dengan Peraturan Pemerintah nomor 3 tahun 2007 tentang
Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan
Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi
Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kepada Masyarakat. Tujuan dari akuntabilitas
penyelenggaraan pemerintah daerah tersebut adalah untuk mengetahui keberhasilan pemerintah
daerah dalam memanfaatkan hak yang diperoleh daerah sesuai dengan capaian keluaran dan hasil
yang telah direncanakan, sebagai umpan balik dan rekomendasi bagi daerah untuk mendorong
peningkatan kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah (Afriyanti et al., 2015).

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mempertegas


pentingnya akuntabilitas terhadap upaya pemberantasan korupsi dalam Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PermenpamRB) nomor 11 tahun 2011
tentang Kriteria dan Ukuran Keberhasilan Reformasi Birokrasi. Dalam PermenpamRB tersebut
dijelaskan salah satu ukuran keberhasilan reformasi birokrasi berdasarkan Peraturan Presiden
Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 ditandai dengan tidak
adanya korupsi disetiap Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Untuk mencapai
keberhasilan tersebut, beberapa sasaran yang hendak dicapai yaitu meningkatnya kapasitas dan
akuntabilitas kinerja birokrasi dan terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan public kepada
masyarakat. Beberapa indicator yang dipakai dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
bebas korupsi serta akuntabilitas organisasi adalah peningkatan jumlah opini audit BPK yang
berpredikat Wajar Tanpa Pegecualian (WTP), peningkatan kualitas Sistem Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah (SAKIP) dan peningkatan Integritas Pelayanan Publik.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas sangat penting dalam upaya
pemberantasan korupsi, sehingga penting untuk dilakukan penelitian mengenai seberapa besarkah
pengaruh akuntabilitas tersebut terhadap upaya pemberantasan korupsi yang ada di Pemerintah
Daerah. Di Indonesia telah dibuat beberapa peraturan mengenai kewajiban pemerintah daerah
dalam menyampaikan akuntabilitasnya, yaitu pertama kewajiban untuk menyampaikan
akuntabilitas keuangan berupa Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), kedua kewajiban
untuk menyampaikan akuntabilitas kinerja berupa Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (LAKIP) dan ketiga kewajiban menyampaikan akuntabilitas layanan public melalui
Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD).

Beberapa penelitian telah mengungkapkan pengaruh akuntabilitas terhadap korupsi. Seperti


diungkapkan oleh Palmer (2000) mengungkapkan pencegahan korupsi dapat dilakukan dengan
manajemen pencatatan yang baik dalam rangka mendukung akuntabilitas keuangan. Penelitian
yang dilakukan oleh Deininger & Mpuga (2005) mengungkapkan penekanan akuntabilitas yang
dilakukan masyarakat melalui keberanian untuk melaporkan tindakan yang tidak etis dikalangan
birokrat dpat menurunkan tingkat korupsi dan juga meningkatkan kualitas pelayanan public secara
signifikan. Hasil penelitian yang dilakukan Shah (2007) mengungkapkan negara dengan tingkat
tata kelola pemerintahan yang buruk berakibat pada tingginya korupsi, oleh karena itu untuk
mereduksi tingkat korupsi dilakukan tata kelola pemerintahan yang baik. Lebih jauh Shah (2007)
mengungkapkan bahwa untuk menciptakan kelola pemerintah yang baik adalah dengan cara
memperkuat akuntabilitas. Ibietan (2013) mengungkapkan bahwa penjelasan fundamental atas
terus berlangsungnya korupsi disuatu negara adalah karena lemahnya akuntabilitas atau ketiadaan
akuntabilitas yang dibarengi dengan kewenangan mutlak yang dimilik oleh penguasa.

Dari beberapa penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa masih terdapat inkonsistensi hasil
penelitian pengaruh akuntabilitas keuangan terhadap korupsi, sehingga terdapat celah penelitian
yang coba dipersempit dalam penelitian ini.

2. Motivasi Penelitian
Berdasarkan fenomena dan kajian empiris, penelitian ini mencoba mempersempit celah
penelitian yang telah diuraikan diatas. Celah penelitian pertama adalah pengaruh inkonsistensi
penelitian mengenai pengaruh akuntabilitas keuangan terhadap korupsi. Penelitian Olken (2007)
serta Rini & Sarah (2014) berkesimpulan akuntabilitas keuangan berpengaruh terhadap korupsi.
Begitu pula dengan hasil penelitian Masyitoh, Wardhani & Setyaningrum (2015) yang menyatakan
akuntabilitas keuangan berpengaruh terhadap korupsi.
Celah penelitian kedua adalah belum banyaknya penelitian yang meneliti pengaruh realisasi
anggaran dan akuntabilitas pelayanan public. Dalam penelitian Windarti (2014) menunjukkan
bahwa hanya besarnya anggaran Bantuan Sosial dan Belanja Pegawai yang berpengaruh terhadap
kesenjangan Anggaran. Pengaruh Senjangan Anggaran terhadap semakin tinggi Tingkat Korupsi
di Indonesia juga terbukti secara empiric. Selain itu, terdapat pengaruh Belanja Hibah, Bantuan
Sosial, Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, Belanja Modal terhadap Tingkat Korupsi di
Indonesia dengan Senjangan Anggaran sebagai Pemoderasi. Sehingga, Senjangan Anggaran dapat
menciptakan terjadinya Korupsi pada Anggaran Belanja Daerah. Tingginya akuntabilitas
pelayanan public juga merupakan salah satu indicator keberhasilan Reformasi Birokrasi, yakni
sasaran utama dari akuntabilitas tersebut adalah pemerintah yang bebas korupsi. Studi mengenai
pentingnya akuntabilitas pelayanan public terhadap pemberantasan korupsi juga diungkapkan oleh
beberapa peneliti seperti Palmer (2000), Shah (2007) dan Peters (2007). Berdasarkan hal tersebut,
penelitian ini akan meneliti pengaruh akuntabilitas pelayanan public terhadap korupsi.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan motivasi penelitian, maka rumusan masalah penelitian adalah:
1. Apakah akuntabilitas keuangan berpengaruh terhadap persepsi bersih korupsi?
2. Apakah akuntabilitas realisasi anggaran berpengaruh terhadap persepsi bersih korupsi?
3. Apakah akuntabilitas pelayanan public berpengaruh terhadap persepsi bersih korupsi?
4. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian pada rumusan masalah, tujuan penelitian yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menguji:
1. Pengaruh akuntabilitas keuangan terhadap persepsi bersih korupsi.
2. Pengaruh akuntabilitas realiasasi angaran terhadap persepsi bersih korupsi.
3. Pengaruh akuntabilitas pelayanan publik terhadap persepsi bersih korupsi.
5. Kontribusi Penelitian
Hasil penelitian ini memberikan beberapa kontribusi, yaitu:
1. Kontribusi Teoritis
Hasil penelitian ini mendukung teori agensi yaitu tindakan oportunitis agent yang
disebabkan oleh adanya jarak yang memisahkan antara principal dan agent dapat direduksi
dengan meningkatkan akuntabilitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akuntabilitas
keuangan dan akuntabilitas pelayanan public dapat digunakan sebagai sarana untuk
mengurangi korupsi dipemerintah daerah, hal tersebut ditandai dengan semakin tingginya
persepsi bersih korupsi pada daerah dengan akuntabilitas keaungan dan akuntabilitas
pelayanan public yang baik.
2. Kontribusi Praktik
Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) sebagai auditor internal pemerintah yang diberi mandat untuk mengawal
akuntabilitas pengelolaan keuangan dan pembangunan sebagai bahan pertimbangan untuk
memperkuat peran dan fugnsinya. Bagi masyarakat umum hasil penelitian ini dapat
digunakan untuk menekan Pemerintah daerah agar meningkatkan akuntabilitas keuangan
dan akuntabilitas pelayanan public dalam rangka pemberantasan korupsi. Bagi pemerintah
daerah hasil penelitian ini dapat digunakan untuk melakukan evaluasi atas penerapan
akuntabilitas kinerjanya.
DAFTAR PUSTAKA
Afriyanti, D., Sabanu, Harpanto G., Noor, F. (2015). Penilaian Indes Akuntabilitas Instansi
Pemerintah. Jurnal Tata Kelola & Akuntabilitas Keuangan Negara BPK RI, Vol.1 No.01,
Hal.21-42.

Deininger, K., & Mpuga, P. (2005). Does greater accountability improve the quality of public
service delivery? Evidence from Uganda. World Development, 33(1), 171–191.

Ibietan, J. (2013). Corruption and Public Accountability in the Nigerian Public Sector:
Interrogating the Omission. European Journal of Business and Management, 5(15), 41– 49.

Kemendikbud. (2011). Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi. (Y. K. Nanang T.
Puspito, Marcella Elwina S., Indah Sri Utari, Ed.). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI.

Klitgaard, R. (1998). Membasmi Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Klitgaard, R., Abaroa, R. M., & Parris, H. L. (2002). Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam
Pemerintahan Daerah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Mariana, D., Paskarina, C., & Nurasa, H. (2010). Reformasi Birokrasi dan Paradigma Baru
Administrasi Publik di Indonesia. In revitaslisasi administrasi negara (p. 3). Yogyakarta: graha
ilmu.

Masyitoh, R. D., Wardhani, R., & Setyanigrum, D. (2015). Pengaruh Opini Audit, Temuan Audit,
dan Tindak Lanjut Hasil Audit terhadap Persepsi Korupsi pada Pemerintah Daerah Tingkat II
Tahun 2008-2010. Seminar Nasional Akuntansi 18 Universitas Sumatera Utara Medan, 1–26.

Olken, B. A. (2007). Monitoring Corruption: Evidence from a Field Experiment in Indonesia.


Journal of Political Economy, 115(2), 200–249.

Palmer, M. (2000). Records management and accountability versus corruption, fraud and
maladministration. Records Management Journal, 10(2), 61–72.

Peters, b. guy. (2007). Performance-Based Accountability. In Anwar (Ed.), Performance


accountability and combating corruption (pp. 15–31). Washington DC: The World Bank.

Rini, & Sarah, A. (2014). Opini Audit Dan Pengungkapan Atas Laporan Keuangan Pemerintah
Kabupaten Serta Kaitannya Dengan Korupsi Di Indonesia. Etikonomi, 13(1), 1–20.

Rosalina, K. (2011). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Korupsi di Tingkat Kabupaten Dan Kota
di Indonesia (Dalam Konteks Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Tesis Universitas
Brawijaya. Tidak Dipublikasikan.
Shah, A. (2007). Tailoring the fight against corruption to country circumstances. In Performance
accountability and combating corruption (pp. 233–254). Washington DC: The World Bank.

Windarti, A (2014). Pengaruh Anggaran Belanja Daerah dan Senjangan Anggaran Terhadap
Tingkat Korupsi di Indonesia. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

You might also like