Tempat parkir fakultas seperti kuburan Gadis itu berjalan menuju kantin Ia ingin bertemu dengan temannya sewaktu SMU Mereka berjanji bertemu di kantin fakultas, sebelah Utara Gedung rektorat Mata gadis itu meratapi halaman kampus yang luas dengan pepohonan yang rindang Pemandangan kampus sangat berbeda dengan lingkungan sekolah SMU yang dulu Rasa kagum itu sinar seketika saat ia mengingat teman yang akan ditemuinya Teman yang banyak menyimpan kenangan suka maupun duka Gadis itu juga teringat saat Perpisahan di sekolahnya beberapa bulan yang lalu Perpisahan yang sangat mengesankan dan membahagiakan Ia mampu menjadi lulusan terbaik Ia menjadi idola teman-teman dan gurunya Kakinya yang mulus, betis cakalang dengan sepatu sandal mereka ridhowa warna coklat, melangkah sangat serasi di atas tanah tempat parkir Ia memandang ke sekelilingnya, matanya berhenti pada gedung tinggi di sebelah jalan aspal, gedung rektorat yang megah. Saat berdiri menatap gedung rektorat itu, matanya terkena pantulan sinar dari bunga warna merah muda yang ada di pucuk pohon. Pantulan itu memaksa mata gadis itu untuk menatapnya. Kemudian matanya menangkap bayangan beberapa mahasiswa yang berdiri di bawah pohon sepanjang jalan aspal itu. Mereka berlindung dari terik matahari, sambil menunggu mobil menuju Wua-Wua, Mandonga dan Kota. Gadis itu juga melihat banyak mahasiswa yang naik ojek menuju kompleks asrama mahasiswa yang berada di depan kampus. Gadis itu menyusuri jalan aspal menuju gedung fakultas, yang di kiri-kanannya ada pagar besi yang kokoh, pagar yang tak jelas untuk apa? Ia terus melangkah menyusuri jalan aspal itu. Sampai di ujung pagar ia belok kiri ke arah utara menyusuri teras salah satu gedung fakultas menuju ke arah kantin. Di ujung gedung, ia membaca tulisan di pintu sebuah ruangan, ‘’Kantin Fakultas.’’ Akhirnya gadis itu mengambil telepon genggamnya dan mengontak Sinta, temannya. Gadis yang bernama Anastasia itu kemudian melangkahkan kakinya yang kuat, memutar di ujung gedung dekat dekat koridor, menuju kantin di belakang gedung jurusan MIPA, dengan menyusuri selokan. Anastasia melihat Sinta di depan kantin yang berada di bawah pohon-pohon rindang tepat ketika ia berada di sudut gedung. Ia melangkahkan kaki di jalan setapak yang kering menuju kantin. Kedatangan Anastasia bukan hanya menyedot tatapan orang-orang yang ada di kantin, tetapi juga menyedot mata burung-burung di atas dahan. Sinta membuka tangannya untuk Ana. Mereka berdua berpelukan. Melepas kerinduan yang terlahir karena persahabatan. Dua perawan cantik sedang berpelukan itu tidak tahu kalau mereka sedang dibidik dari jauh dengan zoom yang sangat tepat. Dari dua tubuh yang sedang berpelukan itu, lensa mata lelaki itu jatuh tepat saat kedua tubuh itu hendak bertemu. Seolah ia menangkap matahari yang akan menyentuh batas cakrawala. Hingga ia dapat menangkap lekuk tubuh kedua gadis itu menjelang saat terbenam dalam pelukan. Laki-laki itu memandang penuh nafsu, hingga ia tak menyadari bahwa ada perempuan di depannya. Perempuan itu, menangkap mata lelaki di depannya, seolah tatapan itu sedang menerbangkan semua cintanya, menerbangkan seluruh kasih sayangnya selama ini. Dan tanpa berpikir panjang akhirnya perempuan itu berdiri dan menampar muka laki-laki itu. semua pengunjung kantin terkejut mendengar bunyi tamparan itu. Semua mata tertuju pada meja di pinggir jendela. Sementara Ana dan Sinta melepaskan pelukannya. Ana melihat dua orang itu, ia juga memperhatikan memar di pipi laki-laki yang habis ditampar. Perempuan yang menampar tadi terus memarahi laki-laki itu, pacarnya. Laki-laki itu hanya terdiam, tak menjawab. la menundukkan muka sehingga ia tidak tahu bahwa perempuan yang membuat bencana itu telah berdiri di dekatnya. Sementara kakinya tetap melangkah menuju meja di tengah ruangan kantin. Sinta mengikut dari belakang sesekali matanya memperhatikan mata-mata yang tersedot dari meja-meja di dalam kantin. Mata-mata itu, seakan meloncat merayapi dan menikmati tubuh padat yang terbungkus kaus putih milik Anastasia. "Sinta, kau dengar umpatan perempuan tadi? bisik Anastasia pada Sinta Riani. Sinta menatap ke arah pintu, tempat kedua pasangan yang bersitegang tadi. Sinta tersenyum sebab Ana pasti akan mengomel lagi. Ana menarik napas panjang, dalam, menenangkan dirinya, kemudian ia melanjutkan omelannya.