You are on page 1of 10

A.

      PENGERTIAN FIKIH

Menurut bahasa (etimologi), kata fikih berasal dari bahasa Arab ‫الفَ ْه ُم‬ yang berarti
ُ ‫ ”فَقَّه‬yang berarti “saya memahami pelajaran itu”. Sesuai
َ ْ‫ْت الدَّر‬
paham, seperti pernyataan “‫س‬
dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:
‫َم ْن ي ُِر ِد هللاَ خَ ْيرًا يُفَقِّ ْههُ فِى ال ِّد ْي ِن‬
“Barang siapa yang dikehendaki Allah swt.. menjadi orang yang baik di sisi-Nya, niscaya
diberikan kepadanya pemahaman yang mendalam dalam pengetahuan agama”.

Menurut para ahli fiqh (fuqaha), fiqh adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang
menjadi sifat bagi perbuatan para hamba (mukallaf), yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh dan
mubah. Imam Syafii memberikan definisi yang komprehensif,

ِ ‫ب ِم ْن َأ ِدلَّتِهَا التَّ ْف‬


‫ص ْيلِيَّ ِة‬ ِ ‫الع ْل ُم بِاَألحْ َك ِام ال َّشرْ ِعيَّ ِة ْال َع َملِيَّ ِة ْال ُم ْكتَ َس‬
ِ
“Pengetahuan tentang hukum syarak yang berhubungan dengan amal perbuatan, yang digali
dari dalil yang terperinci.”

Dari pengertian dan ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa fiqih adalah pengetahuan
tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan
perkataan mukallaf (orang yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil
dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As
sunnah. Adapun obyek pembahasan fiqh adalah tindakan orang-orang mukallaf, atau segala
sesuatu yang terkait dengan aktifitas orang mukallaf. Adakalanya berupa tindakan, seperti
melakukan shalat, atau meninggalkan sesuatu, seperti mencuri, atau juga memilih, seperti
makan atau minum. Yang dimaksud dengan mukallaf adalah orang-orang baligh yang
berakal, dimana segala aktifitas mereka terkait dengan hukum-hukum syara’ (Zuhaili, 1989).
B.  SUMBER HUKUM ISLAM

Sumber hukum Islam yang utama adalah Al Qur’an dan as-sunah. Sedangkan, ijtihad,
ijma’, dan qiyas merupakan metode untuk menggali hukum dari kedua sumber tersebut
yaitu Al Qur’an dan sunah Rasulullah SAW.

1.    Al Qur’an
Isi kandungan Al Qur’an
Isi pokok Al Qur’an (ditinjau dari segi hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:
1.    Hukum yang berkaitan dengan masalah akidah, yaitu berkaitan dengan keimanan kepada
Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar.
2.     Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan rohaniyah dengan
Allah SWT, seperti shalat, puasa, zakat dan haji, dan sebagainnya.
3.    Hukum yang berkaitan dengan akhlak, yakni tuntutan agar setiap muslim memiliki sifat-
sifat mulia sekaligus menjauhi sifat-sifat tercela.
4.    Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur hubungan dengan sesama dan
alam sekitar.
2. Hadis
‫ة أم‬c‫ل البعث‬c‫ك قب‬c‫ان ذل‬c‫واء ك‬c‫ س‬،‫يرة‬c‫كل ما أثر عن الرسول صلى هللا عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة أو س‬
.‫بعدها‬
“Sunnah menurut para ahli hadis: Segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah saw baik
berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat maupun perjalanan hidupnya”.

Macam-Macam Sunnah:
1.      Sunnah Qauliyah (‫القولية‬ ‫)السنة‬: Ucapan Nabi
2.      Sunnah Fi’liyah (‫الفعلية‬ ‫)السنة‬: Perbuatan Nabi
3.      Sunnah Taqririyah (‫)السنة التقريرية‬: Ketetapan Nabi
4.      Sunnah Hammiyah (‫ ;)السنة الهمية‬Cita-cita Nabi

    Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an


       Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam,
antara satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-
Qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum
dan global. Oleh karena itu, kehadiran hadis sebagai sumber kedua untuk menjelaskan
(bayan) keumuman isi al-Qur’an tersebut. Bentuk penjelasan (bayan) hadits terhadap al-
Qur’an adalah sebagai berikut:
1.    Menguatkan sesuatu yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an (Bayan at-Taqrir)
2.    Menjelaskan atau merinci apa yang terdapat salam al-Qur’an (Bayan at-Tafsir)
Memberikan rincian terhadap ayat-ayat al-qur’an dalam beberapa bentuk:
a.       Merinci ayat al-Qur’an yang bersifat global (mujmal): shalat, zakat dan lainnya.
b.      Memberikan batasan (taqyid) ayat-ayat yang bersifat mutlak, seperti hadis tentang batasan
hukuman potong tangan bagi pencuri.
c.       Mengkhususkan (takhsis) ayat-ayat yang bersifat umum, seperti larangan dalam hadis Nabi
untuk saling mewarisi dengan keluarga yang kafir.
3.    Menetapkan hukum  yang tidak terdapat dalam al-Qur’an (Bayan at-Tasyri’)
4.    Menjelaskan ayat yang dihapuskan pemberlakuan hukumnya (Bayan an-Nasakh)

3. Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah
yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadis, dengan menggunkan akal
pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukum
yang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga.

Metode Berijtihad:
1.     Qiyas (analogi): Menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan
kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau
sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski.
2.     Istihsan/Istislah: Menetapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara kongret
dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan atas kepentingan dan kemashlahatan (kebaikan)
umum.
3.     Istishab: Meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan suatu
dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut
4.     Maslahah mursalah: Maslahah yang sesuai dengan maksud syarak yang tidak diperoeh
dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari maslahah itu.
5.     Al ‘Urf: Kebiasaan yang disepakati oleh segolongan manusia yang tidak bertentangan
dengan ajaran agama. Dan lain-lain.
C. PEMBAGIAN HUKUM ISLAM
Hukum dalam Islam ada lima yaitu:

1. Wajib: Perintah yang harus dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi (dikerjakan), maka
yang mengerjakannya akan mendapat pahala, jika tidak dikerjakan maka ia akan berdosa

2. Sunah: Anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak berdosa

3. Haram: Larangan keras. Kalau dikerjakan berdosa jika tidak dikerjakan atau ditinggalkan
mendapat pahala.

4. Makruh: Larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar tidak dihukum (tidak berdosa), dan
jika ditinggalkan diberi pahala

5. Mubah: Sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan.

D.      RUANG LINGKUP FIKIH


Ilmu fiqh membicarakan hubungan itu yang meliputi kedudukannya, hukumnya,
caranya, alatnya dan sebagainya. Hubungan-hubungan itu ialah:

1. Ibadah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah masalah yang dapat dikelompokkan ke
dalam kelompok persoalan berikut ini:
1.      Thaharah (bersuci);
2.      Shalat;
3.      Shiyam (puasa);
4.      Zakat;
5.      Haji

2. Ahwalusy Syakhshiyyah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke
dalam kelompok persoalan pribadi (perorangan), kekeluargaan, harta warisan, yang meliputi
persoalan:
Nikah, Khithbah (melamar), dan lainnya.

3. Muamalah Madaniyah
Biasanya disebut muamalah saja. Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-
masalah yang dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta kekayaan, harta milik,
harta kebutuhan, cara mendapatkan dan menggunakan, yang meliputi masalah: Buyu’ (jual-
beli), Hutang-piutang, dan lainnya.

4. Mu’amalah Maliyah
Kadang-kadang disebut Baitul mal saja. Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas
masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta kekayaan
milik bersama, baik masyarakat kecil atau besar seperti negara (perbendaharaan negara =
baitul mal). Pembahasan di sini meliputi: kepemilikan harta benda, cara mendapatkan dan
mendistribusikannya.

5. Jinayah dan ’Uqubah (pelanggaran dan hukuman)


Biasanya dalam kitab-kitab fiqh ada yang menyebut jinayah saja. Dalam bab ini di
bicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok
persoalan pelanggaran, kejahatan, pembalasan, denda, hukuman dan sebagainya. Pembahasan
ini meliputi: macam-macam kejahatan dan hukumannya seperti qishas, diyat, hukuman rajam
dan lainnya.

6. Murafa’ah atau Mukhashamah


Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke
dalam kelompok persoalan peradilan dan pengadilan. Pembahasan pada bab ini meliputi:

E.  FIKIH IBADAH
     Pengertian Ibadah;
‫التقرب ألى هللا بامتثال أوامره واجتنا ب نواهيه والعمل بما أذن به الشا رع وهي عامة وخاصة‬
Ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya
dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Juga yang dikatakan ibadah adalah beramal dengan
yang diizinkan oleh Syari’ Allah Swt.; karena itu ibadah itu mengandung arti umum dan arti
khusus.

Ibadah dalam arti umum adalah segala perbuatan orang Islam yang halal yang
dilaksanakan dengan niat ibadah. Sedangkan ibadah dalam arti yang khusus adalah perbuatan
yang dilaksanakan dengan tata cara yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw.,
meliputi Thaharah, Shalat, Zakat, Shaum, Hajji, Kurban, Aqiqah, dan lain sebagainya.
Dari dua pengertian tersebut jika digabungkan, maka Fiqih Ibadah adalah ilmu yang
menerangkan tentang dasar-dasar hukum-hukum syar’i khususnya dalam ibadah khas seperti
meliputi thaharah, shalat, zakat, shaum, hajji, kurban, aqiqah dan sebagainya yang
kesemuanya itu ditujukan sebagai rasa bentuk ketundukan dan harapan untuk mecapai ridla
Allah.

Dasar Fiqih Ibadah


Dasar ilmu Fiqih Ibadah adalah yakni al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbulah. As-
Sunnah Al-Maqbulah artinya sunnah yang dapat diterima. Dalam kajian hadis sunnah al-
Maqbulah dibagi menjadi dua, Hadis Shahih dan Hadis Hasan.

Prinsip Ibadah
     Adapun prinsip melaksanakan Ibadah sebagai berikut:
1.    Niat lillahi ta’ala
2.    Ikhlas
3.    Tidak menggunakan perantara (washilah)
4.    Dilakukan sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah
5.    Seimbang antara dunia akherat
6.    Tidak berlebih-lebihan (Al-A’raf/7:31)
7.    Mudah (bukan meremehkan) dan Meringankan Bukan Mempersulit

Ruang Lingkup Fikih Ibadah


     Ruang lingkup ibadah pada dasarnya digolongkan menjadi 2, yaitu:
1) Ibadah umum, artinya ibadah yang mencakup segala aspek kehidupan dalam rangka mencari
keridaan Allah. Unsur terpenting agar dalam melaksanakan segala aktivitas kehidupan di
dunia ini agar benar-benar bernilai ibadah adalah “niat” yang ikhlas untuk memenuhi tuntutan
agama dengan menempuh jalan yang halal dan menjauhi jalan yang haram.
2)  Ibadah khusus, artinya ibadah yang macam dan cara pelaksanaannya ditentukan dalam
syara’ (ditentukan oleh Allah dan Nabi Muhammad SAW). Ibadah khusus ini bersifat tetap
dan mutlak, manusia tinggal melaksanakan sesuai dengan peraturan dan tuntutan yang ada,
tidak boleh mengubah, menambah, dan mengurangi, seperti tuntutan bersuci (wudlu), shalat,
puasa ramadhan, ketentuan nasab zakat.
F. Tujuan Syari’at Islam:
     Tujuan diciptakannya syari’at di dalam Islam adalah untuk;

1. Memelihara agama (hifzud din)

2. Meliharaan jiwa (hifzun nufus)

3. Memelihara akal (hifzul aql)

4. Memelihara keturunan (hifzun nasl)

5. Memelihara harta (hifzul mal)

6. Memelihara kehormatan (hifzul irdh)

7. Mmelihara lingkungan (hifzul bi’ah)


(BAGIAN II)
FIKIH THAHARAH (HUKUM BERSUCI)

A.    Urgensi Tharah (Pentingnya Bersuci)


َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُو ُل اَل تُ ْقبَ ُل‬
ٍ ‫صاَل ةٌ بِ َغي ِْر طُه‬
)‫(رواه الجماعة‬..... ‫ُور‬ َ ِ ‫ْت َرسُو َل هَّللا‬
ُ ‫ع َْن ا ْب ِن ُع َم َر قَا َل ِإنِّي َس ِمع‬
”Tidak diterima Shalat (seseorang) tanpa bersuci (thaharah)“
)‫ضَأ (رواه البخاري‬ َ ‫صاَل ةُ َم ْن َأحْ د‬
َّ ‫َث َحتَّى يَتَ َو‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اَل تُ ْقبَ ُل‬
َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬
َ َ‫ق‬
’Tidak diterima shalat (seseorang) yang berhadas, sehingga ia berwudlu““‫ِم‬
Dan Kami berwudhu’ lalu kami hanya mengusap kaki-kaki kami, kemudian (Rasulullah) ” 
menyeru kami dengan suara yang keras “celaka bagi tumit (letaknya) dari api neraka”,
”.dua atau tiga kali

B.     Fakrtor Penyebab Taharah


1.   Berhadas kecil / berhadas besar
2.   Terkena Najis

C.    Cara-Cara Bersuci (Thaharah)


1.      Berwudhu
Hal-Hal yang Membatalkan Wudhu’:
1)      Keluar sesuatu dari qubul dan dubur
2)      Tidur nyenyak dalam keadaan berbaring (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Tirmidzi)
3)      Menyentuh kemaluan tanpa alas/pembatas (HR. Tirmidzi, Nasa’i, Abu Dawud dan Ahmad)
4)      Hilang akal, seperti: Gila, pingsan atau mabuk
5)      Melakukan hubungan suami-istri  (QS.Al-Ma’idah:6. Menurut Ibnu Abbas dan dikuatkan
oleh beberapa hadits Nabi)
2.      Tayammum
a.       Hal-Hal yang menyebabkan bolehnya bertayammum:
1)      Tidak ada air suci
2)      Sakit yang serius
3)      Air tidak mencukupi untuk thaharah
4)      Musafir (dalam perjalanan)
5)      Ada air namun membahayakan karena terkontaminasi bakteri berbahaya
6)      Dan lain-lain
b.      Tata cara Tayammum:
1)      Mengucapkan bismillah sambil meletakkan kedua telapak tangan di tanah (di tempat
berdebu) kemudian meniup debu yang menempel di kedua telapak tangan.
2)      Mengusapkan kedua telapak tangan ke wajah, kemudian langsung mengusap telapak
tangan kanan hingga pegelangan lalu yang kiri dengan cara yang sama, masing-masing satu
kali.

c.       Hal-Hal yang membatalkan Tayamum:


1)      Semua hal yang membatalkan wudlu’
2)      Menemukan air suci sebelum mengerjakan shalat (HR. Bukhari)

3.      Mandi Janabah (Guslu al Janabah)


a.       Hal-Hal yang menyebabkan madi Janabah:
1)      Bertemunya dua persunatan (melakukan hubungan kelamin)
2)      Keluarnya air mani/sperma (mimpi atau lainnya)
3)      Selesai dari haid dan nifas

b.      Tata Cara Mandi Janabah:


1-      Niat ikhlas karena Allah
2-      Mencuci kedua tangan
3-      Membasuh kemaluan
4-      Berwudlu secara sempurna (wudlu asghar: seperti wudlu untuk shalat)
5-      Mengambil air lalu memasukkan jari-jari ke pangkal rambut (keramas dengan
menggunakan wangi-wangian: shampo/sabun)
6-      Menuangkan air ke kepala hingga rata di badan dengan memulai dari sisi sebelah kanan
7-      Membasuh kaki dengan mendahulukan yang kanan
4.      Membasuh (al-Guslu): membersihkan pakaian, badan, sarana prasarana maupun alat
rumah tangga dari terkena najis dengan menggunakan air bersih.
5.      Istinja’ : Membersihkan diri setelah membuang hajat (BAB/BAK) dengan menggunakan
air.
6.      Istijmar: Membersihkan diri setelah membuang hajat (BAB/BAK) dengan menggunakan
benda selain air, seperti kayu, batu, tissu, dan benda bersih lainnya, dan tidak boleh
menggunakan tulang dan benda najis lainnya.
BAGIAN III
FIKIH SHALAT (HUKUM) TATA CARA SHALAT

A.    Prinsip-prnsip Dasar Shalat


)‫(رواه مسلم‬ ‫ْس َعلَ ْي ِه َأ ْم ُرنَا فَه َُو َر ٌّد‬ َ ِ ‫َأ َّن َرسُو َل هَّللا‬
َ ‫ َم ْن َع ِم َل َع َماًل لَي‬ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬
“Barang siapa yang melakukan suatu amalan, tanpa adanya perintah dari kami, maka amalan
tersebut tertolak”
َ ‫صلُّوْ ا َك َما َرَأ ْيتُ ُموْ نِى ُأ‬
)‫(رواه البخاري‬         ‫صلِّى‬ َ :‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬
َ َ‫ق‬
“Shalatlah kamu sebagaimana engkau melihat (cara) shalatku”.
ْ َ‫اََألصْ ُل فِى ْال ِعبَا َد ِة اَ ْلب‬ 
‫اَلتَّحْ ِر ْي ُم‬/ ُ‫طالَن‬
“Pada dasarnya dalam (masalah) Ibadah itu haram dilaksanakan (kecuali jika ada perintah
tentang hal tersebut)”

B.     Syarat Sahnya Shalat:


Suci dari Hadas dan Najis:
Berdasarkan hadits dari Ali r.a:
‫صاَل ِة ْال ُوضُو ُء َوتَحْ ِري ُمهَا التَّ ْكبِي ُر َوتَحْ لِيلُهَا التَّ ْسلِي ُم‬
َّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِم ْفتَا ُح ال‬
َ ِ ‫قال َرسُو ُل هَّللا‬
َ
“Rasulullah s.a.w. bersabda:”Kunci Shalat itu wudlu, permulaannya takbir dan
penghabisannya salam”. (R. Ahmad, kitab Musnad: 1019. Hadits yang semakna dengan
hadits riwayat Ahmad, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (At Thaharah: 56) dan Tirmidzi
(At-Thaharah anir Rasul: 3) yang juga banyak diriwayatkan oleh para perawi yang lain, teks
haditnya sebagai berikut:
ُّ ‫صاَل ِة‬
‫الطهُو ُر َوتَحْ ِري ُمهَا التَّ ْكبِي ُر َوتَحْ لِيلُهَا التَّ ْسلِي ُم‬ َّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِم ْفتَا ُح ال‬
َ ِ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
ِ ‫ع َْن َعلِ ٍّي َر‬
Menurut Tirmidzi hadits tersebut adalah hadits yang paling shahih dan paling baik dalam
masalah ini (Nailul Aithaar, juz I hal. 263), sedangkan menurut Bukhari hadits tersebut
bernilai Hasan (Tuhfadzul Ahwadzi, juz I hal. 153).
C.    Kiat Menggapai Kekhusyu’an dalam Shalat:
1.      Memahami hakekat shalat
2.      Mengerjakan atas dasar keimanan dan keikhlasan  (Kisah Ali bin Abi Thalib)
3.      Mempelajari Fikih Shalat
4.      Memulai shalat dengan penuh kemantapan
5.      Menghayati setiap gerakan shalat  Gerakan sebagai bagian dari ibadah mahdhah
6.      Menghayati dan memahami setiap bacaan shalat

You might also like