You are on page 1of 17

LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA OTAK RINGAN (COR)

zDI RUANGAN MELATI PERIODE 14-19 NOVEMBER 2022 RSUD dr. SOEBANDI
JEMBER

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Tugas di Stase Keperawatan Medikal
Bedah

OLEH:
Zunanda Handrie Lukman S.Kep
NIM. 2201031021

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2022
LEMBAR KONSULTASI

NO. MATERI YANG DIKONSULATASIKAN DAN NAMA & TANDA TANGAN


URAIAN PEMBIMBING PEMBIMBING
A. Definisi
Cedera otak merupakan hal nondegeneratif dan nonkongenital yang terjadi pada otak
karena adanya kekuatan mekanik eksternal yang dapat mengakibatkan gangguan
kognitif, fisik, dan fungsi psikososial baik sementara maupun permanen (Yusuf, Rohadi,
Priyanto, &Ansyori, 2020). Kegawatan dalam cedera otak dapat dilihat dari status
neurologik yang secara obyektif dapat diilai menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS)
dengan cukup hanya mengevaluasi motorik pasien, verbal, dan respon membuka mata.
Cedera kepala ringan atau trauma kepala ringan adalah kondisi cedera kepala yang
terjadi akibat benturan, kecelakaan, atau dipukul dengan benda keras. Cedera kepala
jenis ini dapat menyebabkan trauma kepala dan kehilangan kesadaran selama kurang dari
30 menit.

B. Anatomi dan Fisiologi


Sistem saraf dapat dikelompokkan menjadi dua kategori utama yang pertama adalah
sistem saraf pusat (SSP), yang merupakan pusat kontrol untuk seluruh sistem dan pusat
integrasi saraf tubuh. Ini terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. Menerima
informasi yang masuk (impuls saraf), analisis dan mengorganisasikannya, dan memulai
tindakan yang tepat. Semua sensasi tubuh dan perubahan lingkungan eksternal
disampaikan dari reseptor dan organ perasa ke SSP untuk ditafsirkan. Kategori utama
kedua adalah sistem saraf tepi (SST) yang terdiri dari 12 pasang saraf kranial dan 31
pasang saraf spinal (Chalik, 2016).

1. OtakSecara anatomis otak terdiri dari cerebrum (otak besar), cerebellum (otak
kecil), brainstem (batang otak), thalamus, hipotalamus dan limbic system (sistem
limbik). Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus yaitu lobus temporalis, lobus
oksipitalis, lobus parietalis, lobus frontalis (Pearce, 2009).
a) Lobus Temporal berperan dalam mengolah informasi suara dan sensasi
pendengaran. Lobus temporal adalah bagian dari sistem limbik dan memori.
b) Lobus Oksipital berhubungan dengan pengolahan impuls cahaya dan
penglihatan. Lobus oksipital bertanggung jawab atas persepsi visual yang
terletak di bagian belakang dan menghubungkan informasi tersebut pada
memori yang ada dalam otak.
c) Lobus Parietal merupakan pusat pengaturan impuls dari kulit dan
berhubungan dengan sensasi pada tubuh. Rangsangan sentuhan akan
diproses di area ini, termasuk sentuhan, tekanan, gelitik, nyeri, gatal, dan
getaran.
d) Lobus Frontal merupakan bagian yang penting dalam fungsi intelektual
seperti ingatan atau memori jangka pendek dan perencanaan kegiatan
manusia. Lobus frontal dikaitkan dengan fungsi motorik. Lobus frontalis
mengandung pusat pengontrolan gerakan volunteer yang mengerakkan otot
rangka di gyrus presentralis (area motoric primer) dan terdapat area asosiasi
motorik (area premotor). Lobus frontal juga berperan penting dalam
menggerakan mata dan memperhatikan rangsangan visual. Pada lobus ini
terdapat daerah broca yang mengatur ekspresi bicara, gerakan sadar,
perilaku sosial, berbicara, motivasi, inisiatif dan emosi.
2. Brainstem atau yang sering disebut batang otak berada di dalam tulang tengkorak
atau rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang
otak bertugas untuk mengontrol tekanan darah, denyut jantung, pernafasan,
kesadaran, serta pola makan dan tidur. Bila terdapat massa pada batang otak
maka gejala yang sering timbul berupa muntah, kelemahan otat wajah, kesulitan
menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun (Pearce, 2009).
a. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara midbrain dan
medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf Kranial (CN)
V diasosiasikan dengan pons (Muttaqin, 2008).
b. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang otak yang
akan berlanjut menjadi medulla spinalis.
c. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian teratas
dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum.
3. Sumsung tulang belakang adalah saraf tipis yang merupakan perpanjangan dari
sistem saraf pusat dari otak dan melengkungi serta dilindungi oleh tulang
belakang. Fungsi sumsum tulang belakang yaitu transmisi pemasukan rangsangan
antara periferi dan otak serta mengontrol gerakan refleks (Pearce, 2009).Letak
sumsum tulang belakang, memanjang di dalam rongga tulang belakang, mulai
dari ruas-ruas tulang leher hingga ruas tulang pinggang ke dua. Sumsum tulang
belakang dibungkus oleh selaput meninges. Sumsum tulang belakang bagian luar
tampak berwarna putih (substansi alba) dan bagian dalam yang berbentuk seperti
kupu-kupu, berwarna kelabu (substansi grisseaBagian berwarna putih banyak
mengandung akson (neurit) yang diselimuti myelin. Bagian ini untuk
menghantarkan impuls menuju otak dan dari otak menuju efektor. Bagian yang
berwarna kelabu mengandung serabut saraf yang tidak ada mielinnya. Bagian ini
dibedakan dua yaitu akar dorsal atau akar posterior dan akar ventral atau akar
anterior.

Sumber: Chalik, 2016

C. Etiologi
1. Pukulan langsung dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan (coup injury)
atau pada sisi yang berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak
dan mengenai dinding yang berlawanan (contrecoup injury) (hudak & gallo, 1996);
2. Rotasi / deselerasi Fleksi, ekstensi, atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak
yang menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada sayap dari tulang
sfenoid). Rotasi yang hebat juga menyebabkan trauma robekan di dalam substansi
putih otak dan batang otak, menyebabkan cedera aksonal dan bintik-bintik perdarahan
intraserebral;
3. Tabrakan Otak seringkali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat (terutama
pada anak-anak yang elastis);
4. Peluru cenderung menimbulkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma.
Pembengkakan otak merupakan masalah akibat disrupsi. Terngkorak yang secara
otomatis akan menekan otak;
5. Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misalnya kecelakaan,
dipukul dan terjatuh;
6. Trauma saat lahir misalnya sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vacum;
7. Efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak;
8. Efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak

D. Manifestasi Klinik
1. Penurunan kesadaran tidak boleh < 30 menit dan GCS 13-15
2. Disoerientasi ringan
Disorientasi adalah kondisi mental yang berubah dimana seseorang yangmengalami
ini tidak mengetahui waktu atau tempat mereka berada saat itu,bahkan bisa saja
tidak mengenal dirinya sendiri.
3. Amnesia post traumatik
Amnesia post traumatik adalah tahap pemulihan setelah cedera otak traumatisketika
seseorang muncul kehilangan kesadaran atau koma.
4. Sakit kepala
Sakit kepala atau nyeri dikepala, yang bisa muncul secara bertahap ataumendadak.
5. Mual dan muntah
Mual adalah perasaan ingin muntah, tetapi tidak mengeluarkan isi perut,sedangkan
muntah adalah kondisi perut yang tidak dapat dikontrol sehinggamenyebabkan perut
mengeluarkanisinya secara paksa melalui mulut.
6. Gangguan persepsi sensorik tergantung dari dimana bagian otak yang mengalami
benturan.

E. Patofisiologi
Trauma yang disebabkan oleh benda tumpul dan benda tajam atau kecelakaan
dapatmenyebabkan cedera kepala. Cedera otak primer adalah cedera otak yang terjadi
segerasetelah trauma. Cedera kepala primer dapat menyebabkan kontusio dan laserasi.
Cederakepala ini dapat berlanjut menjadi cedera sekunder. Akibat trauma terjadi
peningkatankerusakan sel otak sehingga menimbulkan gangguan autoregulasi.
Penurunan aliran darah ke otak menyebabkan penurunan suplai oksigen ke otak dan
terjadi gangguanmetabolisme dan perfusi otak. Peningkatan rangsangan simpatis
menyebabkanpeningkatan tahanan vaskuler sistematik dan peningkatan tekanan darah.
Penurunantekanan pembuluh darah di daerah pulmonal mengakibatkan peningkatan
tekananhidrolistik sehingga terjadi kebocoran cairan kapiler. Trauma kepala
dapatmenyebabkan odeme dan hematoma pada serebral sehingga menyebabkan
peningkatantekanan intra kranial. Sehingga pasien akan mengeluhkan pusing serta nyeri
hebat padadaerah kepala.

F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :
1) Tatalaksana fase akut (saat kejang). Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah
mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera
mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari faktor penyebab. Serangan kejang
umumnya berlangsung singkat dan berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk
serangan kejang dapat diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat
badan anak < 10 kg atau 10 mg bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih
belum berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat
yang sama. Jika setelah dua kali pemberian diazepam per rektal masih belum
berhenti, maka penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit.
2) Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari
serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan
sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus menerus maka
kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya
kemampuan intelegensi penderita.
Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu :
a) Terapi medikamentosa
Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesia adalah obat
golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat
tersebut harus diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi
secara efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE
harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yangberat
maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai dengan obat
tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi kejang.

b) Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang
menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan.
Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan.
c) Terapi nutrisi
Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada penderita epilepsi.
Walaupun mekanisme kerja diet ketogenikdalam menghambat kejang masih
belum diketahui secara pasti,tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat
mengendalikan dan mengontrol terjadinya kejang. Beberapa studi in vivo
memberi kesan bahwa badan keton memiliki efek anti konvulsan.Mekanisme
kerja diet ketogenik kemungkinan memiliki kaitan dengan mekanisme kerja OAE
(Kurnia, 2021).

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang
yang paling sering dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk
menegakkan diagnosis epilepsi.
2. Neuroimaging. Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan
radiologis bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua
pemeriksaan yang sering digunakan Computer Tomography Scan (CT Scan) dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI).

H. Konsep Asuhan Keperawatan


1) Pengkajian
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien
ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang.
Asupanalkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: apakah ada
keterbatasanyang ditimbulkan oleh gangguan kejang? Apakah pasien mempunyai
programrekreasi? Kontak sosial? Apakah pasien mempunyai pengalaman kerja?
Mekanisme koping apa yangdigunakan?
a) Identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat,
tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajiandan diagnosa
medis.
b) Keluhan utama: merupakan kebutuhan yang mendorong penderita leukimia
untuk masuk RS. Keluhan utama pada penderita epilepsi yaitu adanya kejang
berulang, demam tinggi, hingga penurunan kesadaran.
c) Riwayat penyakit sekarang: Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan
yang dirasakan. Biasanya ditandai dengan adanya kejang baik menyeluruh
maupun sebagian, demam, dan penurunan kesadaran.
d) Riwayat penyakit dahulu: Adanya kejang berulang, adanya riwayat demam
tinggi, adanyar tumor serebri, gejala sisa meninggitis, dan trauma lahir.
e) Riwayat penyakit keluarga: Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah
ada kaitannya dengan penyakit yang dideritanya. Epilepsi juga dapat
berhubungan dengan adanya faktor genetik.
f) Pemeriksaan fisik:
(1) Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik)
(2) Sistem Kardiovaskuler : adanya palpitasi, trauma kepala.
(3) Sistem syaraf:
 Kesadaran: GCS
 Fungsi syaraf kranial: trauma yang mengenai atau meluas ke batang
otak akan melibatkan penururnan fungsi kranial.
 Fungsi sensori-motorik: adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri,
gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat
kejang.
Penilaian GCS:
Membuka Mata (Eye)
Nilai
4 Spontan
3 Rangsang suara (klien disuruh membuka mata)
2 Rangsang nyeri
1 Tidak membuka mata
Respon Bicara (Verbal)
5 Baik dan tidak terdapat disorientasi
4 Kacau (terdapat disorientasi tempat dan waktu)
3 Tidak tepat (mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk
kalimat dan kata-kata tidak tepat)
2 Mengerang (tanpa mengucapkan kata-kata)
1 Tidak terdapat jawaban
Respon Gerakan (Motorik)
6 Menuruti perintah
5 Mengetahui lokasi nyeri
4 Refleks menghindari nyeri
3 Refleks fleksi
2 Refleks ekstensi
1 Tidak terdapat refleks

Tingkat kesadaran dapat dibedakan kedalam beberapa tingkatan, yaitu:


 Composmentis (nilai GCS 15-14), yaitu kondisi seseorang yang sadar
sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya dan
dapat menjawab pertanyaan yang ditanyakan pemeriksa dengan baik.
 Apatis (nilai GCS 13-11), yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan
acuh tak acuh terhadap lingkungannya.
 Delirium (nilai GCS (11-10), yaitu kondisi seseorang yang mengalami
kekacauan gerakan, siklus tidur bangun yang terganggu dan tampak gaduh
gelisah, kacau, disorientasi serta meronta-ronta.
 Somnolen (nilai GCS 9-7) yaitu kondisi seseorang yang mengantuk namun
masih dapat sadar bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti akan
tertidur kembali.
 Sopor/stupor (nilai GCS 6-5), yaitu kondisi seseorang yang mengantuk
yang dalam, namun masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat,
misalnya rangsang nyeri, tetapi tidak terbangun sempurna dan tidak dapat
menjawab pertanyaan dengan baik.
 Semi-coma (nilai GCS 4) yaitu penurunan kesadaran yang tidak
memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak dapat dibangunkan sama
sekali, respons terhadap rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi refleks kornea
dan pupil masih baik.
 Koma (nilai GCS 3), yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam,
memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak ada gerakan, dan tidak ada
respons terhadap rangsang nyeri.
Penilaian fungsi 12 saraf kranial:
Nervus kranial Fungsi
I: Olfaktorius Penciuman
II: Optikus Penglihatan
III: Okulomotorius Gerak mata; kontriksi pupil; akomodasi
IV: Troklearis Gerak mata
V: Trigeminus Sensasi umum wajah, kulit kepala, dan gigi;
gerak mengunyah
VI: Abdusen Gerak mata
VII: Fasialis Pengecapan; sensasi umum pada platum dan
telinga luar; sekresi kelenjar lakrimalis,
submandibula dan sublingual; ekspresi wajah
VIII: Pendengaran; keseimbangan
Vestibulokoklearis
IX: Glosofaringeus Pengecapan; sensasi umum pada faring dan
telinga; mengangkat palatum; sekresi kelenjar
parotis
X: Vagus Pengecapan; sensasi umum pada farings,
laring dan telinga; menelan; fonasi;
parasimpatis untuk jantung dan visera
abdomen
XI: Asesorius Spinal Fonasi; gerakan kepala; leher dan bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah

(4) Sistem pencernaan


 Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, reflek menelan,
kemampuan mengunyah, adanya reflek batuk, mudah tersedak. Jika
pasien sadar (tanyakan pola makan)
 Waspadai fungsi ADH, aldosteron: retensi natrium dan cairan
 Retensi urine, konstipasi, inkontinensia
(5) Kemampuan bergerak
kerusakan area motorik: hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter,
ROM, kekuatan otot.
(6) Kemampuan komunikasi
kerusakan pada hemisferdominan disfagia atau fasia akibat kerusakan
saraf hipoglosus dan saraf fasialis
(7) Psikososial
Data ini digunakan untuk mengetahui dukungan yang didapatkan pasien dari
keluarga

2) Diagnosa Keperawatan
a. Risiko perfusi serebral tidak efektif
b. Pola napas tidak efektif
c. Nyeri akut
d. Defisit nutrisi
e. Risiko Cedera
f. Risiko gangguan integritas kulit
g. Distress spiritual
h. Risiko ketidakseimbangan cairan

3) Intervensi Keperawatan
Diagnosis Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Keperawatan
Risiko perfusi Tujuan: 1. Pantau secara teratur perubahan
serebral tidak Pasien tidak mengalami orientasi, kemampuan berbicara, alam
efektif ketidakefektifan perfusi perasaan, afektif, sensorik dan proses
serebral berpikir
Kriteria hasil 2. Kaji kedasaran sensorik seperti respon
1. Mempertahankan sentuhan, panas atau dingin
tingkat kesadaran 3. Observasi respon perilaku
biasa/perbaikan, 4. Hilangkan suara bising atau stimulus
kognisi dan fungsi yang berlebihan sesuai kebutuhan
motorik/sensorik 5. Berbicara dengan suara yang lembut
2. TTV dalam batas dan pelan
normal 6. Berikan stimulus yang bermanfaat:
3. Tidak ada tanda-tanda verbal (berbincang dengan pasien),
peningkatan TIK penciuman, taktil (respon sentuhan)
dan pendengaran.
7. Gunakan penerangan siang atau
malam hari
8. Kolaborasi dengan tim medikal atau
fisioterapi.
Pola napas tidak Tujuan: 1. Pertahankan kepatenan jalan nafas
efektif Pola nafas klien efektif 2. Atur posisi semi fowler
dalam waktu 3x24 jam 3. Lakukan pemantauan oksigen
Kriteria Hasil: 4. Anjurkan untuk minum air hangat
1. Dispnea menurun 5. Monitoring dan evaluasi
2. RR (12-24 x/menit) terhadapdispnea, RR, retraksi dinding
3. Retraksi dinding dada dada, irama nafas, sianosis, nafas
menurun spontan
4. Irama nafas regular 6. Edukasi keluarga tentang manajemen
5. Tidak ada sianosis polanafas
6. Tidak terpasang alat 7. Lakukan kolaboratif terapi oksigen
bantu nafas (nafas dan terapi nebulizer sesuai advise
spontan) dokter.
Nyeri akut Tujuan: 1. Identifikasi skala nyeri
Nyeri Akut teratasi setelah 2. Berikan teknik non farmakologi
dilakukan tindakan relaksasi dan ditraksi
keperawatan selama 2 x 24
3. Kontrol lingkungan yang
jam
KH: mempengaruhi peningkatan skala
1. Tidak ada keluhan nyeri nyeri seperti suhu lingkungan dan
2. Sikap protektif (-) kebisingan
3. Skor nyeri berkurang 4. Identifikasi faktor yang memperberat
4. Nadi 100-160 kpm nyeri
5. RR: 30-60 kpm 5. Hindari adanya penekanan pada area
6. Frekuensi tidur 14-16
yang terdapat nyeri
jam/hari
7. Distensi abdomen (-) 6. Lakukan monitoring dan evaluasi
terhadap respon verbal dan non verbal
7. Ajarkan kepada keluarga untuk
melakukan teknik non farmakologi
seperti kompres air hangat atau
memasase pada sekitar area yang
nyeri
8. Kolaorasi pemberian analgesik
Defisit nutrisi Tujuan: 1. Identifikasi status nutrisi
Status nutrisi terpenuhi 2. Identifikasi alergi dan intoleransi
setelah dilakukan tindakan makanan
keperawatan selama 3 x 24 3. Monitor asupan makanan
jam. 4. Monitor berat badan
Kriteria Hasil : 5. Lakukan oral hygiene sebelum makan
1. Porsi makanan yang jika perlu
dihabiskan meningkat 6. Sajikan makanan secara menarik dan
2. Frekuensi makan suhu
meningkat 7. yang sesuai
3. Nafsu makan meningkat 8. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
4. Perasaaan cepat menentukan jumlah kalori dan jenis
kenyang menurun nutrien yang dibutuhkan.
Risiko gg Tujuan: 1. Anjurkan pasien untuk menggunakan
kerusakan Risiko kerusakan integritas pakaian yang longgar
integritas kulit kulit klien tidak terjadi 2. Hindari kerutan pada tempat tidur
Kriteria hasil 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih
1. Kulit lembab dan kering
2. Tidak ada tanda-tanda 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien)
dekubitus setiap dua jam sekali
3. Integritas kulit yang 5. Monitor kulit akan adanya kemerahan
baik dapat 6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil
dipertahankan pada derah yang tertekan
4. Tidak ada lesi 7. Monitor aktivitas dan mobilisasi
5. Keluarga mampu pasien
memberikan perawatan 8. Monitor status nutrisi pasien
kebersihan kulit 9. Keluarga dapat menyeka dan
mempertahankan kelembapan kulit
klien
Risiko Cedera Tujuan: 1. Identifikasi lingkungan yang
Risiko cedera tidak terjadi berpotensi menyebabkan cedera
setelah dilakukan tindakan 2. Modifikasi lingkungan untuk
keperawatan 3x24 jam meminimalkan bahaya dan risiko.
Kriteria hasil: 3. Fasilitasi alat untuk memanggil
1. Tingkat cedera bantuan
berkurang 4. Identifikasi keutuhan keselamatan
2. Fraktur (-) 5. Monitor perubahan status lingkungan
3. Perdarahan (-) 6. Gunakan perangkat pelindung seperti
4. TTV dalam rentang pengaturan pencahayaan, pemasangan
normal side rail.
5. Keluarga dapat
memantau kondisi klien
dengan baik
Distress spiritual Tujuan : 1. Identifikasi perasaan khawatir,
Status spiritual klien kesepian dan ketidakberdayaan.
ditingkatkan dalam waktu 2. Identifikasi harapan dan kekuatan
3x 24 jam pasien.
Kriteria Hasil 3. Diskusikan keyakinan tentang makna
1. Dapat dan tujuan hidup
mengungkapkan 4. Berikan kesempatan mengekspresikan
verbalisasi makna dan perasaan tentang penyakit
tujuan hidup 5. Ajarkan bagaimana melakukan ibadah
2. Dapat meningkatkan di tempat tidur
dan mengungkapkan 6. Berikan fasilitas dalam memperoleh
verbalisasi kepuasaan informasi yang dibutuhkan.
terhadap makna hidup 7. Anjurkan kepada keluarga untuk
3. Kemampuan mendampingi dan membimbing klien
beribadah dapat beribadah.
dilakukan
4. Keluarga aktif dalam
keterlibatan dengan
aktivitas perawatan
I. WOC

Trauma kepala

ekstrakranial Tulang kranial Intra kranial

Terputusnya Jaringan otak


Terputusnya
kontuniutas nyeri rusak
kontuniutas
jaringan kulit, otot, (kontusio,laseria)
jaringan
vaskuler MK: Risiko gg integritas kulit
Perubahan
G3. Suplai autoregulasi
Perdarahan Mobilisasi tempat tidur
hematom darah
kejang Aliran darah
iskemia Penurunan ke otak
Perubahan
sirkulasi CSS kesadaran menurun
hipoksia Obstruksi jalan
gg. aliran nafas, dispnea,
Peningkatan TIK Spiritual Gangguan O2 menurun
Mual muntah, darah ke otak henti napas,
terganggu neurologis
papil edema, perubahan pola
Girus medialis pandangan lokal nafas
Deuresis Gangguan
lobus lobus kabur meningkat metabolisme
temporalis tergeser Defisit MK: Resiko
MK: Distress
spiritual neurologis ketidakefektifan
Suplay GI Asam laktat
Hemiasi unkus menururn tract jalan nafas
meningkat
MK: Risiko MK: Risiko
Mensefalon ketidakseimbangan Meningkatnya Cedera
tertekan cairan Edema otak
asam lambung

MK: Nyeri MK: Defisit MK: Risiko perfusi Hemiasi


akut MK : Penurunan
Nutrisi cerebral tidak efektif cerebri
Kapasitas Adaptif
Intrakranial
REFERENSI

Chalik, M. (2016). Anatomi dan Fisiologi Manusia. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.
Fikriyanti., dkk. Manajemen Gejala Pasca Gegar Otak pada Pasien Cedera Kepala Ringan di Aceh.
Jurnal Ilmu Keperawatan (2021) 9 : 1ISSN: 2338-6371, e-ISSN 2550-018X
Narhastuti., & Iswar, M. (2018). Anatomi Tubuh dan Sistem Persyarafan Manusia. Jawa Barat:
Goresan Pena Publishing

PPNI (2017). Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI (2018). Standart Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI (2018). Standart Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

You might also like