Professional Documents
Culture Documents
Kelompok 1 Nyeri Revisi
Kelompok 1 Nyeri Revisi
NYERI
Disusun Oleh :
Kelompok 1
Fitria Aslihatin 22010318120001
Yuliana Feni Indriyati 22010318120002
Widya Pasha Citra Sari 22010318120013
Dina Nurlita Dewi 22010318130028
Myristica Fragrans IQ 22010318130052
3.4 Plan
a. Terapi Non-Farmakologi :
Membatasi asupan protein 31,2 gr/hari
b. Terapi Farmakologi :
➢ Penghentian terapi amlodipin, ramipril, ketorolac,
➢ Lanjutkan penggunaan obat NaCl 0,9% dan Furosemid 40 mg/12
jam
➢ Telmisartan diberikan untuk mengatasi hipertensi stage 1 pada
pasien.
➢ Morfin dengan dosis 7,5 mg/4jam
➢ Ceftriaxone terdapat interaksi dan beresiko nefrotoksisitas -->
diganti metronidazole 400mg/8jam
➢ Asam folat diganti ferro sulfat --> 200mg 2-3 kali perhari
IV. Pembahasan
Praktikum Farmakoterapi Terpadu ini bertema “Nyeri” yang bertujuan
agar mahasiswa dapat mengimplementasikan pengetahuan dan keterampilan
dalam memecahkan kasus terkait pengobatan pada pasien apendiksitis yang
mengalami nyeri hebat setelah operasi. Praktikum dilaksanakan secara daring
pada Rabu, 22 September 2021 pukul 13.00-17.00 WIB dan dilanjutkan pada
Kamis, 23 September 2021 untuk melakukan diskusi hasil praktikum di
Microsoft Teams Farmakoterapi Terpadu.
4.1 Kondisi Pasien
Pasien masuk rumah sakit karena mengalami nyeri perut hebat
yang merupakan tanda klinis pada penyakit apendiksitis.5 Kemudian
dilakukan operasi untuk penyakit apendiksitis tersebut. Setelah
dilakukan operasi, pasien merasakan nyeri pada area bekas operasi
sehingga memerlukan bantuan untuk beraktivitas. Hal ini sesuai dengan
literature Muttaqqin dkk. (2011)6 yang menyatakan bahwa pada pasien
post operasi apendiktomi mengalami gejala khas berupa nyeri hebat
pada abdomen akibat proses pembedahan.
4.2 Alasan Pemilihan Obat
a. NaCl 0,9%
Pasien Tuan B mendapatkan terapi NaCl 0,9 % sebagai terapi
cairan setelah operasi yang berguna sebagai terapi pemeliharaan
untuk menyediakan cukup cairan dan elektrolit untuk tubuh pasien.7
b. ESA dan terapi besi
Pasien Tuan B mengalami anemia yang ditunjukkan dengan
kadar hemoglobin dibawah normal yaitu 7,7 g/dl. Menurut KDIGO
(20128anemia pada pasien penyakit ginjal kronik dengan usia ≥ 15
tahun terjadi jika kadar hemoglobin < 13,0 g/dl. Anemia merupakan
komplikasi umum dari CKD (Chronic Kidney Diseases), hal ini
terkait dengan disfungsi ventrikel kiri dan gagal jantung, di samping
penurunan kapasitas dan kualitas hidup.9 Pada pasien anemia yang
kadar hemoglobinnya <10 mg/dl direkomendasikan untuk
menggunakan terapi ESA (Erythropoiesis-Stimulating Agents).4 Oleh
karena itu, Tuan B dipilihkan terapi tersebut karena memiliki kadar
hemoglobin 7,7 mg/dl. Namun, syarat dari pemberian terapi ini yaitu
tidak ada defisiensi besi sehingga perlu dilakukan pengecekan status
besi pasien terlebih dahulu. Apabila status besi cukup maka boleh
dimulai terapi ESA, tetapi apabila kurang maka perlu diberikan
terapi besi sampai status besi cukup.10
Terapi besi ada dalam 2 fase yaitu fase koreksi dan fase
pemeliharaan. Terapi besi fase koreksi bertujuan untuk koreksi
anemia defisiensi absolut sampai status besi cukup. Dosis terapi besi
fase koreksi 100 mg 2x per minggu, dengan perkiraan dosis total
1000 mg (10× pemberian). Pemeriksaan status besi ulang dilakukan
satu minggu setelah dosis penuh selesai diberikan. Terapi besi fase
pemeliharaan bertujuan untuk menjaga kecukupan kebutuhan besi
untuk eritropoiesis selama pemberian terapi ESA dengan target
terapi ST: 20-50%, FS:100-500 ng/ml. Status besi diperiksa setiap
1-3 bulan. Bila ST >50%, tunda terapi besi, terapi ESA tetap
dilanjutkan ST 20-50%. Terapi besi fase pemeliharaan diberikan
dalam dosis 100 mg setiap 2 minggu.8,11,12
Terapi ESA yang diberikan pada pasien ini yaitu eritropoietin
alfa dengan dosis 1600 unit 3x/minggu secara subkutan. Pemberian
secara subkutan lebih dianjurkan karena masa paruh lebih panjang
dan dosis yang dibutuhkan lebih kecil.10
Target kenaikan Hb yaitu 1-2 g/dL/bulan pada koreksi anemia
fase inisiasi/awal, dengan menghindari kenaikan Hb yang cepat >
2g/dL. Target Hb yang dianjurkan pada umumnya 11,5 g/dL. Selama
fase koreksi untuk mencapai target Hb disarankan memeriksa
respons kenaikan Hb minimal setiap bulan, dan setelah itu pada fase
pemeliharaan pemeriksaan Hb dilakukan tetap setiap bulan pada
PGK-D, dan minimal setiap 3 bulan pada PGK-ND.8
c. Morfin
Pasien Tuan B mengalami nyeri hebat (pasien merasakan
nyeri pada area bekas operasi sehingga memerlukan bantuan untuk
beraktivitas) setelah operasi sehingga perlu pemberian terapi untuk
mengatasi nyeri tersebut. Tuan B dipilihkan terapi morfin karena
merupakan first choice untuk terapi nyeri berat dan digunakan
sebagai standar terapi analgesik opioid.13 Terapi ini diberikan selama
7 hari.14 Jikalau nyerinya sudah membaik maka penggunaan morfin
dihentikan dan diganti dengan penggunaan antinyeri golongan non
opioid seperti paracetamol. Jikalau nyerinya sudah hilang maka
terapi antinyeri bisa ditinggalkan.
d. Telmisartan
Pasien Tuan B mengalami hipertensi sehingga perlu
pemberian antihipertensi. Berhubung tuan B merupakan penderita
gagal ginjal stage 4 maka dipilihkan antihipertensi yang sesuai
dengan kodisi pasien tersebut. Telmisartan ini merupakan golongan
ARB yang merupakan first line therapy untuk pasien hipertensi
dengan CKD.15
e. Furosemid
Pasien Tuan B merupakan pasien gagal ginjal kronis yang
memiliki eGFR 18,9 mL/min/1.73 m2 . Menurut Sinha et al. (2019)16
terapi hipertensi yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronis
yang memiliki eGFR < 30 mL/min/1.73 m2 yaitu jenis loop diuretik
sehingga dipilihkan obat Furosemid untuk Tuan B.
Antihipertensi untuk pasien ini diberikan kombinasi
dikarenakan sebelumnya pasien sudah menggunakan kombinasi obat
sehingga bisa saja tekanan darah pasien waktu ke rumah sakit 150/80
mmHg dikarenakan pasien teratur dan taat dalam penggunaan obat.
Apabila pengobatan diganti ke monoterapi maka dikhawatirkan
tekanan darah pasien menjadi tidak terkontrol sehingga pengobatan
yang dipilihkan untuk Tuan B tetap kombinasi.
f. Metronidazole
Pasien Tuan B telah menjalani operasi apendiksitis sehingga
pelu antibiotik pasca bedah. Pada guideline apendiksitis diperlukan
antibiotic postoperative dengan spektrum luas dan metronidazole ini
merupakan antibiotik spektrum luas, tidak terdapat interaksi dan
tidak bersifat nefrotoksik.17,18
4.3 Monitoring
1) Kadar hemoglobin, reticulocyte, dan serum besi
Kadar hemoglobin, reticulocyte, dan serum besi dipantau untuk
mengetahui efektivitas penggunaan ferro sulfate5,8. Respon positif
terhadap terapi ferro sulfate (zat besi oral) ditandai dengan terjadinya
retikulositosis dalam beberapa hari dan peningkatan kadar Hb dalam 2
minggu. Jika pasien tidak mengalami retikulositosis, maka perlu
dilakukan evaluasi kembali. Kadar Hb akan kembali normal setelah 2
bulan, kemudian lanjutkan terapi zat besi sampai cadangan zat besi terisi
kembali serta serum ferritin menjadi normal (hingga 12 bulan)5.
2) Tekanan darah
Tekanan darah dipantau untuk mengetahui keberhasilan terapi
antihipertensi dengan tercapainya target terapi. Pada pasien hipertensi
dengan CKD, target tekanan darah yang harus dicapai, yaitu <140/90
mmHg. Evaluasi tekanan darah harus dilakukan 2-4 minggu setelah
terapi dimulai atau setelah adanya perubahan terapi9.
3) Serum Potassium/Kadar Kalium
Kadar kalium dipantau untuk memonitoring interaksi antara
Telmisartan dan Furosemide. Obat golongan ARB (Telmisartan) bekerja
dengan meningkatkan serum potassium, sedangkan obat golongan loop
diuretic (Furosemide) bekerja dengan menurunkan/mendeplesi serum
potassium. Pemberian ARB dengan diuretik dapat menyebabkan
peningkatan, penurunan, atau tidak ada perubahan pada serum potassium.
Oleh karena itu, serum potassium perlu dipantau secara rutin ketika ARB
digunakan bersama diuretik terutama pada pasien gagal jantung,
gangguan ginjal, atau geriatri10.
4) Serum elektrolit dan fungsi ginjal
Serum elekrolit dan fungsi ginjal merupakan parameter monitoring
dari penggunaan Furosemide dan Telmisartan. Furosemide merupakan
diuretik yang kuat, sehingga dapat menyebabkan deplesi cairan dan
elektrolit yang berlebih. Penggunaan Furosemide dapat menyebabkan
gangguan elektrolit termasuk hiponatremia, alkalosis hipokloremik,
hipokalemia, hipokalsemia, dan hipomagnesemia yang dapat
menyebabkan aritmia jantung yang serius. Oleh karena itu, pemantauan
serum elektrolit secara berkala perlu dilakukan untuk menilai toleransi
pasien terhadap diuretik. Selain itu, pada pasien dengan gagal ginjal
lanjut, pemantauan status cairan dan fungsi ginjal diperlukan untuk
mencegah timbulnya oliguria, BUN, peningkatan kreatinin, dan
azotemia11.
Terapi ARB (Telmisartan) dapat meningkatkan risiko terjadinya
hipotensi, gangguan ginjal, dan hiperkalemia. Oleh karena itu,
monitoring fungsi ginjal dan serum elektrolit harus dipantau secara ketat
selama penggunaan terapi ARB12.
5) Intake dan output cairan
Furosemide merupakan diuretik kuat yang dapat menyebabkan
diuresis berlebih. Hal tersebut dapat menyebabkan pasien mengalami
dehidrasi, sehingga perlu dimonitoring intake dan output cairan
pasien8,11.
6) Nyeri, pernapasan, dan status mental
Pemantauan nyeri dilakukan untuk menilai efektivitas penggunaan
morfin. Parameter lainnya yang perlu dipantau adalah pernapasan dan
status mental13. Hal tersebut dilakukan sebab morfin dapat menyebabkan
depresi pada CNS dan pernapasan14.
4.3 KIE
Pasien menerima lima macam obat, yaitu Ferro sulfate, Furosemide,
Telmisartan, Morfin, dan Metronidazole. Obat pertama, yaitu Ferro
sulfate digunakan untuk mengatasi anemia pasien. Obat ini diminum 3
kali sehari (setiap 8 jam) 1 tablet sesudah makan. Pasien mungkin akan
merasa susah buang air besar, sehingga disarankan untuk meningkatkan
makanan yang tinggi serat seperti sayuran dan buah-buahan serta minum
yang cukup. Obat yang kedua adalah Furosemide yang digunakan untuk
mengatasi tekanan darah tinggi pasien. Furosemide diminum 3 kali
sehari (setiap 8 jam) 1 tablet sesudah makan. Setelah meminum obat ini,
pasien mungkin akan merasa pusing, mengantuk, pandangan kabur, dan
sensitif terhadap cahaya. Obat yang ketiga, yaitu Telmisartan yang
berguna untuk mengatasi tekanan darah tinggi pasien. Obat ini diminum
1 kali sehari 1 tablet sesudah makan. Pasien mungkin akan merasa
mengantuk dan pusing setelah meminum obat ini. Obat keempat adalah
Morfin yang berfungsi untuk mengatasi nyeri yang dialami pasien,
morfin diminum 6 kali sehari (setiap 4 jam) 1 tablet. Setelah meminum
obat ini, pasien mungkin akan merasa gatal-gatal, mengantuk, mual
muntah, dan pandangan kabur. Obat terakhir adalah metronidazole yang
digunakan untuk mencegah infeksi pada bekas operasi. Metronidazole
diminum 3 kali sehari (setiap 8 jam) 1 tablet. Warna urin pasien mungkin
akan berubah menjadi cokelat, hitam, atau gelap setelah meminum obat
ini.
Semua obat tersebut disimpan pada suhu ruang dan terhindar dari
sinar matahari. Pasien disarankan untuk membatasi konsumsi protein
agar tidak memperburuk kondisi gagal ginjal pasien.
DAFTAR PUSTAKA