You are on page 1of 21

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI TERPADU

NYERI

Disusun Oleh :
Kelompok 1
Fitria Aslihatin 22010318120001
Yuliana Feni Indriyati 22010318120002
Widya Pasha Citra Sari 22010318120013
Dina Nurlita Dewi 22010318130028
Myristica Fragrans IQ 22010318130052

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2021
NYERI
I. Dasar Teori
1.1 Definisi
Nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak
menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Nyeri adalah suatu
pengalaman sensorik yang multidimensional. Fenomena ini dapat berbeda
dalam intensitas (ringan,sedang, berat), kualitas (tumpul, seperti terbakar,
tajam), durasi (transien, intermiten,persisten), dan penyebaran (superfisial
atau dalam, terlokalisir atau difus).1
1.2 Etiologi
Nyeri dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu trauma (mekanik,
thermis, dan elektrik), neoplasma (jinak atau ganas), peradangan (inflamasi),
gangguan sirkulasi darah dan kelainan pembuluh darah, serta trauma
psikologis.2
1.3 Patofisiologi
Terdapat 5 tahapan terjadinya nyeri yaitu sebagai berikut:3
1. Nosisepsi
Sistem saraf tepi meliputi saraf sensorik primer yang khusus
mendeteksi kerusakan jaringan dan dapat merasakan sensasi sentuhan,
panas, dingin, nyeri, dan tekanan. Reseptor yang menyalurkan sensasi
nyeri disebut nosiseptor. Reseptor nyeri atau nosiseptor ini dapat
diesksitasi oleh stimulus mekanis, suhu, dan kimia. Proses fisiologi yang
berhubungan dengan persepsi nyeri digambarkan sebagai nosisepsi.
Empat proses terlibat dalam nosisepsi yaitu transduksi, transmisi,
persepsi, modulasi.
2. Tranduksi
Selama fase transduksi, stimulus berbahaya seperti adanya cidera
pada jaringan akan memicu pelepasan mediator biokimia seperti
prostagladin, bradikinin, serotonin, histamin, zat P yang mensensitisasi
nosiseptor. Stimulasi menyakitkan atau berbahaya juga menyebabkan
pergerakan ion-ion menembus membran sel, yang membangkitkan
nosiseptor. Obat nyeri dapat bekerja selama fase ini dengan menghambat
produksi prostagladin atau dengan menurunkan pergerakan ion-ion yang
menembus membran sel misalnya, anastesi lokal.
3. Transmisi
Proses nosisepsi kedua yaitu transmisi nyeri yang meliputi tiga
segmen. Selama segmen pertama, implus nyeri berjalan dari serabut
saraf tepi ke medula spinalis. Zat P bertindak sebagai sebuah
neurotrasmiter, yang meningkatkan pergerakan impuls menyeberangi
sinaps saraf dari neuron aferen primer ke neuron ordo kedua di kornu
dorsalis medula spinalis. Dua tipe serabut nosiseptor menyebabkan
transmisi ke kornu dorsalis medula spinalis, kemudian serabut C
menstimulasikan nyeri tumpul yang berkepanjangan dan serabut A-delta
yang menstramisikian nyeri tajam dan lokal. Segmen ke dua adalah
trasmisi dari medulla spinalis dan asendens melalui traktus
spinotalamikus ke batang otak dan talamus. Segmen ke tiga melibatkan
transmisi sinyal antara talamus ke korteks sensori somatik tempat
terjadinya persepsi nyeri.
4. Modulasi
Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri
(pain related neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis
medula spinalis, dan mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian
reseptor opioid seperti mu, kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu
dorsalis. Sistem nosiseptif juga mempunyai jalur desending berasal dari
korteks frontalis, hipotalamus, dan area otak lainnya ke otak tengah
(midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya menuju medula spinalis.
Hasil dari proses inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau bahkan
penghambatan (block) sinyal nosiseptif di kornu dorsalis.
5. Persepsi
Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi
merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi,
aspek psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Persepsi nyeri
terjadi dalam struktur kortikal, sehingga dapat dilakukan strategi
kognitif-perilaku yang berbeda untuk mengurangi komponen sensorik
dan afektif nyeri misalnya, dengan intervensi nonfarmakologi seperti
distraksi, imajinasi terbimbing, dan musik yang dapat mengalihkan
perhatian pasien terhadap nyeri.
1.4 Gejala
Gejala nyeri bisa bersifat tajam atau tumpul, beberapa gejala nyeri
tersebut meliputi:4
- Pasien merasakan sensasi seperti terbakar, sakit di sebagian atau di
seluruh tubuh
- Kesemutan
- Bengkak
- Kaku
- Jika mengalami nyeri tajam akan terasa seperti ditusuk jarum
- Intensitas dan lokasi nyeri kadang berubah
- Durasi nyeri berbanding lurus dengan stimulus noksius, namun tidak pada
nyeri kronis
1.5 Pemeriksaan
Nyeri bersifat subjektif, oleh karena itu pemeriksaan yang dapat
dilakukan yaitu mealui gambaran nyeri yang diberikan pasien. Metode yang
dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran yang tepat mengenai nyeri
yang dialami pasien yaitu dengan menggunakan penilaian PQRST
(Provoking, Quality, Region, Severity, Time)5.
Tabel 1. Penjelasan metode penilaian PQRST6.
Penilain Penjelasan
Provoking Faktor yang menyebabkan rasa sakit
Quality Rasa nyeri yang dialami pasien
Region Lokasi nyeri yang dirasakan pasien
Severity Intensitas nyeri yang dirasakan pasien
Time Durasi nyeri yang telah dialami pasien

Penilaian keparahan nyeri yang dirasakan pasien dengan menggunakan


skala nyeri, seperti Visual Analogue Scal (VAS), Numeric Rating Scale,
Verbal Rating Scale (VRS), Wong Baker Faces, CRIES Scale, dan Behavior
Scale.
Gambar 1. Skala penilaian nyeri
1.6 Algoritma

Gambar 2. Algortirma terapi nyeri akut


Pengobatan nyeri yang dialami pasien dapat dimulai dengan
mengidentifikasi sumber nyeri dan mengobati penyebabnya jika
memungkinkan. Apabila pasien sudah tidak merasakan nyeri, maka dapat
dilakukan monitoring dari pengobatan yang diberikan. Namun, apabila
pasien masih merasakan nyeri, maka dapat mulai diberikan antinyeri
berdasarkan tingkat keparahan nyeri yang dirasakan pasien. Rasa nyeri yang
dialami pasien dapat dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu nyeri ringan, nyeri
sedang, dan nyeri berat. Nyeri ringan dapat diberi antinyeri acetaminophen
dan/atau OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid). Penggunaan obat dapat
dititrasi hingga dosis maksimum dan dapat diberikan analgesik adjuvant.
Setelah penggunaan obat, dilakukan monitoring efektivitas antinyeri yang
digunakan. Jika nyeri yang dirasakan berkurang, maka dapat dilakukan
monitoring timbulnya efek samping. Namun, jika nyeri yang dirasakan tetap
sama atau semakin parah maka dapat diberikan regimen terapi nyeri sedang5.
Nyeri sedang dapat diatasi dengan memberikan kombinasi opioid dan
acetaminophen atau OAINS serta dapat diberikan analgesik adjuvant. Jika
nyeri yang dirasakan berkurang, maka dapat dilakukan monitoring timbulnya
efek samping. Namun, jika nyeri yang dirasakan tetap sama atau semakin
parah maka dapat diberikan regimen terapi nyeri berat7.
Nyeri berat dapat diatasi dengan memberikan analgesik opioid serta
dapat diberikan analgesik adjuvant. Jika nyeri yang dirasakan berkurang,
maka dapat dilakukan monitoring timbulnya efek samping. Namun, jika
nyeri yang dirasakan tetap sama atau semakin parah maka dapat
menggunakan alat penilaian nyeri dan melakukan titrasi dosis hingga nyeri
berkuran7.
1.7 Monitoring
Monitoring nyeri akut yang dapat dilakukan setelah pasien mendapatkan
obat antinyeri antara lain5:
a. Melihat timbulnya efek samping dari antinyeri
b. Intensitas nyeri yang masih dialami pasien
c. Konsumsi cairan dan serat pada pengguna analgesik opioid
II. KASUS
Tn B (39 tahun, 60 kg, 164 cm) masuk ke rumah sakit karena nyeri perut yang
hebat, dari pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter, Tn B didiagnosa apendiksitis
kemudian dilakukan program operasi, setelah dilakukan operasi pasien menjalani
perawatan di bangsal. Dari hasil wawancara kepada pasien, pasien masih merasakan
nyeri pada area bekas operasi sehingga memerlukan bantuan untuk beraktivitas.
Pasien merupakan penderita gagal ginjal yang masih mengkonsumsi obat untuk CKD
nya. Tidak ada riwayat alergi dan dulu merupakan perokok aktif Obat yang
dibawa pasien dari rumah : Folic Acid 1 mg/24 jam , Bicnat 500 mg/8 jam,
Amlodipin 10 mg/24 jam, furosemide 40 mg/24 jam, Ramipril 5 mg/24 jam.
Hasil Pemeriksaan Fisik
Suhu : 36,5 derajat celcius
Nadi : 71 x/menit
TD : 150/80 mmHg
RR : 30 x/menit
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Ureum darah : 89 mg/dL
Kreatinin darah : 3,8 mg/dL
Kalsium : 8,3 mg/dL
Natrium : 143 mmol/L
Kalium : 3,5 mmol/L
Total Protein : 6,0 g/dL
Albumin : 3,3 g/dL
Globulin : 2,7 g/dL
Hemoglobin :7,7 g/dL
Leukosit : 11.560 /mm2
LED 1 : 83 mm
Eritrosit : 2.710.000 /mm3
Diagnosa
Apendiksitis Post OP dan CKD
Terapi yang diberikan
Nacl 0,9% 28 tetes/menit
Folic acid 1 mg/24 jam
Bicnat 500 mg
Amlodipin 10 mg/24 jam
Furosemid 40 mg/24 jam
Ramipril 5 mg/24 jam
Lansoprazole 30 mg/24 jam
Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Ketorolac 30 mg/8 jam
III. SOAP
3.1 Subjektif
1) Keluhan dan Gejala : Rasa nyeri perut hebat, rasa nyeri di area
bekas operasi sehingga perlu bantuan untuk beraktivitas.
2) Riwayat Penyakit Pasien : Gagal ginja (CKD)
3) Riwayat Alergi : Tidak ada
4) Riwayat Kebiasaan Pasien : Mantan perokok aktif.
3.2 Objektif
1) Hasil Pemeriksaan Fisik
a. Usia : 39 tahun
b. Berat badan : 60 Kg
c. Tinggi badan : 164 Cm
d. Suhu tubuh : 36,50C
e. TD : 150/80 mmHg
f. HR : 71x/ menit
g. RR : 30 x/menit
2) Hasil Pemeriksaan Laboratorium
a. Ureum darah : 89 mg/dL
b. Kreatinin darah : 3,8 mg/dL
c. Kalsium : 8,3 mg/dL
d. Natrium : 143 mmol/L
e. Kalium : 3,5 mmol/L
f. Total Protein : 6,0 g/dL
g. Albumin : 3,3 g/dL
h. Globulin : 2,7 g/dL
i. Hemoglobin :7,7 g/dL
j. Leukosit : 11.560 /mm2
k. LED 1 : 83 mm
l. Eritrosit : 2.710.000 /mm3
3) Diagnosa
Apendiksitis Post OP dan CKD
4) Terapi yang diberikan
a) Nacl 0,9% 28 tetes/menit
b) Folic acid 1 mg/24 jam
c) Bicnat 500 mg
d) Amlodipin 10 mg/24 jam
e) Furosemid 40 mg/24 jam
f) Ramipril 5 mg/24 jam
g) Lansoprazole 30 mg/24 jam
h) Ceftriaxone 1 gr/12 jam
i) Ketorolac 30 mg/8 jam
3.3 Assesment
Parameter Hasil Normal Interpret Literatur
Pemeriksaan asi
Suhu tubuh 36,50C 36,6 - 37 0C Normal Medscape,
2021
HR 71x/ menit 60 - 100 x/ menit Normal Medscape,
2021
RR 30 x/menit 16 -20 x/ menit Tinggi Medscape,
2021
TD 150/80 <120/80 mmHg HT st.1 Dipiro, 2015
Ureum darah 89 mg/dL 10 - 20 mg/dL Tinggi Medscape,
2021
Kreatinin 3,8 mg/dL 0,6 - 1,2 mg/dL Tinggi Medscape,
darah 2021
Kalsium 8,3 mg/dL 8- 10 mg/dL Normal Medscape,
2021
Natrium 143 mmol/L 135 - 146 mmol/L Normal Medscape,
2021
Kalium 3,5 mmol/L 3,5 - 5 mEq/L Normal Medscape,
2021
Total protein 6,0 g/dL 6 ,4- 8,3 g/dL Rendah Medscape,
2021
Albumin 3,3 g/dL 3,5 - 5,5 g/dL Rendah Medscape,
2021
Globulin 2,7 g/dL 2 - 3,5 g/dL Normal Medscape,
2021
Hemoglobin 7,7 g/dL 13,8 - 17,2 /dL Rendah Medscape,
2021
Leukosit 11.560 /mm2 4500 - 11000 /mm3 Sedikit Medscape,
tinggi 2021
LED 1 jam 83 mm < 15 mm/jam Tinggi Medscape,
2021
Eritrosit 2.710.000 4,7 - 6,1 x 1012/L Rendah Medscape,
/mm3 2021
BMI 22,308 Kg/m 18,5 - 25,0 Kg/ m Normal Medscape,
2021

➢ Nyeri perut menunjukkan gejala apendisitis


➢ Pasien mengalami CKD stage 4 dari hasil perhitungan
➢ Pasien mengalami Ht St I
➢ Protein, albumin, hemoglobin, eritrosit tergolong rendah
➢ Leukosit dan LED tergolong tinggi hal tersebut menunjukkan adanya
gejala proses infeksi atau radang akut pada luka post OP.
Analisis DRP
1. Adverse drug reaction : Ketorolac berfungsi untuk mengatasi nyeri
namun kontraindikasi dengan CKD serta dapat mengiritasi saluran cerna
(DIH).
2. Terapi Obat yang tidak tepat indikasi : Bicnat tidak dipakai karena dari
hasil pemeriksaan lab pasien tidak mengalami asidosis, lansoprazole
tidak dipakai karena ketorolac tidak dipakai juga sehingga tidak terjadi
tukak lambung, Ceftriaxone
3. Terapi Obat yang tidak tepat obat : Amlodipin, Ramipril, Ketorolac
4. Terapi Obat yang tidak tepat dosis : Nacl 0,9%, Furosemid, dan Folic
acid

3.4 Plan
a. Terapi Non-Farmakologi :
Membatasi asupan protein 31,2 gr/hari
b. Terapi Farmakologi :
➢ Penghentian terapi amlodipin, ramipril, ketorolac,
➢ Lanjutkan penggunaan obat NaCl 0,9% dan Furosemid 40 mg/12
jam
➢ Telmisartan diberikan untuk mengatasi hipertensi stage 1 pada
pasien.
➢ Morfin dengan dosis 7,5 mg/4jam
➢ Ceftriaxone terdapat interaksi dan beresiko nefrotoksisitas -->
diganti metronidazole 400mg/8jam
➢ Asam folat diganti ferro sulfat --> 200mg 2-3 kali perhari
IV. Pembahasan
Praktikum Farmakoterapi Terpadu ini bertema “Nyeri” yang bertujuan
agar mahasiswa dapat mengimplementasikan pengetahuan dan keterampilan
dalam memecahkan kasus terkait pengobatan pada pasien apendiksitis yang
mengalami nyeri hebat setelah operasi. Praktikum dilaksanakan secara daring
pada Rabu, 22 September 2021 pukul 13.00-17.00 WIB dan dilanjutkan pada
Kamis, 23 September 2021 untuk melakukan diskusi hasil praktikum di
Microsoft Teams Farmakoterapi Terpadu.
4.1 Kondisi Pasien
Pasien masuk rumah sakit karena mengalami nyeri perut hebat
yang merupakan tanda klinis pada penyakit apendiksitis.5 Kemudian
dilakukan operasi untuk penyakit apendiksitis tersebut. Setelah
dilakukan operasi, pasien merasakan nyeri pada area bekas operasi
sehingga memerlukan bantuan untuk beraktivitas. Hal ini sesuai dengan
literature Muttaqqin dkk. (2011)6 yang menyatakan bahwa pada pasien
post operasi apendiktomi mengalami gejala khas berupa nyeri hebat
pada abdomen akibat proses pembedahan.
4.2 Alasan Pemilihan Obat
a. NaCl 0,9%
Pasien Tuan B mendapatkan terapi NaCl 0,9 % sebagai terapi
cairan setelah operasi yang berguna sebagai terapi pemeliharaan
untuk menyediakan cukup cairan dan elektrolit untuk tubuh pasien.7
b. ESA dan terapi besi
Pasien Tuan B mengalami anemia yang ditunjukkan dengan
kadar hemoglobin dibawah normal yaitu 7,7 g/dl. Menurut KDIGO
(20128anemia pada pasien penyakit ginjal kronik dengan usia ≥ 15
tahun terjadi jika kadar hemoglobin < 13,0 g/dl. Anemia merupakan
komplikasi umum dari CKD (Chronic Kidney Diseases), hal ini
terkait dengan disfungsi ventrikel kiri dan gagal jantung, di samping
penurunan kapasitas dan kualitas hidup.9 Pada pasien anemia yang
kadar hemoglobinnya <10 mg/dl direkomendasikan untuk
menggunakan terapi ESA (Erythropoiesis-Stimulating Agents).4 Oleh
karena itu, Tuan B dipilihkan terapi tersebut karena memiliki kadar
hemoglobin 7,7 mg/dl. Namun, syarat dari pemberian terapi ini yaitu
tidak ada defisiensi besi sehingga perlu dilakukan pengecekan status
besi pasien terlebih dahulu. Apabila status besi cukup maka boleh
dimulai terapi ESA, tetapi apabila kurang maka perlu diberikan
terapi besi sampai status besi cukup.10
Terapi besi ada dalam 2 fase yaitu fase koreksi dan fase
pemeliharaan. Terapi besi fase koreksi bertujuan untuk koreksi
anemia defisiensi absolut sampai status besi cukup. Dosis terapi besi
fase koreksi 100 mg 2x per minggu, dengan perkiraan dosis total
1000 mg (10× pemberian). Pemeriksaan status besi ulang dilakukan
satu minggu setelah dosis penuh selesai diberikan. Terapi besi fase
pemeliharaan bertujuan untuk menjaga kecukupan kebutuhan besi
untuk eritropoiesis selama pemberian terapi ESA dengan target
terapi ST: 20-50%, FS:100-500 ng/ml. Status besi diperiksa setiap
1-3 bulan. Bila ST >50%, tunda terapi besi, terapi ESA tetap
dilanjutkan ST 20-50%. Terapi besi fase pemeliharaan diberikan
dalam dosis 100 mg setiap 2 minggu.8,11,12
Terapi ESA yang diberikan pada pasien ini yaitu eritropoietin
alfa dengan dosis 1600 unit 3x/minggu secara subkutan. Pemberian
secara subkutan lebih dianjurkan karena masa paruh lebih panjang
dan dosis yang dibutuhkan lebih kecil.10
Target kenaikan Hb yaitu 1-2 g/dL/bulan pada koreksi anemia
fase inisiasi/awal, dengan menghindari kenaikan Hb yang cepat >
2g/dL. Target Hb yang dianjurkan pada umumnya 11,5 g/dL. Selama
fase koreksi untuk mencapai target Hb disarankan memeriksa
respons kenaikan Hb minimal setiap bulan, dan setelah itu pada fase
pemeliharaan pemeriksaan Hb dilakukan tetap setiap bulan pada
PGK-D, dan minimal setiap 3 bulan pada PGK-ND.8
c. Morfin
Pasien Tuan B mengalami nyeri hebat (pasien merasakan
nyeri pada area bekas operasi sehingga memerlukan bantuan untuk
beraktivitas) setelah operasi sehingga perlu pemberian terapi untuk
mengatasi nyeri tersebut. Tuan B dipilihkan terapi morfin karena
merupakan first choice untuk terapi nyeri berat dan digunakan
sebagai standar terapi analgesik opioid.13 Terapi ini diberikan selama
7 hari.14 Jikalau nyerinya sudah membaik maka penggunaan morfin
dihentikan dan diganti dengan penggunaan antinyeri golongan non
opioid seperti paracetamol. Jikalau nyerinya sudah hilang maka
terapi antinyeri bisa ditinggalkan.
d. Telmisartan
Pasien Tuan B mengalami hipertensi sehingga perlu
pemberian antihipertensi. Berhubung tuan B merupakan penderita
gagal ginjal stage 4 maka dipilihkan antihipertensi yang sesuai
dengan kodisi pasien tersebut. Telmisartan ini merupakan golongan
ARB yang merupakan first line therapy untuk pasien hipertensi
dengan CKD.15
e. Furosemid
Pasien Tuan B merupakan pasien gagal ginjal kronis yang
memiliki eGFR 18,9 mL/min/1.73 m2 . Menurut Sinha et al. (2019)16
terapi hipertensi yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronis
yang memiliki eGFR < 30 mL/min/1.73 m2 yaitu jenis loop diuretik
sehingga dipilihkan obat Furosemid untuk Tuan B.
Antihipertensi untuk pasien ini diberikan kombinasi
dikarenakan sebelumnya pasien sudah menggunakan kombinasi obat
sehingga bisa saja tekanan darah pasien waktu ke rumah sakit 150/80
mmHg dikarenakan pasien teratur dan taat dalam penggunaan obat.
Apabila pengobatan diganti ke monoterapi maka dikhawatirkan
tekanan darah pasien menjadi tidak terkontrol sehingga pengobatan
yang dipilihkan untuk Tuan B tetap kombinasi.
f. Metronidazole
Pasien Tuan B telah menjalani operasi apendiksitis sehingga
pelu antibiotik pasca bedah. Pada guideline apendiksitis diperlukan
antibiotic postoperative dengan spektrum luas dan metronidazole ini
merupakan antibiotik spektrum luas, tidak terdapat interaksi dan
tidak bersifat nefrotoksik.17,18
4.3 Monitoring
1) Kadar hemoglobin, reticulocyte, dan serum besi
Kadar hemoglobin, reticulocyte, dan serum besi dipantau untuk
mengetahui efektivitas penggunaan ferro sulfate5,8. Respon positif
terhadap terapi ferro sulfate (zat besi oral) ditandai dengan terjadinya
retikulositosis dalam beberapa hari dan peningkatan kadar Hb dalam 2
minggu. Jika pasien tidak mengalami retikulositosis, maka perlu
dilakukan evaluasi kembali. Kadar Hb akan kembali normal setelah 2
bulan, kemudian lanjutkan terapi zat besi sampai cadangan zat besi terisi
kembali serta serum ferritin menjadi normal (hingga 12 bulan)5.
2) Tekanan darah
Tekanan darah dipantau untuk mengetahui keberhasilan terapi
antihipertensi dengan tercapainya target terapi. Pada pasien hipertensi
dengan CKD, target tekanan darah yang harus dicapai, yaitu <140/90
mmHg. Evaluasi tekanan darah harus dilakukan 2-4 minggu setelah
terapi dimulai atau setelah adanya perubahan terapi9.
3) Serum Potassium/Kadar Kalium
Kadar kalium dipantau untuk memonitoring interaksi antara
Telmisartan dan Furosemide. Obat golongan ARB (Telmisartan) bekerja
dengan meningkatkan serum potassium, sedangkan obat golongan loop
diuretic (Furosemide) bekerja dengan menurunkan/mendeplesi serum
potassium. Pemberian ARB dengan diuretik dapat menyebabkan
peningkatan, penurunan, atau tidak ada perubahan pada serum potassium.
Oleh karena itu, serum potassium perlu dipantau secara rutin ketika ARB
digunakan bersama diuretik terutama pada pasien gagal jantung,
gangguan ginjal, atau geriatri10.
4) Serum elektrolit dan fungsi ginjal
Serum elekrolit dan fungsi ginjal merupakan parameter monitoring
dari penggunaan Furosemide dan Telmisartan. Furosemide merupakan
diuretik yang kuat, sehingga dapat menyebabkan deplesi cairan dan
elektrolit yang berlebih. Penggunaan Furosemide dapat menyebabkan
gangguan elektrolit termasuk hiponatremia, alkalosis hipokloremik,
hipokalemia, hipokalsemia, dan hipomagnesemia yang dapat
menyebabkan aritmia jantung yang serius. Oleh karena itu, pemantauan
serum elektrolit secara berkala perlu dilakukan untuk menilai toleransi
pasien terhadap diuretik. Selain itu, pada pasien dengan gagal ginjal
lanjut, pemantauan status cairan dan fungsi ginjal diperlukan untuk
mencegah timbulnya oliguria, BUN, peningkatan kreatinin, dan
azotemia11.
Terapi ARB (Telmisartan) dapat meningkatkan risiko terjadinya
hipotensi, gangguan ginjal, dan hiperkalemia. Oleh karena itu,
monitoring fungsi ginjal dan serum elektrolit harus dipantau secara ketat
selama penggunaan terapi ARB12.
5) Intake dan output cairan
Furosemide merupakan diuretik kuat yang dapat menyebabkan
diuresis berlebih. Hal tersebut dapat menyebabkan pasien mengalami
dehidrasi, sehingga perlu dimonitoring intake dan output cairan
pasien8,11.
6) Nyeri, pernapasan, dan status mental
Pemantauan nyeri dilakukan untuk menilai efektivitas penggunaan
morfin. Parameter lainnya yang perlu dipantau adalah pernapasan dan
status mental13. Hal tersebut dilakukan sebab morfin dapat menyebabkan
depresi pada CNS dan pernapasan14.

4.3 KIE
Pasien menerima lima macam obat, yaitu Ferro sulfate, Furosemide,
Telmisartan, Morfin, dan Metronidazole. Obat pertama, yaitu Ferro
sulfate digunakan untuk mengatasi anemia pasien. Obat ini diminum 3
kali sehari (setiap 8 jam) 1 tablet sesudah makan. Pasien mungkin akan
merasa susah buang air besar, sehingga disarankan untuk meningkatkan
makanan yang tinggi serat seperti sayuran dan buah-buahan serta minum
yang cukup. Obat yang kedua adalah Furosemide yang digunakan untuk
mengatasi tekanan darah tinggi pasien. Furosemide diminum 3 kali
sehari (setiap 8 jam) 1 tablet sesudah makan. Setelah meminum obat ini,
pasien mungkin akan merasa pusing, mengantuk, pandangan kabur, dan
sensitif terhadap cahaya. Obat yang ketiga, yaitu Telmisartan yang
berguna untuk mengatasi tekanan darah tinggi pasien. Obat ini diminum
1 kali sehari 1 tablet sesudah makan. Pasien mungkin akan merasa
mengantuk dan pusing setelah meminum obat ini. Obat keempat adalah
Morfin yang berfungsi untuk mengatasi nyeri yang dialami pasien,
morfin diminum 6 kali sehari (setiap 4 jam) 1 tablet. Setelah meminum
obat ini, pasien mungkin akan merasa gatal-gatal, mengantuk, mual
muntah, dan pandangan kabur. Obat terakhir adalah metronidazole yang
digunakan untuk mencegah infeksi pada bekas operasi. Metronidazole
diminum 3 kali sehari (setiap 8 jam) 1 tablet. Warna urin pasien mungkin
akan berubah menjadi cokelat, hitam, atau gelap setelah meminum obat
ini.
Semua obat tersebut disimpan pada suhu ruang dan terhindar dari
sinar matahari. Pasien disarankan untuk membatasi konsumsi protein
agar tidak memperburuk kondisi gagal ginjal pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. International Association for the Study of Pain (IASP). (2021). Pain.


https://www.iasp-pain.org/Taxonomy
2. Handayani, S. (2015). Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Intensitas Nyeri
Pasien post Sectio Caesarea di RSUD Moewardi. STIKES Kesuma Husada
Surakarta.
3. Silbernagl, L. (2000). Pain in Color Atlas of Pathophysiology. Thieme New
York.
4. Abraham SE, S. C. (2001). Chronic pain management. In: Barash PG, Cullen BF,
Stoleting RK. Lippincott Williams and Wilkins.
5. Wells, B. G., DiPiro, J. T., Schwinghammer, T. L., & DiPiro, C. V. (2017).
Pharmacotherapy Handbook. McGraw-Hill Education.
6. Wijayanti E. Teaching Pain Management to Student Nurses: A Literature Review.
Nurse Media J Nurs. 2014;4(1):715–32.
7. DiPiro JT, Wells BG, Schwinghammer TL, DiPiro CV. Pharmacotherapy
Handbook. 10th ed. USA: McGraw-Hill; 2017
8. Aberg JA, Lacy C., Amstrong L., Goldman M., Lance LL. Drug Information
Handbook. 17th ed. USA: Lexi-Comp for the American Pharmacists Association;
2009.
9. James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman WC, Dennison-Himmelfarb C, Handler
J, et al. 2014 evidence-based guideline for the management of high blood
pressure in adults: report from the panel members appointed to the Eighth
Joint National Committee (JNC 8). JAMA. 2014 Feb;311(5):507–20.
10. Baxter K. Stockley’s Drug Interactions. 9th ed. UK: Pharmaceutical Press; 2010.
11. Huxel C, Raja A, Ollivierre-Lawrence MD. Loop Diuretics [Internet]. StatPearls
Publishing. 2021 [cited 2021 Sep 26]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK546656/#__NBK546656_dtls__
12. Kumar S, Ram CVS. Angiotensin receptor blockers: current status and future
prospects. Indian Heart J. 2007;59(6):443–53.
13. Murphy PB, Bechmann S, Barrett MJ. Morphine [Internet]. StatPearls Publishing.
2021 [cited 2021 Sep 26]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526115/
14. Gomtsian L, Bannister K, Eyde N, Robles D, Dickenson AH, Porreca F, et al.
Morphine effects within the rodent anterior cingulate cortex and rostral
ventromedial medulla reveal separable modulation of affective and sensory
qualities of acute or chronic pain. Pain. 2018 Dec;159(12):2512–21.

You might also like