You are on page 1of 4

RESUME

PERILAKU DALAM PERANCANGAN


TEORI ARSITEKTUR II

NAMA : AFLAHA MARISA


NPM : 1915012009

S1
ARSITEKTUR

DOSEN PENGAMPU :
AGUNG CAHYO N., S.T., M.T.
DINI HARDILLA, S.T., M.T.

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2020
Perilaku merancang dalam arsitektur merupakan proses rancangan yang
meliputi pemahaman tentang interaksi antara lingkungan dan perilaku manusia.
Seorang arsitek harus memikirkan kebutuhan manusia dan lingkungan yang akan
melayani dengan sebaik-baiknya tentang kebutuhan tersebut. Selain itu, arsitek juga
harus peka terhadap isu-isu yang sedang terjadi di lingkungan. Isu tersebut dapat
berupa isu iklim (banjir, fragmentasi alam, hilangnya habitat untuk hewani, krisis
pangan), pandemic covid-19 yang sedang maraknya terjadi, dan kesenjangan
sosisal atau kemiskinan. Arsitek harus berpikir agar desainnya tidak akan
memperburuk atau bahkan akan memperbaiki situasi yang sudah ada. Estetika juga
penting dalam pemahaman arsitek terhadap perilaku merancang. Estetika tidak
boleh melebihi batas karena estetika juga ternyata dapat membuat penghuni atau
manusia merasa tidak nyaman, seperti bangunan Guggenheim Museum Bilbao
karya Frank Gehry. Kenyamanan itu sendiri sebenernya dapat berasal dari
pencahayaan, udara, iklim, suara, bahkan kebocoran yang terjadi pada bangunan.
Masalah kebocoran pada bangunan yang lebih sering kita temui. Hal tersebut,
sebenernya merupakan kesalahan awal pada rancangan dari bangunan tersebut.
Selain itu, sosial dan moral sangat diperlukan dalam merancang agar tidak
terjadi kesenjangan sosial, gentrifikasi, spek-down, dan tetap memberikan
kenyamanan kepada lingkungan. Gentrifikasi merupakan proses kegiatan perkotaan
yang mengakibatkan perubahan ekonomi, sosial, dan budaya pada daerah tersebut.
Hal ini bisa memperbaiki lingkungan yang kurang baik namun bisa juga merusak
lingkungan tersebut dan mengakibatkan penduduknya tidak dapat tinggal di daerah
tersebut. Contohnya yang terjadi pada rumah tua yang berada di tengah tower
Apartemen Thamrin Executive Residence, Jalan Kebon Kacang, Kampung Melati,
Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Manusia saja bisa terganggu dengan pembangunan-pembangunan yang tidak
berperilaku. Flora dan fauna memiliki habitatnya di alam, namun habitat mereka
terkadangan terganggu oleh pembangunan. Contohnya, pulau komodo yang berada
di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur akan dibangun jurrasic park. Hal tersebut
menimbulkan pro dan kontra masyarakat. Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut
akan mengganggu habitat komodo bahkan bisa membunuh komodo-komodo yang
berada di sana. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa semuanya sudah
dipikirkan oleh arsitek melalui perilaku lingkungan tersebut. Akan tetapi,
sebenarnya lebih baik membangun tanpa menimbulkan permasalahan yang
seharusnya tidak akan pernah ada.
Perilaku merancang memiliki beberapa poin-poin penting. Pertama, menurut
Thomas Fisher seorang professor di Minnesota School of Architecture, yaitu the
ethics of architecture. Namun, di sisi lain beliau beranggapan “It’s easier to talk
about aesthetics, function, or the pragmatics of design because it’s doesn’t question
a client’s power”. Hal tersebut dikarenakan etika memerlukan pemikiran tentang
kerugian dan pengaruh orang lain terhadap rancangan tersebut. Selain itu, arsitek
juga harus jujur akan budgetnya agar tidak mempengaruhi kerugian pihak manapun.
Kedua, menurut Roberto Rocco, yaitu keadilan spasial atau spatial justice.
Beliau berpendapat keadilan spasial ini memiliki tiga komponen, yaitu sosial,
lingkungan, dan ekonomi yang memiliki arti konsep sentral dari perencanaan
bangunan, kota, dan komunitas yang sustainable. Sustainability atau berkelanjutan
merupakan proses memenuhi kebutuhan tanpa menghilangkan sumber daya alam
atau kebutuhan lainnya untuk masa mendatang. Ruang yang baik akan membentuk
karakter masyarakat yang lebih sehat, produktif, dan dapat berkontribusi pada
pengembangan kota. Hal tersebut bertujuan agar rancangannya tidak hancur dengan
waktu yang cepat. Oleh karena itu, konsep keadilan spasial itu sangat penting,
seperti contoh lainnya yang terjadi di lingkungan perternakan dimana hewan ternak,
seperti sapi seharusnya memberikan keuntungan bagi pemiliki ternak. Namun,
ternyata memiliki kerugian juga dan kerugian tersebut tidak hanya berdampak
untuk diri sendiri melainkan akan dirasakan oleh orang lain juga.
Mengenai etika dalam merancang, arsitek memiliki hukum yang telah disusun
menjadi kode etik. Kode etik arsitek tersebut mencakup kaidah perilaku desain
arsitek yang disusun dalam Undang-Undang 6 Tahun 2017 tentang Arsitek.
Undang-undang tersebut disusun oleh anggota dewan kode etik IAI, yaitu Pak Endy
Subijono. Kaidah dasar tata laku profesi arsitek terdiri dari lima poin yang harus
dilaksanakan saat merancang. Pertama, kewajiban umum dimana seorang arsitek
harus mengabdikan dirinya sebagai arsitek, meningkatkan pengetahuan atau
keahlian khususnya dalam bidang arsitektur, memiliki standar keunggulan atau
sertifikasi, memiliki nilai hak asasi manusia, dan mewarisi budaya, alam, dan
lingkungan.
Kedua, kewajiban terhadap masyarakat dimana arsitek tersebut harus
memiliki etika kepaa masyarakat setempat, memikirkan kepentingan masyarakat
umum, menanamkan keadilan spasial, dan mendesain untuk mengurangi isu yang
relevan.
Ketiga, kewajiban terhadap pengguna jasa yang harus memiliki beberapa
komponen dalam diri arsitektur, yaitu kompetensi, kerahasiaan, tranparasi, dan
tidak ada konflik kepentingan.
Keempat, kewajiban terhadap profesi dimana arsitek harus jujur, adil, tegas,
berpikir kritis, selalu belajar, dan sadar bahwa arsitek juga merupakan makhluk
sosial yang tidak semuanya dapat dilakukan sendiri.
Terakhir, kewajiban terhadap sejawat yang harus memiliki semangat
kesejawatan, pengakuan kesejawatan dengan menghargai hak cipta, imbalan jasa
yang sepadan, penilaian atas arsitek lain, dan partisipasi dalam sayembara untuk
melihat potensi yang berkembang dalam diri kita sendiri.
Dengan adanya undang-undang tersebut, arsitek harus dapat melihat perilaku
yang baik untuk merancang dan cara mengetahui desain kita itu baik digunakan
atau perlu pemahaman lebih lanjut. Selain itu, dalam merancang juga memerlukan
pemikiran sisi negatif apa yang akan terjadi pada rancangan tersebut. Usahakan
untuk meminimalisir sisi negatif tersebut agar tidak ada kesalahan dalam
membangun rancangannya.

You might also like