You are on page 1of 28

BAB

IV
DATA TEMUAN

A. Model Bandung Creative Belt
Kota Bandung telah memiliki desain model Bandung Creative Belt yang meliputi
peta wilayah, peta potensi, menyusun kebutuhan infrastruktur sarana dan prasarana
seperti street furniture, signage, information center, gapura, jalur transportasi
umum, media promosi baik elektronik maupun media cetak.
Penentuan Creative Belt dengan mempertimbangkan akses jalan, karakter
kawasan, karakter pelaku ekonomi kreatif, lokasi atau wilayah dan kesejarahan,
maka ditetapkan 15 Bandung Creative Belt yaitu:

1. Asia Afrika Belt: ABC, Alketeri, Astanaanyar, Banceuy, Braga, Cibadak, Dalem
Kaum, Dewi Sartika, Gardu Jati, Kalipah Apo, Klenteng, Sudirman, Otista
2. Antapani Belt: Arcamanik, Jakarta
3. Buah Batu Belt: Burangrang, Kliningan, Lengkong Besar, Lengkong Kecil, Lodaya,
Palasari, Pelajar Pejuang, Turangga
4. Cibaduyut Belt: Caringin, Cigondewah, Holis, Kopo, Leuwi Panjang, Soekarno
Hatta
5. Cicendo Belt: Abdulrachman Saleh, Kebon Kawung, Pasirkaliki, Padjajaran,
Husein Sastranegara
6. Cigadung Belt: Cikutra, Dago Bengkok, Dago Golf, Dago Pakar, Rancakendal,
Sadangserang, Tubagus Ismail
7. Cihampelas Belt: Cipaganti, Jurang, Pasteur, Sederhana, Sukajadi, Sukawangi
8. Dago Belt: Cikapayang, Cipaganti, Diponegoro, Merdeka, Purnawarman,
Siliwangi, Sultan Agung, Siliwangi, Tamansari, Trunojoyo, Tubagus Ismail,
Sulanjana, Sumur Bandung, Wastukencana
9. Riau Belt: Aceh, Ahmad Yani, Ambon, Banda, Bawean, Bengawan, Cihapit, Cilaki,
Ciliwung, Gudang Selatan, Jawa, Laswi, Taman Pramuka
10. Suci Belt: Cicadas, Katamso, Padasuka, Pahlawan, Pusdai
11. Setrasari Belt: Dr Djunjunan, Dr. Rajiman, Dr. Sutami, Surya Sumantri

76

77

12. Setiabudhi Belt: Ciumbuleuit, Gegerkalong, Hegarmanah, Kiputih, Ledeng, Raya


Lembang, Sersan Bajuri
13. Sumatera Belt: Lembong, Sumbawa, Sunda, Van De Venter, Veteran
14. Kiaracondong Belt: Gatot Subroto, Jakarta, Terusan Buah Batu
15. Ujungberung Belt: Cicaheum, Cibiru, Cipadung, Gedebage, Sindanglaya,















Gambar VIII Peta Wilayah Bandung Creative Belt

Sebagai prototype ditetapkan Cigadung Belt dengan pertimbangan Cigadung
adalah sebuah kawasan di Kota Bandung yang memiliki banyak potensi kreatif
dengan ekosistem yang sudah berjalan. Beberapa Pelaku Industri Kreatif di Cigadung
sudah beroperasional cukup lama dan sudah memiliki agenda tersendiri untuk
melaksanakan program wisata namun demikian masih berjalan masing-masing atau
belum terintegrasi.
Dalam perkembangannya untuk menentukan Creative Belt tidak bisa dibatasi
oleh wilayah administrasi melainkan lintas wilayah, hal ini sangat bermanfaat untuk
mengembangkan destinasi pariwisata bukan hanya di Kota Bandung tetapi
Kabupaten dan Kota sekitar Bandung. Kota Bandung tidak mempunyai banyak



78

destinasi wisata alam tetapi dengan potensi kebudayaan dan ekonomi kreatif yang
sangat besar dikembangkan wisata buatan. Sebagai penunjang destinasi pariwisata
yang lengkap maka dilakukan promosi bersama wilayah Bandung Raya meliputi Kota
Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi, karena
wisata alam terdapat di wilayah sekitar Bandung. Dukungan dari Pemerintah dan
pelaku ekraf Kota/Kabupaten wilayah Bandung Raya sangat besar karena promosi
potensi industri kreatif khususnya dan promosi Pariwisata umumnya dapat dilakukan
secara bersama.
Terlepas dari berbagai kendala yang ada, perlu ada koordinasi dan dukungan dari
para pemangku kepentingan yang terkait baik dari aparatur kewilayahan, Perangkat
Daerah Kota Bandung, Tokoh Masyarakat, LSM, Kepolisian dan lainnya agar program
Bandung Creative Belt dapat dijalankan sejalan dengan program yang akan dibuat
yakni Roadmap ekosistem ekonomi kreatif kota bandung sub-sektor fashion, film,
musik, dan kuliner.

B. Uji Petik Penilaian Mandiri Kabupaten/Kota Kreatif Indonesia (PMK3I)
Berkaitan dengan Surat Tugas nomor IF.01/319/D-III/BekrF/V/2018 Tim Uji Petik
PMK3I yang terdiri dari Pejabat Badan ekonomi kreatif, Tim PMK3I dan Assesor
PMK3I Kota Bandung dengan dibantu oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota
Bandung serta perwakilan aktor–aktor dari 4 subsektor telah melaksanakan kegiatan
uji petik sesuai dengan arahan dari permintahan daerah berdasarkan Surat
Pemberitahuan tentang Uji Petik Nomor Srt-608/Bekonomi kreatif/D-III/IF/V/2018
pada Tanggal 11 Mei 2018 menyimpulkan hasil uji petik sebagai berikut:

1. Kota Bandung merupakan ibu kota Provinsi Jawa Barat berpenduduk sebesar
2.575.478 jiwa yang tersebar pada wilayah seluas 167.67 km2. Kota Bandung
memiliki lapangan terbang Husen Sastranegara dengan jadwal penerbangan
nasional dan internasional, terkoneksi dengan internet berkecepatan tinggi dan
kemudian memiliki perguruan tinggi formal dan fasilitas pendidikan non-formal
untuk beberapa subsektor ekonomi kreatif. Kota Bandung merupakan kota
Metropolitan Bandung bersama dengan Kota Cimahi, Kabupaten Bandung,
Kabupaten Bandung Barat dan sebagian Kabupaten Sumedang serta berada di



79

kawasan Cekungan Bandung. Kota Bandung tumbuh sebagai pusat pendidikan


dan riset, ekonomi kreatif dan destinasi wisata yang secara keseluruhan
didukung oleh karakteristiknya. Secara nyata kinerja kota yang baik ditunjukan
dengan data Pendapatan Asli Daerah (PAD) 17 triliun di semester pertama 2018
dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 80,31. Sejarah panjang kota Bandung
berawal dari abad ke-15 dimana Kota Bandung dikenal sebagai Tatar Ukur, diikuti
dengan pembangunan Ruas Jalan Daendels serta jaringan kereta Api yang
menghubungkan Kota Bandung dengan Kota Jakarta di abad ke-18. Tahun 1860
merupakan tonggak penting ketika pemerintah Hindia Belanda memutuskan
Kota Bandung sebagai ibukota Hindia Belanda dan merancang dipengaruhi oleh
gerakan Garden City dunia.
2. Berdasarkan hasil analisis terhadap informasi, kunjungan lapangan, referensi
pustaka dan borang yang sudah diterima dari para pelaku ekonomi kreatif di Kota
Bandung telah disusun profil ekonomi kreatif Kota Bandung, yang kemudian
diverifikasi dan dilengkapi melalui kegiatan uji petik oleh Tim Uji Petik terhadap
empat subsektor utama yaitu subsektor Musik, subsektor Fashion, subsektor
Kuliner dan subsektor Film, dengan kesimpulan sebagai berikut:
a. Semua subsektor menghadapi permasalahan yang hampir sama yaitu: gerak
terpisah dari masing masing pelaku, belum terbentuknya kluster/ kawasan/
simpul yang menghubungkan/bercirikan subsektor tersendiri, kehadiran
pemerintah yang bersifat seremonial, dukungan yang tidak selalu tepat
menjawab kebutuhan para pelaku sehingga belum terasa secara nyata dan
konsisten untuk mendukung gerak ekonomi kreatif mensejahterakan
pelakunya.
b. Pemerintah Kota Bandung tahun ini akan fokus kepada pengembangan
keempat subsektor Fesyen, Film, Musik dan Kuliner dan menguatkan
penataan kebudayaan sampai dengan kewilayahan dan akar rumput di tahun
sebelumnya.
c. Sejalan dengan fokus Kota Bandung pada jejaring kota kreatif Internasional
UCCN yang berfokus pada subsektor desain maka seluruh subsektor desain
diharapkan bergerak mendukung penguatan ke empat subsektor prioritas
tahun ini.



80

d. Ekosistem fesyen termasuk asesories, tas dan alas kaki terbentuk sejak lama
sejalan dan berkiprah di tataran fesyen nasional terutama di dekade terakhir
untuk fesyen muslim. Dekade terakhir ditandai dengan gelombang pelaku
startup muda yang memanfaatkan desain, pemasaran dan jejaring digital.
Secara nasional pelaku fesyen Kota Bandung bergerak di lapis kedua (houte
cuture) diwakili oleh 5 nama, brand nasional sebanyak 20 nama, startup
sekitar 200-an dan komunitas sekitar 500-an orang, dengan omzet pertahun
3–5 triliun/tahun, dan melibatkan sekitar 10.000-an tenaga kerja tetap dan
maklun. Sayangnya perkembangan pesat subsektor Fesyen belum ditunjang
dengan kapasitas dan kompetensi pelaku yang mampu berdiri kokoh
mempertahankan brand-nya di era masa depan yang terbuka secara global
termasuk masih banyaknya komponen pelengkap yang menggunakan impor,
belum terlindungi hak cipta, berbasis otodidak dengan pendidikan baru
ditahap awal dan belum ada upaya konservasi yang signifikan.
e. Sub-sektor musik di Kota Bandung terbentuk oleh komunitasnya dan mampu
membangun pasar setia yang sangat kuat untuk proses kreasi dan produksi
musik termasuk alat musik. Pendidikan dan konservasi di Kota Bandung sejak
era 50-an bahkan turut membangun ekosistem musik nasional, mendorong
sub-sektor fesyen dan kriya untuk barang dagangannya dan film untuk
menjangkau pendengarnya. Sayangnya kegiatan ini tumbuh lebih sebagai
antusiasme hobi/gerak komunitas yang belum mampu menggerakan ekonomi
dalam ekosistem kreatifnya. Pelaku meminta kota dan pelaku lainnya untuk
mengatur kalender kegiatan, menyiapkan infrastruktur dan sarana
pertunjukan, dan membuka akses termasuk perijinan untuk aneka
pertunjukan sehingga pelaku bisa mengkapitalisasi aktifitas dan berperan
dalam ekonomi kota serta mensejahterakan pelakunya.
f. Ada dua elemen kunci dari subsektor film yang teridentifikasi menguatkan
ekosistem subsektor ini di Kota Bandung, Forum Film Bandung yang telah 31
tahun mengamati, dan mengapresiasi perfilman nasional dan gerak remaja
yang secara mandiri mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dalam
satu kampung serta membuat 25 film pendek, dokumenter dan menengah
selama 6 (enam) tahun serta melibatkan warga kampung secara masif untuk



81

peduli dan berkontribusi. Secara ekonomi keduanya sukar untuk dihitung


walaupun penting dan unik sebagai kekuatan ekosistem.
g. Pelaku subsektor kuliner berdasarkan pendataan di tingkat kota berjumlah
sebanyak lebih dari 88.000. Diskusi dan pengamatan dengan pelaku belum
mampu menunjukan struktur ekosistem maupun skala ekonomi subsektor ini.
Dibutuhkan pemetaan, konsolidasi dan pemahaman untuk secara sistematis
membangun subsektor kuliner Bandung yang unggul dan mensejahterakan.

Berdasarkan temuan uji petik yang telah dijelaskan, maka kami yang bertanda
tangan di bawah ini, Tim Uji Petik PMK3I yang terdiri dari Pejabat Bekonomi kreatif,
Tim PMK3I dan Assesor PMK3I Kota Bandung, dengan dibantu oleh Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata bersama-sama dengan perwakilan keempat subsektor
bersepakat atas hal-hal sebagai berikut ini:

1. Dalam 2 tahun kedepan Kota Bandung melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
akan fokus pada 4 sub-sektor dengan program kunci sebagai berikut: a.
a. Pemetaan ekosistem ekonomi kreatif dan menyusun peraturan daerah yang
dibutuhkan.
b. Pembinaan wilayah dan sekolah termasuk sosialisasi ekonomi kreatif dan
pengembangannya.
c. Mendorong munculnya kluster/kawasan dan kelengkapan rantai proses
kreatif untuk subsektor unggulan.
d. Menguatkan kalender acara kota sesuai dengan kelas produk dan lingkup
distribusi (global, nasional dan regional).
e. Meningkatkan sumbangan desain pada semua tahapan proses kreatif sesuai
dengan sasaran dan kebutuhannya.
f. Menguatkan jejaring ekonomi kreatif Bandung Raya.
g. Mendukung pengembangan pendidikan dan konservasi sub-sektor fesyen
terutama busana muslim dan menjadikannya sebagai percontohan
pengembangan subsektor lain.
2. Dalam 2 (dua) tahun ke depan sub-sektor Fesyen Kota Bandung dengan motor
organisasi Islamic Fashion Indonesia akan mengembangkan rangkaian kegiatan
penguatan ekosistem yaitu:



82

a. Menyusun silabus kurikulum pendidikan diploma profesional berjenjang dan


kursus/pelatihan pembekalan startup dan pelaku hobi.
b. Membangun koleksi referensi pustaka sejarah, teknis dan produksi, koleksi
kain tradisional, domestik dan internasional: koleksi benang, kancing dan
pelengkap busana lain, koleksi aksesoris termasuk tas, alas kaki dan tutup
kepala.
c. Membangun jejaring ahli dan sertifikasinya.
d. Menyediakan dan membuka akses pelatihan fesyen untuk komunitas
berkarya.
e. Menyelenggarakan kompetisi dan pameran bertematik fesyen dengan kurasi
terstandar.
f. Berkolaborasi dengan pemerintah kota untuk menyebarluaskan pengetahuan
keterampilan terkait fesyen diseluruh wilayah Kota Bandung.
g. Membuat dan melaksanakan kalender kegiatan fesyen Kota Bandung
berskala kota, regional, nasional dan internasional.
3. Secara khusus Pemerintah Kota Bandung akan mengembangkan kolaborasi lintas
sub-sektor di kewilayahan, sehingga subsektor Fesyen mampu menguatkan dan
berkontribusi pada pengembangan subsektor Musik, Film dan Kuliner dengan
dukungan seluruh subsektor Desain yang telah menjadi komitmen Kota Bandung
pada jejaring UCCN.


C. Sub-sektor Ekonomi Kreatif Fashion
Gaya hidup dalam berpenampilan yang mencerminkan identitas diri atau
kelompok. Tren fashion senantiasa berubah dengan cepat. Dalam hitungan bulan,
selalu muncul mode fashion baru. Ini tak lepas dari produktivitas para desainer
fashion lokal yang inovatif merancang baju-baju model baru, dan munculnya
generasi muda kreatif yang antusias dengan industri fashion ini. Masyarakat sebagai
pasar pun juga semakin cerdas dan berselera tinggi dalam memilih fashion. Di sisi
lain, sub-sektor ini harus menghadapi banyak tantangan. Fashion lokal masih
menjadi anak tiri, pasar memprioritaskan ruangnya untuk produk-produk impor,
sehingga fashion lokal kurang mendapatkan tempat. Sedangkan tantangan lain yang



83

tak kalah penting adalah sinergi industri hulu ke hilir, mulai dari pabrik
tekstil/garmen, perancang busana, sampai ke urusan pasar.
Sub-sektor ekonomi kreatif yang saat ini sedang difokuskan oleh Disbudpar Kota
Bandung adalah Fashion, adapun salah satu kegiatannya adalah mengaktivasi
kegiatan sub-sektor fashion dengan menyelenggarakan acara Launching Bandung
Modest Fashion Vision 2018. ‘Sebagai suatu bentuk tindak lanjut, maka pada tahun
2018 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung menyelenggarakan Road to
“Bandung Fashion Works” 2019 yang bertema Bandung Broadway – Bandung
Fashion Works.

1. Bandung Broadway – Bandung Fashion Works

Bandung Broadway – Bandung Fashion Works melibatkan institusi pendidikan di


bidang seni dan budaya, asosiasi di bidang fashion dan pariwisata, para komunitas-
komunitas kreatif di bidang seni pertunjukan (drama musical, theater, kabaret, stand
up komedi, band-band indie bandung, story telling, solo, dll), pemerintahan Kota
Bandung, dan media-media fashion yang ada di Kota Bandung.
Bandung Broadway – Bandung Fashion Works adalah suatu bentuk akselerasi
dan rekayasa sosial (social engeenering) yang akan dilakukan sepanjang tahun (dari
september 2018 sampai dengan Juni 2019) dengan tujuan terbangunnya ekosistem
positif ekonomi kreatif, tidak hanya di sub-sektor fashion, tetapi juga sub-sektor
musik, film, publikasi, fotografi, desain komunikasi visual, bahkan televisi dan radio.
Ini menjadi tugas dan peran pemerintah agar timbul keterkaitan dan hubungan
mutualisme satu dengan yang lain sehingga tidak berjalan masing-masing.
Bandung Broadway – Bandung Fashion Works mencoba untuk menanamkan
benih ekosistem ekonomi kreatif yang akan membuahkan dampak ekonomi lokal
yang positif bagi masyarakat Kota Bandung, seturut dengan karakter lokal yang
dipasarkan di dunia pariwisata. Semakin banyak turis, semakin banyak dampak
ekonomi yang diterima oleh masyarakat kreatif Kota Bandung.
Bandung Broadway – Bandung Fashion Works akan membuka rangkaian Road To
“Bandung Fashion Works 2019” mendatang. Disbudpar Kota Bandung akan
membuat program-program campaign guna mempersiapkan masyarakat fashion di
Kota Bandung. Edukasi melalui Bandung Broadway – Bandung Fashion Works akan



84

dilakukan guna mempersiapkan Bandung Fashion Works 2019. Untuk meningkatkan


industri fashion di Kota Bandung, dibutuhkan kerjasama (teamwork) dan peran serta
seluruh masyarakat di bidang seni pada khususnya, dan masyarakat Kota Bandung
pada umumnya, bukan hanya penggiat fashion itu sendiri.
Bandung Broadway – Bandung Fashion Works adalah suatu bentuk akselerasi
dan rekayasa sosial (social engeenering) yang akan dilakukan sepanjang tahun 2019
dengan tujuan terbangunnya ekosistem positif ekonomi kreatif, tidak hanya di
subsektor fashion, tetapi juga subsektor musik, film, publikasi, fotografi, desain
komunikasi visual, bahkan televisi dan radio. Ini menjadi tugas dan peran pemerintah
agar timbul keterkaitan dan hubungan mutualisme satu dengan yang lain sehingga
tidak berjalan masing-masing.
Dengan membentuk ekosistem ekonomi kreatif yang kokoh dari hulu hingga ke
hilir, dari eksperimen identitas produk hingga ke packaging, dari penelitian hingga ke
pemasaran, dan dari dalam hingga ke luar negeri, maka para pelaku serta penggerak
ekonomi kreatif tersebut dapat memiliki kesempatan yang jauh lebih besar untuk
meningkatkan proses bisnis mereka baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.

D. Fokus Pengembangan Wisata Kuliner Dan Belanja di Kota Bandung Ditinjau Dari
Desain Strategi Dan Rencana Aksi (DSRA) Wisata Kuliner Dan Belanja Kementerian
Pariwisata


Regional I
Region Regional

al II III



Batam
Bali

Palemban
Bandung
g
Makassa
Bukit
r

Tinggi

Gambar IX Strategi dan Rencana Aksi (DSRA) Wisata Kuliner dan Belanja Kementerian Pariwisata



85

DSRA sebagai arahan tindak pengembangan pariwisata, sekaligus menjadi bagian


integral perencanaan pengembangan wisata kuliner belanja di Bandung. Bandung
sebagai lokasi kedua setelah Bali (Ubud) yang dikembangkan sebagai prototipe
sustainable gastronomy destination di Indonesia
1. Fokus Produk Pariwisata Belanja:
a. KRIYA Karya seni yang dibuat dengan menggunakan “keterampilan tangan” atau
hand skill yang memperhatikan segi fungsional dan juga kebutuhan emosional.
Berdasarkan bahan yang digunakan, kriya terbagi atas: kriya kayu, kriya logam,
kriya keramik, kriya kulit, serta kriya tekstil.
b. WASTRA merupakan bagian dari kriya tekstil. Wastra Nusantara dapat dikatakan
sebagai kain tradisional Indonesia dengan motif yang sarat makna. Secara
umum, wastra terbagi atas 2 macam, yaitu: batik dan tenun.
c. HIJAB merupakan pengembangan dari wastra berupa kerudung, jilbab dan
pakaian yang diperuntukan bagi wanita muslim. Desain hijab saat ini tampil lebih
modis sehingga sangat diminati dan menjadi tren pada kalangan wanita muslim
di Indonesia
d. Kegiatan yang dapat dilakukan saat berwisata belanja diantaranya adalah:
1) Mengunjungi pabrik
2) Festival belanja (great sale)
3) Mengunjungi UKM (home industry)
4) Belajar menenun, membatik, dll
5) Window Shopping

Gambar X
Pengertian Shopping Tourism








86


2. Faktor pemicu kegiatan belanja diantaranya:
a. Barang (merchandise):
b. Pencarian akan barang yang spesifik
c. Cinderamata (souvenir kerajinan tangan)
d. Duty free
e. Destinasi
1) Tempat yang terkenal akan barang yang spesifik
2) Tempat yang terkenal akan shopping-nya
3) Themed shopping destination di acara festival dan events
f. Harga
1) Harga di destinasi lebih murah dari pada di tempat lain
2) Tempat yang terkenal karena shopping-nya
3) Murah

Tabel IX
Target wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara dalam wisata kuliner
dan wisata belanja tahun 2016-2019

Tahun 2018 Tahun 2019


Target Wisman 17.000.000 20.000.000

Wisata Kuliner (42%) 1.785.000 2.268.000

Wisata Belanja (58%) 2.465.000 3.132.000

Total WISMAN WISKULJA 4.250.000 5.400.000


Target Pergerakan Wisnus 270.000.000 275.000.000

Wisata Kuliner (42%) 28.140.000 31.185.000

Wisata Belanja (58%) 39.150.000 43.065.000



87

Total WISNUS WISKULJA 67.000.000 74.250.000

Kontribusi Kuliner Belanja 25% 27%



Gambar XI
Amenitas & Atraksi di Destinasi Belanja & Kuliner

PASAR
AMENITAS
PASAR TRADISIONAL
SENTRA KULINER
CENDERA RESTORAN
MATA
WISATA
BELANJA
KULINER

PABRIK & • PENGOLAHAN


ATRAKSI
WORKSHOP MAKANAN
CENDERAMATA • PERTANIAN
• PERKEBUNAN
• PETERNAKAN



E. Sub-sektor Ekonomi Kreatif Kuliner
Wisata kuliner adalah setiap pengalaman pariwisata di mana seseorang belajar
tentang menghargai, dan/atau mengkonsumsi makanan dan minuman yang
mencerminkan masakan lokal, regional, atau nasional, warisan budaya, tradisi atau
teknik kuliner. (Ontario Culinary Tourism Alliance). Tren global wisata kuliner saat ini
menunjukan 30% pendapatan pariwisata berasal dari gastronomi, 40%
pembelanjaan wisatawan adalah makanan dan minuman, serta 50% pendapatan
restoran berasal dari wisatawan (Boyne, Williams, and Hall, 2002)



88

Menikmati makanan adalah salah satu kegiatan yang paling menyenangkan yang
dilakukan para wisatawan selama liburan. (Ryan, 1997). Pariwisata kuliner adalah
pengalaman berwisata dengan aktivitas yang terkait makanan, dimana pembelajaran
budaya dan transfer pengetahuan dari destinasi dan masyarakatnya difasilitasi.
(Horng & Tsai, 2010)
Wisata kuliner dapat mencakup kunjungan kepasar, menyiapkan makan khusus
di rumah teman, menghadiri acara khusus di restoran terkenal, atau makan di
restoran lokal. (Wolf, 2002)
Food tourism adalah pengalaman rekreasional yang diperoleh wisatawan saat
berkunjung pada wilayah gastronomi seperti pada produsen makanan primer dan
sekunder, festival makanan, pameran makanan dan minum, peristiwa, pasar petani,
acara memasak dan demonstrasi, mencicipi produk makanan dan minuman, atau
kegiatan pariwisata yang berhubungan dengan makanan dan minuman. UNWTO,
Global Report on Food Tourism, 2012.
Fakta tentang Wisata Kuliner/Gastronomy berdasarkan dari Agri-Business Council
of Oregon, diantaranya:

1. Hampir 100% wisatawan melakukan dine-out saat melakukan perjalanan. Dining


secara konsisten merupakan salah satu dari 3 aktivitas paling favorit yang
dilakukan wisatawan.
2. Kuliner merupakan salah satu pos pembelanjaan yang tertinggi wisatawan.
3. Minat berwisata kuliner memiliki korelasi yang tinggi dengan minat mengunjungi
museum, pertunjukan, belanja, serta menyaksikan festival musik dan film.
4. Pasar wisata kuliner sangat menyukai outdoor recreation.
5. Minat terhadap wisata kuliner meliputi seluruh segmen pasar.
6. Kuliner merupakan satu-satunya bentuk aktivitas wisata yang mampu melibatkan
keseluruhan panca indera manusia.
7. Pasar wisata kuliner bercirikan “explorers”
8. Daya tarik wisata kuliner ada sepanjang tahun.
9. Kuliner lokal merupakan faktor utama yang memotivasi dalam penentuan
wisatawan memilih destinasi.



89

Tantangan dalam mempromosikan dan menerapkan strategi rencana aksi


pariwisata gastronomy; yakni tanggungjawab sosial perusahaan dan pribadi harus
dimasukkan ke dalam setiap praktik/pelaksanaannya.

1. Sustainable Gastronomy/Culinary di Destination

Pelaku Industri; seperti Chefs (Juru Masak) diharapkan dapat menjadi role model
pelaku yang aksi dan kontribusinya nyata terhadap Sustainable Culinary. Dimulai dari
mempraktikan/menjaga kelestarian resep tradisional Indonesia, mengolah masakan
dari bahan-bahan segar dari pasar lokal, mengedukasi, memberikan demo masak
bagi masyarakat, berinovasi dengan bahan pangan produk lokal, dan bentuk
partisipasi lainnya. Wisata Kuliner diharapkan dapat mendorong komunitas lokal dan
juga para pelaku professionals dalam kapasitasnya sebagai ambassadors dari
daerahnya, serta menguatkan identitas dan rasa kepemilikan “sense of belonging”
dan menjaga “authenticity” dari daerahnya
Mengintegrasikan 4 kriteria standar wisata kuliner berkelanjutan di Indonesia
diantaranya:

a. Destination Management
1) Zonasi area pengembangan kuliner
2) Penataan yang baik tidak merusak keindahan/estetika
3) Pengelolaan yang baik dari mulai produksi s.d. konsumsi (Limbah produksi,
Sampah konsumsi)
b. Socio Economic Benefit for Community
1) Memperhatikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan
2) Keterlibatan masyarakat sosial, menciptakan lapangan pekerjaan dan
mengentaskan kemiskinan
c. Cultural Heritage Conservation
1) Proteksi nilai budaya and warisan leluhur.
2) Diversifikasi produk yang menjadi nilai tambah destinasi dan kulinernya
(Inovasi produk lokal berbahan lokal)
3) Stories tentang budaya terkait kuliner lokal
d. Environment Conservation
1) Penggunaan Sumber Daya yang efisien


90

2) Penggunaan bahan-bahan lokal dari petani lokal


3) Penggunaan bahan-bahan packaging kuliner yang ramah lingkungan (no
plastic, no stereofoam)
4) Environmental protection (Water treatment, waste treatment).
2. Prinsip Pengembangan Destinasi Wisata Kuliner Berkelanjutan
a. Prinsip menumbuh kembangkan sumberdaya kuliner lokal
b. Prinsip mengembangkan ekonomi lokal dan kesejahteraan rakyat
c. Prinsip pengembangan yang terintegrasi (Komitmen & Partisipatif Aktif Para
Pemangku Kepentingan/Stakeholders)
d. Prinsip Perlindungan/ Pelestarian Budaya, Lingkungan
3. Standar Pengembangan Wisata Kuliner Berkelanjutan
a. Standar Produk
1) Lokalitas
2) Presentasi/tampilan/penyajian
3) Kesehatan/kebersihan
4) Kesegaran
5) Rasa, aroma, tekstur
6) Kandungan gizi
7) Kandungan bahan lokal
8) Standar resep dan proses memasak
b. Standar Pengelolaan
1) Harga (kepastian, kewajaran/batas)
2) Atribut/ornamen lokal (gerai maupun karyawan)
3) Kekhasan sistem layanan bernuansa kultur lokal
4) Keramahtamahan khas lokal, kecepatan
5) Kebersihan penjual/pramu (termasuk kelengkapan seperti sarung
tangan, dll)
6) Cerita tentang makanan/minuman yang menarik perhatian
c. Standar Pelayanan
1) Lokasi (aksesibilitas, visibilitas)
2) Desain bernuansa lokal
3) Desain yang memenuhi standar higienis dan sanitasi



91

4) Luas gerai
5) Kelengkapan setiap gerai (titik air, titik listrik, titik gas, dll)
d. Standar fasilitas
1) Tempat cuci
2) Bahan meja dapur
3) dll

4. Kegiatan yang dapat dilakukan saat berwisata kuliner diantaranya:

a. Menikmati kuliner & jamuan makan.


b. Festival, kompetisi kuliner
c. Mempelajari kuliner.
d. Belanja kuliner sebagai oleh-oleh
e. Mengunjungi perkebunan, pertanian, perikanan.


F. Sub-sektor Ekonomi Kreatif Musik
Di tahun 2015, sektor live musik di kota Bristol-Inggris memberikan kontribusi
£123 juta atau hampir 2,5 trilyun rupiah pada ekonomi lokal. Ini sama nilainya
dengan nilai industri Indonesia tahun 2013. Sementara itu di tahun lalu, pariwisata
musik menghasilkan £3,2 milyar atau sekitar 60 trilyun ke ekonomi di UK dan
memberikan pekerjaan tetap pada setidaknya 50 ribu orang. Aset pariwisata musik
kota tidak hanya lokasi live musik, tapi juga bisa termasuk gedung pusat musik,
festival, tempat belanja merchandise, hingga lokasi-lokasi musik yang bersejarah.
Semenjak 1950-an event music di Bandung digelar di tempat terbatas seperti
Hotel Homann, Grand Hotel Lembang, Karang Setra, terkadang Bumi Sangkuriang
Cimbeuleuit hingga pertunjukkan seni budaya di Yayasan Kebudayaan Naripan,
Lyceum Jalan Dago, Bumi Sangkuriang Ciumbeluit (hingga kini masih dipakai)
kemudian Panti Karya. Musim pop dan musik etnik Sunda sama-sama hidup dan
terjadi sintesa di antara keduanya seperti yang dilakukan Mang Udjo.
Penyanyi era 1970-an berakar dari 1950-an, Theresa Zen kemudian diteruskan
putrinya lita Zen, Bimbo salah seorang personel Sam berasal dari The Alunas yang
kerap tampil di berbagai event pada 1950-an. Booming band juga muncul era 1970-
an (seperti The Giant Step) diteruskan generasi berikutnya. Munculnya majalah


92

Aktuil juga mendukung eksistensi para musisi. Jadi Bandung sudah menjadi kota
musik sejak 1950-an. Para musisi benar-benar bergerak dari Grassroot.
Genre musik metal underground dikembangkan oleh sejumlah anak muda di
Ujung Berung pada awal 1990-an. Pada 1993, Band Orthodox didirikan oleh Yayan
Ahdiat di Gang Kaum Kidul, kawan, diikuti Jasad yang digawangi Yuli, Tito, Hendrik,
diikuti Monster, Funeral dan Necromancy. Pendiri monster Ikin, yudi, Abo, Yorda dan
Kimung, akhirnya Burgerkill.
Komunitas punk rock punya kebiasaan berkumpul di Bandung Indah Plaza. Tradisi
berkumpul ini menjadi kekuatan pada masa berikutnya. Mereka mendiskusikan
keinginan membuat rekaman dan kompilasi, meskipun sama sekali tidak memiliki
pengetahuan yang cukup untuk membuatnya. Keinginan awal komunitas ini
hanyalah mendokumentasikan eksistensi komunitas punk rock di Bandung. Hingga
jadilah kompilasi berjudul Bandung Punk Rock Storm yang memuat lagu-lagu dari 17
band punk rock Bandung. Bandung Punk digandakan 1.500 kopi kaset saja, dengan
harga Rp 7.500 per buah-harga kaset rekaman arus utama Rp 7.000 per buah. Cara
menjualnya di rumah-rumah antarteman. Semua proses kreatif dilakukan gotong-
royong di antara komunitas. Pada Oktober 1997, band-band Ujungberung yang
beraliran superkeras juga merekam lagu-lagu mereka dengan biaya masing-masing,
berjumlah 13 grup band. Musisi dan penulis sejarah musik Kimung dari Burgerkill
menulis buku “Ujungberung Rebels: Panceng Dina Galur” menyebutkan bahwa musik
metal lahir di Ujungberung, sejak ranah musik ini terbentuk pada 1985 (Pikiran
Rakyat, 20 November 2014).
Kekuatan komunitas Ujungbereung tidak hanya terbatas pada suka musik metal
tetapi selalu mencari tahu cara membesarkan musik beraliran keras ini. Selain itu
mereka mencari solusi untuk keuangan dengan membuka usaha merchandise dan
usaha lain. Ketika belum ada studio musik, mereka memanfaatkan Studio Palapa. Dr.
Yusraf Amir Piliang Dosen ITB melihat komunitas musik ini terus berkembang dengan
memanfaatkan internet untuk membangun jejaring sosial secara global.
Semangat meluap bermusik ini sempat mendapatkan pukulan ketika terjadi
sebuah tragedi pada sebuah konser musik underground. Pada Februari 2008 sebuah
kejadian yang cukup menghentak dari scene underground di kota Bandung, Sabtu
malam, 9 Februari 2008. Sebelas orang tewas terinjak-injak dalam konser tunggal



93

launching album pertama Beside,Against Ourselves, yang digelar di Gedung Asia


Africa Cultural Centre (AACC) Jalan Braga. Hal ini diduga karena pihak panitia
menjual tiket jauh melebihi kapasitas gedung. Akibat kejadiannya itu sejumlah acara
musik pada 2008 dibatalkan dan izin pertunjukkan musik dipersulit. Seolah-olah
kegiatan musik tertidur di Bandung

1. Program Bandung Music Frontyard 2017

Untuk membentuk ekosistem ekonomi kreatif sub sektor musik, Dinas


Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bandung mendukung penuh acara
Bandung Music Frontyard (BMF2017) yang merupakan sebuah program tahunan
bermusik bagi para musisi muda kota Bandung, dan menjadi salah satu “hub’ bagi
komunitas seni di Bandung.
Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata (Kadisbudpar) Kota Bandung Kenny Dewi
Kaniasari mengatakan bahwasanya musik merupakan salah satu sub-sektor ekonomi
kreatif yang akan menjadi prioritas di tahun 2018, Kota Bandung merupakan kota
yang dipenuhi musisi-musisi dan penggiat musik yang luar biasa sejak lama, bahkan
dijadikan barometer musik dalam negeri. Selama ini musisi muda kota Bandung
berjalan masing-masing dan tidak ada yang merangkul mereka. Maka sudah
seharusnya Pemerintah Kota Bandung ikut mendorong penuh agar sub-sektor musik
ini bisa lebih maju, berkembang bahkan memiliki nilai ekonomi yang bagus, baik
untuk para musisinya, para penggiat seninya bahkan masyarakat yang
menikmatinya, maka otomatis akan menjadi potensi yang baik bagi PAD Kota
Bandung.. Mengenai program Bandung Music Frontyard, Disbudpar Kota Bandung
mengakui ingin mengenal lebih dekat dengan musisi muda yang ada di Kota
Bandung. Dengan demikian, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung dapat
lebih mengenali dan mencoba untuk memfasilitasi apa saja keinginan para
stakeholder di sub-sektor ini. Bandung Music Frontyard didukung oleh Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung untuk membidik ke arah pembentukan
ekosistem ekonomi kreatif sub sektor musik yang lebih baik ke depan, selain dapat
melahirkan regenerasi baru yang berkualitas, juga diharapkan dapat meningkatkan
nilai ekonomi baik bagi para musisi dan masyarakat Bandung.



94

2. Musiconic 2018

Menurut kajian yang dilakukan oleh IFPI & Music Canada dalam The Mastering of
A Music City, definisi mengenai “Kota Musik” secara sederhana adalah sebuah kota
yang menjadikan musik sebagai potensi ekonomik, kewirausahaan, budaya, dan
sosial. Keuntungan menjadikan “Kota Musik” akan memiliki beberapa dampak
positif, antara lain: (1) Mendatangkan turis, (2) Menciptakan peluang
entrepreneurship (kewirausahaan), dan (3) Memperkuat citra kota (city branding).
Musik merupakan salah satu bidang kreativitas yang cukup menonjol di Bandung.
Bandung sudah sejak dahulu dikenal dengan gudangnya pemusik. Hal ini dapat
dilihat dari banyaknya musisi terkenal yang lahir di kota ini. Bahkan Kota Bandung
direncanakan oleh Walikota Ridwan Kamil sebagai “Kota Musik” pada Mei 2016 lalu
karena perkembangan musiknya yang pesat dan telah melahirkan band-band indie
yang sukses baik nasional maupun internasional, Kota Bandung juga berada di
peringkat pertama sebagai kota di Indonesia yang melahirkan banyak musisi indie,
yang disusul oleh Jakarta dan Yogyakarta. Selain itu, Kota Kembang juga didukung
dengan hadirnya kampus-kampus ternama, seperti Sekolah Tinggi Seni Indonesia
(STSI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan lainnya yang membuat kreativitas
semakin berkembang di Kota Bandung. Tidak hanya itu, dalam sarana pendidikan
formal lainnya seperti sekolah menengah atas misalnya, pada umumnya memiliki
kegiatan yang menunjang kegiatan bermusik dalam bentuk pelajaran wajib atau
ekstrakurikuler. Banyak juga fasilitas pendidikan nonformal atau pendidikan luar
sekolah yang khusus untuk mereka yang ingin atau memiliki minat dalam belajar
musik.
Kota Bandung memiliki beragam komunitas musik yang tersebar dengan ragam
jenis musiknya, kemudian memiliki daya tarik sejarah dan talenta-talenta berbakat
yang terus menghiasi industri musik nasional, bahkan beberapa nama sudah mulai
merambah eksistensinya menuju pentas internasional. Dari sektor musik ini saja di
Kota Bandung tercipta jejaring sektor kreatif lainnya seperti merchandise, event
organizer, hingga desainer sehingga akan terhelar berbagai sektor-sektor kreatif
lainnya yang saling menopang satu sama lain. Bandung pun dapat julukan sebagai
lautan band indie, karena disanalah band-band indie (kependekan dari independen)



95

Indonesia tumbuh dan berkembang. Hingga saat ini alirannya pun beragam, seperti
punk, hardcore, pop, ska, keroncong, rock, hingga tradisional. Semuanya hidup
melalui sistem rekaman non-label besar. Mereka memasarkannya dengan cara
“manual”, seperti dititipkan di toko, dijual secara personal, bahkan melalui internet.
Kegiatan bermusik sudah menjadi kegiatan yang tidak lagi asing di kalangan
muda, khususnya di Kota Bandung. Kebutuhan akan sebuah hiburan dalam bentuk
musik sekarang bukan hanya sekedar kebutuhan melainkan juga gaya hidup. Musik
di kalangan remaja sudah memiliki fungsi lain yaitu sebagai identitas. Kegiatan
tersebut akhirnya menjadi hobi dan bahkan rutinitas generasi muda tersebut.
Berangkat dari hal itu, kita bisa melihat seberapa cintanya masyarakat Bandung
untuk menikmati musik. Banyak ide dan gagasan kreatif dalam bermusik yang
berasal dari kelompok-kelompok masyarakat. Keberhasilan mengembangkan citra
Kota Bandung sebagai kota kreatif sendiri sangat tergantung pada sumber daya
manusia yang ada yaitu komunitas kreatif
Sejak tahun 1970-an, banyak talenta-talenta Kota Bandung yang sukses berkiprah
di kancah musik nasional maupun musik internasional. Faktor historis memang
memiliki pengaruh akan pencitraan yang sangat baik tentang suatu kota. Banyaknya
anak muda merupakan kelebihan dari kota ini sehingga melahirkan banyak talenta-
talenta mumpuni yang terus lahir sebagai produser maupun musisi. Maraknya
pergelaran musik berskala lokal maupun nasional yang terjadi hampir di setiap
minggunya juga menjadi indikator penting betapa musik menjadi denyut nadi yang
menghidupkan kota ini. Faktor itulah yang membuat Bandung cukup strategis jika
mengedepankan sektor musik sebagai salah satu bidang yang harus dikembangkan
dalam menciptakan nilai ekonomis, sosial, dan budaya.
Selama ini musisi kota Bandung berjalan masing-masing, melalui program
MUSICONIC – Bandung Blastin’ Rockin’, Dinas Kepariwisataan Kota Bandung dapat
mengenal lebih dekat musisi-musisi yang berasal dari Kota Bandung. Dengan
demikian, Disbudpar dapat menemukenali harapkan dari keterlibatan pemerintah
dalam upaya turut serta memfasilitasi perkembangan musik di Kota Bandung, salah
satunya melalui komunitas-komunitas musik yang sudah ada dengan juga melibatkan
lembaga pendidikan musik formal maupun non formal yang telah siap melahirkan
musisi-musisi berkualitas di kota Bandung.



96

Pada saat ini sudah terdapat beberapa Blue Print musik dan musisi muda di Kota
Bandung yang disusun oleh banyak institusi dan komunitas di bidang musik.
MUSICONIC – Bandung Blastin’ Rockin’ diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata kota Bandung untuk membidik pembentukan ekosistem ekonomi kreatif
sub sektor musik yang lebih baik ke depan, selain dapat melahirkan regenerasi baru
yang berkualitas, juga diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomi baik bagi para
musisi dan masyarakat Bandung.
Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bandung saat ini fokus membidik
ke arah pembentukan ekosistem ekonomi kreatif sub sektor musik yang lebih baik ke
depannya, selain dapat melahirkan regenerasi baru yang berkualitas, juga
diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomi baik bagi para musisi dan masyarakat
Bandung pada umumnya.

G. Heritage Kota Bandung
Urban heritage tourism merupakan sebuah konsep pariwisata yang akhir-akhir ini
banyak dikembangkan di kota-kota besar di seluruh penjuru dunia. Sebuah konsep
pariwisata yang sebenarnya sederhana dengan memanfaatkan lingkungan binaan
maupun alam yang dimiliki oleh sebuah kota, yang memiliki nilai historis tersendiri.
Para penikmat dan pemerhatinya diajak untuk mengapresiasi serta menginterpretasi
objek-objek yang diamati. Dengan demikian, selain berfungsi sebagai sarana
pendidikan dan rekreasi masyarakat, aktivitas ini sekaligus pula sebagai sarana
pelestari dari kekayaan kota itu sendiri.
Objek yang diamati pada urban heritage tourism bisa bermacam-macam, baik
benda (mati atau hidup) maupun juga aktivitas. Umumnya, benda-benda seperti
situs, monumen, serta bangunan-bangunan bersejarah memiliki posisi yang penting
dalam wisata jenis ini. Kota-kota yang berusia tua melebihi ratusan tahun memiliki
banyak bangunan yang merupakan saksi bisu dari perkembangan lingkungannya,
potret dari kejadian-kejadian masa lampau yang pernah terjadi di sekelilingnya.
Bangunan-bangunan tersebut kemudian menjadi bukti sejarah yang konkret, yang
mendukung buku-buku sejarah yang ditulis bertahun-tahun kemudian.
Setiap manusia memiliki kerinduan untuk menikmati dan mempelajari asal usul
serta apa yang pernah terjadi pada masa lampau. Selain itu, tanggung jawab semua



97

pihak untuk ikut menjaga objektivitas sejarah dengan meneruskannya kepada


generasi-generasi selanjutnya. Hal itulah yang kemudian dikerjakan oleh para
pengelola urban heritage tourism, yang bukan hanya berjuang mempertahankan
eksistensi sebuah perjalanan budaya, namun juga menghasilkan profit dari proses
tersebut.
Selama ini, disadari ataupun tidak, Bandung memiliki potensi yang cukup besar
untuk pengembangan urban heritage tourism. Sebagai kota dengan sejarah yang
cukup panjang, Bandung memiliki koleksi bangunan-bangunan kolonial dalam jumlah
yang relatif besar. Bahkan, kekayaan arsitektur art deco Bandung sempat dibanding-
bandingkan dengan yang dimiliki oleh Miami di negeri Paman Sam.
Bangunan-bangunan di Bandung tersebut mewakili sebuah sejarah yang juga
tidak kalah uniknya. Pada awal abad 20, tepatnya pada tahun 1913, seorang ahli
kesehatan masyarakat kelahiran Groningen yang bermukim di Semarang, H.F.
Tillema memaparkan makalahnya di Kongres Perumahan Internasional bertempat di
Scheveningen. Ia bertutur tentang buruknya penataan sanitasi di kota-kota pantai di
Indonesia. Kota-kota tersebut; Batavia, Semarang, dan Surabaya juga dianggap
memiliki iklim yang tidak cocok bagi penduduk yang berasal dari Eropa.
Kelembabannya yang tinggi serta suhunya yang panas, tidak menggugah semangat
kerja dan malahan dianggap membahayakan kesehatan.
Sejak saat itu, bergulirlah wacana untuk memindahkan ibu kota dari Batavia ke
Bandung, kota kecil di pegunungan Priangan yang iklimnya dianggap lebih cocok bagi
orang Eropa. Selain itu, pemerintah juga berkaca dari pengalaman sebelumnya
ketika beberapa kota pantai di Jawa dan Sumatra sempat direbut balatentara Inggris
yang dipimpin Lord Minto di tahun 1911. Kota pantai bagi sebuah ibu kota dianggap
lebih rawan terhadap serangan musuh. Wacana pemindahan ibu kota ini kemudian
coba diwujudkan oleh Gubernur Jenderal J.P. de Graaf van Limburg Stirum yang
diangkat pada tahun 1916 menggantikan A.W.F. Idenburg, pejabat sebelumnya.
Dimulailah pembangunan sarana-sarana fisik, berupa bangunan-bangunan
modern untuk mewadahi aktivitas di calon ibu kota baru tersebut. Pembangunan
yang dipimpin Ir. F.J.L. Ghijsels dari Gemeente-werken tersebut berhasil mendirikan
750 bangunan modern fungsional bergaya kolonial di tatar Bandung yang masih
sunyi kala itu. Pemerintah Hindia Belanda membuka peluang pada arsitek-arsitek



98

negerinya untuk berkiprah seluas-luasnya di Bandung. Saat itu, di Bandung terdapat


lebih dari 70 (tujuhpuluh) arsitek yang sebagian mengecap pendidikan teknik
bergengsi di Technische Hoogeschool Delft. Promosi tentang Bandung pun giat
dilakukan. Sebagai akibatnya, penduduk Bandung meningkat drastis tiga kali lipat,
pada periode antara tahun 1905-1927.
Kebanyakan yang dilakukan oleh para arsitek ini adalah menjiplak langgam yang
sedang menjadi tren di Eropa, seperti Art Nouveau (dibawa oleh arsitek P.A.J.
Moojen sekira tahun 1905) dan Art Deco yang lebih fungsional (dibawa oleh arsitek
generasi berikutnya setelah tahun 1920-an). Akibatnya, wajah kota Bandung kala itu
benar-benar merupakan jiplakan wajah Eropa, seperti yang masih dapat kita saksikan
sisa-sisanya di pertokoan Jalan Braga dan sekitarnya.
Tahun 1923, arsitek senior kenamaan Belanda, Hendrik Petrus Berlage
berkunjung ke Bandung dan beberapa kota di Indonesia. Dalam kesempatan-
kesempatan diskusinya dengan para arsitek yang lebih muda, Ia mengkritik keras
kebiasaan membangun bangunan dengan langgam Eropa asli tanpa adaptasi dengan
budaya dan iklim lokal seperti banyak diperagakan di Indonesia. Ia mengemukakan
pentingnya pencarian sebuah arsitektur asli yang merupakan sintesa dari
kebudayaan Indonesia dan teknologi konstruksi barat, dengan memberikan apresiasi
pada bangunan Gedung Sate karya J. Gerber dan Aula ITB karya Maclaine Pont.
Berawal dari kritikan Berlage, diskusi-diskusi mengenai arsitektur baru tersebut
mencuat dengan dipelopori oleh Prof. Ir. Wolff Schoemaker dari T.H. Bandoeng
(sekarang ITB) dan koleganya, Maclaine Pont. Beberapa bangunan yang dibangun
setelah adanya dorongan dari Berlage tersebut turut mengadaptasi budaya lokal ke
dalamnya, kemudian dikenal dengan arsitektur Indo-Eropa. Contoh bangunan
dengan langgam baru yang turut memperkaya khasanah arsitektur Indonesia
tersebut dapat disaksikan pada Gedung Bioskop Majestic karya Schoemaker dan
Hotel Preanger karya Schoemaker dan Ir. Soekarno.
Selain sejarah perkembangan arsitektur, bangunan-bangunan kolonial di
Bandung juga kaya akan sejarah perjuangan bangsa khususnya dari jaman
pergerakan kemerdekaan. Gedung Landraad di jalan Perintis Kemerdekaan misalnya,
menjadi saksi Indonesia Menggugat, pidato pembelaan Sukarno yang legendaris dan
menggemparkan di depan pengadilan kolonial itu. Pidato yang ditulisnya di atas



99

kloset di selnya yang sempit di penjara Banceuy, yang sayangnya hanya tersisa
sepenggal saat ini, ditelan oleh pembangunan pusat perbelanjaan.
Bangunan-bangunan dengan nilai historis yang kental tersebut merupakan modal
yang sangat besar bagi konsep urban heritage tourism di kota Bandung. Sayang
sekali bahwa penanganannya hingga saat ini belum digarap secara serius dan
optimal. Padahal, pangsa pasar wisatawan yang menggemari segmen ini, terutama
wisatawan mancanegara cukup tinggi. Yang terjadi adalah sebaliknya, bangunan-
bangunan bersejarah di Bandung lenyap satu demi satu. Jika pada tahun 1970-an
terdapat sekira 2.500 bangunan berarsitektur kolonial berusia di atas 50 tahun
menghiasi kota Bandung, tahun 1990-an jumlah itu sudah menyusut menjadi hanya
495 bangunan lama, dengan menyisakan 206 di antaranya berarsitektur kolonial.
Untuk data terkini, Bandung Heritage Society terus mengupayakan pendataan ulang,
namun diperkirakan jumlahnya sudah semakin menyusut. Untunglah, sejak tahun
1992 bangunan-bangunan bersejarah tersebut relatif lebih terlindungi dengan
adanya U.U. Nomor 5/1992 tentang Benda-benda Cagar Budaya.
Denyut pembangunan kota yang kental dengan nuansa ekonomi rupanya tidak
terlalu cocok berkompromi dengan aspek budaya. Bangunan-bangunan kuno seperti
yang banyak terlihat menghiasi daerah Dago dan Jalan Asia Afrika tersebut
membutuhkan biaya pemeliharaan yang tinggi, yang tentu saja jika dari
pertimbangan finansial semata akan tampak kurang efisien. Akibatnya, jika tidak
dirobohkan, pemilik bangunan lebih memilih untuk menelantarkannya. Hal yang
tentu saja merugikan bagi generasi muda, yang tidak mendapatkan kesempatan
menikmati keragaman budaya kotanya, sekaligus menikmati sejarah
perkembangannya.

H. Bandung as The Capital City of Asian African Nations
Berakhirnya Perang Dunia II pada Agustus 1945, tidak berarti berakhir pula
situasi permusuhan di antara bangsa-bangsa di dunia. Di beberapa belahan dunia
masih ada masalah dan muncul masalah baru. Penjajahan yang dialami oleh negara-
negara di kawasan Asia dan Afrika merupakan masalah krusial sejak abad ke-15.
Walaupun sejak tahun 1945 banyak negara, terutama di Asia, kemudian
memperoleh kemerdekaannya, seperti : Indonesia (17 Agustus 1945), Republik



100

Demokrasi Vietnam (2 September 1945), Filipina (4 Juli 1946), Pakistan (14 Agustus
1947), India (15 Agustus 1947), Birma (4 Januari 1948), Ceylon (4 Februari 1948), dan
Republik Rakyat Tiongkok (1 Oktober 1949), namun masih banyak negara lainnya
yang berjuang bagi kemerdekaannya seperti Aljazair, Tunisia, Maroko, Kongo, dan di
wilayah Afrika lainnya. Beberapa Negara Asia Afrika yang telah merdeka pun masih
banyak yang menghadapi masalah sisa penjajahan seperti daerah Irian Barat,
Kashmir, Aden, dan Palestina. Selain itu konflik antarkelompok masyarakat di dalam
negeri pun masih berkecamuk akibat politik devide et impera.
Lahirnya dua blok kekuatan yang bertentangan secara ideologi, yaitu Blok Barat
yang dipimpin oleh Amerika Serikat (kapitalis) dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni
Sovyet (komunis), semakin memanaskan situasi dunia. Perang Dingin berkembang
menjadi konflik perang terbuka, seperti di Jazirah Korea dan Indo-Cina. Perlombaan
pengembangan senjata nuklir meningkat. Hal tersebut menumbuhkan ketakutan
dunia akan kembali dimulainya Perang Dunia. Walaupun pada masa itu telah ada
badan internasional yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfungsi
menangani masalah dunia, namun pada kenyataannya badan ini belum berhasil
menyelesaikan persoalan tersebut, sementara akibat yang ditimbulkan oleh
masalah-masalah ini sebagian besar diderita oleh bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.
Pada 28 – 29 Desember 1954, atas undangan Perdana Menteri Indonesia, para
perdana menteri peserta Konferensi Kolombo (Birma, Ceylon, India, Indonesia, dan
Pakistan) mengadakan pertemuan di Bogor, untuk membicarakan persiapan
Konferensi Asia Afrika. Konferensi tersebut berhasil merumuskan kesepakatan
tentang agenda, tujuan, dan negara-negara yang diundang pada Konferensi Asia
Afrika. Kelima negara peserta Konferensi Bogor menjadi sponsor Konferensi Asia
Afrika dan Indonesia dipilih menjadi tuan rumah pada konferensi tersebut, yang
ditetapkan akan berlangsung pada minggu terakhir di bulan April tahun 1955.
Presiden Indonesia, Soekarno, menunjuk Kota Bandung sebagai tempat
berlangsungnya konferensi.
Di Bandung, tempat diadakannya konferensi, dibentuklah panitia setempat pada
3 Januari 1955, dengan ketuai Sanusi Hardjadinata, Gubernur Jawa Barat. Panitia
Setempat bertugas mempersiapkan dan melayani hal-hal yang bertalian dengan
akomodasi, logistik, transportasi, kesehatan, komunikasi, keamanan, hiburan,



101

protokol, penerangan, dan lain-lain. Gedung Concordia dan Gedung Dana Pensiun
dipersiapkan sebagai tempat sidang-sidang konferensi. Hotel Homann, Hotel
Preanger, dan 12 hotel lainnya serta 31 bungalow di sepanjang Jalan Cipaganti,
Lembang, dan Ciumbuleuit dipersiapkan sebagai tempat menginap para peserta
yang berjumlah lebih kurang 1.500 orang. Selain itu, disediakan juga fasilitas
akomodasi untuk lebih kurang 500 wartawan dalam dan luar negeri. Keperluan
transportasi dilayani oleh 143 mobil, 30 taksi, 20 bus, dengan jumlah 230 orang sopir
dan 350 ton bensin tiap hari serta cadangan 175 ton bensin.
Dalam kesempatan memeriksa persiapan-persiapan terakhir di Bandung pada 7
April 1955, Presiden Indonesia Soekarno meresmikan penggantian nama Gedung
Concordia menjadi Gedung Merdeka, Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung
Dwiwarna, dan sebagian Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia Afrika. Penggantian
nama tersebut dimaksudkan untuk lebih menyemarakkan konferensi dan
menciptakan suasana konferensi yang sesuai dengan tujuannya.
Pada 15 Januari 1955, surat undangan Konferensi Asia Afrika dikirimkan kepada
kepala pemerintah dari 25 Negara Asia dan Afrika. Dari seluruh negara yang
diundang hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu Federasi Afrika
Tengah, karena memang negara itu masih dikuasai oleh orang-orang bekas
penjajahnya, sedangkan 24 negara lainnya menerima baik undangan itu, meskipun
pada mulanya ada negara yang masih ragu-ragu. Pada saat itulah, pada tanggal 18-
24 April 1955, Kota Bandung dijuluki sebagai Ibu Kota Asia Afrika sejak
penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA). Peristiwa tersebut menandai sejarah
bahwa Indonesia beserta negara-negara di Asia dan Afrika menjunjung perdamaian
dan kemerdekaan bangsa serta menentang penjajahan dan kolonialisme.
Sejak tahun 2009, Pemerintah Republik Indonesia selalu memperingati peristiwa
tersebut secara rutin tiap tahun dengan berbagai kegiatan. Tahun ini, Pemerintah
Kota (Pemkot) Bandung juga menggelar peringatan KAA sepanjang April ini.
Puncaknya, akan ada Asia Africa Carnival (AAC) 2018 yang dilaksanakan pada 29 April
2018 di Jalan Asia Afrika. Peserta Konferensi Asia Afrika (KAA) sepakat untuk memilih
Bandung sebagai Ibu Kota Asia dan Afrika, karena memiliki sejarah panjang dalam
menginspirasi negara-negara di kedua benua tersebut dalam memperoleh
kemerdekaan.



102

Yuri Octavian Thamrin, Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar
Negeri, mengatakan penetapan Bandung sebagai Ibu Kota Asia dan Afrika akan
menjadi salah satu hasil dari KAA. Kota Bandung dianggap sangat bersejarah dalam
upaya negara-negara di kedua benua tersebut meraih kemerdekaannya. “Pada
perayaan puncak KAA, akan ada pernyataan yang menyebut Bandung sebagai ibu
kota simbolis dari Asia dan Afrika”. Penyelenggaraan KAA untuk pertama kalinya di
Bandung pada 1955 dianggap menjadi titik balik dari perjuangan negara-negara di
kedua benua tersebut memperjuangkan keadilan dan kesetaraan dengan negara
lain.
Hingga kini, Dasa Sila Bandung masih dianggap relevan dalam menjawab
berbagai persoalan yang terjadi di dua benua tersebut. Prinsip yang dicetuskan di
Bandung pada 1955 itu menjadi landasan bagi negara-negara Asia dan Afrika untuk
memperkuat kerja sama di berbagai bidang. Pemerintah Indonesia juga akan
menetapkan 24 April sebagai hari Asia Afrika untuk memperingati solidaritas kedua
kawasan ini. Peringatan KAA diharapkan mampu mengingatkan semua pihak untuk
terus merealisasikan komitmennya di KAA. Keberadaan Kota Bandung menjadi Kota
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah suatu apresiasi yang tak ternilai.



Filename: BAB IV - DATA TEMUAN.docx
Folder: /Users/user/Library/Containers/com.microsoft.Word/Data/Documents
Template: /Users/user/Library/Group Containers/UBF8T346G9.Office/User
Content.localized/Templates.localized/Normal.dotm
Title:
Subject:
Author: mikey stroo
Keywords:
Comments:
Creation Date: 1/28/19 9:34:00 AM
Change Number: 2
Last Saved On: 1/28/19 9:34:00 AM
Last Saved By: sannymegawati@gmail.com
Total Editing Time: 0 Minutes
Last Printed On: 1/28/19 9:34:00 AM
As of Last Complete Printing
Number of Pages: 27
Number of Words: 6,772
Number of Characters: 43,832 (approx.)

You might also like