Cuplikan novel ini menceritakan mengenai kondisi suatu desa bernama
Dukuh Paruk pada saat musim kemarau, dimana ribuan hektare sawah yang mengelilingi Dukuh Paruk kering kerontang hingga menemukan genangan air selebar telapak kaki sangatlah susah. Desa Dukuh Paruk memiliki dua puluh tiga rumah, dihuni orang orang seketurunan. dan seketika cerita berfokus terhadap ketiga orang laki – laki yang bernama Rasus, Warta, dan Darsun, dimana cerita menceritakan mereka sedang mencoba untuk mencabut sebatang singkong dari tanah. Dengan bersusah payah dan mencoba berbagai cara, pada akhirnya mereka pun dapat mencabut sebatang singkong tersebut, dan dibagi antara bertiga. setelah ketiga laki – laki itu selesai makan, mereka bertemu Srintil, yaitu seorang perawan kecil yang sedang merangkai mahkota dari daun nangka. Karena letak Dukuh Paruk berada di tengah amparan sawah yang sangat luas, maka tenggelamnya matahari pun tampak dengan jelas, dan cuplikan novel pun berhenti pada saat bulan mencapai puncak langit. Menurut saya, walaupun cuplikan novel ini sangat bagus dalam penggambaran situasi baik lingkungan ataupun waktu, tetapi cuplikan novel ini kurang bagus dikarenakan penggunaan kata yang menurut saya rumit bagi pembaca baru pada novel ini, memberikan cerita yang kurang lengkap, dan tidak terlalu menggambarkan cerita penuh yang ada pada novel Ronggeng Dukuh Paruk.
Menurut saya, penggambaran situasi yang digunakan pada cuplikan novel
ini sangatlah bagus. Pada saat saya membaca pertama kali, saya dapat menggambarkan langsung dalam kepala saya lingkungan dimana cerita berada, dan juga pada waktu kapan kejadian tersebut terjadi dalam cuplikan novel tersebut. Contoh dari penggambaran lingkungan ini adalah “Kedua unggas itu telah melayang beratus-ratus kilometer mencari genangan air.” dan “Udara panas berbulan – bulan mengeringkan berjenis biji – bijian.” dimana dengan kalimat tersebut, saya bisa langsung menggambarkan bahwa lokasi adegan terletak pada tempat yang sedang mengalami kemarau akibat susahnya menemukan air. Dan penggambaran waktu juga sangatlah bagus, seperti “Hilangnya cahaya matahari telah dinanti oleh kelelawar dan kalong.” memberitahu bahwa adegan terjadi pada saat matahari tenggelam. Penggambaran waktu dan lingkungan ini tidaklah langsung digambarkan, tetapi disembunyikan oleh penulis dalam kalimat – kalimat, tetapi mudah untuk dimengerti bagi pembaca pemula. Tetapi, saya tidak terlalu menyukai penggunaan kata yang rumit, seperti “kulit polongnya”, “bromocorah”, “kemenyan” merupakan kata - kata yang sulit untuk dicerna bagi pembaca pemula. dan juga salah satu hal yang saya kurang suka dari cuplikan novel ini merupakan penggambaran cerita yang kurang lengkap, seperti pada cuplikan novel disebutkan karakter yang bernama Ki Secamenggala, yang merupakan seorang bromocorah, yang tidak memiliki dampak terhadap cerita pada cuplikan novel tersebut karena cerita langsung menggantikan tokoh ke cerita yang lain, sehingga membingungkan para pembaca.
Rekomendasi saya terhadap pembaca adalah anda untuk membaca novel
Ronggeng Dukuh Paruk, dan bukan cuplikannya, dan untuk penulisnya, untuk menggunakan kata yang dapat dicerna oleh kaum – kaum muda. Tetapi cerita “Ronggeng Dukuh Paruk” ini menurut saya tetap bagus dan memiliki cerita yang unik, dan penggambaran yang bagus.