You are on page 1of 3

RESUME KULIAH FILSAFAT

ANALISIS KASUS HUKUM


Nama/NPM/Prodi : Sylviana Kuswandi/2206096832/IKA
Narasumber : Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, DFM, SH, MSi, SpFM(K)
Hari/Tanggal/Jam : Selasa/25 Oktober 2022/Pukul 08.00-09.50 WIB

Setiap dokter rentan terkena permasalahan hukum karena belum ada medical liability
system. Hukum profesi medik atau disiplin misalnya perkonsil, permenkes, atau peraturan
IDI. Hukum tort berisi barangsiapa yang melanggar hukum atau menggangu privasi
seseorang akan dapat langsung di pidana.
Bentuk-bentuk pelanggaran disiplin yang dimuat dalam PERKONSIL 4 tahun 2011,
yaitu (1) tidak kompeten atau cakap, (2) tidak merujuk ke dokter atau dokter gigi yang
kompetensinya sesuai, (3) mendelegasikan pada tenaga Kesehatan yang tidak kompeten, (4)
dokter atau dokter gigi pengganti tidak kompeten dan tidak terdapat pemberitahuan kepada
pasien, (5) tidak layak praktik (karena kesehatan fisik dan mental), (6) kelalaian dalam
penatalaksanaan pasien, (7) pemeriksaan dan pengobatan berlebihan, (8) tidak memberikan
informasi yang jujur, etis, dan adekuat, (9) tidak melaksanakan informed consent, (10)
sengaja tidak membuat atau menyimpan rekam medis, (11) penghentian kehamilan tidak
sesuai indikasi, (12) penerapan pelayanan yang belum diterima kedokteran, (13) penelitian
klinik tanpa ethical clearance, (14) tidak memberi pertolongan darurat, (15) menolak atau
menghentikan pengobatan tanpa alsan yang sah, (16) menggunakan gelar akademik, (17)
membuka rahasia kedokteran tidak sesuai ketentuan, (18) membuat keterangan medik tanpa
dasar yang benar, (19) turut serta dalam tindakan penyiksaan (torture), (20) perespan tidak
sesuai aturan dan etika, (21) pelecehan seksual, intimidasi, dan kekerasan (22) meggunakan
gelar akademik yang bukan haknya, (23) menerima imbalan dari rujukan atau pereseoan di
luar ketentuan etika, (24) melakukan pengiklanan yang menyesetakan, (25) ketergantungan
pada NAPZA, (26) menggunakan STR, SIP, dan sertifikat komepetensi yang tidak sah, (27)
menerima imbalan jasa tidak sesuai Tindakan, (28) tidak memberikan data atau informasi
atas permintaan MKDKI.
Apabila dilihat secara seksama, latar belakang hal-hal tersebut terjadi karena seorang
dokter tidak memiliki rasa percaya kepada teman sejawat, dan tidak mau “berbagi” dengan
sejawat. Lintasan menuju fraud terdiri dari (1) mistake (terjadinya eror) misalnya incorrect
coding, (2) inefficiencies (terjadinya waste) misalnya pelayanan medis yang berlebihan atau
tidak sesuai indikasi (3) bending the rules (terjadinya abuse) misalnya upcoding (4)
intentional deception (terjadinya fraud).
Pembuktian apabila terduga malpraktik (1) akumulasikan semua D1. D2, D3, dan D4,
(2) formulasikan D1 dan atau D2, (3) pastikan ada D3 dan ada hubungan kausatif D4.
Pembelaan berupa (1) patahkan 1 D manapun, (2) jangan lakukan D2, (3) patients safety, dan
(3) kausatif audit medik (bebas D4).
Cakupan hukum mengenai mana yang putih (norma yang diperbolehkan) dan hitam
(norma yang dilarang) menggunakan pemikiran abu-abu (prima facie). Misalnya setiap
dokter berpraktik harus memiliki SIP, namun, apakah yang tidak berpraktik tidak perlu SIP?
Lalu bagaimana yang cuma sesekali atau menggantikan atau keadaan darurat?
Paradigma ilmu yang normatif dan interaksi hak serta kewajiban pasien. Barang bukti
berubah menjadi alat bukti. Pasien berharap memiliki pelayanan kesehatan yang mujarab,
mudah, murah, dan memiliki mutu. Hak-hak dokter terdapat di cakupan pasal. Dokter
memiliki perlindungan berupa standar profesi.
Public health consent misalnya saat imunisasi covid-19 tidak membutuhkan
persetujuan individu karena akan memakan banyak waktu. Res ipsa loquituur (the things talk
its self) misalnya kassa tertinggal saat operasi, maka dokter harus dapat menjelaskan atau
membuktikan alasannya. Locality rules adalah alat kesehatan masing-masing rumah sakit
berbeda, minority rule adalah spesialisasi masing-masing rumah sakit berbeda.
Indonesia belum memiliki banyak PNPK (pedoman nasional praktik klinis) sehingga
banyak sekali variasi dalam praktik kedokteran. Sesuatu yang layak dicegah meliputi (1)
kekeliruan medik, (2) pengobatan substandard, (3) monitoring yang kurang memadai, (4)
Sikap kurang waspada saat melakukan pelayanan Kesehatan, (5) penilaian yang tidak
memdai, (6) pengobatan atau diagnostik yang tidak perlu dilakukan, (7) sistem keselamatan
pasien dilanggar, (8) gangguan pada lingkungan kerja, dam (9) komunikasi yang buruk antara
dokter serta pasien.
Sesuatu yang tidak dapat dicegah misalnya (1) Tak adanya pendokumentasian rekam
medik, (2) Perawatan / asuhan medis yang sulit (kompleks), dan (3) Kondisi pasien yang sulit
(kompleks). Tanggung jawab PPDS sesuai dasar kompetensi dan kewenangan, di mana
tanggung jawab berada pada DPJP (dokter penanggung jawab) dan direktur rumah sakit,
perhatikan daftar jaga, sertifikat kompetensi dan surat tugas dari KPS dan dekan, dan
perhatikan kewenangan klinis dari direksi rumah sakit
Analisis kasus diagnosis meliputi upaya penegakan diagnosis keseluruhan dan
sistematis, kepatuhan dan ketelitian dalam penegakan diagnosis berdasarkan buktui ilmiah,
penggunaan best practice, dan cara pendelegasian wewenang pada tenaga keehatan lain
missal perawat atau bidan. Analisa kasus prognosis meliputi kemungkinan adverse events
yang lazim, Langkah antisipatif risiko pada kasus, sistem rujukan, perjanjian dengan pusat
rujukan, pengertian pada kondisi khusus pasien misalnya alergi, imuno-kompromaise dan
lainnya.
Analisa kasus terapi meliputi mekanisme kontrol akurasi, rawat bersama, kompetensi
pelaksana, superseding cause (kesalahan menggantikan jalannya patofisiologi), ketepatan
menyimpulkan penyakit, dan modalitas terapi. Analisis kasus komunikasi informasi meliputi
pemberian informed consent, mispersepsi atau mitos yang berhubungan dengan kualitas
hidup, keluasan informasi, perubahan situasi medik, biaya dan syarat peserta asuransi, dan
proxy serta spouse consent.
Analisis kasus hambatan atau gangguan proses medik (diagnosis, prognosis, dan terapi)
meliputi pertanyaan apakah pasien tidak mampu, apakah terdapat risiko atau iatrogenic,
adakah andil kesalahan pasien/keluarganya, miskomunikasi karena rusak harapan, dilema etik
/ konflik etikolegal persisten, evaluasi check point pengelolaan, dan evaluasi on going “did it
causality”
Penyimpulan kategori kasus hitam/putih/abu-abu, penyingkiran masalah litigious legal
procedures, apakah ada pembelaan terbatas, rencana pendisiplinan, koordinasi dengan dewan
kehormatan seperti dokter spesialis, MKEK, dan lainnya

You might also like