You are on page 1of 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengertian korupsi menurut masyarakat awam khususnya adalah

suatu tindakan mengambil uang Negara agar memperoleh keuntungan

untuk diri sendiri. Akan tetapi Leden Marpaung menegaskan pengertian

korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau

perusahaan, dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain). 1

Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M.Chalmers

menguraikan, arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang

menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi

di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum.

Kesimpulan ini diambil dari definisi yang dikemukakan antara lain

yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan

manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan

umum. Kesimpulan ini diambil dari definisi yang dikemukakan antara lain

manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang membahayakan

perekonomian sering dikategorikan perbuatan korupsi. 2 Dalam Wetboek

Van Strafrecht terdapat ketentuan-ketentuan yang mengancam dengan

pidana orang-orang yang melakukan delik jabatan, pada khususnya delik-

delik yang dilakukan oleh pejabat yang bersangkut-paut dengan tindak


1
Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Djambatan, 2007), hlm. 5
2
Evi Hartanti, 2007. Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm.
19
2

pidana korupsi. wajar kalau seorang pejabat yang menerima pemberian

sesuatu karena atau untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan

kewajibannya, kemudian dipidana.3

Di dalam Kitab Undang-undang Hukum pidana (KUHP) ada

ketentuan di dalam Pasal 418 yang mengancam pidana seorang pejabat

yang menerima pemberian atau kesanggupan (belofte), sedang

diketahuinya olehnya atau menurut kewajaran seharusnya dapat diduga,

bahwa hal tersebut diberikan kepadanya karena sesuatu kekuasaan atau

wewenang, yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut

perkiraan orang yang mengadakan pemberian atau kesanggupan itu

melekat kepada jabatannya. Terlepas dari berbagai ragam pengertian

korupsi di atas, secara yuridis, pengertian korupsi, baik arti maupun

jenisnya telah dirumuskan, di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang sebelumya, yaitu Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Disamping itu perkataan korupsi dipakai untuk menunjuk

keadaan atau perbuatan yang busuk.

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara jelas telah

dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah

diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan

kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut


3
Sudarto Op.Cit, hlm. 120.
3

menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan

sanksi pidana karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana

korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Kerugian keuangan negara;


2. Suap-menyuap;
3. Penggelapan dalam jabatan;
4. Pemerasan;
5. Perbuatan curang;
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan;
7. Gratifikasi.4

Masalah gratifikasi berkaitan erat dengan masalah korupsi karena

jika dilihat asal kata korupsi itu, yang berarti perbuatan kotor atau dalam

naskah kuno negara kertagama perbuatan korupsi diartikan sebagai

perbuatan yang merusak.5 Gratifikasi (korupsi) banyak disangkutkan

kepada ketidakjujuran seseorang dalam bidang keuangan. Masalah

tersebut erat sekali dengan pejabat atau pegawai negeri baik sebagai

penerima maupun penerima gratifikasi. Penanggulangan masalah ini yang

menyangkut orang-orang yang mempunyai kekuasaan kenegaraan dalam

tata hukum zaman Hindia Belanda sudah ada, adalah di dalam Wetboek

Van Strafrecht disamping adanya peraturan-peraturan dalam bidang

administrasi/keuangan.6

Tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi bukanlah hanya

sekedar masalah hukum, tetapi telah menjadi persoalan ekonomi, budaya

4
Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi (Aspek Nasional dan Aspek
Internasional), (Bandung : Mandar Maju, 2004), hlm.1
5
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 2007), hlm. 114
6
Ibid, hlm. 117
4

dan politik.7 Aspek ekonomi dari korupsi antara lain pembayaran yang

mempersamakan penawaran dan permintaan, suap sebagai insentif

pembayaran untuk birokrat, suap untuk mengurangi biaya, kejahatan dan

korupsi yang teroganisir, pembayaran untuk memperoleh kontrak dan

konsesi besar kepada pejabat tinggi.

Permasalahan pidana menjadi permasalahan yang serius di

beberapa negara termasuk di Indonesia, tanpa terkecuali dalam bidang

kesehatan seperti kerjasama antara dokter dengan pedagang besar

farmasi terkait pemberian obat terhadap pasien, sebagaimana ketentuan

dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun

2016 tentang Sponsorship Bagi Tenaga Kesehatan yang menyatakan

bahwa,

“Sponsorship adalah pemberian dukungan dalam segala bentuk


bantuan dan/atau kegiatan dalam rangka peningkatan pengetahuan
yang dilakukan, diorganisir atau disponsori oleh
perusahaan/industri farmasi, alat kesehatan, alat laboratorium
kesehatan dan/atau perusahaan/industri lainnya yang dapat
dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel.” 8

Ketentuan tersebut bertentangan dengan apa yang diatur dalam

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2014

tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Kesehatan jo

Pasal 12B Undang-Undang Nomor 5 Undang-Undang No.31 Tahun 1999

jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak

7
Mia Amiati Iskandar, Perluasan Penyertaan Dalam Tindak Pidana Korupsi
Menurut UNCATOC 2000 dan UNCAC 2003, (Jakarta : Referensi, 2013), hlm. 3
8
Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun
2016 tentang Sponsorship Bagi Tenaga Kesehatan, Pasal 1 angka 1. Berita Negara
Tahun 2016, Nomor 1793.
5

Pidana Korupsi, dan Kode Etik International Pharmaceutical

Manufacturers Group (IPMG) 2019 yang diratifikasi oleh Indonesia.

Pelayanan kesehatan yang berindikasikan melanggar hukum tersebut

berupa kerjasama yang dilakukan oleh dokter dengan Pedagang Besar

Farmasi (PBF).9

Praktik-praktik korupsi dibidang kedokteran sudah merupakan

rahasia umum. Tingginya harga siapa


Ini pendapat obat-obatan
? saat ini, mengindikasikan

adanya upaya kerjasama ilegal antara dokter dan perusahaan farmasi

juga perusahaan penyedia alat-alat kesehatan. Bicara mengenai dokter

pastilah identik dengan obat-obatan dan obat-obatan identik dengan

perusahaan farmasi.10

Pada kasus Gratifikasi yang dilakukan perusahaan farmasi kepada

dokter sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK tengah

meyelidiki dugaan aliran dana sekitar Rp800 miliar dari sebuah

perusahaan farmasi kepada sejumlah dokter. Uang sebesar itu diduga

sebagai gratifikasi untuk dokter atas jasa penjualan produk kesehatan

kepada pasien. penyelidikan atas dugaan tersebut dilakukan untuk

menyimpulkan ada atau tidaknya tindak pidana korupsi yang dilakukan

oleh perusahaan dan pihak terkait lain. Laporan dugaan gratifikasi untuk

dokter tersebut diterima KPK dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

9
Samsi Jacobalis, Rumah Sakit: Benturan antara Etika Medis dan Komersialisasi
Jasa dalam Rumah Saki tantara Komersialisasi dan Etika, (Jakarta: Gramedia
Widjasarana Indonesia, 1995), hlm. 21.
10
Yenny Fitri, “Tinjauan Hukum Dokter yang berkolusi dengan perusahaan
farmasi dalam meresepkan obat”, Jurnal Cendekia Hukum, Volume 3, Nomor 2, Maret
2018, hlm. 91-128
6

Keuangan (PPATK) sekitar dua minggu lalu, berbarengan dengan

sejumlah temuan aliran dana di sektor kesehatan. KPK menduga aliran


Statement spt ini tdk bisa
dana Rp800 miliar yang ditulis.
dikucurkan oleh
2 minggu perusahaan
yang lalu sejak farmasi merupakan
kapan ? Adakah referensi ttg
11
bentuk dukungan finansial bagi dokter.
temuan aliran dana 800 M itu ?

Kasus berikutnya yaitu di tangani oleh kuasa hukum karyawan PT

Mestika Farma, Odie Hudiyanto yang melaporkan perusahaan industri

farmasi  tersebut ke Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri soal

dugaan gratifikasi kepada dokter-dokter rekanan. Pelaporan itu terkait

dugaan suap yang dilakukan oleh Steve Yang selaku pemilik sekaligus

Direktur Utama PT Mestika Farma. Kasus ini berawal dari pengakuan

karyawan PT Mestika Farma atas penyimpangan yang dilakukan oleh

perusahaan. Akibat gratifikasi itu, obat-obatan yang dijual di pasaran jadi

lebih mahal. Jadi dokter-dokter itu diberi uang awalan yang kemudian

harus menjual obat sesuai target yang diminta perusahaan. 12

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, telah memperkenalkan istilah “gratifikasi’ yang terkait

dengan suap. Aturan mengenai suap sebenarnya telah lama diatur dalam

perundang-undangan sejak dahulu. Bentuk korupsi yang paling umum

tersebut (suap) tidak terbatas pada uang, tetapi dapat berbentuk lain,

11
Joko Panji Sasongko, KPK Usut Aliran Rp. 800 Milyar Perusahaan Farmasi
Untuk Dokter, diakses tanggal 6 Agustus 2022 di
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160917091559-12-158973/kpk-usut-aliran-
rp800-miliar-perusaahan-farmasi-untuk-dokter/.
12
Iqbal Ichsan, Industri farmasi Diduga Suap Dokter, Karyawan Lapor Polisi.
Diakses tanggal 6 Agustus 2022 di https://nasional.tempo.co/read/1040355/industri-
farmasi-diduga-suap-dokter-karyawan-lapor-polisi/.
7

seperti mobil, tanah, perhiasan, rumah, seks, makanan dan minuman,

emas atau perak, saham, pelacur, dan hal lain yang umumnya dihargai

oleh si penerima.

Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa : 13

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau


penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya” dengan ketentuan:
a. Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap
dilakukan oleh penuntut umum.

Tenaga kesehatan seperti dokter maupun PBF memiliki kode etik

tersendiri. Namun, hubungan yang terbilang biasa saja dapat

menimbulkan kecenderungan mengarah kepada hal yang dapat

menguntungkan kedua belah pihak. Ketika berobat ke dokter besar

keinginan pasien adalah untuk sembuh dan dalam situasi ini pasien tidak

tahu penyakit yang diderita yang berlaku juga tidak tahu pilihat obat yang

tepat untuk berobat. Sehingga pasien melakukan pengobatan ke dokter

untuk berobat dan mendiagnosis yang dideritanya dan menerima

pemberian resep obat yang diberikan oleh dokter. Dalam hubungan dokter

13
Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Pasal 12 B ayat (1). Lembaran Negara Tahun 2001, Nomor 134.
8

dengan pasien inilah menyerahkan sepenuhnya pilihan obat untuk

kesembuhan kepada dokter, yang kemudian memberikan resep obat. 14

Berdasarkan pengertian gratifikasi di atas, hal tersebut juga

berkaitan dengan adanya gratifikasi oleh perusahaan farmasi terhadap

profesi kedokteran dimana perusahaan farmasi tersebut dalam

mempromosikan obat melakukan cara kolusi dalam bentuk kerjasama

dengan dokter dengan cara memberikan komisi atau insentif kepada

dokter pada setiap penulisan resep obat kepada pasien dimana hal ini

merupakan kesepakatan yang dibuat antara perusahaan farmasi dengan

dokter terhadap resep yang ditulis dokter. Dengan kata lain, sakitnya

pasien dan penulisan resep dokter menjadi substansi hubungan kolusi

dan marketing/sales bisnis perusahaan farmasi. Gagasan atau ide untuk

melakukan kolusi bukan semata datang dan suatu perusahaan farmasi,

ada kalanya hal ini timbul karena adanya permintaan dari dokter itu

sendiri.15

Adapun tulisan serupa dengan penelitian ini atau yang pernah di

publikasikan mengenai gratifikasi antara dokter dengan perusahaan besar

farmasi antara lain sebagai berikut :

1. Yeni Fitri dengan judul tesis, “Kolusi Perusahaan Farmasi

Dengan Dokter Dalam Pelayanan Kesehatan Dari Perspektif

Hukum Pidana Korupsi”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

14
HL. Fatika, “Kerjasama Dokter dengan Pedagang Besar Farmasi Terkait
Pemberian Obat Pasien,” Jurist-Diction, Volume 3, Nomor 5, 2020, hlm. 178.
15
S. Mochtar, Strategi Pemasaran Bisnis Farmasi, (Sidoarjo: Zifatama Jawara,
2020), hlm. 42
9

Praktek kolusi antara dokter dan perusahaan farmasi ini dibungkus

dalam bentuk kerja sama dimana dokter akan menerima diskon 10-

20 persen penjualan obat dari perusahaan farmasi yang diberikan

dalam bentuk uang dan fasilitas lainnya. Kolusi yang terbentuk

antara dokter dan perusahaan farmasi dalam meresepkan obat

untuk pasien dapat dikualifikasikan sebagai Tindak Pidana Suap

yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11

Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap dan Pasal 12B Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU

Anti Korupsi). Pada penelitian tesis ini lebih fokus klasifikasi

perbuatan yang masuk ketegori gratifikasi terkait kerja sama dokter

dengan perusahaan besar farmasi sedangkan Pada terdahulu ini

membahas asas-asas tindak pidana korupsi dalam memberikan

pelayanan kesehatan dalam perspektif hukum pidana korupsi. 16

2. Trini Handayani dengan judul, “Tinjauan Medikolegal

Terhadap Perbuatan Gratifikasi Sponsorship Oleh Perusahaan

Farmasi.” Berdasarkan hasil analisis faktor diketahui bahwa

Pemberian sponsorship ini tidak diperkenankan dalam bentuk uang,

tetapi dalam bentuk akomodasi dan registrasi kegiatan ilmiah dalam

rangka peningkatan ilmu pengetahuan atau ketrampilan tindakan

medis. Metode penelitian dilakukan dengan wawancara dan


16
Yeni Fitri, Kolusi Perusahaan Farmasi Dengan Dokter Dalam Pelayanan
Kesehatan Dari Perspektif Hukum Pidana Korupsi, Padang: Magister Hukum Universitas
Andalas Sumatera barat, 2016.
10

observasi kepada pihak perusahaan farmasi dan Dokter praktik.

Hasilnya, sering terjadi penyimpangan kasus gratifikasi yang

terindikasi suap baik yang ditawarkan oleh perusahaan farmasi

maupun yang diminta oleh Dokter. Pada penelitian tesis ini lebih

fokus klasifikasi perbuatan yang masuk ketegori gratifikasi terkait

kerja sama dokter dengan perusahaan besar farmasi sedangkan

pada terdahulu ini membahas mengenai tinjauan medikolegal

terhadap perbuatan gratifikasi yang dilakukan oleh sponsorship. 17

3. Frans Santosa dengan judul, “Sponsorship Pendidikan

Kedokteran: Batasan yang Sering Terabaikan.” Hasil penelitian ini

didapatkan bahwa kegiatan ini acap kali lupa memandang koridor

etika dengan tidak mengindahkan batasan yang harus diperhatikan

dengan berbagai alasan. Seorang dokter tidak diperbolehkan

menerima uang tunai sebagai bentuk sponsorship tanpa terkecuali.

Tidak hanya itu, terdapat regulasi lainnya yang sejatinya perlu

diindahkan oleh dokter. Adanya tinjauan etik ini diharapkan mampu

mengingatkan kembali atau memberikan pemahaman kepada

sejawat dalam praktik sehari-hari. Pada penelitian tesis ini lebih

fokus klasifikasi perbuatan yang masuk ketegori gratifikasi terkait

kerja sama dokter dengan perusahaan besar farmasi sedangkan

pada terdahulu ini membahas mengenai gratifikasi antara dokter

17
Trini Handayani, Tinjauan Medikolegal Terhadap Perbuatan Gratifikasi
Sponsorship Oleh Perusahaan Farmasi, Volume 1, Nomor 1, April 2021, hlm. 11.
11

dengan perusahaan farmasi dengan cara menerima uang tunai


Apa tidak sebaiknya : Analisis
Gratifikasi dari18Perusahaan
sebagai bentuk sponsorship
Farmasi kepada Dokter ....dst....
Berdasarkan paparan tersebut di atas, maka dari itu penulis tertarik

membuat penelitian tesis dengan judul, “Analisis Gratifikasi Antara

Perusahaan Farmasi Dengan Dokter Yang Mengakibatkan Kerugian

Pada Pasien”.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian tesis ini adalah sebagai

berikut :

1. Bagaimana pengaturan hukum gratifikasi yang dilakukan

oleh perusahaan farmasi terhadap dokter dalam memberikan

pelayanan kesehatan ?

2. Bagaimana pertanggungjawaban hukum gratifikasi yang

dilakukan oleh perusahaan farmasi dengan dokter ? terhadap

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis membuat

tujuan dalam penelitian, yaitu :

1. Untuk menganalisis pengaturan hukum gratifikasi yang

dilakukan oleh perusahaan farmasi terhadap dokter dalam

memberikan pelayanan kesehatan.

18
Frans Santosa, “Sponsorship Pendidikan Kedokteran: Batasan yang Sering
Terabaikan,” Jurnal Etika Kedokteran Indonesia, Volume 2 Nomor 1 Maret 2018, hlm. 13
12

2. Untuk menganalisis pertanggungjawaban hukum gratifikasi

yang dilakukan oleh perusahaan farmasi dengan dokter.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

ilmu pengetahuan, khususnya dalam gratifikasi antara dokter

dengan perusahaan farmasi yang merugikan pasien dalam

pemberian obat.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

jawaban terkait dengan masalah yang diteliti,

mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir yang

dinamis serta membantu semua pihak dalam memberikan

ilmu pengetahuan.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi

masukan bagi pemerintah dalam memberikan pengawasan

terhadap gratifikasi antara perusahaan farmasi dengan

dokter dengan menerapkan Undang-Undang yang diatur

oleh pemerintah dan mengetahui permasalahan yang terjadi

dilingkungan medis.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat juga memberi

informasi tentang perkembangan kejahatan tindak pidana


13

yang semakin beragam. Seperti yang ada dalam penelitian

ini yaitu gratifikasi antara perusahaan farmasi dengan dokter,

agar penegak hukum dapat lebih memahami permasalahan

yang timbul dari hasil penelitian ini.

E. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan ciri penting bagi penelitian ilmiah

untuk mendapatkan data. Teori merupakan alur penalaran atau

logika (flow of reasoning/ logic), terdiri dari seperangkat konsep

atau variabel, defenisi dan proposisi yang disusun secara

sistematis.19 Dijelaskan secara rinci mengenai teori-teori yang

mendukung penelitian tesis ini, yaitu :

a. Teori Tanggungjawab Hukum

Tanggung jawab merupakan salah satu dari beberapa

sikap yang menjadi nilai-nilai dalam pendidikan karakter.

Tanggung jawab yaitu sikap dan perilaku seseorang untuk

melaksanakan tugas dan kewajibannya. 20 Tanggung jawab

adalah suatu sikap siap untuk memilih suatu pilihan yang

ingin dilakukan dalam hidup, dan siap menghadapai

konsekuensi atas pilihan yang sudah dilakukan. Dengan

19
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, (Jakarta : Rineka Cipta,
2003), hlm. 194.
20
Sri Narwanti, Pendidikan Karakter, (Jogjakarta, Familia Pustaka Kaluarga,
2014), hlm. 30
14

demikian, segala sesuatu yang telah dilakukan seharusnya

harus dipertimbangkan dahulu secara mendalam dan tidak

terburu-buru.21 Tanggung jawab yaitu memiliki penguasaan

diri, mampu melaksanakan tugas dengan baik secara

individu maupun kelompok, dan memiliki akuntabilitas yang

tinggi.22

Tanggung jawab dalam kamus hukum dapat

diistilahkan sebagai liability dan responsibility, istilah liability

menunjuk pada pertanggungjawaban hukum yaitu tanggung

gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subjek hukum,

sedangkan istilah responsibility menunjuk pada

pertanggungjawaban politik.23

Teori tanggung jawab lebih menekankan pada makna

tanggung jawab yang lahir dari ketentuan Peraturan

Perundang-undangan sehingga teori tanggungjawab

dimaknai dalam arti liabilty,24 sebagai suatu konsep yang

terkait dengan kewajiban hukum seseorang yang

bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan tertentu

21
Fatchul Mu’in, Pendidikan Karakter konstruksi teoritik dan Paraktik,
(Yogjakarta, Ar-Ruzz Media 2014), hlm. 219
22
Tim Sanggar Grasindo, Membiasakan Perilaku Sikap yang Terpuji, (Jakarta :
Gramdia Widiasarana Indonesia, 2010), hlm. 5
23
HR. Ridwan, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2006), hlm. 337
24
Busyra Azheri, Corporate Social Responsibility dari Voluntary menjadi
Mandotary, (Jakarta : Raja Grafindo Perss, 2011), hlm. 5
15

bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus

perbuatannya bertentangan dengan hukum.

Tanggung jawab hukum dokter adalah suatu

‘’keterkaitan’’ dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum

dalam menjalankan profesinya. Tanggung jawab seorang

dokter dalam bidang hukum terbagi tiga bagian, yaitu

tanggung jawab dokter dalam bidang hukum perdata,

pidana, dan administrasi.25

Kerjasama yang diperbolehkan antara dokter dengan

PBF tidak terlepas dari prinsip pemberian sponsorship yang

diatur pada Pasal 4 ayat (1) PMK Nomor 58 Tahun 2016

tentang Sponsorship bagi Tenaga Kesehatan yang

menyatakan bahwa

“Sponshorship yang diberikan kepada Tenaga Kesehatan


harus memenuhi prinsip:
a. Tidak mempengaruhi independensi dalam
pemberian pelayanan kesehatan;
b. Tidak dalam bentuk uang atau setara uang;
c. Tidak diberikan secara langsung kepada
individu;
d. Sesuai dengan bidang keahlian;
e. Diberikan secara terbuka; dan
f. Dikelola secara akuntabel dan transparan. 26

Hal ini diberi pengecualian dikarenakan seperti tujuan

utama antara kerjasama dokter dengan PBF yaitu PBF

memberikan secara terbuka mengenai pendanaan untuk


25
Muhammad Sadi Is, Etika Hukum Kesehatan Teori dan Aplikasinya di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2015), hlm. 103.
26
Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2016 tentang
Sponsorship Bagi Tenaga Kesehatan, Pasal 4. Berita Negara Tahun 2016, Nomor 1793
16

penelitian dokter dimana dokter melakukan penelitian itu

wajib berdasarkan Pasal 17 Kode Etik Kedokteran Indonesia

yang menyatakan bahwa “Setiap dokter harus senantiasa

mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

kedokteran/kesehatan”.

Sedangkan kerjasama yang dilakukan antara dokter

dengan PBF dapat dikualifikasikan perbuatan pidana apabila

suatu perbuatan tersebut memenuhi unsur yang telah

dijelaskan sebelumnya dan dianggap suap dimana hal ini

dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14

Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di

Rumah Sakit mengenai kerjasama yang menyatakan bahwa

Gratifikasi yang dianggap suap sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 3 huruf a meliputi penerimaan namun tidak

terbatas pada:

a. Marketing fee atau imbalan yang bersifat


transaksional yang terkait dengan pemasaran produk;
b. Cashback yang diterima instansi yang
digunakanuntuk kepentingan pribadi;
c. Gratifikasi yang terkait dengan pengadaan
barang dan jasa, pelayanan publik, atau proses
lainnya; dan
d. Sponsorship yang terkait dengan pemasaran
atau peneltian suatu produk.

Kerjasama yang dilakukan ini merupakan kerjasama yang

dikualifikasikan perbuatan pidana sesuai dengan Pasal 4

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 Tahun 2014 tentang


17

Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit jo. Pasal

12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu

kerjasama antara dokter dengan PBF yang berupa

perbuatan pidana seperti marketing fee, cashback,

gratifikasi, dan sponsorship yang bersifat melanggar

ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

b. Teori Tujuan Hukum

Gustav Radbruch, mengemukakan bahwa tujuan

hukum adalah untuk keadilan, kemanfaatan, dan kepastian

hukum.27 Bagi Radbruch ketiga aspek ini sifatnya relatif, bisa

berubah-ubah. Satu waktu bisa menonjolkan keadilan dan

mendesak kegunaan dan kepastian hukum ke wilayah tepi.

Diwaktu lain bisa ditonjolkan kepastian atau kemanfaatan.

Hubungan yang sifatnya relatif dan berubahubah ini tidak

memuaskan.

Meuwissen memilih kebebasan sebagai landasan dan

cita hukum. Kebebasan yang dimaksud bukan

kesewenangan, karena kebebasan tidak berkaitan dengan

apa yang kita inginkan. Tetapi berkenaan dengan hal

menginginkan apa yang kita ingini. Dengan kebebasan dapat


27
Acmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Toeri Peradilan
(judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Cetakan Ke-I
Agustus, (Jakarta : Kencana Perdana Media Group, 2009), hlm. 212.
18

menghubungkan kepastian, keadilan, persamaan dan

sebagainya.28

Pemanfaatan dokter sebagai media promosi obat

dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 58 Tahun 2016 tentang Sponsorship Bagi Tenaga

Kesehatan boleh dilakukan dengan cara: 29

(1) Sponsorship oleh perusahaan/industri farmasi,


alat kesehatan, alat laboratorium kesehatan dan/atau
perusahaan/industri lainnya harus dilakukan secara
terbuka dan tidak boleh ada konflik kepentingan.
(2) Sponsorship yang dilakukan secara terbuka
dan tidak ada konflik kepentingan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan agar tidak
mempengaruhi independensi seperti penulisan resep,
anjuran penggunaan barang atau terkait produk
Sponsorship.

Kerjasama yang dilakukan ini hanya untuk

pengembangan profesi dokter dan pengembangan edukasi

kesehatan yang diperuntukan oleh dokter untuk meneliti

produk pengembangan obat yang diproduksi oleh

perusahaan farmasi. Dapat dikatakan bahwa kerjasama

yang diperbolehkan antara dokter dengan perusahaan

farmasi dalam pemberian obat pada pasien itu kerjasama

yang dilakukan secara terbuka dan tidak boleh ada konfilk

kepentingan tertentu yang dilakukan oleh para pihak yang

28
Meuwissen Sidharta Arief, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum dan Filsafat Hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2007), hlm. 20.
29
Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun
2016 tentang Sponsorship Bagi Tenaga Kesehatan, Pasal 5. Berita Negara Tahun 2016,
Nomor 1793.
19

diwujudkan dengan tidak mempengaruhi independsi dokter

dalam bentuk penulisan resep dan anjuran penggunaan

barang atau terkait produk sponsorship pada pasien.

2. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang

menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang

akan diteliti. Konsep bukan merupakan gejala/fakta yang akan

diteliti, melainkan abstraksi dari gejala tersebut. 30 Untuk

mempermudah pemahaman dan menyamakan konsepsi dalam

penulisan Tesis ini, terlebih dahulu akan disampaikan mengenai

istilah-istilah yang berkaitan dengan topik penelitian sebagai

berikut:

a. Analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan,

perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan

yang sebenarnya.31

b. Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam

melaksanakan upaya kesehatan.32

30
Abdullah Sulaiman, Metode Penulisan Ilmu Hukum, (Jakarta:YPPSDM. 2012).
hlm. 20.
31
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan
Ketiga. (Jakarta: Balai Pustaka. 2005), hlm. 43.
32
Indonesia, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
Op.Cit, Pasal 1 angka 1
20

c. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis,

dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan

kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di

luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 33

d. Pelayanan kesehatan adalah upaya yang

diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam

suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan

kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta

memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok,

atau masyarakat.34

e. Tindak Pidana merupakan terjemahan dari Bahasa

Belanda Het Strafbare Feit. Istilah Het Strafbare Feit ini telah

diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai berikut,

Perbuatan yang dapat/boleh dihukum, Peristiwa pidana,

Perbuatan pidana, dan Tindak pidana.35

f. Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang

secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana

33
Ibid, Pasal 1 angka 2.
34
Soewono Hendrojono, Batas Pertanggung jawaban Hukum Malpraktik
Kedokteran dalam Transaksi Teurapetik, (Surabaya : Srikandi, 2007), hlm. 99
35
Ibid, hlm. 204.
21

penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20

(dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.

200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 36

F. Metode Penelitian

Setiap penulisan ilmiah haruslah berdasarkan fakta-fakta yang

objektif agar kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis

normatif. Oleh karena itu dalam penulisan tesis digunakan metode

penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian Hukum ini adalah penelitian hukum yang

bersifat normatif yaitu penelitian hukum terhadap, asas-asas

hukum, kaedah hukum, dan sinkronisasi hukum lalu dikaitkan

dengan pendapat para ahli. 37 Penelitian ini membahas mengenai

gratifikasi antara dokter dengan perusahaan farmasi dalam

memberikan obat kepada pasien.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesisifikasi Penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini

adalah deskriptif dan preskriptif. Penelitian deskriptif berupa

pemaparan dan bertujuan untuk menggambarkan secara rinci,

36
Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Pasal 2. Lembaran Negara Tahun 2001, Nomor 134
37
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta : Raja Grofindo Persada, 2006), hlm. 1
22

sistematis dan menyeluruh mengenai segala hal yang berhubungan

dengan objek yang akan diteliti, sedangkan secara preskriptif

merupakan metode yang diterapkan karena tidak hanya bermaksud

mengungkapkan atau menggambarkan data sebagaimana adanya,

akan tetapi untuk mencapai tujuan.38

3. Pendekatan Penelitian

Adapun pendekatan penelitian yang digunakan adalah

pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan

pendekatan analisis. 39

a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statue Approach)

Yaitu dengan mengkaji segala ketentuan perundang-

undangan yang berkaitan dengan gratifikasi antara

perusahaan farmasi dengan dokter yang menyebabkan

kerugian pasien.

b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Yaitu dengan melakukan pengkajian terhadap tulisan-

tulisan, buku-buku, dan literatur-literatur yang berkaitan

gratifikasi dalam praktik kedokteran;

c. Pendekatan Analitis (Analytical Approach)

Pendekatan ini dilakukan mencari makna pada istilah-

istilah hukum yang terdapat didalam perundang-undangan,

38
Ishaq, Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, Serta Disertasi,
Cetakan I, (Bandung : Alfabeta, 2017), hlm. 91
39
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta:
Bina Aksara, 2002), hlm. 23.
23

dengan begitu peneliti memperoleh pengertian atau makna

baru dari istilah-istilah hukum dan menguji penerapannya

secara praktis dengan menganalisis kesenjangan antara

teori dengan praktik mengenai permasalahan penelitian.

4. Sumber Data Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah data

sekunder. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui penelitian

kepustakaan (library research) untuk mendapatkan bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. 40

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang

mengikat yang terdiri dari peraturan perundang-undang,

yurisprudensi, dan sebagainya. Bahan hukum primer yang

akan digunakan dalam penulisan tesis ini, antara lain:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945

2) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran

4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan

40
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit, hlm. 39.
24

5) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

Tentang Praktik Kedokteran

6) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 58

Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian

Di Rumah Sakit

7) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun

2016 tentang Sponsorship Bagi Tenaga Kesehatan

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,

seperti Rancangan Undang-Undang, hasil-hasil penelitian,

karya tulis ilmiah dan hasil seminar.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus

hukum, kamus besar Bahasa Indonesia, dan ensiklopedia.

5. Pengolahan Dan Analisis Data

Pengolahan data pada penelitian ini secara kualitatif yang

memiliki pengertian adalah metode penelitian yang mengacu pada

norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-

undangan.41 Moleong mendefinisikan analisis kualitatif adalah

“penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang

apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, presepsi

motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara


41
Ibid. hlm. 13.
25

deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks

khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode

alamiah.42 Analisis data penelitian kualitatif cenderung secara

induktif untuk memperoleh abstraksi dari keseluruhan data yang

diperoleh. Dalam hal ini terkait tindak pidana gratifikasi antara

perusahaan farmasi dengan dokter.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan tesis ini,

penulis membagi menjadi 5 (lima) Bab yang menjadi sub-sub yang akan

menjelaskan secara terperinci maslah tersebut adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini menjelaskan tentang, latar belakang masalah,

pokok permasalahan, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,

kerangka teoritis dan kerangka konseptual, metode

penelitian, asumsi, serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini menjelaskan mengenai telaah teori yang

dipakai berdasarkan permasalahan yang dibahas seperti

teori tanggung jawab hukum dan teori tujuan hukum, serta

telaah penelitian sebelumnya terkait graifikasi.

42
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. (Bandung :
Remaja Rosdakarya, 2007), hlm 6
26

BAB III HASIL PENELITIAN PENGATURAN DAN

PERTANGGUNG

JAWABAN HUKUM GRATIFIKASI

Dalam bab ini menguraikan pengaturan gratifikasi antara

perusahaan farmasi dengan dokter menurut peraturan

Perundang-Undangan dan pertanggungjawaban hukum

gratifikasi antara perusahaan farmasi dengan dokter

terhadap kerugian pasien dalam pelayanan kesehatan.

BAB IV ANALISIS GRATIFIKASI PENGATURAN DAN

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM GRATIFIKASI

PERUSAHAAN FARMASI DENGAN DOKTER

Dalam Bab ini membahas mengenai analisis pengaturan

hukum gratifikasi yang dilakukan oleh perusahaan farmasi

terhadap dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan

dan analisis pertanggungjawaban hukum pada kerjasama

antara perusahaan farmasi dengan dokter.

BAB V PENUTUP

Dalam bab ini, berisikan kesimpulan dan saran. Kesimpulan

diambil dari uraian-uraian dalam bab-bab sebelumnya

berdasarkan hasil analisis, selanjutnya disampaikan saran

sebagai acuan dan pedoman untuk menentukan hasil

penelitian yang akan diambil.

You might also like