You are on page 1of 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Tanggung Jawab Hukum

1. Pengertian Tanggung Jawab Hukum

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung

jawab adalah kewajiban menanggung segala sesuatunya bila

terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, dan diperkarakan.

Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keseharusan

bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan

kepadanya.43 Menurut hukum tanggung jawab adalah suatu akibat

atas konsekuensi kebebasan seorang tentang perbuatannya yang

berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu

perbuatan.44 Selanjutnya menurut Titik Triwulan pertanggung

jawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan

timbulnya hak hukum bagi seorang untuk menuntut orang lain

sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum orang lain

untuk member pertanggungjawabannya. 45

Menurut hukum perdata dasar pertanggungjawaban dibagi

menjadi dua macam, yaitu kesalahan dan risiko. Dengan demikian

dikenal dengan pertanggungjawaban atas dasar kesalahan

43
Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 213
44
Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, (Jakarta : Rineka Cipta,
2010), hlm
45
Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, (Jakarta :
Prestasi Pustaka, 2010, hlm 48

27
28

(lilability without based on fault) dan pertanggungjawaban tanpa

kesalahan yang dikenal (lilability without fault) yang dikenal dengan

tanggung jawab risiko atau tanggung jawab mutlak (strick liability).46

Prinsip dasar pertanggung jawaban atas dasar kesalahan

mengandung arti bahwa seseorang harus bertanggung jawab

karena ia melakukan kesalahan karena merugikan orang lain.

Sebaliknya prinsip tanggung jawab risiko adalah bahwa konsumen

penggugat tidak diwajibkan lagi melainkan produsen tergugat

langsung bertanggung jawab sebagai risiko usahanya.

Menurut Abdulkadir Muhammad teori tanggung jawab dalam

perbuatan melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa

teori, yaitu

a. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum

yang dilakukan dengan sengaja (intertional tort liability),

tergugat harus sudah melakukan perbuatan sedemikian rupa

sehingga merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa

yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.

b. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum

yang dilakukan karena kelalaian (negligence tort lilability),

didasarkan pada konsep kesalahan (concept of fault) yang

berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah bercampur

baur (interminglend).

46
Ibid, hlm. 49
29

c. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar

hukum tanpa mempersoalkan kesalahan (stirck liability),

didasarkan pada perbuatannya baik secara sengaja maupun

tidak sengaja, artinya meskipun bukan kesalahannya tetap

bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat

perbuatannya.

Konsep tanggug jawab hukum beruubungan dengan konsep

kewajiban hukum, bahwa seseorang bertanggung jawab secara

hukum atas perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung

jawab hukum berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu

sanksi bila perbuatannya bertentangan. 47 Tanggung jawab hukum

dapat dibedakan atas pertanggung jawaban individu dan

pertanggung jawaban kolektif. Pertanggungjawaban individu adalah

tanggung jawab seseorang atas pelanggaran yang dilakukannya

sendiri, sedangkan pertanggungjawaban kolektif adalah tanggung

jawab seorang individu atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh

orang lain.48

onsep pertanggungjawaban hukum pada dasarnya terkait, namun

tidak identik dengan konsep kewajiban hukum. Seorang individu

secara hukum diwajibkan untuk berperilaku dengan cara tertentu,

jika perilakunya yang sebaliknya merupakan syarat diberlakukan

tindakan paksa. Namun tindakan paksa ini tidak mesti dituukan


47
Titik Triwulan dan Shinta, Perlindungan Hukum Bagi Pasien, (Jakarta : Prestasi
Pustaka, 2010), hlm. 48
48
Ibid, hlm. 50.
30

teradap individu yang diwajibkan “pelaku pelanggaran” namun

dapat ditujukan kepada individu lain yang terkait dengan individu

yang pertama dengan cara yang ditetapkan oleh tatanan hukum.

Individu yang dikenai sanksi dikatakan “bertanggung jawab” atau

secara hukum bertanggung jawab atas pelanggaran.

Prinsip-prinsip pertanggungjawaban hukum dapat dijelaskan

secara lengkap dibawah ini :

a. Prinsip tanggungjawab Hukum Perdata

Dalam hukum perdata, tanggung jawab merupakan

tanggung jawab seseorang terhadap perbuatan yang

melawan hukum. Perbuatan melawan hukum memiliki ruang

lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perbuatan

pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup

perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang

pidana saja, akan tetapi jika perbuatan tersebut

bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan

dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. 49

Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan

hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti

rugi kepada pihak yang dirugikan. Perbuatan melawan

hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang,

tetapi juga berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak

orang lain bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat


49
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, (Bandung : Nusamedia, 2008), hlm. 136
31

berhati-hati, kepantasan dan kepatutan dalam lalu lintas

masyarakat.

Perbuatan melawan hukum juga dapat diartikan

sebagai suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang

bertujuan untuk mengontrol atau mengatur prilaku

berbahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu

kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk

menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu

gugatan yang tepat. Perbuatan melawan hukum (on recht

matige daad) diatur dalam Pasal 1365 s/d Pasal 1380 KUH

Perdata.

b. Prinsip Tanggung Jawab Hukum Pidana

Pertanggungjawaban hukum pidana di artikan Pound

sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang

akan di terima pelaku dari seseorang yang telah di rugikan,

menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang

dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum

semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai

moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu

masyarakat. Pertanggungjawaban hukum pidana dalam

bahasa asing disebut sebagai “toereken-baarheid,” “criminal

reponsibilty,” “criminal liability,” pertanggungjawaban pidana

disini dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang


32

tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atau

tidak terhadap tindakan yang dilakukannya itu. 50

Terkait pertanggungjawaban hukum pidana terdapat

sebuah prinsip yang sangat penting dari Pasal 1 ayat (1)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya

akan disebut dengan KUHPidana) yang menyatakan “suatu

perbuatan hanya merupakan tindak pidana, jika ini

ditentukan lebih dulu dalam suatu ketentuan perundang-

undangan”. Oleh karena itu, seseorang hanya bisa dituntut

untuk melaksanakan pertanggungjawaban hukum pidana,

apabila perbuatan orang tersebut merupakan suatu tindakan

pidana yang telah diatur oleh hukum dan dapat dikenai

hukuman pidana.51 Tindakan pidana tersebut harus ada

suatu akibat tertentu dari perbuatan pelaku berupa kerugian

atas kepentingan orang lain, menandakan keharusan ada

hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dan

kerugian atas kepentingan tertentu.

Terkait pertanggungjawaban hukum pidana maka

terlebih dahulu perlu kita pelajari tentang hukum pidana.

Hukum pidana dalam arti yang luas terdiri atas hukum

pidana (substantif atau materiil) dan hukum acara pidana

50
Daud Hidayat Lubis, Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Pidana
Positif, (Bandung : Mandar Maju, 2012), hlm. 61
51
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika
Aditama, 2009), hlm. 5
33

(hukum pidana formal). Apabila hukum dibagi atas hukum

publik dan hukum privat, maka hukum acara pidana

termasuk hukum publik.52 Terdapat 2 (dua) unsur pokok

dalam pertanggung jawaban hukum pidana. Pertama,

adanya suatu norma, yaitu suatu larangan atau suruhan

(kaidah). Kedua adanya sanksi (sanctie) atas pelanggaran

norma itu berupa ancaman dengan hukuman pidana. 53

c. Prinsip Tanggung Jawab Hukum Administrasi

Dalam hukum administrasi, pertanggungjawaban

hukum berupa sanksi administrasi/administratif. Sanksi

administrasi/administratif adalah sanksi yang dikenakan

terhadap pelanggaran administrasi atau ketentuan undang-

undang yang bersifat administratif. Pada umumnya sanksi

administrasi/administratif berupa denda, pembekuan hingga

pencabutan sertifikat dan/atau izin, penghentian sementara

pelayanan administrasi hingga pengurangan jatah produksi,

serta tindakan administratif lainnya

Berdasar konsep tersebut di atas, maka dapat dikatakan

bahwa tanggung jawab muncul dari adanya aturan hukum yang

memberikan kewajiban kepada subyek hukum dengan ancaman

sanksi apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan. Tanggung

jawab demikian dapat juga dikatakan sebagai tanggung jawab


52
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),
hlm. 9
53
Ibid, hlm. 13.
34

hukum, karena muncul dari perintah aturan hukum/undang-undang

dan sanksi yang diberikan juga merupakan sanksi yang ditetapkan

oleh undang-undang, oleh karena itu pertanggungjwaban yang

dilakukan oleh subyek hukum merupakan tanggung jawab hukum.

2. Pengertian Tentang Gratifikasi

Pada awalnya gratifikasi merupakan pemberian yang biasa

diberikan dan diterima masyarakat, namun kemudian berkembang

menjadi suatu tindakan memberi dan diberi yang bertentangan

dengan kepentingan umum. Sehingga makna awal gratifikasi yang

bersifat sosial bergeser menjadi kegiatan terlarang dan menjadi

suatu bentuk tindak pidana, sehingga gratifikasi dianggap

bertentangan dengan rasa keadilan.54 Berdasarkan pendapat Topo

Santoso diatas, dapat diketahui awal mula terjadinya gratifikasi,

yang dimulai dari tindakan tidak melanggar norma, yakni hanya

sebatas kegiatan memberi dan diberi, namun kemudian gratifikasi

dinilai bertentangan dengan nilai keadilan karena berkembang

menjadi tindakan yang berlatar belakang suatu kepentingan.

Gratifikasi berasal dari kata gratificatie (dalam bahasa

Belanda) ,yang sama sama memiliki arti sebagai “hadiah”. (muncul

di negara-negara Anglo Saxon dan Eropa kontinental). Gratifikasi

muncul karena sulitnya pembuktian mengenai suap (bribery).55

Penjelasan makna gratifkasi dari segi bahasa diatas menegaskan


54
Topo Santoso, “Menguak Relevansi Ketentuan Gratifikasi di Indonesia,” Jurnal
Dinamika Hukum, Volume 13 Nomor 3 September 2013, hlm. 112
55
Ibid, hlm. 121
35

arti dari gratifikasi itu sendiri, yakni sebagai bentuk “hadiah”. Serta

diketahui bahwa di negara-negara Anglo Saxon dan Eropa

kontinental, gratifikasi muncul karena sulitnya pembuktian terhadap

tindak pidana suap.

Pengertian gratifikasi dari segi bahasa diatas memperkuat

dan mempertegas analisa penulis terkait gratifikasi seksual di

Indonesia. dengan meninjau gratifikasi secara umum, dapat

diketahui karakteristik, makna dan sifat dari tindak gratifikasi yang

disebut sebagai hadiah namun mengandung makna yang buruk

dan tercela sebagaimana pada tindak pidana korupsi. Sebagai

salah satu bentuk tindak pidana korupsi yang selama ini banyak

terjadi dalam birokrasi pegawai negeri dan penyelenggara Negara,

selain memahaminya dari segi bahasa, perlu ditinjau pula

bagamaina hukum positif di Indonesia mengatur dan memaknai

tindak pidana gratifikasi itu sendiri. Yang mana hal ini dapat ditinjau

dari penjelasan pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 yang mengartikan gratifikasi adalah, “Pemberian

dalam arti luas yaitu meliputi pemberian uang, barang, rabat

(diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas

penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan

fasilitas lainnya”.56

Berkaca dari tinjauan penjelasan pasal diatas, dapat

diketahui bahwa dalam peraturan hukum di Indonesia, khususnya


56
Indonesia, UU No 20 Tahun 2001, Pasal 12 B.
36

undang-undang nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor

20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

gratifikasi dimaknai secara luas dan cenderung tidak terbatas.

Sehingga hal ini dapat menunjang pembahasan penulis terkait

gratifikasi seksual di Indonesia. Sejalan dengan makna gratifikasi

menurut Undang-undang yang tertuang dalam penjelasan pasal 12

B ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-

undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, dalam Pasal 12 B mengatur secara khusus dan

menjadi dasar hukum tindak pidana gratifikasi yang berbunyi : 57

(1) Setiap Gratifikasi kepada pegawai negeri dan


penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan sebagai
berikut :
a. Yang nilainya Rp. 10.000.000 (sepuluh juta
rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut bukn merupakan suap dilakukan oleh
penerima gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000
(sepuluh juta rupiah) ,pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut merupakan suap dilakukan oleh Penuntut
Umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara
negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu
miliar rupiah).

Kutipan pasal diatas menegaskan bahwa tindak pidana

gratfikasi yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun

57
Ibid.
37

2001 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengandung

unsur pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan

berlawanan dengan kewajiban atau tugas dari pegawai negeri dan

penyelenggara negara. Sedangkan ayat selanjutnya menegaskan

tentang ancaman denda dan pidana penjara terhadapnya. Pasal ini

mendukung terjawabnya rumusan masalah pertama penulis terkait

dengan pengaturan gratifikasi menurut Undang- Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang 20 Tahun 2001 Jo. Undang-undang Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

mulai mengatur gratifikasi secara khusus untuk pertama kalinya.

Namun sebenarnya larangan terhadap menerima dan/atau

memberi hadiah sudah muncul sejak beberapa tahun lalu, hal ini

dapat dilihat pada PERPU No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan,

Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, khususnya

Pasal 17 yang dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa Perpu No.

24 Tahun 1960 tidak mengatur larangan menerima hadiah, namun

mengatur tentang larangan memberi hadiah bagi pegawai negeri

atau penyelenggara negara. Hingga Undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

belum diatur ketentuan mengenai larangan bagi pegawai negeri


38

menerima hadiah atau janji. Barulah pada Undang-undang No. 20

Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun

1999, menggunakan nomenklatur ‘gratifikasi’. Hal ini dimuat dalam

Pasal 12 B dan Pasal 12 C. Pasal 12 B menjabarkan rumusan

pidana terhadap perbuatan gratifikasi yang dikategorikan sebagai

suap, sedangkan Pasal 12 C menjabarkan prosedur pelaporan

penerimaan gratifikasi.

Tinjauan tentang pengaturan gratifikasi diatas mendukung

pembahasan untuk terjawabnya rumusan masalah penulis terkait

dengan pengaturan gratifikasi dalam Undang-undang Nomor 31

tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan menjelaskan awal

mula digunakannya nomenklatur gratifikasi dalam peraturan

perundang-undangan di Indonesia. Untuk memperkuat

pembahasan penulis tentang gratifikasi seks, penulis meninjau

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-undang Nomor

31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

dari segi filosofis, sosiologis dan yuridis, untuk mengetahui dan

dapat mengenal undang-undang ini secara lebih mendalam,

khususnya pada pasal 12 B yang merupakan pasal yang mengatur

secara khusus tentang gratifikasi.

Ditinjau dari segi Filosofis, Undang-undang Nomor 20 Tahun

2001 Jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang


39

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan penjelasan

umum bahwa maksud dari penyisipan pasal 12 B adalah bertujuan

untuk menghilangkan rasa ketidakadilan bagi pelaku tindak pidana

korupsi dalam nilai korup yang relatif kecil. 58 Ditinjau dari segi

Filosofis, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-

undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi memberikan penjelasan umum bahwa maksud dari

penyisipan pasal 12 B adalah bertujuan untuk menghilangkan rasa

ketidakadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam nilai korup

yang relatif kecil. Tinjauan dari segi filosofis diatas dapat

menunjang pembahasan penulis terkait pengaturan tindak pidana

gratifikasi dalam peraturan perundangundangan di Indonesia.

Tinjauan ini memberikan penjelasan bahwa penyisipan pasal 12 B

ini berperan penting untuk menjadi salah satu pilar pemberantasan

korupsi, khususnya dalam hal gratifikasi. Sehingga diketahui pula

maksud dan tujuan penyisipan pasal 12 B dalam Undang-undang

ini.

Ditinjau dari segi Sosiologis, adanya fenomena dalam

masyarakat tentang masalah pemberian hadiah, khususnya yang

berkaitan dengan janji hubungan kerja, kedinasan, karena jabatan

atau kedudukan pegawai negeri yang dewasa ini telah menjadi

masalah sosial, maka dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun

58
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2009), hlm. 67
40

2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu

mengatur mengenai gratifikasi yang dalam Undang-undang Nomor

31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebelumnya belum diatur.59 Tinjauan dari segi sosiologis diatas

dapat menunjang pembahasan penulis terkait pengaturan tindak

pidana gratifikasi dalam peraturan perundang-undangan di

Indonesia serta dasar pembenar pengaturan gratifikasis seksual

dalam tindak pidana korupsi di Indonesia. Dengan diketahuinya

latar belakang dan tujuan diaturnya gratifikasi dalam

Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. dalam Undang-undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang sangat erat kaitannya dengan fenomena dan masalah

sosial dalam masyarakat.

Ditinjau dari segi Yuridis, Poin penting dalam Undang-

undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi adalah disisipkannya beberapa pasal baru,

khususnya pasal 12 B yang mengatur secara khusus tentang

gratifikasi yang dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebelumnya belum

diatur. Hal ini menunjukkan bahwa sifat hukum yang dinamis yang

oleh sebabnya pengaturan tentang gratifikasi haruslah selalu

berkembang mengikuti perilaku dan perkembangan kejahatan yang

ada. Tinjauan dari segi Yuridis diatas dapat menunjang


59
Topo Santoso, Op.Cit, hlm. 123
41

pembahasan penulis terkait pengaturan tindak pidana gratifikasi

dalam peraturan perundangundangan di Indonesia serta dasar

pembenar pengaturan gratifikasis seksual dalam tindak pidana

korupsi di Indonesia. Dengan diketahui fakta bahwa pengaturan

tentang gratifikasi timbul karena adanya perkembangan dan

perubahan dalam masyarakat.

3. Tindak Pidana Terkait Dengan Gratifikasi

Tindak pidana korupsi yang “murni merugikan keuangan

Negara” adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang,

pegawai negeri sipil, penyelenggara Negara yang secara melawan

hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan

melakukan kegiatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau

perekonomian Negara.60 Jenis-jenis korupsi dapat di klasifikasikan

sebagai berikut :

a. Tindak Pidana yang Merugikan Negara

Pelaku dalam tipe tindak pidana “merugikan keuangan

Negara” tersebut dapat dikenakan atau didakwa dengan

Pasal-Pasal: Pasal 2, 3, 7 Ayat (1) huruf a dan c, Pasal 7

Ayat (2), Pasal 8,9, 10 huruf (a), Pasal 12 huruf (i), Pasal

60
Ermansyah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2008), hlm. 63
42

12A, Pasal 17. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Tindak Pidana Korupsi Suap

Pada tindak pidana korupsi “suap” tersebut paling

banyak dilakukan oleh para penyelenggara Negara diamana

menurut mereka tidak akan merugikan keuangan Negara

akan tetapi mereka secara tidak langsung akan merugikan

keuangan Negara. Dengan suatu kesepakatan atau deal

seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara

membuat suatu perjanjian dengan orang lain atau

masyarakat.

Pada prinsipnya tidak beakibat langsung terhadap

kerugian keuangan negara atau pun perekonomian negara,

karena sejumlah uang atau pun benda berharga yang

diterima oleh pegawai negeri sipil atau penyelenggara

negara sebagai hasil perbuatan melawan hukum,

meyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang

ada padanya karena jabatan atau kedudukan untuk

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

bukan berasal dari uang negara atau asset negara

melainkan dari uang atau asset orang yang melakukan

penyuapan.61
61
Ibid, hlm. 76.
43

Tindak pidana korupsi “suap” sangat berbeda dengan

tindak pidana korupsi “pemerasan” Karen dalam hal tindak

pidana korupsi “pemerasan” seorang pegawai negeri atau

penyelenggara negara sangat berperan aktif meminta secara

langsung terhadap orang lain. Sangat berbeda lagi dengan

tindak pidana korupsi “gratifikasi” Karena jika “gratifikasi”

seorang pegawai negeri sipil atau penyelenggara Negara

tidak mengetahui jika akan diberi sejumlah uang atau pun

benda serta hadiah lainnya, tidak ada kata deal seperti

tindak pidana korupsi “suap”.

Maka dari itu pelaku-pelaku tindak pidana korupsi

“suap” akan didakwa atau dijerat dengan Pasal-Pasal : Pasal

5, 6, 11, Pasal 12 huruf a, 12 huruf b, 12 huruf c, 12 huruf d,

Pasal 12A, dan Pasal 17. Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana

penyuapan dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu sebagai

berikut:

1) Penyuap aktif

Yaitu pihak yang memberikan atau menjanjikan

sesuatu, baik berupa uang atau barang. Penyuapan

ini terkait erat dengan sikap batin subjek hukum

berupa niat (oogmerk) yang bertujuan untuk


44

menggerakkan seorang pejabat penyelenggara

negara atau pegawai negeri agar ia dalam jabatannya

berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan

dengan kewajibannya.

2) Penyuap Pasif

Penyuap pasif adalah pihak yang menerima

pemberian atau janji baik berupa uang maupun

barang. Sebagai contoh apabila hal ini dikaitkan

dengan Badan Usaha Milik Negara, rumusan delik ini,

dapat dikenakan kepada Anggota Komisaris, Direksi

atau Pejabat di lingkungan Badan Usaha Milik Negara

bilamana kapasitasnya masuk dalam pengertian

pegawai negeri (karena menerima gaji/upah dari

keuangan negara) sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Untuk seseorang dapat dipidana, ditentukan syarat-

syarat atau ukuran-ukuran pemidanaan, baik yang

menyangkut segi perbuatan maupun yang menyangkut segi

orang atau si pelaku. Pada segi perbuatan dipakai asas

legalitas dan pada segi orang dipakai asas kesalahan. Asal

legalitas menghendaki tidak hanya adanya ketentuan-

ketentuan yang pasti tentang perbuatan yang bagaimana


45

dapat dipidana, tetapi juga mengendaki. ketentuan atau

batas yang pasti tentang pidana yang dapat dijatuhkan. Asas

kesalahan menghendaki agar hanya orang-orang yang benar

bersalah sajalah yang dapat dipidana, tiada pidana tanpa

kesalahan.62

c. Tindak Pidana Korupsi "Pemerasan"

Dalam uraian sebelumnya bahwa tindak pidana

korupsi “pemerasan” berbeda dengan tindak pidana korupsi

“suap” juga tindak pidana korupsi “gratifikasi”, karena dalam

peristiwa tindak pidana korupsi “pemerasan” yang berperan

aktif adalah pegawai negeri sipil atau penyelenggra negara

yang meminta bahkan melakukan pemerasan kepada

msyarakat yang memerlukan pelayanan atau bantuan dari

pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara tersebut,

disebabkan faktor ketidak mampuan secara materiil dari

masyarakat yang memerlukan pelayanan atau bantuan dari

pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara, sehingga

terjadi tindak pidana korupsi “pemerasan”. 63 atau bantuan

dari pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara,

sehingga terjadi tindak pidana korupsi “pemerasan”.

d. Tindak Pidana Korupsi "Penyerobotan"

62
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),
(Jakarta : Chandra Pratama, 2002), hlm. 62-63.
63
Ibid, hlm. 72
46

Telah diuraikan sebelumnya bahwa tindak pidana

korupsi “pemerasan” berbeda dengan tindak pidana korupsi

“suap” juga dengan tindak pidana korupsi “gratifikasi”, karena

dalam peristiwa tindak pidana korupsi “penyerobotan” yang

berperan aktif adalah pegawai negeri sipil atau

penyelenggara Negara yang pada waktu menjalankan tugas,

telah menggunakan tanah Negara yang diatasnya terdapat

hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-

undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal

diketahuinya peraturan perundang-undangan tersebut

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pada

tindak pidana korupsi “penyerobotan” pelaku dalam tindak

pidana tersebut akan dijerat atau didakwa dengan Pasal-

Pasal : Pasal 12 huruf h, dan Pasal 17 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi.

e. Tindak Pidana Korupsi "Gratifikasi"

Tindak pidana korupsi “gratifikasi” berbeda dengan

tindak pidana korupsi “suap” dan “pemerasan”. Dalam tindak

pidana korupsi “gratifikasi” tidak terjadi kesepakatan atau

deal berapa besar nilai uang atau benda berharga dan

dimana uang dan benda berharga itu diserahkan, antara


47

pemberi gratifikasi dengan pegawai negeri atau

penyelenggara Negara yang menerima gratifikasi, tetapi

dalam tindak pidana korupsi “suap” telah terjadi deal antara

pemberi suap dengan pegawai negeri atau penyelenggara

negara yang menerima suap, yaitu deal mengenai berapa

besar uang atau benda berharga dan dimana uang dan

benda berharga tersebut dilakukan penyerahan serta siapa

dan kapan uang dan benda berharga itu diserahkan. 64 Maka

dari itu, semakin jelas perbedaan antar tindak pidana korupsi

“suap” dan tindak pidana korupsi “pemerasan” dengan tindak

pidana korupsi “gratifikasi” sebagaimana telah tertulis dalam

Pasal 12B. Pelaku dalam tindak pidana korupsi “gratifikasi”

tersebut dapat dijerat atau didakwa dengan Pasal-Pasal

yaitu Pasal 12B jo Pasal 12C, Pasal 13, Pasal 17 Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Pemberantsan Tindak Pidana

Korupsi.

B. Teori Tujuan Hukum

1. Pengertian Tujuan Hukum

Norma (kaedah) hukum ditujukan pada sikap atau perbuatan

lahir manusia.65 Norma (kaedah) hukum berisi kenyataan normatif

(apa yang seyogyanya dilakukan), sebab dalam hukum yang


64
Ibid, hlm. 75.
65
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta :
Liberty, 2003), hlm. 12.
48

penting bukanlah apa yang terjadi, tetapi apa yang seharusnya

terjadi. Norma hukum berisi perintah dan larangan yang bersifat

imperatif, dan berisi perkenaan yang bersifat fakultatif. Norrma

hukum inilah yang sebut sebagai hukum positif, yang berlaku dalam

suatu negara dan dalam waktu tertentu, atau yang dikenal dengan

ius contutum.

Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Dalam

fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia hukum

mempunyai tujuan. Tujuan hukum merupakan arah atau sasaran

yang hendak diwujudkan dengan memakai hukum sebagai alat

dalam mewujudkan tujuan tersebut dengan mengatur tatanan dan

prilaku masyarakat. Begitu banyak teori tentang tujuan hukum,

namun paling tidak, ada beberapa teori yang dapat di golongkan

sebagai grand theory tentang tujuan hukum.

Teori yang berkenaan dengan teori tujuan hukum dalam

penelitian ini juga berkaitan dengan kepastian hukum. Kepastian

hukum mengandung arti adanya hukum setiap orang mengetahui

yang mana dan seberapa haknya dan kewajibannya. Kepastian

hukum mengandung dua pengertian yaitu pertama adanya aturan

yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa

yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa

keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah

karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu


49

individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau

dilakukan oleh negara terhadap individu.

Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam

undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan

hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim

lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan. 66 Di

samping itu, penelitian ini juga berkenaan dengan teori

kemanfaatan hukum. Manfaat hukum adalah dapat dicapainya

ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat, karena

adanya hukum yang tertib.

Achmad Ali membagi grand theory tentang tujuan hukum ke

dalam beberapa teori yakni teori barat, teori timur, dan teori hukum

islam yakni sebagai berikut :67

a. Teori Barat menempatkan teori tujuan hukumnya

yang mencakup kepastian hukum, keadilan dan

kemanfaatan.44 Yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam

tabel yang terdiri atas teori klasik dan teori modern.

b. Teori Timur berberda dengan teori barat, bangsa-

banga timur masih menggunkan kultur hukum asli mereka,

yang hanya menekankan maka teori tentang tujuan

66
Meuwissen Sidharta Arief, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum dan Filsafat Hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2007), hlm. 35
67
Acmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Toeri Peradilan
(judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legis prudence),
Cetakan Ke-I Agustus, (Jakarta : Kencana Perdana Media Group, 2009), hlm. 213
50

hukumnya hanya menekankan “keadilan adalah

keharmonisasian, dan keharmonisasian aalah kedamaian”.

c. Teori hukum islam. Teori tujuan hukum islam, pada

prinsipnya bagaimana mewujudkan “kemanfaatan” kepada

seluruh umat manusia, yang mencakup “kemanfaatan”

dalam kehidupan dunia maupun diakhirat. Tujuan

mewujudkan kemafaatan ini sesuai dengan prinsip umum Al-

Qur’an.

Selaras dengan tujuan hukum barat, Indonesia mengunakan

hukum formal barat yang konsep tujuan hukumnya adalah keadilan,

kemanfaatan, dan kepastian hukum, namun Indonesia juga

menganut sistem eropa kontinental secara dominan dalam sistem

hukumnya, sehingga corak pemikirannya sangat legalistik. Hal itu

disebabkan oleh keadaan dan sejarah perkembangan indonesia

sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Ali.

Bagi negara-negara berkembang (salah satunya Indonesia)

pada umumnya hukum di negara-negara berkembang secara

historis terbentuk oleh empat lapisan. Lapisan terdalam terdiri dari

aturan aturan kebiasaan yang diakui (sebagai hukum oleh

masyarakat yang bersangkutan), di atasnya ialah lapisan aturan-

aturan keagamaan yang diakui, kemudian aturan-aturan hukum

dari negara kolonial dan lapisan paling atas ialah hukum nasional

modern yang terus berkembang. Sejak beberapa puluh tahun ke


51

belakang kemudian ditambahkan lapisan kelima, yaitu hukum

internasional.68

Hukum itu mengabdi kepada tujuan negara, yaitu

mendatangkan kemakmuran dan keabahagiaan para rakyat. Dalam

mengabdi kepada tujuan negara dengen menyelenggarakan

keadilan dan ketertiban. Menurut hukum positif yang tercantum

dalam alienea ke 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar,

menyatakan bahwa tujuan hukum positif kita adalah untuk

membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi

segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia

dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan

kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Menurut Teori Campuran, Mochtar Kusuatmadja

mengemukakan tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah

ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban adalah syarat pokok bagi

adanya masyarakat manusia yang teratur. Disamping itu, tujuan

lain hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda isi dan

ukuranya menurut masyarakat dan zamanya. 69

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Indonesia

merupakan negara yang menggunakan konsep umum tujuan

hukum yang sama dengan negara-negara barat yang


68
Jan Michiel Otto, Kepastian Hukum Yang Nyata di Negara Berkembang, Edisi
Pertama, (Bali : Pustaka Larasan, 2012), hlm. 119
69
Ibid, hlm. 82
52

menggunakan sistem hukum civil law dan living law yakni keadilan,

kemanafaatan dan kepastian. Namun yang lebih dominan bercorak

legalistik yang menekankan pada aspek hukum tertulis yang

berorientasi pada kepastian. Dengan demikian, pada hakikatnya

suatu hukum harus memiliki tujuan yang didalamnya mengandung

unsur keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Ketiga-ketiganya

merupakan syarat imperatif yang tidak boleh hanya satu unsur dan

atau dua unsur lainya yang terpenuhi.

2. Proses Hukum Dalam Tindak Pidana Gratifikasi

Dalam praktek kita mengenal dua bentuk korupsi

diantaranya Administrative Coruption, di mana segala sesuatu yang

dijalankan adalah sesuai dengan hukum/ peraturan yang berlaku.

Akan tetapi, individu- individu tertentu memperkaya dirinya sendiri.

Misalnya dalam hal proses rekruitmen pegawai negeri, di mana

dilakukan ujian seleksi mulai dari seleksi administratif sampai ujian

pengetahuan atau kemampuan. Akan tetapi yang harus diluluskan

sudah tertentu orangnya. Selain itu ada juga yang disebut dengan

Against the rule corruption, artinya korupsi yang dilakukan adalah

sepenuhnya bertentangan dengan hukum. Misalnya penyuapan,

penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi. Di masa orde lama masalah korupsi ini

diperangi dengan Peraturan Penguasa Perang Nomor

Prt/Perpu/013/1958, yang diumumkan pada tanggal 16 April 1958


53

dan disiarkan dalam Berita Negara nomor 40 Tahun 1958. Subjek

delik korupsi menurut Martiman Prodjohamidjojo dalam

UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999, terbagi dalam dua

kelompok, yang kedua-duanya jika melakukan perbuatan pidana

diancam sanksi. Pelaku ataupun subjek delik tersebut adalah

manusia, korporasi, pegawai negeri, dan setiap orang. 70

Apabila perbuatan itu dapat merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara, perbuatan pidana sudah selesai dan

sempurna dilakukan. Adapun yang dimaksud dengan keugangan

neagar adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun,

yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya

segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban

yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan dan

pertanggungjawaban pejabat, lembaga negara, baik di tingkat

pusat maupun di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan

perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang

disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan

yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat

maupun di daerah. Hukumannya adalah pidana penjara seumur

hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama

20 tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

70
Darwan Prinst, Op.Cit,, hlm. 11
54

Delik dalam pasal 3 (penyalahgunaan kewenangan,

kesempatan atau sarana), yang pertama sekali perlu dipahami,

bahwa pelaku tindak pidana menurut pasal 3 Undang- Undang

Nomor 31 Tahun 1999 ini adalah setiap orang, yakni orang

perorangan dan korporasi yang menyalahgunakan kewenangan,

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukannya Pertanggungjawaban pidana dalam delik korupsi

lebih luas dari hukum pidana umum. Hal itu nyata dalam hal,

kemungkinan penjatuhan pidana secara in absentia (Pasal 23 ayat

1 sampai ayat 4 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, Pasal 38 ayat 1,2,3 dan 4 Undang-Undang Tindak Pidana

Korupsi). Perampasan barang-barang yang telah disita bagi

terdakwa yang telah meninggal dunia sebelum ada putusan yang

tidak dapat diubah lagi (Pasal 23 ayat 5 Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 38 ayat 5 Undang-

Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1999).

Semua tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diancam dengan pidana

penjara baik penjara seumur hidup maupun sementara. Pidana

penjara sementara diancam dengan batas maksimum dan batas

minimum. Batas minimum ditentukan dalam pasal- pasal dalam

undang-undang ini sebagai salah satu upaya dalam rangka

mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan


55

memberantas tindak pidana korupsi. Pidana penjara sementara

berkisar antara 1 tahun hingga 20 tahun. Pidana 20 tahun sebagai

alternatif penjara seumur hidup.71

3. Sanksi Pidana Dalam Gratifikasi

Masalah penegakan hukum terhadap tindak pidana

gratifikasi yang masuk ke dalam ranah korupsi jelas bukan masalah

hukum dan penegakan hukum semata-mata melainkan juga

merupakan masalah yang berkaitan langsung dan berdampak

terhadap masalah yang berkaitan keuangan dan perbankan

nasional termasuk masalah investasi nasional. 72 Penegakan hukum

terhadap tindak pidana Gratifikasi memiliki efek signifikan terhadap

kondisi perekonomian nasional di Indonesia yang sampai saat ini

sangat labil dan bersifat fluktuatif. Sarana hukum yang

berhubungan dengan masalah keuangan dan perbankan serta

pasar modal telah diatur dalam peraturan perundang-undangan

khusus diperkuat oleh ketentuan mengenai sanksi, meliputi sanksi

administratif, sanksi keperdataan sampai pada sanksi pidana,.

Peraturan Perundang-Undangan pidana tersebut termasuk “lex

specialis systematic”. Dengan mengetahui masyarakat yang

bagaimana yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia, maka dapat

ditentukan ”sistem hukum” yang bagaimana yang dapat mendorong

terciptanya sistem hukum yang mampu menjadi sarana untuk


71
Evi Hartantai, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hlm. 15
72
Romli, Atmasasmita. Kapita Selekta Kejahatan Bisnis dan Hukum Pidana.
Fikahati Aneska, . 2013, hlm 66.
56

mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan oleh bangsa

Indonesia.73

Definisi tentang Politik Hukum yang diberikan oleh para ahli

di dalam berbagai literatur. Dari pengertian dan definisi di atas,

dengan mengambil substansinya yang ternyata sama, dapatlah

dikemukakan bahwa Politik Hukum adalah “Legal Policy” atau garis

(kebijakan) resmi tentang hukum yang diberlakukan baik dengan

pembutan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama,

dalam rangka mencapai tujuan negara. Dengan demikian Politik

Hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan

dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan

untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam

Pembukaan UUD Tahun 1945.74

Kebijakan sosial dan perencanaan pembangunan nasional

tidak terpisahkan dari adanya pemerintah atau negara sebagai

pemeran utama dalam pembuatan kebijakan. Kebijakan kriminal

juga tidak terlepas dari adanya politik hukum pidana, dan

pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari

pengertian politik hukum. politik hukum adalah:

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik


sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
b. Kebijakan dari negara memalui badan-badan yang
berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang

73
Otong Rosadi Dan Andi Desmon, Studi Politik Hukum : Suatu Optik Ilmu
Hukum, (Jakarta : Thafa Media, 2012), hlm. 49.
74
Moh. Mahfud, MD, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2014), hlm. 1.
57

dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk


mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.75

Kebijakan atau politik hukum pidana merupakan bagian dari

kebijakan kriminal, hal ini dapat terlihat dari tujuan penanggulangan

kejahatan yang tertuang dalam peraturan perundangundangan

dimana peraturan perundang-undangan itu merupakan hasil

kebijakan dari negara memalui badan-badan yang berwenang

untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki.

Mengenai kebijakan kriminalisasi, Barda Nawawi Arief merumuskan

kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam

menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana

(tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat

dipidana).76 Dalam bidang substantif sangat dibutuhkan dan

memberikan kepada seseorang kredibilitas yang sangat besar,

ketimbang seorang analis kebijakan "generic" yang merupakan

seorang spesialis kebijakan kesejahteraan bulanan dan spesialis

kebijakan penanggulangan kejahatan bulan berikutnya. Untuk

memeroleh keahlian dalam suatu bidang substantif seringkali

membutuhkan seseorang menjadi akrab dengan aspek-aspek

teknik dan politik dari suatu bidang kebijakan. 77 Dalam pendekatan

normatif atau preskriptif, analis perlu mendefinisikan tugasnya

75
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 24.
76
Ibid, hlm. 126.
77
Subarsono, Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Praktek.
(Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2005), hlm. 54.
58

sebagai analis kebijakan sama seperti orang yang mendefinisikan

"end state" dalam arti bahwa preskripsi ini bisa diinginkan dan bisa

dicapai. Para pendukung pendekatan ini seringkali menyarankan

suatu posisi kebijakan dan menggunakan retorika dalam suatu cara

yang sangat lihai untuk meyakinkan pihak lain tentang manfaat dari

posisi mereka.78

Dasar hukum dari munculnya peraturan di luar Kitab

Undang- Undang hukum Pidana (KUHP) di atas adalah Pasal 103

KUHP. Di dalam pasal tersebut dinyatakan, “ Ketentuan- ketentuan

dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi

perbuatan- perbuatan yang oleh ketentuan perundang- undangan

lainnya diancam dengan pidana, kecuali oleh Undang- Undang

ditentukan lain.”79 Dalam hal ketentuan dalam peraturan perundang-

undangan mengatur lain daripada yang telah diatur dalam KUHP,

dapat diartikan bahwa suatu bentuk aturan khusus telah

mengesampingkan aturan umum (Lex Specialis Derogat Legi

Generali). Dengan kata lain Pasal 103 KUHP memungkinkan suatu

ketentuan perundang-undangan di luar KUHP untuk

mengesampingkan ketentuanketentuan yang telah diatur dalam

KUHP. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

sebenarnya terdapat ketentuan-ketentuan yang mengancam

dengan pidana orang yang melakukan delik jabatan, pada


78
Ibid.
79
Andi Hamzah, Pemerantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasioanal, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 90.
59

khususnya delik- delik yang dilakukan oleh pejabat yang terkait

dengan korupsi.

Ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat

dalam KUHP dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau

bahkan mengatasi permasalahan tindak pidana korupsi. Oleh

karena itu, dibentuklah suatu peraturan perundangundangan guna

memberantas masalah korupsi, dengan harapan dapat mengisis

serta menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada KUHP.

Dengan berlakunya Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang

Pemberantasan tindak Pidana korupsi, maka ketentuan Pasal 209

KUHP, Pasal 210 KUHP, Pasal 387 KUHP, Pasal 388 KUHP, Pasal

415, Pasal 416 KUHP, Pasal 417 KUHP, Pasal 418 KUHP, Pasal

419 KUHP, Pasal 420 KUHP, Pasal 423 KUHP, Pasal 425 KUHP,

Pasal 434 KUHP dinyatakan tidak berlaku.

Perumusan tindak pidana korupsi menutur Pasal 2 ayat (1)

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah setiap orang (orang-

perorangan atau korporasi) yang memenuhi unsur/elemen dari

pasal tersebut. Dengan demikian, pelaku tindak pidana korupsi

menurut pasal ini adalah “Setiap Orang”, tidak ada keharusan

Pegawai Negeri. Jadi, juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak

berstatus sebagai pegawai negeri atau korporasi, yang dapat

berbentuk badan hukum atau perkumpulan. Adapun perbuatan


60

yang dilakukan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

korporasi adalah sebagai berikut:

a. Memperkaya diri sendiri, artinya bahwa perbuatan


melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya
kekayaan atau harta benda miliknya sendiri.
b. Memperkaya orang lain, maksudnya akibat perbuatan
melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati
bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta
bendanya. Jadi, di sini yang diuntungkan bukan pelaku
langsung.
c. Memperkaya korporasi, atau mungkin juga yang
mendapat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi, yaitu
kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang
terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum (Pasal 1 angka 1 undang- undang Nomor 31
Tahun 1999).80

Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah

memiliki banyak peraturan Perundang-Undangan untuk mengatur

pemberantasan tindak pidana korupsi. Diantaranya ada KUHP,

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan

tindak pidana korupsi beserta revisinya melalui Undang-Undang

Nomor 20 tahun 2001, bahkan sudah ada Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002. Secara substansi Undang- undang

Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur berbagai aspek yang kiranya

dapat menjerat berbagai modus operandi tindak pidana korupsi

yang semakin rumit.

80
Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : Alumni,
2002), hlm. 31.
61

Dalam Undang-Undang tersebut di atas, tindak pidana

korupsi telah dirumuskan sebagai tindak pidana formil, pengertian

pegawai negeri telah diperluas, pelaku korupsi tidak didefenisikan

hanya kepada orang perorang tetapi juga pada korporasi, sanksi

yang dipergunakan adalah sanksi minimum sampai pidana mati,

seperti yang tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 undangundang

tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah

pula dilengkapi dengan pengaturan mengenai kewenangan

penyidik, penuntut umumnya hingga hakim yang memeriksa di

sidang pengadilan.

Dalam segi pembuktian telah diterapkan pembuktian tebalik

secara berimbang dan sebagai kontrol, undang-undang ini

dilengkapi dengan Pasal 41 pengaturan mengenai peran serta

masyarakat, kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya

Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian

Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. Hal tersebut di atas, dilakukan dengan cara

menandatangani konvensi PBB tentang anti korupsi yang

memberikan peluang untuk mengembalikan aset- aset para

koruptor yang di bawa lari ke luar negeri. Dengan meratifikasi

konvensi ini, Indonesia akan diuntungkan dengan penanda tangan

jonvensi ini. Salah satu yang penting dalam konvensi inia adalah
62

adanya pengaturan tentang pembekuan, penyitaan dari harta

benda hasil korupsi yang ada di luar negeri. 81

81
Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, (Jakarta : Maharini Press,
2008), hlm 49-50.

You might also like