You are on page 1of 7

Tujuan dan Azaz Konseling

1. Defisini Konseling
James C. Hansen mengatakan bahwa konseling adalah “proses membantu individu dalam
belajar tentang diri mereka sendiri, lingkungan mereka, meskipun individu tersebut
mengalami masalah, membantu seorang individu dengan proses pengambilan keputusan
dalam masalah misalnya dalam pendidikan, serta menyelesaikan masalah antarpribadi.”1
C. Petterson mengatakan bahwa yang dimaksud dengan konseling adalah suatu proses
antara terapis dan klien yang melibatkan suatu hubungan antar pribadi dalam sebuah
komunikasi dengan menggunakan metode-metode psikologi untuk meningkatkan kesehatan
mental klien.2
Adz-Dzaki juga mengutip Edwin C. Lewis yang mengatakan bahwa konseling
merupakan proses yang bersifat bantuan dari seorang konselor kepada klien (orang yang
bermasalah), agar pada diri klien timbul dan berkembang sifat dan perilaku-perilaku untuk
penyelesaian permasalahannya.3
Prayitno mendefinisikan konseling adalah suatu proses pemberian bantuan yang
dilakukan melalui wawancara konseling oleh orang yang ahli (guru pembimbing atau
konselor) kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah, yang bermuara pada
teratasinya masalah yang dihadapi klien.4
G. Hussein Rassool mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Konseling Islami adalah
bentuk konseling yang memasukkan spiritualitas dan religiusitas ke dalam proses
pelaksanaan konseling.5 Konseling Islam didasarkan pada kerangka terintegrasi yang dipandu
oleh prinsip-prinsip aqidah (kepercayaan) dan praktik terapis sehingga selalu
menghubungkan antara kehidupan dengan ibadah dan akhlakul karimah.
Salasiah Hanin Hamjah dan Noor Shakirah Mat Akhir mengatakan bahwa Konseling
Islami merupakan konseling dengan pendekatan Islam yang didasarkan pada tiga komponen
utama dalam ajaran Islam, yaitu aspek aqidah, ibadah dan akhlaq. Hal ini berdasarkan pada
pemahaman sebagian besar ulama bahwa Islam harus berdaasar pada ketiga aspek ini secara
terintegrasi (keseluruhan).6

                                                            
1
James C. Hansen, Counseling Theory and Process (Boston: Allyn and Bacon Inc., 1977), hlm. 1.
2
Adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam, Penerapan Metode Sufistik, hlm, 179.
3
Adz-Dzaky, hlm. 180.
4
Prayitno, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 40.
5
Rassool, Islamic Counselling, hlm. 15.
6
Salasiah Hanin Hamjah dan Noor Shakirah Mat Akhir, “Islamic Approach in Counseling,” Journal of
Religion and Health 53, no. 1 (Februari 2014): 279–89, https://doi.org/10.1007/s10943-013-9703-4.
Norazlina Zakaria dan Noor Shakirah Mat Akhir mengatakan bahwa Konseling Islami
merupakan konseling dengan pendekatan Islam yang didasarkan pada tiga komponen Islam
yang meliputi aqidah (keyakinan Islam), ibadah atau fiqh (ritual yang berhubungan dengan
hukum Islam) dan tasawwuf (ilmu yang ditujukan untuk memelihara jiwa).7 Kesadaran
seseorang akan tujuan akhir dari perjalanan hidupnya adalah pertemuan Allah dan memasuki
surga Firdaus, maka kendaraan yang digunakan mencapai hal ini adalah aqidah, peraturan
dan rambu-rambu perjalanan hidup adalah fiqh, dan kondisi fisik dan psikologis pengemudi
adalah tasawwuf.
Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan
Konseling Islami adalah proses membantu yang dilakukan oleh konselor kepada seorang
klien untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan pribadinya, baik yang menyangkut
hubungannya dengan orang lain dalam hal sekolah, karier, maupun masalah keluarga dengan
menggunakan pendekatan psikologis yang melibatkan ajaran Islam segara integral, yang
meliputi unsur akidah, ibadah, akhlak dan tasawuf.

2. Tujuan Konseling Islami


Lawrence Brammers mengatakan bahwa tujuan konseling adalah untuk menghubungkan
prosedur penyelesaian masalah kepada klien dengan data yang sudah ada, mengubah perilaku
klien, yaitu suatu perubahan yang berarti melepaskan kebiasaan yang menyenangkan, nilai-
nilai lama hangus walaupun harus menyakitkan perasaan.8
‘Athiyah Mahmud Hana dalam bukunya menyebutkan bahwa tujuan konseling adalah
membantu individu yang memerlukan bantuan untuk mampu menyelesaikan atau
memperingan permasalahan yang dalam hidupnya. Tujuan utama dari konseling adalah untuk
membantu individu mencapai integritas dan pertumbuhan yang maksimal dari individu agar
sukses dalam pendidikan dan pekerjaannya.9
Secara terperinci tujuan konseling jika di hubungkan dengan seting sekolah dapat dibagi
menjadi tujuh hal, yaitu sebagai berikut:
a. Membangun peserta didik untuk mengembangkan pemahaman diri sesuai dengan
kecakapan dan minatnya sehingga dapat mecapai hasil belajar yang maksimal.
                                                            
7
Norazlina Zakaria dan Noor Shakirah Mat Akhir, “Incorporating Islamic Creed into Islamic Counselling
Process: A Guideline to Counsellors,” Journal of Religion and Health 58, no. 3 (Juni 2019): 926–36,
https://doi.org/10.1007/s10943-017-0516-8. 
8
Lawrence Brammers, Therapeutic Psychology Fundamental of Counseling and Psychotherapy (New
Jersey: Prentice Hall Inc. Englewood Cliff, t.t.), hlm. 99.
9
’Athiyah Mahmud Hana, Bimbingan Pendidikan dan Pekerjaan (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm.
135-136.
b. Membantu seseorang untuk dapat bersosialisasi, mengasah sensitivitas kebutuhan orang
lain, dan dapat memahami maksud dari perilaku orang lain.
c. Membantu seseorang untuk mendapat kepuasan maksimal dalam hubungannya dengan
orang lain.
d. Membantu mengembangkan motif-motif instrinsik dalam setiap perilaku dan belajar.
e. Membantu untuk dapat hidup seimbang dalam berbagai aspek, baik fisik, mental, dan
sosial.
f. Mengembangkan nilai dan sikap serta perasaan secara menyeluruh yang sesuai dengan
kepercayaannya.
g. Memberi dorongan dalam pengarahan diri, pemecahan masalah, pengambilan keputusan
dan keterlibatan diri dalam aktivitas kehidupan.10
Syaiful Akhyar Lubis11 menyimpulkan bahwa tujuan konseling dalam Islam itu
menyangkut hal-hal berikut ini:
a. Membantu membangun kesadaran akan belajar
Bantuan ini berwujud meningkatkan kesadaran dan motivasi bahwa belajar bagi klien
merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditunda lagi. Oleh karena itu, agar dapat
mendapai derajat belajar yang baik, harus membangun sikap dan kebiasaan belajar yang
baik, memilih strategi belajar yang sesuai, berdisiplin dengan pemanfaatan waktu,
beradaptasi dengan baik terhadap budaya di sekolah dan lingkungan masyarakat sekitar,
sehingga timbul orientasi untuk belajar sepanjang masa.12
b. Menyediakan fasilitas agar terjadi perubahan tingkah laku
Maksudnya adalah konselor berupaya membantu konseli/klien kearah perubahan,
sehingga hidupnya menjadi produktif dan kepuasan hidunya meningkat. Aspek
perubahan yang diupayakan terutama meliputi hubungannya dengan orang lain, keluarga,
dan masyarakat. Konselor mengarahkan untuk menemukan kemantapan diri yang
diperlukan untuk pengembangan struktur kepribadiannya. Struktur kepribadian yang
mantab akan membawa sebuah perilaku yang relatif permanen, sehingga menjadi
pribadi yang matang, lebih mandiri, dan lebih maju dengan cara yang positif dan
konstruktif. Melalui layanan konseling individu dapat membangun, memelihara, dan
menjaga, serta memotivasi untuk menjadi pribadi yang sehat secara mental yang
diimplemantasikan dalam penyesuaian diri, dan tindakan positif kepada orang lain.
                                                            
10
 Saiful Akhyar Lubis, Konseling Islami Kyai dan Pesantren (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007), hlm. 45-
47.
11
Lubis, hlm. 47-52.
12
Andi Mappeare, Pengantar Konseling dan Psikoterapi (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), hlm. 106.
Dijelaskan oleh Winkel bahwa konseling menghasilkan pribadi yang terpenuhi
kebutuhan psikososial dan ruhaninya yang meliputi: 1) Menyakini nilai-nilai untuk
diimplementasikan sehingga mencapai keteraturan hidup. 2) Menyakini bahwa dirinya
sebagai pribadi yang berharga bagi orang lain, sehingga timbul keyakinan atas
kemampuan diri dalam mengatasi segala tantangan hidup. 3) Memiliki kepercayaan diri
untuk mengatasi setiap persoalan sehingga mucul perasaan aman. 4) Mempunyai
kemampuan memberi dan menerima rasa kasih sayang. 5) Menjadikan spiritualitas
sebagai penuntun arah dalam kehidupan, menjadi sumber harapan, dan dijadikan sebagai
benteng kekuatan lahir dan batin ketika berada di tengah-tengah gelombang kehidupan.
6) Memandang hidup dengan optimisme, yang dibangun dengan kepuasan, kegembiraan,
kebahagiaan hidup yang mengacu pada kebahagiaan spiritual dan ruhaninya.13
c. Meningkatkan hubungan antar personal dan pembinaan kesehatan mental.
Konselor berupaya memberi bimbingan bagaimana cara seseorang membangun
hubungan yang harmonis dengan lingkungan sosialnya. Misalnya hubungan dengan
anggota keluarga, teman sekolah, teman sebaya, bahkan teman seprofesi. Keberhasilan
dalam membangun hubungan yang harmonis, akan meningkatkan kepuasan hidup
seseorang, sehingga kesehatan mentalnya akan meningkat. Oleh karena itu, agar
hubungan antar personal menjadi baik, harus dapat menjaga hubungan yang kondusif
yang dapat diciptakan dengan cara: mengembangkan rasa persamaan,sikap saling
memberi dan menerima, serta sikap penghargaan antar sesama manusia.
d. Meningkatkan kemampuan klien untuk menghadapi dan mencegah munculnya masalah
Konselor juga berupaya untuk mencegah agar klien tidak mengalami masalah di
kemudian hari, minimal masalah yang dihadapi tidak semakin tambah sehingga menjadi
beban psikologisnya. Permasalahan psikologis yang bertumpuk-tumpuk dan bersarang
pada diri seseorang dalam waktu yang cukup lama akan berakibat buruk sehingga
mengganggu kesehatan jiwanya secara permanen.14 Konselor dapat berusaha untuk
memberi bimbingan secara sistematis, bagaimana ketika menghadapi tuntutan dan situasi
baru, sehingga dia dapat dan terampil dalam melakukan adabtasi diri dengan kehidupan
sosialnya. Hal-hal yang dapat diajarkan meliputi: kemampuan berkomunikasi, bagaimana
menerima dan menyampaikan pendapat secara logis, efektif, dan produktif. Bagaimana

                                                            
13
W.S. Winkel, Bimbingan Konseling Pada Institusi Pendidikan (Yogyakarta: Media Abadi, 2004), hlm.
228.
14
Latipun, Psikologi Konseling (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, t.t.), hlm. 41.
membangung hubungan dengan teman sebaya, memahami dan melaksanakan tata krama,
norma, nilai agama, adat-istiadat yang berlaku, sehingga hidupnya menjadi lapang.15
e. Meningkatkan kemampuan siswa mengambil keputusan yang tepat
Konselor mengajarkan klien bagaimana cara mengambil keputusan secara cepat dan
tepat terutama pada saat-saat yang emergency (genting) dan juga dalam segala keadaan.
Untuk meningkatkan kemampuan ini konselor dapat mengajarkan: 1) bagaimana cara
klien menyelaraskan antara kemampuan dirinya dengan cita-cita, waktu, tenaga yang
dimiliki klien. 2) bagaimana mengenal, merumuskan, dan memecahkan masalah-masalah
yang dihadapi klien. 3) meningkatkan kemampuan berfikir secara kreatif, produktif, dan
solutif. 4) Mampu mengontrol dorongan-dorongan dan merespons secara tepat terhadap
gejala psikologis yang dirasakan oleh klien. 5) mengubah makna dari situasi problematis
dengan mengubah konsepnya.
f. Meluruskan persepsi sesuai dengan yang semestinya
Konselor berusaha meluruskan persepsi konseli yang menyimpag akibat kesalahan
persepsi. Oleh karena itu, konselor butuh waktu untuk menyakinkan konseli bahwa apa
yang dipersepsikan adalah keliru sehingga situasi tersebut menjadi situasi yang dirasakan
problematis. Satu situasi apapun, tidak akan berubah selama klien tidak mengubah cara
pandangnya terhadap masalah tersebut.16 Konselor dengan kemampuannya mengajak
klien untuk belajar mengubah persepsi dalam memandang masalah yang sedang
dialaminya secara lebih rasional. Konseli ditunjukkan bukti-bukti logis bahwa masalah
yang dirasakannya sebagai akibat dari kesalahan persepsinya. Kebiasaan klien
memandang masalah secara rasional, logis, dan berdasar nilai-nilai spiritualitas, akan
mudah diterima oleh klien sebagai realitas yang wajar walaupun sangat pahit.
g. Mengubah perilaku negatif menjadi positif
Andi Mappeare mengutip perkataam Carl Rogers yaitu: “Change in personality
organization and structure, change behavior, both of which are relative permanent.”17
Perubahan yang diupayakan adalah mengacu pada perilaku tidak sesuai menjadi perilaku
yang sesuai dengan norma dan spiritualitas. Mekanisme yang dilakukan misalnya dengan
meningkatkan kesadaran klien terhadap sikap dan perilakunya yang bertentangan denilai
norma dan nilai untuk diperbaiki sesuai dengan norma. Klien diupayakan benar-benar

                                                            
15
Prayitno, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, hlm. 105.
16
Antony Yeo, Konseling Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah (Jakarta: PT. BPK. Gunung Mulia,
1994), hal. 194. (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1994), hlm. 194. 
17
Mappeare, Pengantar Konseling dan Psikoterapi, hlm. 47-48.
sadar dan yakin bahwa sikap dan perilaku selama ini tidak layak dilakukan dan harus
diubah menjadi sikap dan perilaku lebih benar dan sesuai norma dan nilai.

Asas-Asas Konseling Islam


Asas dapat diartikan sebagai dasar pijak, pondasi atau dasar pembentukan. Pemenuhan
asas-asas bimbingan konseling akan memperlancar pelaksanaan dan lebih menjamin
keberhasilan layanan. Tohari Musnamar berpendapat bahwa landasan untuk dijadikan
pedoman dalam penyelenggaraan konseling Islami adalah nilai-nilai yang digali dari sumber
ajaran Islam. Untuk itu ia menawarkan sepuluh asas yakni asas ketauhidan, ketakwaan, ahlak
al karimah, kebahagiaan dunia akhirat, cinta kasih, toleransi, kebahagiaan diri dan
kemaslahatan umum, keahlian, amanah dan asas kearifan.18
Menurut Syaiful Akhyar terdapat lima asas dalam pelaksanaan konseling Islami, yaitu:
a. Asas Ketauhidan Tauhid adalah pengesaaan Allah yang merupakan syarat utama bagi
penjalinan hubungan antara hamba dengan pencipta-Nya. Dalam hal ini, Allah
ditempatkan sebagai satu-satunya sumber yaitu sumber kesehatan mental/hati, sumber
kesembuhan penyakit mental atau hati, sumber kekuatan menyelesaikan masalah, sumber
ketenangan spiritual. Hanya kepada Allah seluruh ibadah dan pengabdian manusia
dimuarakan. Konseling Islami yang berupaya menghantar manusia untuk memahami
dirinya dalam posisi vertikal (tauhid) dan horizontal (muamalah) akan gagal mendapat
sarinya jika tidak berorientasi pada keesaan Allah. 
b. Asas Amaliah Keterpaduan antar perkataan dan perbuatan, antara ilmu dan amal ditata
konsepnya atas dasar firman Allah dalam surah ash-shaf (61) ayat 2, yakni Allah
mengecam perkataan manusia mukmin yang tidak disertai atau diselaraskan dengan
perbuatan nyata. Dengan demikian, dalam proses konseling Islami konselor dituntut
untuk bersifat realistis dengan pengertian sebelum memberikan bantuan terlebih dahulu
ia harus mencerminkan sosok figur yang memiliki keterpaduan ilmu dan amal. 
c. Asas akhlaq al –karimah Asas ini sekaligus melingkupi tujuan dan proses konseling
Islami. Dari sisi tujuan, konseli diharapkan sampai pada tahap memiliki akhlak mulia.
Sedangkan dari sisi proses, berlangsungnya hubungan antara konselor dan konseli
didasarkan atas norma-norma yang berlaku dan dihormati. Sebagaimana diketahui bahwa

                                                            
18
Tarmizi, Bimbingan Konseling Islami, hlm. 55

 
misi kerasulan Muhammad adalah untuk memperbaiki ahlak manusia, dengan tegas
dinyatakan dalam hadis yang berkenaan dengan penyempurnaan akhlak. 
d. Asas Profesional (keahlian) Keberhasilan suatu pekerjaan akan banyak bergantung pada
profesionalisasi atau keahlian orang yang melakukannya. Sehubungan dengan ini, perlu
adanya kriteria petugas profesional konseling Islami itu. Munandir mengemukakan
sebagai petugas profesional bimbingan konseling Islami, konselor sendiri haruslah sudah
mencapai taraf kematangan pribadi, spiritualitas dan keilmuan pada tingkat yang
dikehendaki. Dia ahli soal agama, pada taraf penguasaan ilmu dan pengalamannya.
Sebagai pribadi ia memiliki sifat–sifat yang dituntut agar ia bisa menjalankan tugas-tugas
profesionalnya, seperti terampil mengempati dan menerima, tetapi tidak hanyut dalam
perasaan klien dan ia memiliki ahlak yang terpuji menurut Islam. 
e. Asas Kerahasiaan Sehubungan dengan ini, Islam memberi tekanan pada penjagaan
rahasia dalam pergaulan hidup sehari-hari. Untuk itu Islam menjadikan pahala bagi orang
yang dapat menjaga rahasia saudaranya, dan mencela seseorang karena tidak mau
menjaga rahasia atau membeberkan aib saudaranya. Segala problema konseli yang
dipaparkan kepadanya harus dipandang sebagai hal bersifat pribadi dan sangat rahasia
sehingga konseli merasa terjamin kerahasiaanya.19 
 

                                                            
19
 Syaiful Akhyar Lubis, Konseling Islami dalam Komunitas Pesantren, hlm. 93‐99 

You might also like