Modul Ajar 5

You might also like

You are on page 1of 56

1

MODUL AJAR SEJARAH INDONESIA

A. Informasi Umum

Nama penyusun : Lilik Suharmaji


Asal Instansi : SMA Negeri 8 Yogyakarta
Tahun Penyusunan : 2021
Jenjang sekolah : SMA
Kelas : XI (Sebelas)
Kata Kunci : Perjuangan mempertahankan kemerdekaan
Kode Perangkat : Sej. F. LIS. 11.5.
Jumlah Peserta : 36
Moda : Tatap Muka
Alokasi waktu : 2 JP x 8 pertemuan ( 720 menit)

B. Tujuan Pembelajaran
Capaian Pembelajaran Alur Tujuan Pembelajaran

- Fase F, peserta didik di Kelas XI dan 11.5. Menjelaskan perjuangan mempertahankan


XII mampu mengembangkan kemerdekaan
konsep konsep dasar sejarah untuk - 11.5.1 Menganalisis keterkaitan kedatangan Sekutu
mengkaji peristiwa sejarah dalam dan Belanda di Indonesia, dengan peranan pemuda dan
dimensi manusia, ruang, dan waktu. tentara dalam mempertahankan proklamasi dalam
Melalui literasi, diskusi, dan peristiwa 5 hari di Semarang, pertempuran Kotabaru di
penyelidikan (penelitian) berbasis Yogyakarta dan pertempuran 10 November di
proyek kolaboratif peserta didik Surabaya
mampu menjelaskan berbagai
- 11.5.2 Menganalisis keterkaitan antara patriotisme
peristiwa sejarah yang terjadi di
Sudirman dengan kemenangan perang melawan Sekutu
Indonesia dan dunia meliputi
pada peristiwa Ambarawa dan semangat revolusi
Kolonialisme dan Perlawanan Bangsa
kemerdekaan dalam pertempuran Medan Area,
Indonesia, Pergerakan Kebangsaan
Indonesia, Pendudukan Jepang di
Bandung Lautan Api, pertempuran Margarana di Bali,
Indonesia, Proklamasi Kemerdekaan peristiwa Westerling di Makassar.
Indonesia, Perjuangan - 11.5.3 Menganalisis keterkaitan antara
Mempertahankan Kemerdekaan, ketidaknyamanan situasi di Jakarta dengan
Pemerintahan Demokrasi Liberal dan kenegarawanan Sultan Hamengku Buwono IX dengan
Demokrasi Terpimpin, pemindahan pusat pemerintahan dari Jakarta ke
- Peserta didik di Kelas XI mampu Yogyakarta.
menggunakan sumber primer dan - 11.5.4 Menjelaskan implikasi perjanjian Linggarjati
sekunder untuk melakukan penelitian terhadap pengakuan kedaulatan oleh Belanda dan
sejarah nasional dan sejarah lokal negara-negara di dunia serta keterkaitan strategi politik
secara diakronis atau sinkronis van Mook dengan konferensi Malino dan pembentukan
kemudian mengomunikasikannya BFO.
dalam bentuk lisan, tulisan, dan/atau - 11.5.5 Menganalisis keterkaitan antara Agresi Militer
media lain. Selain itu mereka juga Belanda I dengan penguasaan sumber-sumber
mampu menggunakan keterampilan ekonomi, dan pembentukan Komisi Tiga Negara
sejarah untuk menganalisis dan (KTN) serta perjanjian Renville
mengevaluasi peristiwa sejarah
- 11.5.6 Menganalisis keterkaitan antara Agresi Militer
2

Belanda II dengan pendudukan Yogyakarta,


penangkapan pemimpin bangsa untuk diasingkan,
gerilya panglima besar Sudirman dan pendirian PDRI
(Pemerintah Darurat Republik Indonesia).
- 11.5.7 Menganalisis keterkaitan serangan Umum 1
Maret 1949, kedermawanan Sultan Hamengku
Buwono IX dalam revolusi fisik di Yogyakarta dengan
perjanjian Roem Royen dan peristiwa Jogja Kembali.
- 11.5.8 Menganalisis keterkaitan Konferensi Antar-
Indonesia, terjadinya Konferensi Meja Bundar (KMB)
dan pembentukan RIS (Republik Indonesia Serikat)
dengan menuju kembalinya penyerahan kedaulatan
negara kesatuaan Republik Indonesia

C. Profil Pelajar Pancasila

Dengan mempelajari sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan peserta didik


diharapkan dapat:
1. Iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia
D. Profil
Selalu Pelajarterhadap
bersyukur PancasilaTuhan
yang berkaitan:
Yang Maha Esa atas karunianya dengan
mempertahankan proklamasi kemerdekaan sehingga mendapat pengakuan kedaulatan
menjadi bangsa yang terlepas dari penjajahan menjadi negara yang berdiri sejajar dengan
bangsa lain di dunia.
2. Berkebhinekaan Global
Mengambil pelajaran dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan bahwa bangsa-
bangsa sahabat Indonesia di dunia mendukung sepenuhnya kemerdekaan RI sebagai rasa
solidaritas antar bangsa yang menginginkan lepas dari penjajahan.
3. Mandiri
- Mengerjakan tugas-tugas belajar yang diberikan guru secara mandiri
- Meneladani sikap mandiri dan tegas seperti para tokoh-tokoh pemimpin bangsa
dalam revolusi fisik sehingga terwujudnya pengakuan kedaulatan RI.
4. Integritas
- Menumbuhkan nilai kejujuran kepada para siswa dalam mengerjakan evaluasi dan
tugas-tugas belajarnya.
- Meneladani para pejuang pergerakan nasional yang sabar, pantang menyerah, rela
berkorban dalam mempertahankan kemerdekaan.
5. Kritis
- Dapat memetik pelajaran nilai-nilai (value) dari para tokoh-tokoh pendiri bangsa baik
sipil maupun militer bahwa sikap kolaboratif/ kerjasama adalah sebuah alat pintu
masuk terwujudnya segala cita-cita bangsa.
6. Kreatif
- Kreatif dalam memilih sumber belajar sebagai bahan diskusi kelompok sehingga
menghasilkan materi hasil diskusi dapat dipertanggungjawabkan.
7. Gotong royong
- Berkolaborasi dalam diskusi kelompok dengan saling menghargai pendapat orang
lain dan tidak memaksakan pendapatnya diterima oleh orang lain.
- Mengambil hikmah bahwa sebuah keberhasilan pengakuan kedaulatan RI tercipta
3

D. Sarana Prasarana
1. Jaringan internet yang memadai
2. Komputer/laptop
3. Perpustakaan, buku-buku sejarah sebagai referensi
4. Peta hasil perundingan Linggarjati

E. Target peserta didik


Perangkat ajar ini dapat digunakan untuk siswa reguler

F. Jumlah peserta didik


36 peserta didik/ kelas

G. Ketersediaan materi:
1. Materi pengayaan
2. Materi remedial

H. Model Pembelajaran:
PJJ daring dan luring

I. Materi ajar, alat dan bahan


1. Materi perjuangan mempertahankan kemerdekaan

A. Kedatangan Sekutu Dan Belanda di Indonesia


Proklamasi kemerdekaan bukanlah titik akhir dari sebuah perjuangan. Tantangan
di depan mata terlihat jelas, yakni Belanda ternyata masih ingin menguasai Indonesia.
Sekutu yang memenangkan Perang Dunia II dengan memaksa Jepang menyerah merasa
memiliki hak untuk menentukan nasib bangsa Indonesia.
Pemerintah memang terbentuk, alat kelengkapan sebagai sebuah negara yang
berdiri juga sudah ada, misalnya presiden dan wakilnya, parlemen, kementerian, dasar
negara sampai alat negara (tentara), juga sudah terbentuk. Namun, karena negara ini baru
lahir, maka kekurangan masih ada dimana-mana.
Kondisi perekonomian belum mapan sehingga inflasi sangat membuat rakyat
menderita. Saat itu, Indonesia belum mempunyai mata uang sendiri, sedangkan peredaran
mata uang Jepang semakin tidak terkendali. Mata uang Jepang tidak bisa dilarang karena
rakyat masih membutuhkan dan Indonesia belum mempunyai mata uang sendiri. Saat itu,
4

mata uang yang beredar di Indonesia ada tiga, yakni 1) mata uang rupiah Jepang, 2) mata
uang pemerintah Hindia Belanda, dan 3) mata uang NICA.
Sementara itu, Belanda (NICA) terus menekan pemerintah Indonesia sehingga
Jakarta dirasakan tidak aman lagi. Kekacauan secara ekonomi dan politik di Jakarta inilah
yang menyebabkan pada 4 Januari 1946 ibu kota RI yang ada di Jakarta pindah ke
Yogyakarta.
Baru setelah 1 Oktober 1946, Indonesia mengeluarkan mata uang resmi yang
dikenal dengan nama uang ORI sehingga uang NICA dinyatakan sebagai alat tukar yang
tidak sah
Belanda, Australia, dan Amerika Serikat merupakan negara yang membentuk
koalisi dalam Perang Dunia II. Mereka saling melindungi. Untuk itulah, tidak
mengherankan jika setelah Jepang membuat Belanda bertekuk lutut, tentara Belanda
bukannya dikembalikan ke negara asal, tetapi mereka melarikan diri ke Australia.
Ketika Jepang menyerah, maka Indonesia dinyatakan sebagai vacuum of power
atau kekosongan kekuasaan. Setelah Jepang kalah, maka tentara Belanda yang melarikan
diri ke Australia kembali ke Indonesia untuk berusaha menguasai lagi. Karena Indonesia
sudah menyatakan dirinya merdeka, maka terjadi benturan antara mempertahankan
kemerdekaan dengan keinginan untuk menguasai lagi.
Sekutu masuk ke Indonesia melalui beberapa pintu, terutama daerah yang
merupakan pusat pemerintahan pendudukan Jepang seperti Jakarta, Semarang, dan
Surabaya. Setelah Perang Dunia II selesai, terjadi perundingan antara Belanda dengan
Inggris yang menghasilkan Civil Affairs Agreement.
Isi dari perundingan itu adalah tentang pengaturan penyerahan kembali Indonesia
dari pihak Inggris kepada pihak Belanda, terutama daerah Sumatra, sebagai daerah di
bawah pengawasan. SEAC (South East Asia Command). Dalam perundingan itu, diatur
langkah-langkah sebagai berikut. a. Tentara Sekutu akan mengadakan operasi militer
untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. b. Setelah keadaan normal, pejabat-pejabat
NICA akan mengambil alih tanggung jawab koloni dari pihak Inggris yang mewakili
Sekutu.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, pemerintah
Belanda mendesak kepada Inggris agar segera mengesahkan perjanjian itu. Akhirnya,
perjanjian disahkan pada 24 Agutus 1945. Berdasarkan Perjanjian Postdam, Civil Affairs
Agreement diperluas, yakni Inggris bertanggung jawab untuk seluruh Indonesia,
termasuk daerah yang berada di bawah pengawasan SWPAC (South West Pasific Areas
Command).
Untuk melaksanakan Perjanjian Postdam, maka SWPAC yang dipimpin Lord
Louis Mountbatten di Singapura segera mengatur pendaratan Sekutu di Indonesia.
Kemudian, pada 16 September 1945, wakil Mountbatten, yakni Laksamana Muda W.R.
Patterson, mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Di dalam rombongan W.R.
Patterson ikut serta Van Der Plass, seorang Belanda yang mewakili H.J. Van Mook
(pemimpin NICA).
Kemudian, Lord Louis Mountbatten membentuk pasukan komando khusus yang
diberi nama AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indiers) di bawah komando Letnan
Jenderal Sir Philip Christison.
5

Tugas AFNEI sebagi berikut, 1) menerima penyerahan kekuasaan Jepang tanpa


syarat; 2) membebaskan tawanan perang; 3) melucuti dan mengumpulkan orang-orang
Jepang untuk dipulangkan ke negerinya; 4) menciptakan ketertiban, keamanan,
perdamaian untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah sipil; 5) mengumpulkan
keterangan tentang penjahat perang untuk kemudian diadili sesuai hukum yang berlaku.
Pasukan Sekutu yang tergabung dalam AFNEI juga mendarat di Jakarta pada 29
September 1945. Kedatangan Sekutu tentunya tidak menyenangkan bagi bangsa
Indonesia, karena ternyata NICA (Netherland Indies Civil Administration) ikut di
dalamnya karena ingin menjajah Indonesia kembali. Untuk menjalankan tugasnya,
AFNEI menyadari harus berkerja sama dengan pemerintah RI. Untuk itulah, pada 1
Oktober 1945, Letnan Jenderal Sir Philip Christison secara de facto mengakui tentang
keberadaan negara Indonesia. Namun, pengakuan ini sering dilanggar karena adanya
berbagai pertempuran. AFNEI menyadari harus berkerja sama dengan pemerintah RI.
Untuk itulah, pada 1 Oktober 1945, Letnan Jenderal Sir Philip Christison secara de facto
mengakui tentang keberadaan negara Indonesia. Namun, pengakuan ini sering dilanggar
karena adanya berbagai pertempuran.

B. Rencana Pemuda dan Tentara Dalam Mempertahankan Proklamasi


Setelah AFNEI diboncengi NICA yang ingin menguasai lagi Indonesia, di
berbagai daerah terjadi pertempuran. Masalah semakin rumit ketika Jepang juga tidak
secara sukarela melepaskan Indonesia untuk merdeka sepenuhnya. Bagaimana para
pejuang menghadapi Jepang dan Sekutu (NICA)? Berikut paparannya.
1. Pertempuran Lima Hari di Semarang Melawan Jepang
Setelah berita proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945,
akhirnya berita bahwa Indonesia merdeka sudah masuk ke telinga warga Semarang.
Hal tersebut membuat para pemuda Semarang semakin berani untuk melucuti tentara
Jepang yang sebelumnya sudah kalah dalam Perang Dunia II. Namun, pada 14
Oktober 1945, Mayor Kido menolak untuk dilucuti senjatanya sehingga suasana
semakin mencekam.
Penolakan tersebut membuat warga Semarang marah. Mereka menjadikan Rumah
Sakit Purusara menjadi markas besar warga Semarang saat itu. Pada tanggal yang
sama, yaitu 14 Oktober 1945, tepatnya pukul 06.30 WIB, warga Semarang mendapat
perintah untuk menghadang semua kendaraan tentara Jepang yang lewat di sekitar
Rumah Sakit Purusara.
Para pemuda berhasil menghadang salah satu kendaraan Jepang milik Kempetai
dan melucuti senjatanya. Sore harinya, para pemuda mencari tentara Jepang yang
berada di sekitar Semarang untuk dipenjarakan di Bulu. Amarah warga Semarang
semakin besar ketika dalam upaya pemindahan tawanan Jepang ke penjara Bulu ada
beberapa tentara Jepang yang meloloskan diri dan bergabung dengan pasukan
Kidobutai di Jatingaleh untuk minta perlindungan.
Oleh karena itu, tanpa menunggu perintah, para pemuda segera menyerang dan
melakukan perebutan senjata terhadap tentara Jepang. Terjadilah pertempuran sengit
antara pemuda Semarang melawan tentara Jepang. Pertempuran ini dikenal dengan
Pertempuran Lima Hari di Semarang.
6

Melihat kondisinya yang semakin terdesak, Jepang mulai melakukan balasan


secara mendadak dengan cara menyerang dan melucuti delapan polisi yang sedang
ditugaskan untuk menjaga sumber air minum di Candi, Desa Wungkal. Selanjutnya,
kedelapan polisi tersebut dibawa ke markas Kidobutai di Jatingaleh untuk diperiksa
sambil disiksa.
Setelah kejadian tersebut, terdengar desas-desus bahwa tentara Jepang telah
meracuni sumber air minum warga Semarang di Candi Desa Wungkal. Menjelang
malam, Rumah Sakit Purusara meminta dr. Kariadi untuk memeriksa dan mengecek
sumber air minum warga Semarang karena terdengar kabar bahwa sumber mata air
tersebut sudah diracuni tentara Jepang.
Tanpa rasa takut, demi menyelamatkan ribuan warga semarang, dr. Kariadi
berniat akan langsung memeriksa kebenaran berita tersebut, padahal waktu itu Jepang
gencar melakukan serangan. dr. Kariadi pun pergi ke Candi. Namun, sebelum sampai
di lokasi, tepatnya di Jalan Pandanaran, rombongan dr. Kariadi dihadang oleh
pasukan Jepang dan dr. Kariadi ditembak secara keji oleh tentara Jepang. Berita
kematian dr. Kariadi membuat amarah warga Semarang semakin besar, hingga
akhirnya para pemuda Semarang melakukan beberapa serangan kepada tentara
Jepang.
Tanggal 15 Oktober 1945, Mayor Kido memerintahkan 3.000 tentara Jepangnya
untuk melakukan agresi ke pusat Kota Semarang. Dengan penuh semangat, para
pemuda Semarang terus mempertahankan daerahnya masing-masing. Jepang secara
diam diam melakukan berbagai penyerangan di kampung-kampung kecil. Para
pemuda berhasil menangkap Mayor Jenderal Nakamura di kediamannya di Magelang.
Tokoh Jepang ini ditahan para pemuda sehingga semakin meningkatkan kemarahan
tentara Jepang.
Tanggal 17 Oktober 1945 pula, disepakati gencatan senjata yang diadakan di
Candi Baru. Sekalipun dalam perundingan gencatan senjata sudah disepakati, ternyata
tentara Jepang masih melanjutkan pertempuran. Pada 18 Oktober 1945 (hari kelima),
Jepang berhasil mematahkan serangan para pemuda Semarang. Pada hari itu juga
telah datang utusan pemerintah pusat di Jakarta untuk melakukan perundingan dengan
Jepang.
Utusan tersebut adalah Kasman Singodimejo dan Sartono. Hadir di pihak Jepang
di antaranya Jenderal Nakamura. Kemudian, diadakan perundingan untuk mengatur
gencatan senjata. Nakamura mengancam, jika sampai 19 Oktober 1945, pukul 10.00,
para pemuda Semarang tidak menyerahkan senjata, maka Kota Semarang akan
diluluhlantakkan dengan cara dibom. Akhirnya, Wongsonegoro, Gubernur Jawa
Tengah saat itu, terpaksa menyetujui dengan membubuhkan tanda tangan pada
perjanjian itu.
Pada 19 Oktober 1945 pagi hari, pemuda Semarang belum tampak menyerahkan
senjata kepada Jepang. Sementara itu, tentara Jepang sudah menyiapkan mesiu untuk
menghancurkan Kota Semarang.
Tiba-tiba, pukul 07.45 terdengar kabar bahwa Sekutu telah mendarat di
Pelabuhan Tanjung Mas Semarang dengan tujuan melucuti senjata Jepang. Dengan
7

datangnya Sekutu, maka pertempuran antara pejuang Semarang dengan tentara


Jepang berakhir.
2. Pertempuran Kotabaru di Yogyakarta Melawan Jepang
Perlawanan dimulai dengan perebutan senjata dan perkantoran yang dilakukan
oleh kesatuan-kesatuan di Yogyakarta. Para pemuda, BKR, dan Peta terus melakukan
tukar pendapat untuk melakukan perebutan kekuasaan terhadap Jepang. Beberapa
tokoh pemuda Peta tersebut antara lain Sudarto, Syaifudin, Marsudi, Umar Slamet,
Sunjoyo, dan Soeharto. Komandan penyerbuan dipimpin oleh Umar Slamet yang
sebelumnya merupakan pimpinan TKR.
Beberapa kantor dan jawatan telah berhasil dikuasai oleh pemuda dan rakyat
Yogyakarta. Beberapa pabrik dan perusahaan yang berhasil direbut misalnya Jawatan
Kehutanan, Pabrik Gula Tanjungtirto, Medari, Rewulu, Gondanglipuro, Sewugalur,
dan Pabrik Salakan. Pada 27 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah
Yogyakarta mengumumkan bahwa seluruh kekuasaan pemerintah telah berada di
tangan Republik Indonesia.
Berkaitan dengan itu, pimpinan dan kantor-kantor penting harus berada di tangan
orang Indonesia. Kepala daerah Yogyakarta yang dijabat oleh Jepang, yang disebut
Cokan, harus meninggalkan kantornya di Jalan Malioboro. Termasuk juga para
petinggi Jepang yang masih berada di Yogyakarta dan melakukan kegiatan
pertahanan di markas Tentara Inti Jepang (Kidobutai). Di dalam markas ini terdapat
gudang senjata dan terletak di sebelah timur Stadion Kridosono kini digunakan
sebagai Asrama Komando Resort Militer (Korem) 072 Pamungkas.
Sebelum menyerbu kawasan Kotabaru, kelompok-kelompok pemuda dari
Kampung Pathuk, Jagalan, Jetis Utara, dan Gowongan mengadakan pertemuan pada 5
Oktober 1945. Mereka sepakat menyiapkan sejumlah rencana untuk menguasai
markas Jepang. Pertama, para pemuda menunggu berita mengenai hasil perundingan
dengan Jepang. Kedua, melucuti senjata Jepang dengan cara damai. Ketiga, menyerbu
Kidobutai kalau perundingan gagal.
Untuk penyerbuan, mereka berbagi tugas, mulai dari rencana penyerbuan,
pengadaan persenjataan, persiapan pemuda yang akan melakukan serangan, hingga
pimpinan penyerbuan dipegang masing-masing oleh satu orang. Setelah rencana
dimatangkan, para pemuda segera menjalankan tugasnya hari itu juga. Untuk
mencegah bantuan kepada Jepang yang datang dari luar, sambungan kawat telepon
rumah para pembesar dan markas Jepang diputus, perjalanan kereta api diawasi, dan
bila perlu dihentikan di perbatasan kota.
Kelompok Pathuk memutus jaringan telepon dan aliran listrik (lewat gardu di
sebelah timur Hotel Garuda) ke Kotabaru. Kelompok Pathuk juga mendapat
informasi bahwa di salah satu menara Kantor Pos Besar terdapat 28 senjata beserta
pelurunya. Dengan bantuan pejuang yang ada di Kantor Pos yang membuatkan
duplikat kunci serta bantuan para sopir, kelompok Pathuk berhasil mengambil senjata
tersebut.
Akhirnya, pada 5 Oktober 1945, gedung Cokan Kantai berhasil direbut dan
kemudian dijadikan sebagai Kantor Komite Nasional Indonesia Daerah. Gedung
Cokan Kantai kemudian dikenal dengan Gedung Nasional atau Gedung Agung
8

(sekarang Istana Negara). Satu hari setelah perebutan Gedung Cokan Kantai, para
pejuang Yogyakarta ingin melakukan perebutan senjata dan markas Osha Butai di
Kotabaru. Untuk itu, pada 6 Oktober 1945 diadakan perundingan antara pihak
Indonesia dengan Jepang.
Perundingan itu diadakan di dalam markas Osha Butai di Kotabaru. Hadir dari
pihak Indonesia antara lain Mohammad Saleh (KNI) dengan didampingi Oemar Djoy,
Soendjojo, R.P. Sudarsono, dan Bardosono atas nama BKR. Dari pihak Jepang
diwakili antara lain oleh Butaico Mayor Otsuka, Kempetai Sasaki, serta Kapten Ito
(Kiambuco). Sementara itu, sejak sore hari banyak rakyat dan pemuda yang hadir di
sekitar markas Kotabaru.
Dalam perundingan itu, utusan Indonesia mendesak agar Jepang secara sukarela
menyerahkan senjata dan kekuasaannya. Mayor Otsuka dan tentara Jepang tetap
bertahan. Mayor Otsuka kemudian menyatakan bahwa untuk menyerahkan senjata
harus menunggu perintah dari Jenderal Nakamura di Magelang. Untuk itu, Jepang
mengusulkan agar perundingan dilanjutkan esok hari sekitar pukul 10.00 WIB.
Perundingan itu menemui jalan buntu. Dentuman granat kemudian terdengar pada
pukul 20.00 WIB, memberi tanda bahwa perundingan akhirnya gagal Rakyat dan para
pemuda terus mengepung markas Osha Butai di Kotabaru. Bahkan di kampung-
kampung pada malam itu dilakukan persiapan pengerahan massa pemuda dengan
suara siap-siap secara estafet.
Dalam waktu singkat telah berkumpul banyak pemuda dan terus bergerak menuju
Kotabaru. Rakyat dan para pemuda terdiri dari berbagai kesatuan, antara lain TKR,
Polisi, dan BPU (Barisan Penjagaan Umum) yang sudah bertekad untuk menyerbu
markas Jepang di Kotabaru.
Rakyat dan Pemuda dengan senjata seperti parang dan bambu runcing sudah siap,
tinggal menunggu komando. Selain itu, ada kekuatan inti yang menggunakan senjata
api, yaitu pasukan Polisi yang dipimpin oleh Oni Satroatmojo dan pasukan TKR di
bawah komando Soeharto. Sebagai bagian dari strategi penyerbuan, para pemuda
telah memutuskan sambungan telepon, kemudian sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan, sekitar pukul 03.00 WIB tanggal 7 Oktober 1945, terdengar lagi
dentuman granat, menandakan aliran listrik pagar berduri yang mengelilingi markas
Jepang sudah dipadamkan.
Para pemuda segera menyerbu markas itu dan dimulailah pertempuran di
Kotabaru. Dengan demikian, terjadilah pertempuran antara rakyat, pemuda, dan
kesatuan di Yogyakarta melawan tentara Jepang.
Mendengar bahwa rakyat melancarkan serangan di Kotabaru, maka Butaico
Pingit segera menghubungi TKR dan menyatakan menyerah dengan syarat anak
buahnya tidak disiksa. Hal ini diterima baik oleh TKR. Kemudian, TKR minta agar
Butaico Pingit dapat memengaruhi Butaico Kotabaru agar menyerah. Ternyata,
Butaico Kotabaru menolak untuk menyerah. Akibatnya, serangan para pejuang
Indonesia semakin ditingkatkan.
Jepang yang mulai kewalahan kemudian mengadakan kontak kepada pihak para
pejuang Indonesia untuk berdamai. Para pejuang Indonesia boleh memasuki markas.
Setelah pintu itu dibuka, para pemuda pejuang pun memasukinya. Ternyata, di tempat
9

itu telah disambut tembakan gencar senapan mesin yang sudah disiapkan tentara
Jepang sehingga banyak pejuang kita gugur.
Dalam Penyerbuan Kotabaru tersebut, sebanyak 21 pejuang gugur dan sekitar 32
orang mengalami luka-luka. Sedangkan dari pihak tentara Jepang, 9 orang tewas dan
15 orang luka-luka.
Mereka yang gugur adalah 1) Sareh, 2) Sadjiyono, 3) Sabirin, 4) Soenaryo, 5)
Soeroto, 6) Soepadi, 7) Soehodo, 8) Soehartono, 9) Trimo, 10). Mohammad Wardani,
11) Atmosukarto, 12) Ahmad Djazuli, 13) Achmad Zakir, 14) Abu Bakar Ali, 15)
Djoemadi, 16) Djuhar Nurhadi, 17) Faridan M. Noto, 18) Hadi Darsono, 19) I Dewa
Nyoman Oka, 20) Oemoem Kalipan, dan 21) Bagong Ngadikan.
Akhirnya, pada 7 Oktober 1945 sekitar pukul 10.00, markas Jepang (Butaico)
Kotabaru secara resmi diserahkan ke tangan pejuang Yogyakarta. Setelah Butaico
Kotabaru jatuh, usaha perebutan kekuasaan meluas. R.P. Sudarsono kemudian
memimpin pelucutan senjata Kaigun di Maguwo. Dengan berakhirnya pertempuran
Kotabaru dan dikuasainya Maguwo, maka Yogyakarta di bawah kekuasaan Republik
Indonesia.
3. Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya
Melawan Sekutu Setelah proklamasi kemerdekaan, para pemuda Surabaya
berhasil memperoleh senjata dari tentara Jepang yang dilucuti setelah Jepang
menyerah kepada Sekutu. Para pemuda Surabaya sudah terorganisasi sehingga
mereka sudah siap menghadapi segala ancaman yang datang dari manapun.
Pada 25 Oktober 1945, Brigade 49 dari Divisi 23 Sekutu yang berkekuatan
sekitar 5.000 tentara mendarat di Surabaya di bawah pimpinan Brigadir Jenderal
Aulbertin Walter Sothern Mallaby. Setibanya di Surabaya, mereka segera masuk ke
dalam kota dan mendirikan pos pertahanan di delapan tempat.
Pemerintah dan rakyat Indonesia awalnya menyambut kedatangan tentara Sekutu
tersebut dengan tangan terbuka. Ketika tentara Sekutu ingin segera melucuti semua
persenjataan yang telah dikuasai rakyat, Sekutu memperoleh tentangan keras dari
pemimpin Indonesia di Surabaya sehingga akhirnya Sekutu mengalah.
Tanggal 26 Oktober 1945, dicapai kesepakatan antara pimpinan Indonesia dengan
Brigadir Mallaby, yang isinya antara lain sebagai berikut. a. Senjata-senjatanya yang
dilucuti hanya senjata tentara Jepang. b. Tentara Inggris selaku wakil Sekutu akan
membantu Indonesia dalam pemeliharaan keamanan dan perdamaian. c. Setelah
semua senjata tentara Jepang dilucuti, mereka akan diangkut melalui laut.
Meskipun kesepakatan baru saja tercapai, Sekutu justru mengingkarinya. Pada
malam hari, 26 Oktober 1945, Sekutu menyerang Penjara Kalisosok. Tentara Sekutu
membebaskan Kolonel Huiyer, seorang perwira Belanda beserta beberapa tentara
Belanda yang ditawan pasukan Indonesia.
Pada 27 Oktober 1945, pukul 11.00, sebuah pesawat Dakota melintas dari
Jakarta. Atas perintah Mayjend. Hawthorn, pesawat itu menyebarkan pamflet yang
berisi perintah penyerahan senjata yang dimiliki rakyat Indonesia kepada tentara
Sekutu. Dalam waktu 2 kali 24 jam, seluruh senjata harus sudah diserahkan dan bagi
yang masih membawa senjata melewati batas waktu itu akan ditembak di tempat. Hal
10

ini jelas bertentangan dengan kesepakatan sehari sebelumnya yang telah disetujui
Mallaby.
Dikabarkan Mallaby sempat terkejut dengan adanya pamflet tersebut, tetapi ia
tetap mematuhi perintah pimpinannya di Jakarta dan segera memerintahkan
pasukannya untuk melucuti senjata rakyat Surabaya. Rakyat Surabaya menilai pihak
Inggris telah melanggar perjanjian. Akhirnya, pimpinan militer di Surabaya
memberikan perintah untuk menyerbu seluruh pos pertahanan Inggris.
Pada saat yang hampir bersamaan para pemimpin (NU) Nahdlatul Ulama dan
Masyumi menyatakan bahwa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah
Perang Sabil sehingga menjadi suatu kewajiban yang melekat pada semua muslim.
Para kiai dan santri kemudian mulai bergerak dari pesantren pesantren di Jawa
Timur menuju ke Surabaya.
Serangan total dilakukan pada 28 Oktober 1945 pukul 04.30. Delapan pos
pertahanan Sekutu diserbu sekitar 30.000 rakyat bersenjata api dan ditambah sekitar
100.000 rakyat bersenjata tajam. Setelah digempur secara total, tentara Sekutu yang
tidak siap bertempur mengibarkan bendera putih dan memohon untuk berunding.
Dari pertempuran yang berlangsung pada 28-29 Oktober 1945, Inggris mencatat
18 perwira dan 374 tentara Sekutu tewas, luka-luka, dan hilang. Sementara di pihak
Indonesia, sekitar 6.000 orang gugur, luka-luka, dan hilang. Kapten R.C Smith
menulis, Mallaby saat itu menyadari apabila petempuran dilanjutkan mereka akan
disapu bersih. Dalam posisi yang terdesak, Inggris menghubungi pimpinan Indonesia
di Jakarta. Mereka sadar, tidak ada jalan lain selain meminta bantuan pimpinan
Indonesia di Jakarta untuk menyelamatkan nyawa ribuan tentara Inggris yang sudah
terkepung.
Sore hari, 29 Oktober 1945, Presiden Sukarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, dan
Menteri Penerangan Amir Syarifuddin tiba di Surabaya dengan menumpang pesawat
militer Inggris. Hari itu juga, Presiden bertemu dengan Mallaby di gubernuran.
Malam itu dicapai kesepakatan yang tertuang dalam Armistice Agreement regarding
the Surabaya-incident: a provisional agreement between President Soekarno of the
Republic Indonesia and Brigadie Mallaby, Concluded on the 29 October 1945.
Mengenai hal lain dirundingkan dengan Mayjend. Hawthorn, yang datang ke
Surabaya pada 30 Oktober 1945. Berikut beberapa hasil kesepakatan yang diperoleh
pada tanggal 30 Oktober 1945 antara pemimpin Indonesia dan pemimpin pasukan
Sekutu di Indonesia. a. Pamflet yang ditandatangani Mayjend. Hawthorn dinyatakan
tidak berlaku. b. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan polisi diakui oleh Sekutu. c.
Seluruh Kota Surabaya tidak dijaga lagi oleh Sekutu, kecuali kamp-kamp tawanan
dijaga tentara Sekutu bersama TKR. d. Untuk sementara waktu, Tanjung Perak dijaga
bersama TKR, polisi, dan tentara Sekutu untuk menyelesaikan tugas menerima obat-
obatan untuk tawanan perang.
Hasil perundingan untuk menyelamatkan pasukan Mallaby dari kekalahan total
dipertegas oleh menteri penerangan sebagai berikut. a. Pembentukan suatu Kontak
Biro yang terdiri dari unsur pemerintah RI di Surabaya bersama-sama tentara Inggris.
b. Daerah pelabuhan dijaga bersama, yang ditentukan kedudukan masing-masing oleh
Kontak Biro. c. Daerah Darmo, daerah kamp interniran orang-orang Eropa dijaga
11

oleh sekutu. Hubungan antara daerah Darmo dan pelabuhan Tanjung Perak
diamankan untuk mempercepat proses pemindahan tawanan. d. Tawanan dari kedua
belah pihak harus dikembalikan kepada masing-masing pihak.
Pukul 17.00, tanggal 30 Oktober 1945, seluruh anggota Kontak Biro pergi
bersama-sama menuju satu lokasi pertempuran. Tempat terakhir ini adalah Gedung
Bank Internasional di Jembatan Merah. Gedung ini masih diduduki pasukan Inggris
dan pemuda-pemuda masih mengepungnya. Setibanya di lokasi pertempuran,
pemuda pemuda menuntut supaya pasukan Mallaby menyerah.
Mallaby tidak bisa menerima tuntutan itu. Setelah penolakan tersebut, terjadi
insiden baku tembak yang mengakibatkan tewasnya Mallaby, Komadan Brigade 49,
di Surabaya. Inggris menyalahkan pihak Indonesia yang telah melanggar gencatan
senjata dan membunuh Mallaby.
Dari berbagai kesaksian mantan perwira Inggris di tempat kejadian, ternyata yang
memulai tembakan adalah pihak Inggris, sesuai kesaksian Mayor Gopal tahun 1974.
Penyebab tewasnya Mallaby sendiri masih menjadi misteri. Ada yang mengatakan
tertusuk bayonet dan bambu runcing pemuda. Namun, berdasarkan surat dari Kapten
Smith kepada Parrot tahun 1973-1974, kemungkinan besar Mallaby terbunuh karena
ledakan granat yang dilempar pengawalnya sendiri.
Setelah tewasnya Mallaby, baik Letnan Jenderal Christison, panglima AFNEI,
atau pun Mayor Jenderal Mansergh menyatakan, pihak Indonesia telah melanggar
gencatan senjata dan secara licik membunuh Brigjend. Mallaby. Dengan tuduhan
tersebut, Inggris memperoleh alasan untuk memenuhi perjanjiannya dengan Belanda,
yaitu membersihkan kekuatan bersenjata Indonesia.
Pihak Inggris menuntut pertanggungjawaban pihak Indonesia. Pada 31 Oktober
1945, Letnan Jenderal Christison memperingatkan kepada rakyat Surabaya untuk
menyerah. Apabila tidak, mereka akan dihancurkan. Rakyat Surabaya tidak mau
memenuhi tuntutan tersebut. Kontak Biro Indonesia pun mengumumkan bahwa
kematian Mallaby merupakan suatu kecelakaan.
Letjen Sir Philip Christison yang marah besar mendengar kabar kematian
Brigjend. Mallaby mengerahkan 24.000 pasukan tambahan untuk menguasai
Surabaya. Secara diam-diam, Sekutu memperkuat posisinya. Tanggal 1 November
1945, pukul 08.00, Laksamana Muda Patterson dengan Kapal Perang HMS Sussex
tiba di Surabaya. Sejumlah 1.500 pasukan didaratkan dengan Kapal Carron dan
Cavallier.
Tanggal 3 November 1945, menyusul pula Mayor Jendral E.C. Manseergh,
Panglima Divisi ke-5 Infanteri India, yang tiba di Surabaya dengan membawa 24.000
pasukan, lengkap dengan panser, satu divisi artileri dilindungi dari Tanjung Perak dan
Ujung oleh satu cruiser dan empat destroyer dengan meriam jarak jauh yang lengkap,
ditambah 21 sherman tank dan meriam yang dilindungi 24 pesawat terbang jenis
Mosquito (pemburu) dan Thunderbolts (pelempar bom).
Pesawat-pesawat ini berpangkalan di kapal-kapal perusak yang mengadakan
straffing serta menjatuhkan bom-bom di Surabaya. Kekuatan laut yang dikerahkan
oleh Inggris terdiri dari jenis kapal LST destroyer. Kapal itu dibawah komando Naval
Commander Force 64 yang dipimpin oleh Captain R.C.S. Carwood. Beberapa buah
12

kapal ini sudah beroperasi sejak kedatangan Inggris pada 25 Oktober 1945. Masih
banyak lagi kekuatan Inggris dari laut, udara, dan darat untuk menyerbu Surabaya
pada 10 November 1945.
Kemudian, pada 7 November 1945, Mayor Jendral E.C. Mansergh menulis surat
kepada Gubernur Suryo yang isinya menuduh gubernur tidak mampu menguasai
keadaan. Akibatnya, seluruh kota dikuasai oleh perampok. Mereka dianggap
menghalangi tugas Sekutu. Untuk itu, Sekutu mengancam akan menduduki Kota
Surabaya serta memanggil Gubernur Suryo untuk menghadap.
Dalam surat jawabannya, tertanggal 9 November 1945, Gubernur Suryo
membantah semua tuduhan Mayor Jendral E.C. Mansergh. Gubernur Suryo mengutus
Residen Sudirman dan Roeslan Abdulgani untuk menyampaikan surat balasan
tersebut. Pada hari yang sama, pukul 14.00, Mayor Jendral E.C. Mansergh
menyerahkan 2 surat kepada Gubernur Suryo. Surat yang pertama berupa ultimatum
yang ditujukan kepada “All Indonesians of Surabaya” lengkap dengan “Instructions”.
Surat yang kedua merupakan perincian dari ultimatum tersebut.
Bunyi ultimatum yang disebarkan sebagai pamflet melalui pesawat udara pada 9
November 1945 pukul 14.00 yakni, “Seluruh pimpinan Indonesia, termasuk pimpinan
gerakan pemuda, kepala polisi, dan kepala radio Surabaya harus melapor ke
Bataviaweg tanggal 9 November pukul 18.00. Mereka harus berbaris satu per satu
membawa segala jenis senjata yang mereka miliki. Senjata tersebut harus diletakkan
di tempat yang berjarak 100 yard dari tempat pertemuan, setelah itu orang-orang
Indonesia harus datang dengan tangan di atas kepala mereka, dan akan ditahan, dan
harus siap untuk menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat. Bagi pemuda-
pemuda bersenjata diharuskan menyerahkan senjatanya dengan berbaris dan
membawa bendera putih. Batas waktu yang ditentukan adalah pukul 06.00 pagi
tanggal 10 November 1945. Apabila tidak diindahkan, Inggris akan mengerahkan
seluruh kekuatan darat, laut, dan udara untuk menghancurkan Surabaya.”
Dengan adanya ultimatum ini, pemimpin Surabaya mengadakan pertemuan.
Mereka melaporkan kepada presiden, tetapi hanya diterima oleh Menteri Luar Negeri
Ahmad Subardjo. Menteri luar negeri menyerahkan keputusan kepada rakyat
Surabaya. Secara resmi pada pukul 22.00, Gubernur Soeryo melalui radio,
menyatakan menolak ultimatum Inggris.
Tanggal 10 November 1945, pukul 06.00, setelah habisnya waktu ultimatum,
Inggris mulai menggempur Surabaya dengan seluruh armada darat, laut, dan udara.
Pemboman secara brutal pada hari pertama telah menimbulkan korban yang sangat
besar. Di pasar Turi, ratusan orang tewas dan luka-luka. Inggris juga berhasil
menguasai garis pertama pertahanan rakyat Surabaya.
Rakyat Surabaya tidak tinggal diam. Mereka melakukan perlawanan atas serangan
tersebut. Pertempuran yang tidak seimbang selama tiga minggu telah mengakibatkan
sekitar 20.000 rakyat Surabaya menjadi korban, sebagian besar adalah warga sipil.
Selain itu, diperkirakan 150.000 orang terpaksa meninggalkan Kota Surabaya yang
hampir hancur total terkena serangan Sekutu. Sementara di pihak Inggris tercatat 1.500
tentara Inggris tewas, hilang, dan luka-luka.
13

Pertempuran berlangsung dengan ganas selama 3 minggu. Seluruh kota telah jatuh ke
tangan Sekutu. Pihak Inggris menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan
dalam tempo tiga hari. Namun, para tokoh masyarakat, seperti pelopor muda Bung Tomo
yang berpengaruh besar di masyarakat, terus menggerakkan semangat perlawanan
pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala
besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kiai-kiai pondok Jawa
seperti K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah, serta kiai-kiai pesantren lainnya
juga mengerahkan santri santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan
(pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan, tetapi mereka lebih
patuh dan taat kepada para kiai) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama,
dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu.
Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak
terkoordinasi makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu
sampai tiga minggu sebelum seluruh Kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak
Inggris tanggal 28 November 1945.
Pertempuran Surabaya berakhir dengan kekalahan pihak Indonesia. Akan tetapi,
perang tersebut membuktikan bahwa rakyat Indonesia rela berkorban demi
mempertahankan kemerdekaan mereka meskipun harus dibayar dengan nyawa. Sebagai
penghormatan atas jasa para pahlawan yang berperang dengan gigih melawan Sekutu di
Surabaya, Sukarno menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.
4. Pertempuran Palagan Ambarawa
Melawan Sekutu Pertempuran Ambarawa terjadi pada 29 November 1945 dan
berakhir pada 15 Desember 1945. Pada 20 Oktober 1945, pasukan Sekutu di bawah
komando Brigadir Jenderal Bethell mendarat di Semarang untuk melucuti senjata
pasukan Jepang dan membebaskan tahanan perang yang masih ditahan di kamp-kamp
konsentrasi di Jawa Tengah.
Awalnya, pasukan disambut di daerah itu. Gubernur Jawa Tengah Wongsonegoro
setuju untuk memberi mereka makanan dan kebutuhan lainnya sebagai imbalan janji
Sekutu untuk menghormati kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Ternyata, mereka
diboncengi oleh NICA.
Pada 26 Oktober 1945, pecah insiden di Magelang yang berkembang menjadi
pertempuran antara TKR dengan tentara Sekutu. Insiden itu berhenti setelah kedatangan
Presiden Sukarno dengan Brigadir Jenderal Bethell di Magelang pada 2 November 1945.
Mereka mengadakan perundingan gencatan senjata dan tercapai kata sepakat berikut ini.
a. Pihak Sekutu tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk melakukan
kewajibannya melindungi dan mengurus tawanan perang Jepang dan interniran Sekutu. b.
Jalan raya Magelang-Ambarawa terbuka bagi lalu lintas Indonesia-Sekutu. c. Sekutu
tidak mengakui aktifitas NICA dan badan-badan yang berada di bawah NICA.
Ternyata, Sekutu ingkar janji. Pada 20 November 1945, di Ambarawa pecah
pertempuran antara pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto melawan tentara
Sekutu. Tanggal 21 November 1945, tentara Sekutu yang berada di Magelang ditarik ke
Ambarawa di bawah lindungan pesawat tempur.
14

Ketika pasukan Sekutu dan NICA tiba di Ambarawa, mereka membebaskan sekitar
28.000 tahanan Belanda termasuk wanita dan anak-anak dari kamp konsentrasi di
dalamnya. Mereka mempersenjatai kembali para tahanan interniran Belanda untuk
memperkuat pasukan mereka melawan TKR.
Tanggal 22 November 1945, pertempuran terjadi di dalam kota dan pasukan Sekutu
melakukan pengeboman di kampung-kampung sekitar Ambarawa. Karena di dukung oleh
tank dan pesawat tempur, Sekutu terus bergerak ke Magelang.
Di bawah kepemimpinan Letnan Kolonel Sarbini, pemimpin Resimen Magelang,
didukung oleh pasukan gabungan dari Ambarawa dan Surakarta yang dipimpin oleh Oni
Sastrodihardjo, tentara Republik dapat mengepung dan hendak menghancurkan pasukan
Sekutu. Menghindar dari ancaman besar seperti itu, Sekutu mundur dari Magelang dan
kembali ke Ambarawa. Mereka mendirikan benteng di dua desa di dekat kota. Tempat
mereka kemudian diserang oleh pasukan Indonesia.
Tanggal 26 November 1945, komandan sektor itu, Letnan Kolonel Isdiman, tidak
dapat sepenuhnya menyelesaikan misi karena meninggal dalam serangan udara Sekutu
yang diserang peluru senapan mesin Mustang. Gugurnya Letnan Kolonel Isdiman seolah
membakar semangat juang pasukan TKR di Palagan Ambarawa.
Kolonel Sudirman, Panglima Divisi 5 Banyumas, yang kehilangan salah satu perwira
terbaiknya, memutuskan untuk mengambil alih kepemimpinan pertempuran itu sendiri.
Dia mengoordinasikan komandan sektor untuk memperketat pengepungan. Kehadiran
Sudirman ini semakin menambah semangat tempur TKR dan para pejuang yang sedang
bertempur di Ambarawa.
Tanggal 12 Desember 1945, Sudirman mengoordinasikan bawahannya untuk
mengusir Sekutu dari Ambarawa dengan segala cara. Saat itu, ia menggunakan teknik
yang disebut Supit Urang (menjepit dari dua sisi), yang berasal dari kisah perang Bharata
Yudha. Taktik ini segera diterapkan sehingga musuh mulai terjepit dan situasi
pertempuran semakin menguntungkan pasukan TKR.
Selama empat hari, pertempuran berlangsung terus-menerus sehingga pasukan
Sekutu benar-benar terputus dari markas mereka di Semarang. Tentara-tentara Indonesia
yang didukung oleh orang-orang sipil yang direkrut bertempur dengan sengit melawan
pasukan Sekutu yang terdiri dari pasukan Inggris, NICA, dan para tahanan Jepang yang
dipersenjatai kembali.
Angkatan Udara Kerajaan Inggris secara intensif membombardir Ungaran untuk
membuka jalan ke Semarang yang kemudian dipegang oleh pasukan Indonesia dan
memberondong Ambarawa dari udara berulang kali. Sekutu juga melancarkan serangan
udara ke Solo dan Yogyakarta yang bertujuan untuk menghancurkan stasiun radio lokal
tempat semangat juang dipertahankan.
Tanggal 15 Desember 1945, pertempuran yang dimulai oleh pasukan Sekutu berakhir
dengan sebuah bencana. Ambarawa menjadi lautan api ketika pasukan Sekutu membakar
rumah-rumah lokal sebelum mereka mundur ke Semarang. Dalam pertempuran itu,
pasukan TKR mengalami kemenangan karena bisa memukul mundur Sekutu dari
Ambarawa menuju Semarang. Kolonel Sudirman masih dalam pakaian seragamnya
mengambil air wudhu dan kemudian bersimpuh salat sujud syukur. Tidak banyak yang
tahu bahwa orang yang bersujud syukur itu baru saja menyelesaikan tugasnya
15

mengukuhkan akar kemerdekaan bangsanya. Tidak banyak pula yang mengetahui bahwa
pria yang bersimpuh itu pada konferensi besar TKR tanggal 12 November 1945 terpilih
menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia yang masih sangat muda.
Pada 15 Desember 1974, hari ketika Sekutu diusir dari Ambarawa, Presiden Suharto
meresmikan Monumen Nasional Ambarawa Battlefield untuk memperingati peristiwa
heroik. Kemenangan pertempuran itu kini diabadikan dengan berdirinya Monumen
Ambarawa dan diperingati sebagai Hari Tentara Juang Kartika.

5. Pertempuran Medan Area Melawan Sekutu


Pertempuran Medan Area diawali ketika pada 9 November 1945, pasukan Sekutu
memasuki Kota Medan di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D Kelly diikuti pasukan
NICA yang ingin menguasai kembali Indonesia. Mereka menyatakan kepada pemerintah
Indonesia akan melaksanakan tugas kemanusiaan dengan mengevakuasi tawanan dari
beberapa kamp di luar Kota Medan.
Teuku Muhammad Hasan, Gubernur Wilayah Sumatra, menerima kedatangan
pasukan Sekutu untuk alasan kemanusian, karena niat kedatangan tentara Inggris dan
NICA adalah untuk membebaskan tawanan perang yang terdapat di kamp-kamp tahanan
perang di Rantau Prapat, Pematang Siantar, dan Berastagi untuk dikumpulkan di Medan.
Pemerintah RI di Sumatra Utara memperkenankan mereka menempati beberapa
hotel di Medan seperti Hotel de Boer, Grand Hotel, Hotel Astoria, dan lain sebagainya
karena semata-mata menghormati tugas mereka. Sebagian dari mereka ditempatkan di
Binjai, Tanjung Morawa, dan beberapa tempat lainnya dengan memasang tenda-tenda di
lapangan.
Sehari setelah merapat di Medan, tim dari RAPWI (Relief of Allied Prisoner of War
and Internes) melakukan pembebasan terhadap tawanan di penjara-penjara yang ada di
Medan atas persetujuan Gubernur Moh. Hassan. Dengah dalih menjaga keamanan, para
bekas tawanan diaktifkan kembali dan dipersenjatai. Ternyata, kelompok itu langsung
mejadi batalion KNIL (het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger). Dengan
kekuatan itu, terjadi perubahan sikap dari bekas tawanan itu. Mereka bersikap congkak
karena merasa sebagai pemenang perang. Sikap ini menimbulkan beberapa insiden yang
dilakukan oleh para pemuda.
Insiden pertama terjadi di Jl. Bali Medan tanggal 13 Oktober 1945. Insiden berawal
dari seorang penghuni hotel yang menginjak injak lencana merah putih yang dipakai
oleh seorang warga sekitar. Kejadian tersebut menimbulkan kemarahan para pemuda
yang berujung pada penyerangan dan perusakan hotel tersebut.
Sebelum kejadian dalam insiden pertama tanggal 10 Oktober 1945, pemerintah
Sumatra Timur membentuk TKR yang dipimpin Achmad Tahir dan terdiri atas unsur
bekas Heiho dan Giyugun (di Jawa bernama Peta). Selain TKR, terbentuk pula badan
perjuangan yang bernama Pemuda Republik Indonesia Sumatra Timur. Panggilan ini
mendapat sambutan luar biasa dari para pemuda.
Pada 18 Oktober 1945, Brigadir Jenderal T.E.D Kelly berusaha melemahkan gerakan
rakyat Medan dengan menyampaikan ultimatum agar pemuda menyerahkan senjata
kepada Sekutu. Sekutu mulai melakukan pembersihan di berbagai wilayah kota Medan.
Sekutu juga mulai melakukan aksi-aksi terornya sehingga muncul permusuhan di
16

kalangan pemuda. Patroli diadakan Inggris karena mereka merasa tidak aman dan
pemerintah Indonesia tidak memberikan jaminan keamanan. Meningkatnya korban di
pihak Inggris di beberapa insiden membuat mereka memperkuat kedudukannya dan
menentukan sendiri secara sepihak batas kekuasaannya.
Pada 1 Desember 1945, Sekutu memperkuat dan menegaskan kedudukannya dengan
memasang patok-patok di sudut kota. Pemasangan patok-patok tersebut disertai dengan
pemasangan papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area (Batas Resmi
Wilayah Medan). Tentara Sekutu kemudian melakukan pembersihan terhadap orang-
orang Indonesia yang berada di wilayah Medan Area.
Sekutu juga mendesak agar pemerintahan Indonesia yang ada di Medan segera keluar
dari wilayah tersebut. Tindakan Sekutu tersebut mendapat balasan dari rakyat Medan
dengan perlawanan bersenjata. Pada 10 Desember 1945, pasukan Sekutu melakukan
serangan terhadap kedudukan TKR di Trepes. Para pejuang menculik seorang perwira
Inggris dan menghancurkan beberapa truk.
Dengan adanya peristiwa itu Brigadir Jenderal T.E.D Kelly pada 13 Desember 1945
mengeluarkan ultimatum kedua. Bangsa Indonesia dilarang untuk membawa senjata di
dalam daerah Medan atau 8,5 kilometer sekitar Medan. Bagi yang membantah akan di
tembak mati. Setelah keluarnya ultimatum kedua, tentara Sekutu dengan aktif melakukan
razia dan sering mendapatkan serangan balik dari pemuda Indonesia. Saling serang ini
mengakibatkan kondisi Medan menjadi tidak kondusif.
Pertempuran setelah ancaman kedua berlanjut sampai April 1946 dan mengakibatkan
kerusakan parah. Akhirnya, kantor gubernur, markas divisi TKR, serta kantor wali kota,
dipindahkan ke Pematang Siantar. Dengan demikian, Sekutu menguasai Kota Medan.
Karena serangan yang tidak terkordinasi, maka pada 10 Agustus 1946 di Tebing
Tinggi seluruh pemuda di bawah Napindo dari PNI, Pesindo, Barisan Merah dari PKI,
Hizbullah dari Masyumi, dan Pemuda Parkindo membentuk Komando Resimen Laskar
Rakyat Medan Area (K.R.L.R.M.A.). Kapten Nip Karim dan Marzuki Lubis dipilih
sebagai Komandan dan Kepala Staf Umum. Di bawah komando inilah mereka
meneruskan perjuangan di Medan Area.
6. Pertempuran Bandung Lautan Api Melawan Sekutu
Latar belakang Peristiwa Bandung Lautan Api berawal dari peristiwa ketika pasukan
Sekutu mendarat di Bandung. Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di
Bandung pada 17 Oktober 1945. Para pejuang Bandung sedang gencar-gencarnya
merebut senjata dan kekuasaan dari tangan Jepang. Pertempuran diawali oleh usaha para
pemuda untuk merebut Pangkalan Udara Andir dan pabrik senjata bekas Artillerie
Constructie Winkel (ACW) - sekarang Pindad.
Seperti halnya di kota-kota besar lain, di Bandung pasukan Sekutu dan NICA
melakukan teror terhadap rakyat sehingga terjadi pertempuran-pertempuran. Menjelang
November 1945, pasukan NICA semakin merajalela di Bandung. NICA memanfaatkan
kedatangan pasukan Sekutu untuk mengembalikan kekuasaannya di Indonesia.
Tanggal 21 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan Indonesia
melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di wilayah Bandung
bagian Utara. Hotel Homann dan Hotel Preanger yang digunakan Sekutu sebagai markas
17

juga tak luput dari serangan. Menanggapi serangan ini, tiga hari kemudian, MacDonald
menyampaikan ultimatum pertama kepada Gubernur Jawa Barat.
Ultimatum ini berisi perintah agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk
Indonesia, termasuk dari pasukan bersenjata dengan alasan untuk menjaga keamanan.
Sekutu menuntut agar Bandung bagian utara dikosongkan oleh pihak Indonesia selambat-
lambatnya tanggal 29 November 1945.
Sejak saat itu sering terjadi insiden antara pasukan Sekutu dengan pejuang.
Masyarakat Indonesia yang mendengar ultimatum ini tidak mengindahkannya. Sehingga
pecah pertempuran antara Sekutu dan pejuang Bandung pada 6 Desember 1945.
Tanggal 23 Maret 1946, Sekutu kembali mengulang ultimatumnya. Sekutu
memerintahkan agar TRI (Tentara Republik Indonesia) segera meninggalkan Kota
Bandung. TRI diperintahkan untuk mundur sejauh 11 kilometer dari pusat kota paling
lambat pada tengah malam tanggal 24 Maret 1946.
Mendengar ultimatum tersebut, pemerintah Indonesia di Jakarta lalu menginstrusikan
agar TRI mengosongkan Kota Bandung demi keamanan rakyat. Akan tetapi, perintah ini
berlainan dengan yang diberikan dari markas TRI di Yogyakarta. Dari Yogyakarta, keluar
instruksi agar tetap bertahan di Bandung. Sekutu membagi Bandung dalam dua sektor,
yakni Bandung Utara dan Bandung Selatan. Sekutu meminta orang-orang Indonesia
untuk meninggalkan Bandung Utara.
Para pejuang Bandung memilih membakar Bandung dan meninggalkannya dengan
alasan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda memakai Kota
Bandung sebagai markas strategi militer mereka dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
Operasi pembakaran Bandung ini disebut sebagai operasi “Bumi Hangus”.
Keputusan untuk membumihanguskan Kota Bandung diambil lewat musyawarah
Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MPPP) yang dilakukan di depan seluruh
kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, tanggal 24 Maret 1946. Kolonel Abdul
Haris Nasution selaku Komandan Divisi III memutuskan dan memerintahkan untuk
segera mengevakuasi seluruh penduduk Bandung dan membumihanguskan semua
bangunan yang ada di kota tersebut.
Keputusan pada musyawarah tersebut dipertanyakan oleh sejumlah petinggi militer
Indonesia karena dianggap tidak berupaya mempertahankan Kota Bandung hingga titik
darah penghabisan. Nasution memiliki alasan yang kuat. Jumlah pasukan RI tidak
seimbang dengan kekuatan militer Sekutu. Jika TRI mempertahankan Bandung dengan
melawan Sekutu, lambat laun Bandung tetap akan diduduki. Dari segi persenjataan dan
jumlah personel, Inggris bukan lawan yang seimbang bagi TRI meskipun dibantu pejuang
atau laskar.
Saat itu, TRI Bandung hanya memiliki 100 pucuk senjata, kebanyakan memakai
bambu runcing dan senjata tajam lainnya. Sedangkan Inggris memiliki 12.000 pasukan
yang bersenjata lengkap dan modern. Belum lagi dibantu pasukan bayaran Gurkha dan
NICA. Nasution tidak mau mengorbankan empat divisi yang ada. Dengan membakar kota
Bandung, Sekutu akan menerima puing-puing, mereka akan sulit membangun markas,
dan pergerakannya pun akan melambat. Pada saat itu, empat divisi yang ada masih tetap
utuh dan mereka akan ditempatkan di kantung-kantung gerilya di dalam kota untuk
tindakan perlawanan selanjutnya. Hasil musyawarah itu lalu diumumkan kepada rakyat.
18

Kebakaran hebat justru muncul dari rumah-rumah warga yang sengaja dibakar, baik
oleh pejuang maupun oleh pemilik rumah yang sukarela membakar rumahnya sebelum
berangkat mengungsi. Rumah-rumah warga yang dibakar membentang dari Jalan Buah
Batu, Cicadas, Cimindi, Cibadak, Pagarsih, Cigereleng, Jalan Sudirman, serta Jalan
Kopo. Kobaran api terbesar ada di daerah Cicadas dan Tegalega, di sekitar Ciroyom,
Jalan Pangeran Sumedang (Oto Iskandar Dinata), Cikudapateuh, dan lain-lain.
Peristiwa pembakaran ini menjadikan Bandung lautan api dikenang hingga kini.
Mars Halo-halo Bandung sekarang menjadi lagu wajib nasional. Monumen untuk
mengenang peristiwa itu didirikan di Lapangan Tegalega
7. Pertempuran Margarana di Bali Melawan Belanda
Pertempuran Margarana atau dikenal dengan Puputan Margarana terjadi di sebelah
utara Tabanan, Bali. Pertempuran ini sebenarnya dipicu oleh hasil Perundingan
Linggarjati. Salah satu klausul dari hasil perundingan itu adalah bahwa pengakuan secara
de facto atas wilayah kekuasaan Indonesia hanya meliputi Jawa, 220 Madura, dan
Sumatra. Selanjutnya, Belanda harus meninggalkan wilayah de facto itu paling lambat 1
Januari 1949.
Jika menelaah klausul tersebut, maka Bali tidak menjadi bagian dari Indonesia. Tidak
masuknya Bali sebagai satu kesatuan wilayah Indonesia menimbulkan perlawanan rakyat
Bali. Tanggal 2 dan 3 Maret 1946, Belanda mendarat di Pulau Bali dengan membawa
2.000 tentara. Pada saat yang sama, Letkol. I Gusti Ngurah Rai, Komandan Resimen
Sunda Kecil (saat ini Nusa Tenggara), sedang berada di Yogyakarta untuk melakukan
konsultasi kepada Markas Besar TRI.
Saat itu, Belanda ingin menjadikan Bali bergabung dengan Negara Indonesia Timur
(NIT) yang sudah dibuatnya. Belanda membujuk Letkol. I Gusti Ngurah Rai agar Bali
bergabung dengan NIT dan mengangkatnya menjadi Kepala Divisi Sunda Kecil. Ajakan
Belanda tersebut ditolak Letkol. I Gusti Ngurah Rai yang lebih memilih tanah airnya,
Indonesia. Letkol. I Gusti Ngurah Rai lebih suka melawan Belanda daripada menjadi
pengkhianat Bangsa.
Kemudian, Letkol. I Gusti Ngurah Rai selaku Komandan Resimen Sunda Kecil
memerintahkan pasukannya yang bernama Ciung Wanara untuk melucuti polisi NICA
yang menduduki Kota Tabanan. Pada 18 November 1946, pasukan Ciung Wanara dapat
menduduki detasemen polisi NICA di Tabanan dan merebut puluhan senjata lengkap
dengan artilerinya (senjata berat).
Peristiwa ini memicu kemarahan pasukan Belanda. Pada 20 November 1946, Belanda
mengerahkan seluruh pasukannya di Bali dan Lombok. Tidak hanya itu, Belanda Juga
meminta bantuan pasukan dan pesawat pengebom dari Makassar untuk menghadapi
Letkol. I Gusti Ngurah Rai. Pada hari yang sama, pukul 09.00- 10.00 WIT, Belanda
mengepung Margarana sebagai basis pasukan Ngurah Rai.
Perang di Margarana ini juga dikenal sebagai perang puputan, yakni perang yang
dilakukan sampai titik darah penghabisan. Setelah bertempur dengan kekuatan militer
yang tidak seimbang, Letkol. I Gusti Ngurah Rai dan anak buahnya yang berjumlah 96
gugur dan di pihak Belanda 400 orang tewas.
Gugurnya Letkol. I Gusti Ngurah Rai telah melicinkan jalan usaha Belanda untuk
membentuk apa yang dinamakan Negara Indonesia Timur. Untuk mengenang peristiwa
19

itu, kini di lokasi kejadian dibangun Tugu Pahlawan Pujaan Bangsa dan setiap tanggal 20
November juga diperingati sebagai hari Puputan Margarana.
8. Peristiwa Westerling Di Makassar
Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi Selatan (Makassar), membentuk Pusat Pemuda
Nasional Indonesia (PPNI) dan Manai Shopian ditunjuk sebagai ketuanya. Organisasi ini
bertugas menampung aspirasi masyarakat Makassar, termasuk diantaranya menentang
Belanda (NICA) membentuk Negara Indonesia Timur (NIT).
Tanggal 5 Desember 1946, Belanda mengirimkan pasukan ke Sulawesi Selatan di
bawah pimpinan Kapten Raymond Paul Pierre Westerling. Ketika mendarat di Makassar,
Westerling membawa 120 orang pasukan khusus (pasukan berkemampuan istimewa).
Misi utama Westerling adalah menumpas pemberontakan para pejuang dari Makassar
yang menentang pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT).
Westerling adalah orang Belanda kelahiran Turki. Westerling dilahirkan dari
keluarga campuran Belanda dan Yunani. Ayahnya, Paul Westerling, adalah keturunan
Belanda, sedangkan ibunya keturunan Yunani. Westerling lahir tanggal 31 Agustus 1919
di Istanbul, ibu kota Turki, dengan nama Raymond Paul Pierre Westerling.
Di dinas militer, temannya memanggil dengan julukan Turk, de Turk, atau Turco.
Karena kekejamannya di Sulawesi Selatan, dia mendapat julukan The Master Killer. Dia
sengaja membangun citra kejam sehingga terkesan menakutkan di mata masyarakat.
Sebagai contoh, jika pejuang Republik tertangkap, biasanya Westerling menyuruh
pejuang itu berlari sekencang-kencangnya lalu menembaknya dari jarak 20-30 meter.
Para pejuang itu mati tertembak tepat di kepala.
Para pemuda seperti Robert Wolter Monginsidi, Rivai, dan Paersi yang tergabung
dalam organisasi PPNI mengangkat senjata melakukan perlawanan. Mereka berhasil
merebut tempat-tempat strategis yang dikuasai NICA. Selanjutnya, Wolter Monginsidi
dan kawan-kawan membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi
(LAPRIS) dengan tujuan mengerakkan rakyat melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Untuk menumpas gerakan yang dipelopori Wolter Monginsidi dan beberapa pejuang
wanita seperti Emmy Sailan yang rela meninggal untuk mengusir Belanda, Westerling
menerapkan metode Gestapo. Metode ini biasa diterapkan polisi rahasia Jerman yang
terkenal kejam pada zaman Adolf Hitler. Pada masa Nazi berkuasa di Jerman para polisi
rahasia menangkap dan membantai orang-orang yang mereka curigai sebagai musuh.
Pada zaman pendudukan Jepang, dikenal dengan nama Kempetai (polisi rahasia Jepang).
Belanda melakukan tindakan brutal itu sejak tanggal 7 sampai 25 Desember 1946.
Akibatnya, dalam waktu kurang dari satu bulan, sekitar 40.000 ribu orang warga sipil
dibunuh oleh pasukan Westerling. Hasil penelitian dari Angkatan Darat tahun 1951,
korban keganasan Westerling sekitar 1.700 orang.
Monginsidi juga tertangkap oleh pasukan Belanda pada 28 Februari 1947, tetapi ia
dapat melarikan diri pada 27 Oktober 1947. Tidak lama kemudian, Monginsidi tertangkap
kembali dan kali ini dia dihukum mati dengan cara ditembak oleh regu tembak pada 5
September 1949. Untuk mengenang kepahlawanan Monginsidi, pemerintah
memindahkan makamnya ke Taman Makam Pahlawan Makassar pada 10 November
1950.
20

C. Kenegarawanan Sultan Hamengku Buwono IX


Menjelang akhir tahun 1945, keamanan Kota Jakarta semakin memburuk. Tentara
Belanda semakin beringas dan aksi-aksi teror yang dilakukan semakin meningkat.
Pendaratan pasukan marinir Belanda di Tanjung Priok pada 30 Desember 1945
menambah gentingnya keadaan. Sementara itu, tentara Jepang belum semuanya pergi dari
Indonesia.
Tentara Belanda terus memburu para pimpinan RI. Perdana Menteri Sutan Syahrir
hampir tewas ketika mobilnya diberondong peluru. Sukarno dan Hatta sampai berpindah-
pindah tempat untuk menghindari kejaran tentara Belanda. Kekacauan semakin
bertambah dengan adanya konflik politik yang terjadi antartokoh dalam negeri sendiri.
Sultan Hamengkubuwono IX kemudian menawarkan agar ibu kota RI pindah ke
Yogyakarta. Tawaran itu dikirimkan lewat kurir pada 2 Januari 1946. Ternyata, tawaran
itu disambut baik oleh pemerintah di Jakarta, mengingat situasi keamanan yang makin
memburuk. Pada 3 Januari 1946, sidang kabinet memutuskan untuk memindahkan pusat
pemerintahan Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Akhirnya, presiden dan
wakil presiden pada 4 Januari 1946 pindah ke Yogyakarta dan ibu kota Republik
Indonesia turut pindah ke Yogyakarta.
Perpindahan ke Yogyakarta digunakan dengan menggunakan kereta api yang
disebut dengan singkatan KLB (Kereta Luar Biasa), karena jadwal perjalanannya di luar
jadwal yang ada. Waktu menunjukkan pukul 18.00 ketika kereta mulai bergerak.
Lokomotif dan gerbong (yang kini tersimpan di museum transportasi Taman Mini
Indonesia Indah) meninggalkan Jakarta, berangkat dengan diam-diam, hanya
bercahayakan temaram bulan.
Di Stasiun Tugu Yogyakarta, banyak orang menyambut kedatangan presiden dan
wakil presiden beserta para ibu. Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam langsung
naik ke gerbong dan menyalami para pemimpin. Selanjutnya, para pemimpin RI diantar
dengan mobil. Sukarno satu mobil dengan Sultan Hamengkubuwono IX, Moh. Hatta
dengan Paku Alam, sedangkan Fatmawati Sukarno dan Rahmi Hatta juga satu mobil.
Setibanya para pemimpin RI di Yogyakarta, roda pemerintahan langsung dijalankan
karena kondisi keamanan saat itu relatif lebih aman daripada daerah lain.

D. Perjanjian Linggarjati
Terpilihnya Sutan Syahrir sebagai perdana menteri menandakan berlakunya
sistem Kabinet Parlementer yang bermaksud untuk menjadikan Republik Indonesia
memiliki kedudukan yang kuat. Hal ini disebabkan pemerintahannya dipimpin oleh
seorang tokoh pejuang demokrasi dan bebas dari fasisme. Walaupun cara kepemimpinan
melalui diplomasi banyak mendapatkan pertentangan dari tokoh revolusi lainnya, tetapi
perundingan menjadi salah satu cara untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan
mendapat pengakuan dari negara-negara lainnya di dunia.
Pemerintah Inggris yang ditunjuk sebagai penanggung jawab untuk
menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia segera menyelesaikan tugasnya.
Pemerintah Inggris menugaskan Sir Archibald Clark Kerr, sedangkan pihak Belanda
mengutus H.J. Van Mook.
21

Pada 14 sampai 25 April 1946, perwakilan Inggris mengundang Indonesia dan


Belanda untuk berunding di Hoogwe Veluwe. Namun sayang, perundingan itu berakhir
gagal karena tidak menghasilkan apa-apa. Sebab, Belanda tidak mau mengakui
kedaulatan Indonesia sepenuhnya. Pemerintahan Belanda hanya mau mengakui
kedaulatan Indonesia atas Pulau Jawa dan Madura. Sehubungan dengan gagalnya
perundingan di Hoogwe Veluwe, kemudian disepakati untuk dilaksanakannya Perjanjian
Linggarjati di daerah Jawa Barat.
Masalah-masalah yang terus-menerus terjadi antara negara Indonesia dengan
Belanda menjadi sebuah alasan terjadinya Perjanjian Linggarjati. Masalah ini terjadi
karena negara Belanda belum mau mengakui apabila negara Indonesia telah merdeka dan
baru saja dideklarasikan. Para pemimpin atau tokoh negara menyadari bahwa mengakhiri
permasalahan dengan peperangan hanya akan mengakibatkan dan menelan korban jiwa
dari kedua belah pihak, yaitu dari negara Indonesia dan negara Belanda.
Oleh sebab itu, negara Inggris berusaha sebisanya untuk mempertemukan negara
Indonesia dengan negara Belanda di sebuah meja perundingan untuk membuat atau
membentuk sebuah kesepakatan yang sangat jelas. Akhirnya, perjanjian yang memiliki
banyak sejarah antara negara Indonesia dan negara Belanda ini 227 terlaksana dan
berakhir di daerah Linggarjati, Cirebon, sekitar tanggal 10 November 1946.
Lokasi Linggarjati ini berada di lereng Gunung Ciremai yang mempunyai suasana
yang sejuk dan pemandangan yang indah. Selain itu, Residen Cirebon Hamdani maupun
Bupati Cirebon Makmun Sumadipradja kebetulan berasal dari Partai Sosialis, sehingga
keamanan dari perjanjian ini terjamin. Selain itu, Linggarjati dipilih sebagai tempat
dilaksanakannya perundingan karena terletak di tengah-tengah Jakarta dan Yogyakarta -
pada saat ibu kota negara dipindahkan ke Yogyakarta.
Pemerintah Belanda diwakili oleh Komisi Jenderal dan Pemerintah Republik
Indonesia pada saat itu diwakili oleh Delegasi Indonesia atas dasar keinginan yang ikhlas.
Keduanya hendak menentukan hubungan yang baik pada kedua bangsa, yaitu antara
Belanda dan Indonesia.
Perundingan ini dilaksanakan pada 10 November 1946. Delegasi Indonesia terdiri
dari Sutan Syahrir, Mohammad Roem, Mr. Susanto Tirtoprojo, dan dr. A.K. Gani.
Sedangkan delegasi Belanda antara lain Prof. Willem Schermerhorn, F. de Boer, H.J. Van
Mook, dan Max van Poll. Bertindak sebagai moderator atau penengah adalah Lord
Killearn dari Inggris.
Perjanjian ini ditandatangani pada 25 Maret 1947 dalam sebuah upacara
kenegaraan yang diselenggarakan di Istana Rijswijk atau yang sekarang disebut Istana
Negara. Isi dari perjanjian Linggarjati adalah sebagai berikut. a). Belanda mengakui
secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi wilayah
Sumatra, Jawa, dan Madura. Belanda harus meninggalkan daerah itu selambat-lambatnya
tanggal 1 Januari 1949. b). Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dengan
membentuk negara serikat dengan nama Republik Indonesia. Oposisi mengkritik
Sukarno-Hatta karena menganggap perundingan itu merugikan Indonesia. Serikat (RIS).
Pembentukan RIS akan segera dilaksanakan sebelum tanggal 1 Januari 1949. c).
Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda yang
diketuai oleh Ratu Belanda.
22

Butir-butir perjanjian ini jika dilihat secara sepintas merupakan sebuah kerugian,
karena wilayah Indonesia hanya Sumatra, Jawa, dan Madura. Hal ini berbeda jauh
dengan hasil sidang PPKI yang menyatakan bahwa wilayah Indonesia mencakup delapan
provinsi. Namun, jika ditelaah lebih jauh lagi, isi perjanjian ini merupakan keunggulan
kita secara politik, karena dengan adanya perundingan ini berarti nama Republik
Indonesia sudah tercatat dalam hukum perjanjian internasional dan tidak akan bisa
dihapus lagi.
Setelah Perjanjian Linggarjati, beberapa negara telah memberikan pengakuan
terhadap kekuasaan RI, misalnya Inggris, Amerika Serikat, Mesir, Afganistan, Myanmar,
Saudi Arabia, India, dan Pakistan. Perjanjian Linggarjati mengandung prinsip-prinsip
pokok yang harus disetujui oleh kedua belah pihak.

E. Konferensi Malino Dan BFO


Dalam situasi politik yang tidak pasti, Belanda melakukan tekanan politik dan
militer di Indonesia. Tekanan politik dilakukan dengan menyelenggarakan Konferensi
Malino yang bertujuan untuk membentuk negara-negara federal di daerah yang baru
diserahterimakan oleh Inggris dan Australia kepada Belanda. Di samping itu, di Pangkal
Pinang diselenggarakan juga konferensi untuk golongan minoritas. Konferensi Malino
diselengarakan pada 15-26 Juli 1946. Sedangkan Konferensi Pangkal Pinang
diselenggarakan pada 1 Oktober 1946. Diharapkan, daerah-daerah ini akan mendukung
Belanda untuk pembentukan negara federasi.
Setelah perjanjian Linggarjati, Van Mook mengambil inisiatif untuk mendirikan
pemerintahan federal sementara sebagai pengganti Hindia Belanda. Sedangkan pada
kenyataannya, pendirian negara federal itu tidak ada bedanya dengan negara Hindia
Belanda. Untuk itulah, negara-negara federal mengadakan rapat di Bandung pada bulan
Mei sampai Juli 1948.
Konferensi Bandung itu dihadiri empat negara federal bentukan Belanda, yakni
1) Negara Indonesia Timur, 2) Negara Sumatra Timur, 3) Negara Pasundan, dan 4)
Negara Madura. Konferensi juga dihadiri daerah-daerah otonom seperti Bangka, Banjar,
Dayak Besar, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Riau, dan Jawa
Tengah. Sebagai ketuanya adalah Mr. Bahriun dari Negara Sumatra Timur.
Rapat itu diberi nama Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO), yaitu suatu
pertemuan untuk musyawarah federal. Pegambil inisiatif BFO itu adalah Ida Agung Gde
Agung, Perdana Menteri Negara Indonesia Timur. Juga R.T. Adil Puradiredja, Perdana
Menteri Negara Pasudan. BFO dimaksudkan untuk mencari solusi terbaik dari konflik
politik antara RI dengan Belanda yang nantinya juga berpengaruh kepada negara-negara
bagian. Pertemuan Bandung juga dirancang untuk menjadikan pemerintahan peralihan
yang lebih baik daripada pemerintahan federal sementara buatan Van Mook.

F. Agresi Militer Belanda I


Agresi Militer Belanda I disebabkan Belanda yang tidak menerima hasil
Perundingan Linggarjati yang telah disepakati bersama pada 25 Maret 1947. Belanda
menafsirkan isi dari Perjanjian Linggarjati berdasarkan pidato Ratu Wihelmina pada 7
Desember 1942 yang intinya menginginkan bangsa Indonesia menjadi anggota
23

Commonwealth (negara persemakmuran) dan akan dibentuk menjadi negara federasi,


kemudian Belanda yang akan mengatur hubungan luar negeri bangsa Indonesia.
Di tengah-tengah upaya mencari kesepakatan dalam pelaksanaan isi Persetujuan
Linggarjati, Belanda terus melakukan tindakan yang bertentangan dengan isi Persetujuan
Linggarjati. Di samping mensponsori pembentukan pemerintahan federasi, Belanda juga
terus memasukkan kekuatan tentaranya. Pada 27 Mei 1947, Belanda mengirim ultimatum
yang isinya sebagai berikut. a). Pembentukan pemerintahan federal sementara
(pemerintahan darurat). b). Pembentukan Dewan Urusan Luar Negeri. c). Dewan Urusan
Luar Negeri bertanggung jawab atas pelaksanaan ekspor, impor, dan devisa. d).
Pembentukan pasukan keamanan dan ketertiban bersama. Pembentukan pasukan
gabungan ini termasuk juga di wilayah RI.
Pada prinsipnya, Perdana Menteri Syahrir (yang kabinetnya jatuh pada Juni
1947) dapat menerima beberapa usulan, tetapi menolak mengenai pembentukan pasukan
keamanan bersama di wilayah RI. Tanggal 3 Juli 1947 dibentuk kabinet baru di bawah
Amir Syarifudin yang kebijakannya juga menolak pembentukan pasukan keamanan
bersama di wilayah RI.
Pada 15 Juli 1947, Letnan Gubernur Jenderal Belanda Dr. H.J. Van Mook
menyampaikan pidato radio bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Perjanjian
Linggarjati. Selain itu, Van Mook juga mengultimatum bangsa Indonesia agar menarik
pasukannya untuk mundur dari garis batas demarkasi sejauh 10 kilometer.
Pada saat itu, jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang
dengan persenjataan yang modern termasuk persenjataan berat (artileri) yang dihibahkan
oleh tentara Inggris dan tentara Australia. Kemudian, Belanda melancarkan serangan
kepada Indonesia pada 21 Juli 1947.
Tujuan utama Agresi Militer Belanda I ialah sebagai berikut. a). Bidang politik:
bertujuan untuk mengepung wilayah ibu kota Republik Indonesia dan menghilangkan
secara de facto Republik Indonesia dengan menghapus RI dari peta. b). Bidang ekonomi:
merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya
alam, terutama minyak. c). Bidang militer: menghapus TNI/TKR sebagai ujung tombak
pertahanan bangsa, dengan begitu Indonesia akan lemah dan mudah dikendalikan.
Untuk mengelabui dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini
sebagai Aksi Polisionil (Politionele Acties) dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan
dalam negeri. Konferensi pers pada malam 20 Juli 1947 di istana tempat Gubernur
Jenderal H.J. Van Mook mengumumkan kepada wartawan tentang dimulainya Aksi
Polisionil Belanda pertama.
Serangan di beberapa daerah seperti di Jawa Timur bahkan telah dilancarkan
tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli 1947 malam sehingga dalam bukunya, J.A. Moor
menulis Agresi Militer Belanda 231 I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil
menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatra, Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatra Timur, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur. Di Sumatra Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan
24

tembakau. Di Jawa Tengah, mereka menguasai seluruh pantai utara dan di Jawa Timur,
sasaran utamanya adalah wilayah yang terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.
Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan
khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Raymond Westerling yang saat itu
berpangkat Kapten dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C.
Sisselaar.
Pasukan KST merupakan pengembangan dari pasukan DST, pasukan yang
melakukan pembantaian di Sulawesi Selatan (Pembantaian Westerling) dan ditugaskan
kembali untuk melancarkan agresi militer di Pulau Jawa dan di wilayah Sumatra Barat.
Dalam agresi tersebut, Belanda berhasil menaklukan daerah-daerah penting Republik
Indonesia seperti kota, pelabuhan, perkebunan, dan pertambangan.
Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota VT-CLA milik Patnaik dari Singapura
dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari
Singapura sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan
mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Agustinus Adisucipto, Komodor Muda
Udara dr. Abdulrahman Saleh, dan Perwira Muda Udara I Adisumarno Wiryokusumo.
Pasukan TNI belum siap menghadang serangan yang datang secara tiba-tiba itu.
Serangan tersebut mengakibatkan pasukan TNI terpencar-pencar. Dalam keadaan seperti
itu, pasukan TNI berusaha untuk membangun daerah pertahanan baru. Pasukan TNI
kemudian melancarkan taktik perang gerilya. Dengan taktik ini, ruang gerak pasukan
Belanda berhasil dibatasi. Gerakan pasukan Belanda hanya berada di kota besar dan jalan
raya, sedangkan di luar kota, kekuasaan berada di tangan pasukan TNI. Tanggal 30 Juli
1947, pemerintah India dan Australia mengajukan permintaan resmi agar masalah
Indonesia dengan Belanda dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan PBB.
Permintaan itu diterima baik dan dimasukkan agenda dalam sidang Dewan Keamanan
PBB.
Tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB memerintahkan penghentian
permusuhan kedua belah pihak dan mulai berlaku sejak tanggal 4 Agustus 1947.
Sementara itu, untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata, Dewan Keamanan PBB
membentuk komisi Konsuler dengan angota-anggotanya yang terdiri dari para Konsul
Jenderal yang berada di wilayah Indonesia. Komisi Konsuler diketuai oleh Konsul
Jenderal Amerika Serikat Dr. Walter Foote dengan beranggotakan Konsul Jenderal Cina,
Belgia, Perancis, Inggris, dan Australia.
Tanggal 3 Agustus 1947, Belanda menerima resolusi Dewan Keamanan PBB dan
memerintahkan kepada Van Mook untuk menghentikan tembak-menembak.
Pelaksanaannya dimulai pada malam hari pada 4 Agustus 1947. Kemudian, pada 14
Agustus 1947, dibuka sidang Dewan Keamanan PBB. Sutan Syahrir hadir dari Indonesia.
Dalam pidatonya di DK PBB, Syahrir menegaskan bahwa untuk mengakhiri berbagai
pelanggaran dan penghentian pertempuran, perlu dibentuk komisi pengawas.
Pada 25 Agustus 1947, DK PBB menerima usul Amerika Serikat tentang
pembentukan suatu Committee of Good Offices (Komisi Jasa-jasa Baik) atau yang lebih
dikenal Komisi Tiga Negara (KTN). Belanda menunjuk Belgia sebagai anggota,
sedangkan Indonesia memilih Australia. Kemudian, antara Indonesia dan Belanda
memilih negara pihak ketiga, yakni Amerika Serikat. Akhirnya, terbentuk Komisi Tiga
25

Negara tanggal 18 September 1947. Australia dipimpin oleh Richard Kirby, Belgia
dipimpin oleh Paul van Zeelland, dan Amerika Serikat dipimpin oleh Frank Graham.

G. Pembentukan Komisi Tiga Negara


Pada 25 Agustus 1947, Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan
menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah
sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia)
dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN) karena beranggotakan tiga negara,
yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda, dan
Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby,
Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland, dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank
Graham.
Dalam pertemuannya di Sydney, 20 Oktober 1947, KTN memutuskan untuk
membantu menyelesaikan sengketa antara Indonesia dan Belanda dengan cara damai.
Pada 27 Oktober 1947, para anggota KTN telah tiba di Indonesia untuk memulai
pekerjaannya, yang nantinya akan menghasilkan Perjanjian Renville.

H. Perjanjian Renvile
Komisi Tiga Negara (KTN) tiba di Indonesia pada 27 Oktober 1947 dan segera
melakukan kontak dengan Indonesia maupun Belanda. Indonesia dan Belanda tidak mau
mengadakan pertemuan di wilayah yang dikuasai oleh salah satu pihak. Oleh karena itu,
Amerika Serikat menawarkan untuk mengadakan pertemuan di geladak Kapal USS
Renville.
Perundingan Renville dilaksanakan pada 8 Desember 1947 di atas Kapal Renville
yang tengah berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perjanjian dihadiri oleh
beberapa tokoh penting berikut. a). Delegasi Indonesia diwakili oleh Amir Syarifudin
(ketua), Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim, Dr. J. Leimena, Dr. Coatik Len, dan Nasrun.
b). Delegasi Belanda diwakili oleh R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo Gambar 6.e. Kapal
Renville. Tempat terjadinya Perjanjian Renville. (ketua), Mr. H.A.L. Van Vredenburg,
Dr. P.J. Koets, dan Mr. Dr. Chr. Soumokil. c). PBB sebagai mediator diwakili oleh Frank
Graham (ketua), Paul Van Zeeland, dan Richard Kirby.
Perjanjian ini menghasilkan saran-saran KTN dengan pokok pokoknya, yaitu
pemberhentian tembak-menembak di sepanjang Garis Van Mook serta perjanjian
peletakan senjata dan pembentukan daerah kosong militer.
Berikut adalah isi dari Perjanjian Renville. a). Belanda hanya mengakui Jawa
Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. b).
Disetujuinya sebuah Garis Demarkasi Van Mook yang memisahkan wilayah Indonesia
dan daerah pendudukan Belanda. c). TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah
kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Pada akhirnya, Perjanjian Renville ditandatangani pada 17 Januari 1948 dan
disusul intruksi untuk menghentikan aksi tembak menembak pada 19 Januari 1948.
Selain itu, masih ada enam pokok prinsip tambahan untuk perundingan guna mencapai
penyelesaian politik yang meliputi hal-hal berikut. a). Belanda tetap memegang
26

kedaulatan atas seluruh wilayah Indonesia sampai dibentuknya Republik Indonesia


Serikat (RIS). b). Sebelum RIS dibentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian
kekuasaannya kepada pemerintah federal sementara. c). RIS sederajat dengan Belanda
dan menjadi bagian dari Uni Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketua uni
tersebut. d). Republik Indonesia merupakan bagian dari RIS. e). Akan diadakan
penentuan pendapat rakyat (plebisit) di Jawa, Madura, dan Sumatra untuk menentukan
apakah rakyat akan bergabung dengan RI atau RIS. f). Dalam waktu 6 bulan sampai satu
tahun akan diadakan pemilu untuk membentuk Dewan Konstitusi RIS.
Sebagai konsekuensi ditandatanganinya Perjanjian Renville, maka wilayah RI
semakin sempit karena diterimanya Garis Demarkasi Van Mook, yakni wilayah Republik
Indonesia hanya meliputi Yogyakarta dan sebagian Jawa Timur.
Dampak lainnya adalah anggota TNI yang masih berada di daerah-daerah
kantong yang dikuasai Belanda harus ditarik masuk ke wilayah RI, misalnya di Jawa
Barat ada sekitar 35.000 tentara Divisi Siliwangi sehingga pada 1 Februari 1948, Divisi
Siliwangi hijrah menuju wilayah RI di Jawa tengah dan ada yang ditempatkan di
Surakarta. Di samping itu, ada sekitar 6.000 tentara dari Jawa Timur harus masuk ke
wilayah RI.
Isi Perjanjian Renville mendapat tentangan dari masyarakat sehingga muncul
mosi tidak percaya terhadap Kabinet Amir Syarifuddin pada 23 Januari 1948. Akhirnya,
Amir menyerahkan kembali mandatnya sebagai perdana menteri kepada presiden.
Dengan demikian, keputusan Renville menimbulkan masalah baru, yaitu pembentukan
pemerintahan peralihan.

I. Agresi Militer Belanda II


Seperti halnya ketika diadakan Perjanjian Linggarjati antara Indonesia dengan
Belanda yang dikhianati Belanda dengan melancarkan Agresi Militer Belanda I, ketika
diadakan Perjanjian Renville, Belanda juga mengkhianatinya. Perjanjian Renville yang
diadakan pada Januari 1948 di atas Kapal USS Renville di Pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta, menyepakati suatu gencatan senjata di sepanjang Garis Van Mook (suatu garis
buatan yang menghubungkan titik-titik terdepan pihak Belanda walaupun dalam
kenyataannya masih tetap ada banyak daerah yang dikuasai pihak Republik di dalamnya).
Pelaksanaan hasil Perundingan Renville mengalami kemacetan. Upaya jalan
keluar yang ditawarkan oleh KTN selalu mentah kembali karena tidak adanya
kesepakatan antara Indonesia dan Belanda. Indonesia melalui Hatta - wakil presiden
merangkap perdana menteri menggantikan Amir Syarifuddin - tetap tegas
mempertahankan kedaulatan Indonesia, sementara Belanda terus berupaya mencari cara
menjatuhkan wibawa Indonesia.
Saat ketegangan semakin memuncak, Indonesia dan Belanda mengirimkan nota
kepada KTN. Nota itu sama-sama berisi tuduhan terhadap pihak lawan yang tidak
menghormati hasil Perundingan Renville. Akhirnya, menjelang tengah malam pada
tanggal 18 Desember 1948, Wali Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, mengumumkan
bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Renville.
Sementara itu, keadaan dalam negeri sudah sangat tegang terkait dengan oposisi
yang dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat (PKI dan sekutunya) terhadap politik yang
27

dijalankan oleh Kabinet Hatta. Oposisi ini meningkat setelah seorang tokoh komunis
kawakan, Musso, yang memimpin pemberontakan PKI tahun 1926, kembali ke Indonesia
dari Uni Soviet.
Musso sejak mudanya memang selalu bersikap radikal dan dialah yang
mendorong PKI untuk memberontak pada tahun 1926. Oposisi terhadap Kabinet Hatta
mencapai pucaknya ketika Sumarsono, pemimpin Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia),
mengumumkan pembentukan pemerintahan Soviet di Madiun, 18 September 1948.
Untuk mengajak rakyat agar bersatu melawan pemberontakan PKI Madiun 1948
yang mencoba menohok dari belakang sementara Republik Indonesia menghadapi
Belanda, Sukarno dengan nada tinggi mengatakan, “Pada saat yang genting ini kita
mengalami cobaan yang besar untuk menentukan nasib kita sendiri. Silakan pilih di
antara dua, yaitu ikut Musso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita
Indonesia merdeka atau ikut Sukarno-Hatta yang akan memimpin Negara RI yang
merdeka, tidak dijajah oleh negara apa pun juga!”
TNI bertindak cepat. Kolonel Sungkono segera mengerahkan brigade operasi di
bawah komando Mayor Jonosewojo. Tentara Indonesia melakukan pukulan balasan
terhadap PKI Madiun dengan bantuan dari batalion-batalion Mudjajin, Sabirin Muhtar,
Sabaruddin, dan Sunaryadi. Gubernur Militer Gatot Subroto juga mengerahkan Brigade
Sadikin Siliwangi dari arah Barat. Batalion batalion yang dikerahkan adalah Achmad
Wiranatakusumah, Umar, Daeng, Nasuhi, Kusno Utomo, Sambas, Kosasih, dan Kemal
Idris.
Dalam tempo sepuluh hari saja pasukan TNI telah merebut Madiun. Akhirnya,
pemberontakan PKI Madiun dapat dipadamkan TNI dan pemimpinnya, Musso, ditembak
mati pada 31 Oktober 1948.
Sebelum pasukan-pasukan Republik dapat beristirahat setelah beroperasi terus-
menerus melawan PKI Madiun, Belanda menyerang lagi. Dini hari, 19 Desember 1948,
pesawat terbang Belanda membombardir Maguwo (sekarang Bandara Adisucipto) dan
sejumlah bangunan penting di Yogyakarta. Peristiwa itu mengawali Agresi Militer
Belanda II. Pemboman dilanjutkan dengan penerjunan pasukan udara.
Setelah mengetahui Belanda menyerang, Sultan Hamengkubuwono IX kemudian
pergi ke Gedung Negara (sekarang Gedung Agung, Istana Negara Yogyakarta) untuk
bertemu dengan Presiden Sukarno dan beberapa menteri seperti Juanda, Ali
Sastroamijoyo, Rh. Kusnan, serta Laksamana Udara Suryadarma, sedangkan Wakil
Presiden-Perdana Menteri Moh. Hatta tidak ada.
Ternyata, saat itu Hatta sedang berada di Kaliurang untuk menghadiri pertemuan
dengan perwakilan Australia, Critchley, anggota Komisi Tiga Negara. Karena kabinet
akan segera mengadakan sidang darurat, sementara perdana menteri tidak ada, maka
Sultan Hamengkubuwono IX menyanggupi untuk menjemput Hatta di Kaliurang.
Sementara itu, pesawat terbang Belanda menjatuhkan granat, bom, dan tembakan
mitraliur ke Benteng Vredenburg yang terletak di depan Gedung Negara. Sultan
Hamengkubuwono IX langsung menuju mobilnya. Namun, sebelum sampai
meninggalkan halaman Gedung Negara, Sultan Hamengkubuwono IX bertemu dengan
Sutan Syahrir, mantan perdana menteri yang juga akan menjemput Hatta ke Kaliurang.
28

Bersama Syahrir, Sultan Hamengkubuwono IX menuju Kaliurang. Di tengah


jalan, Sultan Hamengkubuwono IX berpapasan dengan mobil milik Hatta yang menuju
ke Gedung Negara. Dengan cepat, Sultan Hamengkubuwono IX memutar kemudinya
untuk kembali ke Gedung Negara. Namun, karena pesawat terbang Belanda membabi
buta memuntahkan bom, Sultan Hamengkubuwono IX memutuskan untuk meninggalkan
jalan raya dan memasuki jalan desa yang lebih terlindung dengan jalan yang berliku-liku
untuk menghindari serangan pesawat tempur Belanda.
Sesampai di Gedung Negara, ternyata sidang darurat sudah selesai sehingga
Sultan Hamengku buwono IX sebagai Menteri Negara Koordinator Keamanan tidak
sempat mengikuti sidang darurat yang sangat penting.
Semula memang sudah ada rencana bahwa presiden dan wakil presiden serta para
pemimpin lainnya akan diterbangkan ke India. Rencana lain adalah mengungsikan
presiden ke Baturaden, di lereng Gunung Slamet, Jawa Tengah. Ternyata, dalam suasana
genting itu pemerintah RI menghasilkan keputusan darurat seperti berikut.
a. Melalui radiogram, pemerintah RI mem berikan mandat kepada Syafruddin
Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Sumatera. Juga
memberikan perintah kepada Mr. A.A. Maramis yang sedang di India bahwa apabila
Syafruddin Prawiranegara ternyata gagal melaksanakan kewajiban pemerintah pusat,
maka A.A. Maramis diberi wewenang untuk membentuk pemerintahan di India.
b. Presiden dan wakil presiden RI tetap tinggal di dalam kota - dengan risiko ditangkap
Belanda - agar dekat dengan KTN (saat itu berada di Kaliurang).
c. Pimpinan TNI menyingkir ke luar kota dan melancarkan perang gerilya dengan
membentuk wilayah pertahanan (sistem wehkreise) di Jawa dan Sumatra.
Setelah menguasai Yogyakarta, pasukan Belanda menawan presiden dan
sejumlah pejabat negara. Sukarno, Sutan Syahrir, serta Agus Salim ditawan dan
diterbangkan ke Brastagi. Sedangkan Hatta, Mr. Roem, Ali Sastroamijoyo, Suryadarma,
dan Assat ditawan di Bangka. Tidak beberapa lama, Sukarno kemudian dipindahkan ke
Bangka. Sementara itu, Jenderal Sudirman memimpin TNI melancarkan perang gerilya di
kawasan luar kota.
Sore harinya, pukul 17.00, Komandan Pasukan Belanda Kolonel Van Langen
yang menjadi penguasa militer di Yogyakarta datang ke keraton. Kedatangannya itu
untuk memberitahukan bahwa Sultan Hamengkubuwono IX boleh bergerak ke mana-
mana secara leluasa asalkan tidak melawati garis merah yang tertera di peta.
Setelah dilihat, ternyata garis merah tersebut mengelilingi seluruh wilayah
keraton. Itu artinya, Sultan HB IX tidak boleh keluar dan bergerak dengan bebas. Jadi,
Sultan Hamengkubuwono IX dikenakan status tahanan rumah oleh Belanda.
Aksi/Agresi Militer Belanda II ternyata menarik perhatian PBB karena Belanda
secara terang-terangan tidak mengikuti lagi Perjanjian Renville di depan Komisi Tiga
Negara yang ditugaskan kepada PBB. Pada 24 Januari 1949, Dewan Keamanan membuat
resolusi agar RI dan Belanda segera menghentikan permusuhan dan membebaskan
presiden RI serta pemimpin politik lain yang ditawan Belanda.
Amerika Serikat mulai mengubah pandangannya terhadap Indonesia karena
dengan tegas telah menumpas pemberontakan PKI di Madiun sehingga mulai melakukan
tekanan dan ancaman menghentikan bantuan kepada Belanda yang diberikan dalam
29

rangka Marshall Palan (di Eropa). Adanya tekanan politik dan militer - dengan makin
besarnya kemampuan TNI untuk melaksanakan perang gerilya - itulah akhirnya Belanda
menerima perintah Dewan 241 Keamanan PBB untuk menghentikan agresinya dan
memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan.

J. Gerilya Panglima Besar Sudirman


Apabila para pemimpin pemerintahan seperti Presiden Sukarno, Wakil Presiden
Moh. Hatta, dan beberapa menteri ditangkap Belanda, atas perintah Presiden Sukarno,
Panglima Besar Sudirman yang saat itu berusia 30 Tahun meninggalkan Kota Yogyakarta
untuk bergerilya.
Sudirman, dalam sebuah diskusi kecil dengan Sukarno, mengajak Sukarno untuk
meninggalkan Gedung Agung sebelum ditangkap Belanda dan bergerilya bersama di
hutan. Namun, ajakan Sudirman tersebut ditolak oleh Sukarno dengan alasan jika
Sukarno ikut bergerilya, maka Belanda akan dengan mudah menembak mati Sukarno.
Sebaliknya, jika Sukarno tetap tinggal dan ditangkap Belanda, Sukarno dapat
berdiplomasi dan masih bisa memimpin rakyat. Sukarno memerintahkan Sudirman untuk
masuk ke desa dan hutan untuk perang gerilya 100 persen.
Akhirnya, Jenderal Sudirman yang dalam keadaan kondisi badan tidak sehat
karena sakit paru-paru memimpin perang gerilya. Sudirman dan rombongan melakukan
perjalanan mulai dari Yogyakarta ke Gunungkidul dengan melewati beberapa kecamatan
menuju Pracimantoro, Wonogiri, Ponorogo, Trenggalek, dan Kediri. Karena dalam
perang gerilya tersebut menggunakan kekuatan fisik yang prima, sementara Jenderal
Sudirman dalam keadaan sakit, maka selama dalam perjalanan Sudirman harus ditandu
atau dipapah oleh anak buahnya untuk masuk hutan, naik gunung, turun jurang, dan
keluar masuk dari desa satu ke desa yang lain. Sudirman memberikan contoh
sebagaimana pesan Sukarno untuk tidak akan pernah menyerah dalam usaha
mempertahankan tegaknya panji-panji NKRI.
Dalam perjalanan perang gerilyanya, setelah sampai Kediri, Sudirman lalu
memutar melawati Trenggalek dan terus melakukan perjalanan sampai akhirnya di Sobo
dengan tetap waspada karena Belanda menyebar tentaranya untuk memburu Sudirman
dan anak buahnya untuk ditangkap dalam keadaan hidup atau mati. Jenderal Sudirman
dan anak buahnya yang setia sungguh heroik karena menempuh perjalanan kurang lebih
1.000 km dengan perbekalan seadanya.
Waktu bergerilya mencapai enam bulan dengan penuh derita, lapar, dahaga,
kepanasan, kedinginan, ancaman Belanda, dan menahan rasa sakit pada paru-parunya.
Meski demikian, Sudirman tidak lagi memikirkan harta, jiwa, dan raganya untuk
tegaknya kedaulatan bangsa dan negara.

K. Berdirinya PDRI
Pada saat terjadi Agresi Militer Belanda II, sebelum pasukan Belanda di bawah
pimpinan Kolonel van Langen sampai ke Gedung Agung, Sukarno beserta para
pemimpin negara melakukan rapat yang antara lain memutuskan agar presiden membuat
mandat kepada Syafruddin Prawiranegara yang saat itu berada di Bukittinggi untuk
membentuk pemerintahan darurat.
30

Sukarno juga mengirim mandat serupa kepada Mr. A.A. Maramis dan Dr.
Sudarsono yang berada di New Delhi, India, apabila pembentukan pemerintah darurat di
Bukittinggi mengalami kegagalan. Namun, Syafruddin Prawiranegara berhasil
mendeklarasikan berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di
Kabupaten Lima Puluh Kota pada 19 Desember 1948.
PDRI ternyata aktif menjalankan pemeritahannya dan pemerintahan di
Yogyakarta untuk sementara tidak aktif. Peranan PDRI antara lain sebagai berikut. a).
PDRI dapat sebagai mandataris kekuasaan pemerintah RI dan berperan sebagai
pemerintah pusat. b). PDRI berperan sebagai kunci dalam mengatur arus informasi
sehingga mata rantai komunikasi tidak terputus dari daerah yang satu ke daerah yang lain.
Radiogram mengenai masih berdirinya PDRI dikirim kepada ketua Konferensi Asia,
Pandit Jawaharlal Nehru, oleh Radio Rimba Raya yang berada di Aceh Tengah. c). PDRI
berhasil menjalin hubungan dan membagi tugas dengan perwakilan RI di India. Dari
India inilah informasi-informasi tentang keberadaan dan perjuangan bangsa (misalnya
serangan 1 Maret 1949) dan negara RI dapat disebarluaskan ke berbagai penjuru dunia.
Maka, terbukalah mata dunia mengenai keadaan RI yang sesungguhnya.
Syafruddin Prawiranegara menyerahkan mandat kepada Presiden RI di
Yogyakarta pada 13 Juli 1949. Dengan demikian, PDRI yang bekerja selama delapan
bulan telah berhasil menggantikan pemerintahan RI meskipun dalam beberapa hal harus
dikonsultasikan dengan para pemimpin RI yang sedang dalam pembuangan.

L. Serangan 1 Maret 1949


Setelah para pemimpin bangsa ditangkap dan Jenderal Sudirman menyingkir ke
hutan dan desa untuk perang gerilya 100 persen, Belanda mengatakan kepada dunia
bahwa Indonesia tinggal nama. Republik Indonesia sudah tidak ada, yang ada hanya para
pengacau keamanan. Sebagai reaksi, Sultan Hamengkubuwono IX ingin melakukan
Counter Opinion agar aktivitas Republik Indonesia dapat didengar oleh Dewan
Keamanan PBB yang akan bersidang pada 1 Maret 1949. Informasi bahwa DK PBB akan
bersidang didengar dari siaran radio berita luar negeri.
Kemudian, lewat kurir, Sultan Hamengkubuwono IX berkirim surat kepada
Jenderal Sudirman tentang perlunya tindakan penyerangan terhadap Belanda. Dalam
surat balasannya, karena Sudirman jauh dari Yogyakarta, untuk penyerangan agar
dibahas bersama Komandan TNI setempat, yakni Letkol. Suharto selaku komandan
wehkreise III.
Wehkreise adalah lingkungan pertahanan atau pertahanan daerah yang
mengadaptasi dari strategi militer yang dilakukan tentara Jerman pada Perang Dunia II.
Sistem ini dipakai sejak dari pertahanan pulau sampai daerah-daerah. Masing-masing
komandan diberi kebebasan seluas-luasnya untuk menggelar dan mengembangkan
perlawanan terhadap tentara Belanda. Wilayah wehkreise adalah satu keresidenan yang di
dalamnya terhimpun kekuatan militer, politik, ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan.
Letkol. Suharto datang menghadap ke keraton dan berganti baju dengan baju abdi
dalem layaknya rakyat yang sedang meghadap raja. Dalam pertemuan dengan Letkol.
Suharto untuk membahas penyerangan, Sultan berpesan agar silakan menyerang dari
31

berbagai arah, tetapi jangan menyerang dari arah selatan karena di selatan ada keraton
yang akan menjadi sasaran mortir dan merusak keraton.
Akhirnya, strategi pengepungan disepakati untuk dibagi menjadi enam sektor,
yakni keraton bagian barat, keraton bagian timur, barat Jalan Malioboro, timur Jalan
Malioboro, barat Stasiun Tugu ke utara, dan timur Stasiun Tugu ke utara. Penyerangan
terhadap Belanda dijadwalkan tanggal 1 Maret 1949 dini hari.
Tanggal 1 Maret 1949, sekitar pukul 06.00 WIB, sewaktu sirine berbunyi
sebagaimana berakhirnya jam malam yang dibuat Belanda, serangan umum dilancarkan
dari berbagai arah. Letkol. Suharto memimpin langsung penyerangan dan berjalan
dengan sukses. Selama enam jam (mulai dari pukul 06.00 sampai dengan pukul 12.00),
Yogyakarta dapat diduduki TNI. Setelah mendatangkan bantuan tentara dari Gombong
dan Magelang, Belanda baru bisa memukul mundur para pejuang.
Keberhasilan gerilya kota adalah berkat bantuan Sultan Hamengkubuwono IX
yang melindungi para gerilyawan di dalam keraton, termasuk perbekalan uang ratusan
gulden dan sebagainya. Keteguhan hati untuk berpihak kepada rakyat terlihat ketika
terjadi perdebatan antara Sultan Hamengkubuwono IX dengan Jenderal Meyer,
Komandan pasukan Belanda.
Sultan Hamengkubuwono IX dituduh melindungi gerilyawan dan Belanda ingin
mengejarnya ke dalam keraton. Namun, Sultan Hamengkubuwono IX menjawab dengan
memakai bahasa Belanda yang fasih, “Kalau Tuan-tuan ingin menyerang keraton, maka
silakan Tuan lakukan. Tetapi sebelum itu, Tuan harus melangkahi mayat saya dulu.”
Karena kewibawaan Sultan, akhirnya Jenderal Meyer tidak mencari lagi gerilyawan di
dalam keraton.
Bagi masyarakat Indonesia, kejadian Serangan Umum 1 Maret 1949 memberikan
teladan bagaimana kuatnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Di samping itu,
dampak internasionalnya adalah meyakinkan dunia bahwa Indonesia masih ada dan
masih punya kekuatan. Oleh karena itu, DK PBB mencarikan jalan terbaik untuk
mengatasi persengketaan lewat perundingan.

M. Kedermawanan Sultan Hamengku Buwono II Dalam Revolusi Fisik (1946-1950)


Setelah kepindahan para pemimpin di Jakarta ke Yogyakarta, Sultan Hamengku
Buwono IX sebagai tuan rumah melayani tamunya dengan sebaik-baiknya. Semula
Muhammad Hatta dan keluarga menginap di Puro Pakualaman sambil menunggu
selesainya perbaikan rumah yang disiapkan di Jalan Reksobayan No. 4 Yogyakarta.
Sukarno dan keluarga juga sementara tinggal di Puro Pakualaman sambil menunggu
membersihkan rumah Gubernur Belanda yang kemudian dikenal dengan Gedung Negara
atau sekarang bernama Gedung Agung.
Gedung Agung juga berfungsi sebagai kantor pusat pemerintahan Republik di
Yogyakarta, karena di gedung inilah biasanya dilakukan pertemuan antara Presiden,
Wakil Presiden, para menteri, dan pimpinan militer. Setibanya para pemimpin Republik
Indonesia di Yogyakarta, tiap-tiap kementerian dan jawatan-jawatan berturut-turut ikut
hijrah ke Yogyakarta.
Gedung Negara setelah ditinggalkan Jepang tidak terdapat peralatan rumah tangga
di dalamnya. Oleh karena itu, Keraton Yogyakarta memberikan berbagai peralatan
32

bahkan keraton memberikan 1.440 pucuk senjata api kepada pasukan Republik Indonesia.
Selain senjata api, Keraton Yogyakarta juga menyumbangkan senjata-senjata tajam
seperti tombak. Sukarno menceritakan bahwa saat itu pemerintahan Republik Indonesia
bekerja seadanya sehingga tidak mirip dengan pemerintahan selayaknya.
Sukarno berujar “Kami tidak mempunyai apa-apa, tidak ada mesin ketik, alat
kantor, pesawat terbang, dan kami juga tidak mempunyai uang.” Melihat kondisi
pemerintahan yang memprihatinkan itulah kemudian Sultan menyumbangkan beberapa
uang gulden milik keraton sekaligus uang pribadinya untuk biaya operasional pemerintah
Republik Indonesia. Menurut Rahendra Koeman, seorang menteri yang menjabat bidang
perburuhan dan sosial dalam kabinet Hatta, pemberian bantuan uang Belanda (gulden)
dalam jumlah sangat besar yang disimpan di keraton kepada pejabat dan pegawai-
pegawai pemerintah pusat adalah agar tidak menyeberang kepada pihak Belanda karena
tergiur uang Belanda.
Sebelum para pemimpin bangsa bertolak dari Bangka (pengasingan) menuju
Yogyakarta mereka berkumpul dalam sebuah pertemuan. Dalam perbincangan itu, tiba-
tiba Sukarno dan Moh. Hatta berbicara dengan nada yang menunjukkan kesedihan karena
pemerintah republik tidak punya ongkos dan biaya operasional untuk menggerakkan roda
pemerintahan jika kembali ke Yogyakarta dan kemudian dilanjutkan di Jakarta.
Para tokoh yang ada di sana seperti H. Agus Salim, Komisaris Besar Polisi
Sumarto, Mr. Assaat, Mr. Gafar Pringgodigdo, dr. Halim, dr. Darmasetiawan, RH.
Koesnan, dan lainnya telah memberikan saran, tetapi tidak ada keputusan yang
disepakati. Sultan berbicara di hadapan para pemimpin republik itu untuk
menyumbangkan dana dalam bentuk cheque Javache Bank (sekarang Bank Indonesia)
sebesar f 6.000.000 (6 juta gulden) untuk membantu kepulangan para pemimpin Republik
dan memulai menggerakkan roda pemerintahan.
Dengan uang sebanyak itu, Indonesia kala itu dapat memperbaiki pelayanan
rakyat dalam bidang kesehatan, pendidikan, militer, sampai pada penggajian pejabat dan
pegawai negara. Tahun 1949, negara diibaratkan sebagai bayi yang belum punya
pendapatan, sedangkan negara membutuhkan uang untuk pemerintahan minimal untuk
gaji pegawai dan pimpinan Republik.
Sukarno menerima selembar kertas cheque tersebut dengan wajah terharu dan
menyambutnya dengan kata singkat dengan suara rendah: “Terima kasih” sambil
mengulurkan tangannya kepada Sultan. Dua anak manusia dan dua putra bangsa terbesar
saling berjabat tangan. Oleh karena merasa terharu dengan kebaikan Sultan, tanpa
canggung Sukarno langsung merangkul Sultan.
Suasana ruangan menjadi hening dan haru. Air mata tidak terbendung dari semua
yang hadir. Oleh karena Sukarno sangat terkesan dan merasa begitu pentingnya
Yogyakarta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Sukarno sebelum kembali
ke Jakarta, menuliskan pesan, “Djogjakarta mendjadi termasjhur oleh karena djiwa
kemerdekaannya. Hidupkanlah terus djiwa kemerdekaan itu!

N. Perjanjian Roem Royen


Serangan 1 Maret 1949 yang dilancarkan TNI ternyata telah membuka mata dunia
bahwa Indonesia masih ada dan propaganda yang selama ini diberitakan Belanda ternyata
33

tidak benar. Walaupun didesak oleh dunia internasional, Belanda masih saja tidak
menaati resolusi DK PBB tanggal 24 Januari 1949 (Indonesia dan Belanda segera
menghentikan permusuhan dan membebaskan presiden RI dan pemimpin politik yang
ditawan Belanda). Melihat kenyataan itu, Amerika Serikat bersikap tegas, jika Belanda
tetap membandel, maka bantuan ekonomi akan dihentikan. Dengan adanya ancaman
seperti itu, akhirnya Belanda melunak.
Tanggal 14 April 1949, atas inisiasi komisi PBB, diadakan perundingan di Jakarta
di bawah pimpinan Mrele Cochran, anggota komisi dari AS. Delegasi Indonesia dipimpin
oleh Moh. Roem dan delegasi Belanda dipimpin oleh H.J. Van Royen. Dalam
perundingan itu, RI tetap menuntut tidak melakukan perundingan jika tidak ada
kesepakatan pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta. Sebaliknya, Belanda
menuntut agar Indonesia menyetujui tentang perintah penghentian perang gerilya yang
dilakukan TNI.
Perundingan menjadi sangat alot sehingga Amerika mendesak Indonesia agar
melanjutkan perundingan. Jika tetap pada pendirian, maka Amerika tidak memberikan
bantuan dalam bentuk apa pun. Akhirnya, perundingan dilanjutkan pada 1 Mei 1949 dan
7 Mei 1949 dengan menghasilkan kesepakatan Roem-Royen yang isinya sebagai berikut.
a. Pihak Indonesia bersedia mengeluarkan perintah kepada pengikut RI yang bersenjata
untuk menghentikan perang gerilya. RI juga akan ikut serta dalam Konferensi Meja
Bundar (KMB) di Den Haag guna mempercepat penyerahan kedaulatan kepada
Negara Indonesia Serikat tanpa syarat.
b. Pihak Belanda menyetujui adanya pengembalian RI ke Yogyakarta dan menjamin
penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik.
Belanda juga tidak akan mendirikan dan mengakui negara-negara yang ada di wilayah
kekuasaan RI sebelum Desember 1948 serta menyetujui RI sebagai bagian dari NIS.
Kemudian, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatra memerintahkan
Sultan Hamengkubuwono IX untuk mengambil alih pemerintahan di Yogyakarta dari
pihak Belanda. Setelah pemerintahan kembali ke Yogyakarta, pada 13 Juli 1949
diselenggarakan Sidang Kabinet RI yang pertama. Dalam sidang itu, Syafruddin
Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada Wakil Presiden Moh. Hatta. Sidang itu
juga memutuskan untuk mengangkat Sultan Hamengkubuwono IX sebagai menteri
pertahanan merangkap ketua koordinator pertahanan.

M. Peristiwa Yogya Kembali


Sebagai konsekuensi atas perjanjian Roem-Royen pada 18 Juni 1949, Menteri
Koordinator Keamanan Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan perintah kepada PDRI
untuk menghentikan tembak-menembak. Ini dimaksudkan agar daerah Yogyakarta
disiapkan untuk mengosongkan tentara Belanda. Pada 29 Juni 1949, pasukan Belanda
berangsur-angsur meninggalkan Yogyakarta. Begitu juga pasukan TNI berangsur-angsur
masuk ke Kota Yogyakarta. Peristiwa 248 keluarnya tentara Belanda dan masuknya TNI
ke Yogyakarta inilah yang dikenal sebagai Peristiwa Yogya Kembali.
Pada 6 Juli 1949, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta bertolak dari
Pangkalpinang (pengasingan) menuju Yogyakarta disertai oleh pemimpin-pemimpin
Republik yang diasingkan di Bangka. Ada tiga kelompok pimpinan RI yang ditunggu
34

untuk kembali ke Yogyakarta, yakni: a). Kelompok pimpinan Republik Indonesia yang
diasingkan di Bangka. b). Kelompok PDRI yang dipimpin oleh Syafruddin
Parwiranegara. c). Kelompok angkatan perang yang melakukan gerilya pimpinan
Jenderal Sudirman.
Setibanya di Gedung Negara, Sukarno memberikan sambutan, “… Kembalinya
pemerintahan RI ke Yogyakarta adalah nyata bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia
harus dilanjutkan. Dua faktor utama yang memungkinkan kembalinya pemerintahan RI
ke Yogya adalah pertama, kekuatan dan keuletan rakyat, kedua bantuan dunia
internasional.”
Dengan demikian menjadi kenyataan bahwa pemerintahan RI telah kembali.
Wakil-wakil dari UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan BFO
(Bijeenkomst voor Federal Overleg) turut serta menerima kedatangan pemimpin-
pemimpin RI di Yogyakarta. Sementara itu, wakil ketua BFO (negara-negara bagian)
menemui presiden dan wakil presiden untuk membicarakan rencana Konferensi Antar-
Indonesia dan sekaligus menyampaikan undangan untuk hadir dalam konferensi itu.
Tanggal 10 Juli 1949, Panglima Besar Jenderal Sudirman tiba di ibu kota RI
Yogyakarta. Sudirman datang ke Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta dengan
pasukannya setelah memimpin gerilya. Sudirman dijemput Letkol. Suharto di bagian
selatan kota Yogyakarta. Sudirman dipikul dengan tandu karena menderita sakit paru-
paru dan sukar untuk berjalan.
Tandu diletakkan pelan-pelan dan keluarlah Sudirman dengan pelan tetapi berdiri
tegak walaupun berjalan dibantu tongkat. Panglima Besar menggunakan pakaian Jawa,
baju lurik, kain kehitam-hitaman, ikat kepala wulung, serta berjas panjang dan terselip
keris pusaka di bagian muka sabuk.
Setibanya di Alun-alun Utara, Sudirman melakukan parade dan disambut Sukarno
dengan hangat. Keduanya berpelukan erat sebagai tanda kerinduan masing-masing.
Ketika melakukan parade, para komandan satu per satu mendapat tepukan pada bahu dari
panglima besar dan para komandan itu tidak dapat menahan perasaannya melihat wajah
panglimanya dan menitikkan air mata karena haru.
Selesai melakukan parade, Sudirman bersalaman dengan Syafruddin
Parwiranegara yang berpakaian hitam dan memakai peci hitam yang baru tiba pada hari
itu, Minggu, 10 Juli 1949. Lengkaplah sudah semua pimpinan negara di Yogyakarta, baik
yang dari Bangka, dari Pemerintah Darurat RI di Sumatera, maupun Pimpinan Angkatan
Perang. Jalan yang akan ditempuh kini dapat dibicarakan bersama.
Strategi perang Jenderal Sudirman kemudian dikenal sebagai “Perang Gerilya”.
Strategi perang ini kemudian ditulis dalam sebuah buku oleh A.H. Nasution dengan judul
Pokok-pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa yang Lalu dan yang
Akan Datang. Ternyata buku ini dijadikan acuan atau panduan tentara Vietnam di bawah
pimpinan Jenderal Nguyen Giap dan berhasil mengalahkan tentara Amerika Serikat
dalam Perang Vietnam. Hingga kini, buku A.H. Nasution tersebut menjadi bacaan wajib
bagi Taruna Akademi Militer Amerika.
35

O. Konferensi Antar Indonesia


Belanda tidak berhasil membentuk negara-negara bagian dari suatu negara federal
BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg). Namun, di antara pemimpin BFO banyak yang
sadar dan melakukan pendekatan untuk bersatu kembali dalam upaya pembentukan
Republik Indonesia Serikat (RIS). Mereka sadar bila ternyata hanya dijadikan alat dan
boneka bagi kekuasaan Belanda. Oleh karena itu, perlu dibentuk semacam front untuk
menghadapi Belanda.
Kabinet Hatta melakukan perjuangan diplomasi, yaitu masalah internal terlebih
dahulu. Hatta beberapa kali mengadakan Konferensi Antar-Indonesia untuk menghadapi
usaha Van Mook dengan negara bonekanya. Ternyata, hasil Konferensi Antar-Indonesia
itu berhasil dengan baik. Walaupun untuk sementara pihak RI menyetujui terbentuknya
negara RIS, tetapi bukan berarti pemerintah RIS tunduk kepada pemerintah Belanda.
Pada bulan Juli dan Agustus 1949 diadakan Konferensi Antar Indonesia. Dalam
konferensi itu diperlihatkan bahwa politik devide et impera Belanda untuk memisahkan
daerah-daerah di luar wilayah RI mengalami kegagalan. Hasil Konferensi Antar-
Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta itu antara lain sebagai berikut. a). Negara
Indonesia serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan
demokrasi dan federalisme. b). RIS akan dikepalai oleh seorang presiden dengan dibantu
oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada presiden. c). RIS akan menerima
penyerahan kedaulatan, baik dari RI maupun Belanda. d). Angkatan perang RIS adalah
Angkatan Perang Nasional dan presiden RIS adalah Panglima Tertinggi Angkatan Darat.
e). Pembentukan angkatan perang RIS adalah semata-mata soal bangsa Indonesia sendiri.
Kesepakatan ini mempunyai arti penting karena akan dijadikan bekal dalam
menghadapi perundingan-perundingan selanjutnya dengan Belanda. Pada 1 Agustus
1949, Indonesia dan Belanda sepakat menghentikan tembak-menembak. Kesepakatan itu
berlaku efektif mulai 11 Agustus 1949 untuk seluruh Jawa, sedangkan untuk wilayah
Sumatra dilaksanakan pada 15 Agustus 1949. Keberhasilan dari kesepakatan-kesepakatan
inilah yang memungkinkan terselenggaranya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den
Haag, Belanda dari bulan Agustus sampai November 1949.

P. Konferensi Meja Bundar (KMB)


Walaupun perjanjian Roem-Royen dapat mengembalikan para pemimpin dari
pengasingan, kembalinya pemerintahan darurat dari Sumatra dan Panglima Besar
Sudirman sudah kembali berkumpul di Yogyakata, tetapi masalah-masalah antara
Indonesia dengan Belanda belum semuanya tuntas. Untuk itulah perlu dieselenggarakan
sebuah pertemuan yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah di antara dua negara itu.
Oleh karena itu, pada 23 Agustus sampai 2 November 1949 diselenggarakan Konferensi
Meja Bundar di Den Haag.
Indonesia diwakili oleh Drs. Moh. Hatta (sebagai ketua), Mr. Moh. Roem, Prof.
Dr. Soepomo, Mr. Ali Sastroamidjoyo, Ir. Juanda, Kolonel T.B. Simatupang, Mr. Suyono
Hadinoto, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Dr. J. Leimena, dan Mr. Abdul Karim
Pringodigdo. Sementara dari BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) adalah Sultan
Pontianak Hamid II. Delegasi dari Belanda diketuai Mr. Van Maarseveen, sedangkan
UNCI oleh Chritcjley.
36

Tujuan diadakan KMB adalah 1) menyelesaikan sengketa antara Indonesia


dengan Belanda dan 2) untuk mencapai kesepakatan antara para peserta tentang tata cara
penyerahan yang penuh dan tanpa syarat kepada negara Indonesia Serikat, sesuai dengan
ketentuan Perjanjian Renville.
Masalah-masalah antara Indonesia dengan Belanda yang sulit untuk dipecahkan
dalam KMB adalah sebagai berikut. a. Soal Uni Indonesia-Belanda. Pihak Indonesia
menghendaki agar sifatnya hanya kerja sama yang bebas tanpa adanya organisasi Gambar
6.h. Konferensi Meja Bundar. Persetujuan yang menghasilkan terbentuknya RIS
(Republik Indonesia Serikat). permanen. Sedangkan Belanda menghendaki ada ikatan
secara permanen dengan bentuk kerja sama yang lebih luas. b. Masalah utang Hindia
Belanda. Pihak Indonesia hanya mengakui utang-utang Hindia Belanda sampai
menyerahnya Belanda kepada Jepang. Sedangkan pihak Belanda menghendaki agar
Indonesia mengambil alih semua utang Hindia Belanda sampai penyerahan kedaulatan
dan biaya perang kolonial melawan TNI.
Setelah melalui perdebatan yang keras, pada 2 November 1949, KMB dapat
diakhiri. Hasil-hasil keputusannya antara lain sebagai berikut. a. Belanda mengakui
keberadaan negara RIS (Republik Indonesia Serikat) sebagai negara yang merdeka dan
berdaulat - RIS terdiri dari RI dan 15 negara bagian yang pernah dibentuk Belanda. b.
Masalah Irian Barat akan diselesaikan setahun kemudian setelah pengakuan kedaulatan.
c. Corak pemerintahan RIS akan diatur dengan konstitusi yang dibuat oleh delegasi RI
dan BFO selama KMB berlangsung. d. Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda yang
bersifat lebih longgar berdasarkan kerja sama secara sukarela dan sederajat. Uni
Indonesia-Belanda ini disepakati oleh Ratu Belanda. e. RIS harus membayar utang-utang
Hindia Belanda sampai waktu pengakuan kedaulatan. f. RIS akan mengembalikan hak
milik Belanda dan memberikan izin baru untuk perusahaan-perusahaan Belanda.
Beberapa klausul keputusan itu merugikan Indonesia, misalnya utang-utang
Hindia Belanda yang harus ditanggung RIS sebesar 4,3 miliar gulden. Utang itu antara
lain untuk pembelian senjata sebagai alat membunuh TNI dan rakyat serta
menghancurkan infrastruktur yang ada di Indonesia, tetapi yang harus membayar
Indonesia sendiri.
Klausul yang merugikan Indonesia lainnya adalah soal penundaan penyelesaian
Irian Barat yang merupakan akal- Belanda agar tetap menguasai wilayah Indonesia.
Untuk menyelesaikan persoalan ini perlu waktu yang berliku-liku dan panjang. Walaupun
ada beberapa klausul yang merugikan, tetapi Indonesia menerima klausul itu karena
KMB memberi kesempatan kepada Indonesia untuk membangun negeri sendiri.

Q. Pembentukan Republik Indonesia Serikat


Isi perjanjian KMB diterima KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat - semacam
parlemennya Indonesia) melalui sidangnya pada 6 Desember 1949. Kemudian, pada 14
Desember 1949, diadakan pertemuan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 (rumah
Sukarno). Pertemuan ini dihadiri oleh wakil-wakil pemerintah RI serta pemerintah negara
bagian dan daerah untuk membahas konstitusi RIS. Pertemuan itu memutuskan bahwa
UUD 1945 menjadi konstitusi RIS.
37

Negara RIS yang berbentuk federasi itu meliputi seluruh Indonesia dan RI
menjadi salah satu bagiannya. Sebenarnya bagi RI, pembentukan RIS sangat merugikan,
tetapi mengingat sebagai strategi para pemimpin agar Belanda segera mengakui
kedaulatan Indonesia walaupun dalam bentuk RIS, tetap diterima.
Dalam konstitusi RIS juga ditentukan bahwa ada presiden dan perdana menteri
(pemimpin menteri-menteri) secara bersama-sama sebagai pemerintah. Kemudian,
dibentuk lembaga perwakilan yang terdiri dari dua kamar, yakni Senat dan DPR. Senat
merupakan perwakilan negara bagian yang masing-masing diwakili dua orang, sedangkan
DPR beranggotakan 150 orang yang merupakan wakil wakil seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan konstitusi, negara berbentuk federal dan meliputi seluruh daerah
Indonesia, yaitu: a. Negara Bagian. 1) Negara RI menurut status quo seperti dalam
Persetujuan Renville. 2) Negara Indonesia Timur. 3) Negara Pasundan (Jawa Barat). 4)
Negara Jawa Timur. 5) Negara Madura. 6) Negara Sumatera Timur. 7) Negara Sumatera
Selatan. b. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak berdiri sendiri: Jawa Tengah, Bangka,
Belitung, Riau, Daerah Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan
Tenggara, dan Kalimantan Timur. 255 c. Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang
bukan negara-negara bagian.
Tanggal 16 Desember 1949, Sukarno dipilih sebagai Presiden RIS dan dilantik
pada 17 Agustus 1949 di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta. Moh. Hatta diangkat sebagai
Perdana Menteri dan pada 20 Desember 1949, Kabinet Hatta dilantik. Dengan
terbentuknya pemerintahan, maka terbentuklah pemerintahan RIS.
Sudah diketahui bahwa RIS beranggotakan RI dan negara negara federasi.
Setelah Sukarno diangkat menjadi presiden RIS, maka presiden RI mengalami
kekosongan jabatan. Untuk itu ketua KNIP, Mr. Assat, ditunjuk sebagai pejabat presiden
RI dan dilantik pada 27 Desember 1949. Langkah ini diambil untuk mengantisipasi
apabila sewaktu-waktu RIS bubar, RI tetap ada.

2. Alat dan bahan


- Komputer/laptop
- Internet
- Power point

J. Kegiatan pembelajaran Utama:

Pengaturan Peserta Didik Metode


Berkelompok - Diskusi kelompok
- Presentasi
- Ceramah
- Debad
- Bermain peran
- Talking Stick
38

K. Asesmen:

Individu Berkelompok
- Test tertulis PG atau Essay - Diskusi kelompok
- Sikap peserta didik selama - Presentasi
mengikuti kegiatan pembelajaran - Produk hasil diskusi kelompok dalam
bentuk tulisan/tulisan/ media lain)

L. Persiapan Pembelajaran:

No Langkah Persiapan Pembelajaran Waktu


1 Membuat maind maping materi perjuangan 15 menit
mempertahankan kemerdekaan
2 Mencari informasi materi dan membuat pemaparan power 90 menit
point
3 Membuat tekhnis diskusi kelompok 15 menit
4 Membuat assesmen 30 menit

M. Urutan kegiatan pembelajaran dalam1 sesi pembelajaran:

Pertemuan ke-1

No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu


Pendahuluan - Presensi kehadiran peserta didik 10 menit
- Berdoa bersama-sama dipimpin
salah satu peserta didik
- Kesepakatan aturan dalam
kegiatan pembelajaran pada hari
ini
- Apersepsi tentang pembelajaran
hari ini

Kegiatan Inti - Peserta didik diberi pertanyaan 70 menit


pemantik: Mengapa terjadi
pertempuran 10 Nopember di
39

No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu


Surabaya?
- Menyajikan informasi awal materi
tentang keterkaitan kedatangan
Sekutu dan Belanda di Indonesia,
peranan pemuda dan tentara dalam
mempertahankan proklamasi dalam
peristiwa 5 hari di Semarang,
pertempuran Kotabaru di
Yogyakarta dan pertempuran 10
November di Surabaya dengan
media power point.
- Guru menggunakan metode
bermain peran terjadinya
pertempuran 10 Nopember 1945 di
Surabaya

Penutup - Kesimpulan tentang materi hari itu 10 menit


- Evaluasi kegiatan pembelajaran
hari ini
- Refleksi tentang kelebihan dan
kelemahan pembelajaran hari ini

Pertemuan ke-2
No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu
Pendahuluan - Presensi kehadiran peserta didik 10 menit
- Berdoa bersama-sama dipimpin
salah satu peserta didik
- Kesepakatan aturan dalam
kegiatan pembelajaran pada hari
ini
- Apersepsi tentang pembelajaran
hari ini

Kegiatan Inti - Peserta didik diberi pertanyaan 70 menit


pemantik: Mengapa terjadi
peristiwa Ambarawa?
- Menyajikan informasi awal untuk
membuka wawasan tentang
keterkaitan antara patriotisme
Sudirman dengan kemenangan
perang melawan Sekutu pada
40

No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu


peristiwa Ambarawa dan semangat
revolusi kemerdekaan dalam
pertempuran Medan Area, Bandung
Lautan Api, pertempuran
Margarana di Bali, peristiwa
Westerling di Makassar.
- Guru menggunakan diskusi
kelompok untuk membahas
pertempuran Ambarawa, Medan
Area, Bandung Lautan Api,
pertempuran Margarana di Bali,
peristiwa Westerling di Makassar
- Hasil diskusi kelompok
dipresentasikan di depan kelas

Penutup - Kesimpulan tentang materi hari itu 10 menit


- Evaluasi kegiatan pembelajaran
hari ini
- Refleksi tentang kelebihan dan
kelemahan pembelajaran hari ini

Pertemuan ke-3
No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu
Pendahuluan - Presensi tentang kehadiran peserta 10 menit
didik hari ini
- Berdoa secara bersama-sama
sesuai agama dipimpin satu orang
peserta didik
- Kesepakatan aturan dalam
kegiatan pembelajaran pada hari
ini
- Apersepsi tentang materi yang
dipelajari hari ini

Kegiatan Inti - Peserta didik diberi pertanyaan 70 menit


pemantik: Mengapa Ibukota RI
pindah dari Jakarta ke Yogyakarta?
- Guru menyajikan informasi tentang
keterkaitan antara ketidaknyamanan
situasi di Jakarta dengan
kenegarawanan Sultan Hamengku
41

No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu


Buwono IX dengan pemindahan
pusat pemerintahan dari Jakarta ke
Yogyakarta dengan media Power
point
- Guru menggunakan metode debat
dengan dua kelompok yang berbeda
pandangan. Kelompok pertama
tidak perlu pindah ke Yogyakarta,
dan kelompok kedua pemerintah
harus pindah ke Yogyakarta.

Penutup - Evaluasi kegiatan pembelajaran 10 menit


hari ini
- Refleksi kekurangan dan kelebihan
pembelajaran hari ini

Pertemuan ke-4
No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu
Pendahuluan - Presensi kehadiran peserta didik 10 menit
- Berdoa sesuai agama dan
keyakinan
- Mengingatkan kembali
kesepakatan aturan dalam kegiatan
pembelajaran pada hari ini

Kegiatan Inti - Peserta didik diberi pertanyaan 70 menit


pemantik: Bagaimana dampak
perjanjian Linggarjati bagi bangsa
Indonesia?
- Guru menyajikan informasi awal
sebagai pembuka wawasan tentang
implikasi perjanjian Linggarjati
terhadap pengakuan kedaulatan
oleh Belanda dan negara-negara di
Dunia serta keterkaitan strategi
politik van Mook dengan konferensi
Malino dan pembentukan BFO.
- Guru menggunakan metode diskusi
kelompok untuk membahas
Linggarjati, Konferensi Malino dan
BFO.
- Hasil diskusi kelompok
42

No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu


dipresentasikan di depan kelas

Penutup - Penguatan dari guru tentang materi 10 menit


yang baru saja didiskusikan
- Kesimpulan secara bersama-sama
antara guru dan peserta didik
- Evaluasi kegiatan pembelajaran
hari ini
- Refleksi terhadap kelebihan dan
kekurangan pembelajaran hari ini

Pertemuan ke-5

No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu


Pendahuluan - Presensi kehadiran peserta didik 10 menit
- Berdoa berdasarkan agama dan
keyakinan masing-masing
dipimpin salah satu orang peserta
didik
- Mengingatkan kembali
kesepakatan aturan dalam kegiatan
pembelajaran pada hari ini
- Apersepsi untuk menjelaskan
pentingnya pokok bahasan hari ini
bagi kehidupan peserta didik
Kegiatan Inti - Peserta didik diberi pertanyaan 70 menit
pemantik: Mengapa Belanda
melancarkan Agresi Militer
Belanda I?
- Guru menyajikan informasi awal
sebagai pembuka wawasan tentang
keterkaitan antara Agresi Militer
Belanda I dengan penguasaan
sumber-sumber ekonomi,
pembentukan Komisi Tiga Negara
(KTN) dan perjanjian Renville
- Guru menggunakan metode Talking
Stick untuk memahami Agresi
43

No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu


Militer Belanda I, KTN dan
perjanjian Renvile.
Penutup - Penguatan dari guru tentang materi 10 menit
yang baru saja pelajari
- Kesimpulan secara bersama-sama
antara guru dan peserta didik
- Refleksi terhadap kekurangan dan
kelebihan pembelajaran hari ini

Pertemuan ke-6

No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu


Pendahuluan - Presensi kehadiran peserta didik 10 menit
- Berdoa berdasarkan agama dan
keyakinan masing-masing
dipimpin salah satu orang peserta
didik
- Mengingatkan kembali
kesepakatan aturan dalam kegiatan
pembelajaran pada hari ini
- Apersepsi untuk menjelaskan arti
pentingnya pembelajaran hari ini
bagi nilai-nilai kehidupan
Kegiatan Inti - Peserta didik diberi pertanyaan 70 menit
pemantik: Mengapa Belanda
melancarkan Agresi Militer
Belanda II?
- Guru menyajikan informasi awal
sebagai pembuka wawasan tentang
keterkaitan antara Agresi Militer
Belanda II dengan pendudukan
Yogyakarta, penangkapan
pemimpin bangsa untuk diasingkan,
gerilya panglima besar Sudirman
dan pendirian PDRI (Pemerintah
Darurat Republik Indonesia).
- Guru menggunakan metode
bermain peran tentang penangkapan
Sukarno-Hatta dan petinggi lain di
Istana Gedung Agung Yogyakarta

Penutup - Penguatan dari guru tentang materi 10 menit


yang baru saja dipelajari
44

No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu


- Refleksi dari proses pembelajaran
hari ini

Pertemuan ke-7

No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu


Pendahuluan - Presensi kehadiran peserta didik 10 menit
- Berdoa berdasarkan agama dan
keyakinan masing-masing
dipimpin salah satu orang peserta
didik
- Guru memberikan informasi
tentang kesepakatan aturan dalam
kegiatan pembelajaran pada hari
ini
- Apersepsi untuk menjelaskan arti
pentingnya pembelajaran hari ini
bagi nilai-nilai kehidupan
Kegiatan Inti - Peserta didik diberi pertanyaan 70 menit
pemantik: Mengapa diadakan
serangan umum 1 Maret 1949?
- Guru menyajikan informasi awal
tentang keterkaitan serangan Umum
1 Maret 1949, kedermawanan
Sultan Hamengku Buwono IX
dalam revolusi fisik di Yogyakarta
dengan perjanjian Roem Royen dan
peristiwa Jogja Kembali.
- Guru menggunakan metode
bermain peran tokoh-tokoh yang
terlibat dalam perencanaan
peristiwa serangan 1 Maret 1949.

Penutup - Penguatan dari guru tentang materi 10 menit


yang baru saja dipelajari
- Kesimpulan bersama-sama antara
guru dan peserta didik pada
pelajaran hari ini
- Refleksi dari proses pembelajaran
hari ini
45

No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu

Pertemuan ke-8

No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu


Pendahuluan - Presensi kehadiran peserta didik 10 menit
- Berdoa berdasarkan agama dan
keyakinan masing-masing
dipimpin salah satu orang peserta
didik
- Guru memberikan informasi
tentang kesepakatan aturan dalam
kegiatan pembelajaran pada hari
ini
- Apersepsi untuk menjelaskan arti
pentingnya pembelajaran hari ini
bagi nilai-nilai kehidupan
Kegiatan Inti - Peserta didik diberi pertanyaan 70 menit
pemantik: Apa keuntungan bangsa
Indonesia dalam peristiwa
Konferensi Meja Bundar (KMB)?
- Guru menyajikan informasi awal
tentang keterkaitan Konferensi
Antar-Indonesia, terjadinya
Konferensi Meja Bundar (KMB)
dan pembentukan RIS (Republik
Indonesia Serikat) dengan menuju
kembalinya penyerahan kedaulatan
negara kesatuaan Republik
Indonesia
- Guru menggunakan metode diskusi
kelompok untuk membahas
konferensi Antar-Indonesia, KMB,
pembentukan RIS, dan kembalinya
kedaulatan NKRI
- Mempresentasikan di depan hasil-
hasil diskusi kelompok

Penutup - Penguatan dari guru tentang materi 10 menit


yang baru saja didiskusikan
46

No Jenis Kegiatan Kegiatan yang dilakukan Waktu


- Kesimpulan bersama-sama antara
guru dan peserta didik pada
pelajaran hari ini
- Refleksi dari proses pembelajaran
hari ini

N. Refleksi guru
- Apakah guru menyampaikan value (nilai-nilai) materi ini untuk menumbuhkan
nasionalisme?
- Penanaman karakter dari guru pada materi ini sangat diperluhkan untuk cinta tanah air.
- Guru harus selalu memberi semangat kepada peserta didik untuk selalu semangat belajar
sejarah
- Perlu adanya media yang mempermudah peserta didik dalam memahami pelajaran.
- Apakah peserta didik senang belajar sejarah dengan metode yang diberikan guru?

O. Kriteria untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran dan asesmennya (asesmen


formatif)
1. Penilain Individu
a. Penilaian Tertulis
Kisi-kisi Soal:

CP ATP Indikator Soal Nonor


Soal/Bentuk
Soal
- Pada Fase F, - 11.5.1 Menganalisis Disajikan beberapa 1 /PG
peserta didik di keterkaitan kedatangan pernyataan tentang
Kelas XI dan XII Sekutu dan Belanda di sebab-sebab
mampu Indonesia, peranan pertempuran, peserta
mengembangkan pemuda dan tentara didik dapat
konsep-konsep dalam mempertahankan mengidentifikasi
dasar sejarah untuk proklamasi dalam sebab-sebab terjadinya
mengkaji peristiwa peristiwa 5 hari di pertempuran 5 hari di
sejarah dalam Semarang, pertempuran Semarang
dimensi manusia, Kotabaru di Yogyakarta
ruang, dan waktu. dan pertempuran 10
Melalui literasi, November di Surabaya
diskusi, dan
penyelidikan - 11.5.2 Menganalisis Disajikan ilustrasi 2/PG
(penelitian) keterkaitan antara tentang pertempuran
47

CP ATP Indikator Soal Nonor


Soal/Bentuk
Soal
berbasis proyek patriotisme Sudirman Palagan Ambarawa
kolaboratif peserta dengan kemenangan peserta didik dapat
didik mampu perang melawan Sekutu menentukan strategi
menjelaskan pada peristiwa yang diterapkan
berbagai peristiwa Ambarawa dan Letkol Sudirman
sejarah yang semangat revolusi untuk memenangkan
terjadi di Indonesia kemerdekaan dalam pertempuran
dan dunia meliputi pertempuran Medan Ambarawa
Pemerintahan Orde Area, Bandung Lautan
Baru, Api, pertempuran
Pemerintahan Margarana di Bali,
Reformasi, serta peristiwa Westerling di
Revolusi Besar Makassar.
Dunia, Perang - 11.5.3 Menganalisis Disajikan beberapa 3/PG
Dunia I dan II, keterkaitan antara pernyataan tentang
Perang Dingin, dan ketidaknyamanan situasi Jakarta dengan
Peristiwa situasi di Jakarta kedatangan Sekutu di
Kontemporer dengan kenegarawanan Indonesia peserta
Dunia sampai Sultan Hamengku didik dapat
abad-21. Buwono IX dengan mengidentifikasi
- Peserta didik di pemindahan pusat sebab-sebab Sukarno
Kelas XII mampu pemerintahan dari menerima tawaran
menggunakan Jakarta ke Yogyakarta. Sultan HB IX
sumber sekunder memindahkan ibukota
dan sumber primer RI ke Yogyakarta
untuk melakukan - 11.5.4 Menjelaskan Disajikan ilustrasi 4/PG
penelitian sejarah implikasi perjanjian tentang hasil
nasional, sejarah Linggarjati terhadap perjanjian Linggarjati,
dunia, dan/atau pengakuan kedaulatan peserta didik dapat
sejarah tematis oleh Belanda dan menentukan
secara sinkronis negara-negara di Dunia konsekuensi dari
atau diakronis serta keterkaitan perjanjian Linggarjati
kemudian strategi politik van yang menguntungkan
mengomunikasika Mook dengan politik diplomasi RI
nnya dalam bentuk konferensi Malino dan
lisan, tulisan, pembentukan BFO.
dan/atau media - 11.5.5 Menganalisis 5/PG
lain. Selain itu keterkaitan antara Disajikan beberapa
mereka juga Agresi Militer Belanda pernyataan tentang
mampu I dengan penguasaan akibat dari Agresi
menggunakan sumber-sumber Belanda I, peserta
keterampilan ekonomi, pembentukan didik dapat
sejarah untuk Komisi Tiga Negara mengidentifikasi
menganalisis (KTN) dan perjanjian tujuan Belanda
48

CP ATP Indikator Soal Nonor


Soal/Bentuk
Soal
peristiwa sejarah Renville melakukan Agresi
dari berbagai Belanda I
perspektif dan - 11.5.6 Menganalisis Disajikan foto/ 6/PG
mengaktualisasika keterkaitan antara gambar tokoh-tokoh (penggunaan
n minat bakatnya Agresi Militer Belanda peserta didik dapat visual/ peta/
dalam bidang II dengan pendudukan mengidentifikasi gambar)
sejarah melalui Yogyakarta, tokoh-tokoh yang
studi lanjutan atau penangkapan pemimpin terlibat dalam
kegiatan bangsa untuk peristiwa Agresi
kesejarahan diluar diasingkan, gerilya Militer Belanda II
sekolah. panglima besar
Sudirman dan pendirian
PDRI (Pemerintah
Darurat Republik
Indonesia).

- 11.5.7 Menganalisis 3/PG


keterkaitan serangan Peserta didik dapat (soal HOTS)
Umum 1 Maret 1949, mengkaji sebab-sebab
kedermawanan Sultan terjadinya serangan 1
Hamengku Buwono IX Maret 1949 yang
dalam revolusi fisik di akhirnya
Yogyakarta dengan menguntungkan pada
perjanjian Roem Royen perjuangan bangsa
dan peristiwa Jogja Indonesia untuk
Kembali. memperoleh
kedaulatannya
- 11.5.8 Menganalisis 8/PG
keterkaitan Konferensi Disajikan ilustrasi
Antar Bangsa, tentang Konferensi
terjadinya Konferensi Meja Bundar (KMB),
Meja Bundar (KMB) peserta didik dapat
dan pembentukan RIS menentukan hasil
(Republik Indonesia konferensi tersebut
Serikat) dengan menuju yang menguntungkan
kembalinya penyerahan RI
kedaulatan negara
kesatuaan Republik
Indonesia.
- 11.5.8 Menganalisis Disajikan ilustrasi 9/PG
keterkaitan Konferensi tentang Konferensi
Antar Bangsa, Antar bangsa peserta
terjadinya Konferensi didik dapat
49

CP ATP Indikator Soal Nonor


Soal/Bentuk
Soal
Meja Bundar (KMB) menentukan hasil dari
dan pembentukan RIS Konferensi Antar
(Republik Indonesia Bangsa
Serikat) dengan menuju
kembalinya penyerahan
kedaulatan negara
kesatuaan Republik
Indonesia.

- 11.5.8 Menganalisis Disajikan beberapa 10/PG


keterkaitan Konferensi pernyataan tentang
Antar Indonesia, hasil dari keputusan
terjadinya Konferensi pengakuan kedaulatan
Meja Bundar (KMB) RI, peserta didik dapat
dan pembentukan RIS mengidentifikasi
(Republik Indonesia dampak yang
Serikat) dengan menuju menguntungkan dari
kembalinya penyerahan pengakuan Belanda
kedaulatan negara terhadap kedaulatan
kesatuaan Republik RI
Indonesia.

2. Penilain Berkelompok
a. Penilaian Diskusi Kelompok/ debat

Rubrik Penilaian:
No Aspek Penilaian Skor
0 1 2 3
1 Keaktifan diskusi/ debat
a. Aktif memberi masukan
pemikiran
b. mendengarkan pendapat
orang lain

2 Kreatifitas diskusi/ debat


a. Kreatif dan inovasi dalam
diskusi
b. Ide/gagasan adalah original

Kualitas hasil diskusi/ debat


3 a. hasil runtut dan logis
50

b.Pengumpulan hasil diskusi

Indikator Rubrik Penilaian

No Indikator Rubrik
1 Aktif memberi masukan 2 = aktif berpendapat
pemikiran 1.= kurang aktif
0 = tidak aktif

2 Mendengarkan pendapat orang 1 = Mendengarkan pendapat


lain 0 = Tidak mendengar
pendapat

3 Kreatifitas dalam diskusi/ 3= Sangat kreatif


debat 2= Kreatif
1= Kurang kreatif
0= Tidak kreatif

4 Origionalitas gagasan 3= gagasan sangat orisionil


2= gagasan orisionil
1= gagasan kurang orisionil
0= gagasan tidak orisionil

4 Hasil diskusi runtut dan logis 2 = Sangat runtut dan logis


1 = Runtut dan logis
0 = tidak runtut dan tidak logis

5 Pengumpulan hasil diskusi 3 = lebih awal


tepat waktu 2 = tepat waktu
1= terlambat
0 = tidak dilaksanakan
Jumlah Skor 25

Nilai = Jumlah perolehan skor


X 100 %
Jumlah skor maksimum

b. Penilaian Presentasi dan diskusi


Rubrik Penilaian :
No Aspek Penilaian Skor
51

0 1 2 3
1 Kelengkapan
materi
2 Penulisan materi
3 Kemampuan
presentasi
4 Keaktifan selama
kegiatan presentasi
5 Sikap menghargai
dan menghormati
pendapat orang lain

Indikator rubrik penilaian:

No Indikator Rubrik
1 Kelengkapan materi 2 = lengkap
1 = kurang lengkap
0 = tidak ada
2 Penulisan materi 2 = sesuai dengan rambu-
rambu yang diberikan
1 = tidak sesuai rambu-rambu
yang diberikan
0 = tidak ada
3 Kemampuan presentasi 2 = Komunikatif
1 = Kurang komunikatif
0 =Tidak Komunikatif
Keaktifan selama kegiatan 3 = Sangat aktif
presentasi 2 = Cukup aktif
1 = Kurang aktif
0 = Tidak aktif
4 Kreatifitas media presentasi 2 = Menggunakan kreasi
digital lebih dari
1(animasi/paint/ video/ dll)
1 = Menggunakan 1 kreasi
digital (animasi/paint/ video/
dll)
0 = Tidak menggunakan kreasi
digital

5 Sikap menghargai dan 1 = Sikap menghargai dan


menghormati pendapat orang menghormati pendapat orang
lain lain
52

No Indikator Rubrik
0 = Tidak Sikap menghargai
dan menghormati pendapat
orang lain
Jumlah Skor 20

Nilai = Jumlah perolehan skor


X 100 %
Jumlah skor maksimum

P. Pertanyaan refleksi untuk peserta didik


- Apakah peserta didik sudah dibangkitkan minatnya untuk mempelajari sejarah?
- Peserta didik perlu mendapat wawasan lebih tentang peristiwa perjuangan
mempertahankan kemerdekaan.
- Perlu usaha maksimal agar peserta didik meningkat jiwa nasionalismenya.
- Perlu adanya metode yang menyenangkan bagi peserta didik dalam memberikan materi
ini.
- Apakah ada peserta didik yang tidak menyukai belajar sejarah?

Q. Daftar Pustaka
Adi Sudirman. 2014. Sejarah Lengkap Indonesia Dari Era Klasik Hingga Terkini,
Yogyakarta: Diva Press
Kahin, George Mc Turnan. 2013. Nasionalisme Dan Revolusi Indonesia, Jakarta: Komunitas
Bambu
Lilik Suharmaji. 2018. Sejarah Indonesia Modern, Dari Imperialisme Kuno Sampai
Pengakuan Kedaulatan RI, Yogyakarta: Lingkar Antarnusa
Lilik Suharmaji. 2019. Sultan Hamengku Buwono IX Keteladanan Sang Penjaga Gawang.
Yogyakarta: Ombak.
Nugroho Notosusanto. 1985. 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949 Jilid I. Jakarta: Tira
Pustaka
Ricklefs, MC. 2005. Sejarah Indonesia Baru 1200-2004, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Ricklefs, MC. 2005. Sejarah Indonesia Baru 1200-2004, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Ricklefs, MC. 2016. Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Link Literasi
https://tirto.id/sejarah-pertempuran-lima-hari-di-semarang-kronologi-tokoh-akhir-ga6i
https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/22/161749679/pertempuran-ambarawa-latar-
belakang-tokoh-akibat-dan-akhir
https://www.dosenpendidikan.co.id/perang-ambarawa/
https://tirto.id/sejarah-pindahnya-ibu-kota-ri-dari-jakarta-ke-yogyakarta-pada-1946-efr4
https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/10/090000769/perjanjian-linggarjati-latar-
belakang-isi-dan-dampaknya
https://tirto.id/sejarah-agresi-militer-belanda-i-latar-belakang-kronologi-dampak-f9BS
https://www.gurupendidikan.co.id/agresi-militer-belanda-2/
https://www.gurupendidikan.co.id/serangan-umum-1-maret/
53

https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/11/100000169/konferensi-meja-bundar-latar-
belakang-tujuan-hasil-dan-dampaknya

R. Lembar kerja peserta didik


LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK
(Diskusi kelompok)

Materi : Perjuangan mempertahankan kemerdekaan

Petunjuk Kegiatan Diskusi:


- Bentuklah 5 kelompok dalam kelas!
- Pembagian tema diskusi setiap kelompok:
1. Agresi Militer Belanda II
2. Penangkapan para pemimpin bangsa
3. Gerilya panglima besar Sudirman
4. Pendirian pemerintah Darurat Republik Indonesia
5. Perang gerilya di dalam dan luar kota Yogyakarta
- Buatlah perencanan kegiatan kunjungan ke perpustakaan, atau
link internet
- Selama diskusi , kalian harus mengerjakan secara kolaboratif
dalam kelompok masing-masing.
- Laporan hasil diskusi harus memperhatikan:
1. Keaktifan diskusi
2. Kreatifitas diskusi
3. Mendengarkan pendapat
4. Orisionalitas gagasan
5. Hasil diskusi runtut dan logis
6. Pengumpulan hasil diskusi tepat waktu
- Hasil diskusi ditulis dalam kertas dan setelah selesai dikumpul
disertai nama kelompok dan nomor absen siswa

Penilaian: Peninilaian terhadap individu meliputi:


1. Keaktifan diskusi
2. Kreatifitas diskusi
3. Mendengarkan pendapat
4. Orisionalitas gagasan
5. Hasil diskusi runtut dan logis
6. Pengumpulan hasil diskusi tepat waktu
S. Bahan bacaan peserta didik
Buku- buku:
54

Adi Sudirman. 2014. Sejarah Lengkap Indonesia Dari Era Klasik Hingga Terkini,
Yogyakarta: Diva Press
Kahin, George Mc Turnan. 2013. Nasionalisme Dan Revolusi Indonesia, Jakarta: Komunitas
Bambu
Lilik Suharmaji. 2018. Sejarah Indonesia Modern, Dari Imperialisme Kuno Sampai
Pengakuan Kedaulatan RI, Yogyakarta: Lingkar Antarnusa
Lilik Suharmaji. 2019. Sultan Hamengku Buwono IX Keteladanan Sang Penjaga Gawang.
Yogyakarta: Ombak.
Nugroho Notosusanto. 1985. 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949 Jilid I. Jakarta: Tira
Pustaka
Ricklefs, MC. 2005. Sejarah Indonesia Baru 1200-2004, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Ricklefs, MC. 2005. Sejarah Indonesia Baru 1200-2004, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Ricklefs, MC. 2016. Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Link Literasi:
https://tirto.id/sejarah-pertempuran-lima-hari-di-semarang-kronologi-tokoh-akhir-ga6i
https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/22/161749679/pertempuran-ambarawa-latar-
belakang-tokoh-akibat-dan-akhir
https://www.dosenpendidikan.co.id/perang-ambarawa/
https://tirto.id/sejarah-pindahnya-ibu-kota-ri-dari-jakarta-ke-yogyakarta-pada-1946-efr4
https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/10/090000769/perjanjian-linggarjati-latar-
belakang-isi-dan-dampaknya
https://tirto.id/sejarah-agresi-militer-belanda-i-latar-belakang-kronologi-dampak-f9BS
https://www.gurupendidikan.co.id/agresi-militer-belanda-2/
https://www.gurupendidikan.co.id/serangan-umum-1-maret/
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/11/100000169/konferensi-meja-bundar-latar-
belakang-tujuan-hasil-dan-dampaknya

T. Bahan bacaan guru

Buku-buku:
Adi Sudirman. 2014. Sejarah Lengkap Indonesia Dari Era Klasik Hingga Terkini,
Yogyakarta: Diva Press
Kahin, George Mc Turnan. 2013. Nasionalisme Dan Revolusi Indonesia, Jakarta: Komunitas
Bambu
Lilik Suharmaji. 2018. Sejarah Indonesia Modern, Dari Imperialisme Kuno Sampai
Pengakuan Kedaulatan RI, Yogyakarta: Lingkar Antarnusa
Lilik Suharmaji. 2019. Sultan Hamengku Buwono IX Keteladanan Sang Penjaga Gawang.
Yogyakarta: Ombak.
Nugroho Notosusanto. 1985. 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949 Jilid I. Jakarta: Tira
Pustaka
Ricklefs, MC. 2005. Sejarah Indonesia Baru 1200-2004, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
55

Ricklefs, MC. 2005. Sejarah Indonesia Baru 1200-2004, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Ricklefs, MC. 2016. Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Link Literasi:

https://tirto.id/sejarah-pertempuran-lima-hari-di-semarang-kronologi-tokoh-akhir-ga6i
https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/22/161749679/pertempuran-ambarawa-latar-
belakang-tokoh-akibat-dan-akhir
https://www.dosenpendidikan.co.id/perang-ambarawa/
https://tirto.id/sejarah-pindahnya-ibu-kota-ri-dari-jakarta-ke-yogyakarta-pada-1946-efr4
https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/10/090000769/perjanjian-linggarjati-latar-
belakang-isi-dan-dampaknya
https://tirto.id/sejarah-agresi-militer-belanda-i-latar-belakang-kronologi-dampak-f9BS
https://www.gurupendidikan.co.id/agresi-militer-belanda-2/
https://www.gurupendidikan.co.id/serangan-umum-1-maret/
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/11/100000169/konferensi-meja-bundar-latar-
belakang-tujuan-hasil-dan-dampaknya

Materi pengayaan
Link literasi;
https://tirto.id/sejarah-pertempuran-lima-hari-di-semarang-kronologi-tokoh-akhir-ga6i
https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/22/161749679/pertempuran-ambarawa-latar-
belakang-tokoh-akibat-dan-akhir
https://www.dosenpendidikan.co.id/perang-ambarawa/
https://tirto.id/sejarah-pindahnya-ibu-kota-ri-dari-jakarta-ke-yogyakarta-pada-1946-efr4
https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/10/090000769/perjanjian-linggarjati-latar-
belakang-isi-dan-dampaknya

Tugas Pengayaan :
- Hanya untuk peserta didik yang memiliki nilai formatif individu minimal = 85
- Setelah membaca link literasi siswa dapat lebih memahami pertempuran 5 hari di Semarang,
pertempuran Ambarawa, perpindahan ibukota ke Yogyakarta, dan perjanjian Linggarjati.
- berdasarkan informasi-informasi lain yang relevan
- Tugas bisa tertulis atau lisan dengan media digital atau non digital

U. Materi untuk peserta didik yang kesulitan belajar


Link literasi:
https://tirto.id/sejarah-agresi-militer-belanda-i-latar-belakang-kronologi-dampak-f9BS
https://www.gurupendidikan.co.id/agresi-militer-belanda-2/
56

https://www.gurupendidikan.co.id/serangan-umum-1-maret/
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/11/100000169/konferensi-meja-bundar-latar-
belakang-tujuan-hasil-dan-dampaknya

Tugas Remedial :
- Hanya untuk peserta didik yang nilainya kurang dari Kriteria Minimal
- Setelah melihat link yang diberikan, peserta didik dapat memahami Agresi militer Belanda 1
dan 2, serangan umum 1 Maret 1949, Konferensi Meja Bundar (KMB).
- Tugas bisa tertulis atau lisan dengan media digital atau non digital

You might also like