You are on page 1of 21

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/336345966

Konsep, prinsip, dan sumber belajar mengajar dalam persfektif Al-Qur’an

Article · October 2019

CITATIONS READS
0 25,569

1 author:

Anwar Ibrahim Hasibuan


Universitas Islam Riau
1 PUBLICATION   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Library research View project

All content following this page was uploaded by Anwar Ibrahim Hasibuan on 08 October 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


TAFSIR TARBAWI
KEWAJIBAN BELAJAR MENGAJAR PERSPEKTIF AL-QUR’AN

DOSEN PEMBIMBING : MUSADDAD HARAHAP, M. Pd.I

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 5:

1. ANWAR IBRAHIM 182410012

2. IMAM FAHRI 182410036

3. MUHAMMAD ROBIH 182410038

4. PARDI ZUKRI 182410161

KELAS A/3

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM RIAU

1441 H / 2019
KATA PENGANTAR

‫السالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Segala puji bagi Allah SWT yang telah
memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan
sehingga penulisan makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya. Pembuatan
makalah ini untuk memenuhi tugas pada mata kuliah "Tafsir Tarbawi". Shalawat
teriring salam kami haturkan kepada baginda Nabi besar kita, Muhammad SAW,
kepada keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau yang setia sampai akhir zaman,
semoga kita semua mendapat syafa’at beliau di yaumul qiamah kelak. Aamiin ya
robbal ‘alamin.

Selanjutnya kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen


pembimbing Bapak MUSADDAD HARAHAP, M. Pd.I dan kepada segenap
pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulis makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini kami sadari bahwa masih banyak terdapat
kekurangan dalam penulisannya, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.

‫والسالم عليكم ورحمة هللا وبر كاته‬

Pekanbaru, September 2019

Kelompok 5

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. 1

DAFTAR ISI................................................................................................. 2

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................. 3


B. Rumusan Masalah ........................................................................... 3
C. Tujuan Pembahasan ........................................................................ 4

BAB II: PEMBAHASAN

A. Konsep Belajar dan Mengajar ............................................................... 5

1. Konsep Belajar .................................................................................... 5

2. Konsep Mengajar ................................................................................ 7

B. Prinsip Belajar dan Mengajar ............................................................. 12

1. Prinsip Belajar .................................................................................. 12

2. Prinsip Mengajar .............................................................................. 13

C. Sumber Belajar dan Mengajar ............................................................ 15

1. Sumber Belajar ................................................................................. 15

2. Sumber Mengajar ............................................................................. 17

BAB III: PENUTUP

A. KESIMPULAN .............................................................................. 18
B. SARAN ............................................................................................ 18

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 19

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses belajar mengajar pada hakikatnya kegiatan interaksi yang saling


memengaruhi antara guru dan murid dalam rangka mencapai tujuan pengajaran,
baik yang bersifat kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Sesuai dengan prinsip
wajib belajar dalam Islam, maka kegiatan belajar mengajar tersebut harus
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan terencana dengan baik, sehingga
benar-benar berjalan efektif (Abuddin Nata: 2010: 156).

Proses belajar mengajar merupakan kegiatan yang paling utama dan


fundamental dalam mendukung keberhasilan pendidikan dan pengajaran, karena
dalam kegiatan belajar mengajar itulah sesungguhnya pendidikan dan pengajaran
itu dilakukan. Sesuai dengan prinsip ajaran Islam yang integralistik, maka proses
belajar mengajar itupun harus dapat mengantarkan peserta didik kepada tujuan
yang integralistik pula, yaitu integralistik antara iman, ilmu, dan amal, atau antara
akidah, ibadah, dan akhlak, atau antara kognitif, afektif, dan psikomotorik
(Abuddin Nata: 2010: 157).

Untuk melaksanakan kewajiban belajar mengajar serta mencapai tujuan


yang sesuai dengan prinsip ajaran Islam tersebut, maka terlebih dahulu harus
memerhatikan aspek-aspek yang berhubungan dengan belajar mengajar itu sendiri.

B. Rumusan Masalah

Adapun aspek-aspek yang berhubungan dengan belajar dan mengajar, dapat


dirumuskan sebagai berikut:

1. Konsep Belajar dan Mengajar.

2. Prinsip Belajar dan Mengajar.

3. Sumber Belajar dan Mengajar.

3
C. Tujuan pembahasan

Penulis berharap dengan pembahasan materi “Kewajiban Belajar Mengajar


Perspektif Al-Qur’an” ini, dapat memberikan kemudahan bagi para pembaca
hususnya para pelajar dan pengajar dalam memahami konsep, prinsip, dan sumber
belajar dan mengajar dalam perspektif Al-Qur’an.

4
BAB II
PEMBAHASAN

1. Konsep Belajar dan Mengajar

A. Konsep Belajar
Paling tidak ada dua istilah yang digunakan Al-Qur’an yang berkonotasi
belajar, yaitu ta’allama dan darasa. Ta’allama berasal dari kata ‘alima yang telah
mendapat tambahan dua huruf (imbuhan), yaitu ta’ dan huruf yang sejenis dengan
lam fi’il-nya yang dilambangkan dengan tashdid sehingga menjadi ta’allama.
‘Alima berarti “mengetahui”, dari kata ‘alima juga terbentuk kata al-‘ilm (ilmu).
Penambahan huruf pada suatu kata dasar, dalam kaidah bahasa Arab, dapat
mengubah makna kata tersebut yang dinamakan dengan istilah fawa’id al-bab.
Penambahan ta’ dan tashdid pada kata ‘alima sehingga menjadi ta’allama juga
membuat perubahan itu, yaitu mutawwa’ah; yang berarti adanya bekas suatu
perbuatan. Maka ta’allama secara harfiah dapat diartikan kepada “menerima ilmu
sebagai akibat dari suatu pengajaran”. Dengan demikian, “belajar” sebagai
terjemahan dari ta’allama dapat didefenisikan kepada perolehan ilmu sebagai
akibat dari aktivitas pembelajaran. Atau dengan kata lain, belajar merupakan suatu
aktivitas yang dilakukan seseorang di mana aktivitas itu membuatnya memperoleh
ilmu (Kadar: 2013: 34).

Dalam Al-Qur’an kata ta’allama itu terulang dua kali. Keduanya digunakan
dalam perbincangan tentang ilmu sihir (Kadar: 2013), yaitu

َّ ‫ين بِ ِه ِم ْن أ َ َح ٍد إِ ََّّل بِ ِإ ْذ ِن‬


ۚ ِ‫اَّلل‬ َ ِ‫ون بِ ِه بَي َْن ْال َمرْ ِء َو َزوْ ِج ِه ۚ َو َما ُه ْم ب‬
َ ‫ض ِار‬ َ ُ‫ون ِم ْن ُه َما َما يُفَ ِرق‬َ ‫فَيَتَعَلَّ ُم‬
‫ض ُّر ُه ْم َو ََّل يَ ْنفَعُ ُه ْم‬ َ ‫َويَتَعَلَّ ُم‬
ُ َ‫ون َما ي‬

“Maka mereka mempelajari dari keduanya (malaikat itu) apa yang (dapat)
memisahkan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir)
tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin

5
Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi
manfaat kepada mereka. (QS.Al-Baqarah: 102)

Bardasarkan pengertian ta’allama (belajar) di atas, maka ayat ini dapat


diartikan kepada “bahwa orang Yahudi menerima ilmu sihir dari Harut dan Marut
sebagai hasil pengajaran keduanya. Dan ilmu yang mereka dapatkan itu tidak
bermanfaat buat mereka, bahkan memberi mudarat”. Mereka melakukan berbagai
aktivitas sesuai dengan bimbingan atau arahan guru sihir, di mana berdasarkan
aktivitas dan mengikuti arahan tukang sihir tersebut maka para pencari ilmu sihir
itu memperoleh apa yang mereka cari. Tetapi pada akhirnya pengetahuan yang
telah mereka peroleh sesungguhnya tidak berguna bagi mereka sendiri, malahan
dapat mencederai mereka (Kadar: 2013: 35-36).

Ungkapan Al-Qur’an “wayata’allamuuna maa yadurruhum wa laa


yanfa’uhum” menggambarkan bahwa objek yang dipelajari mestilah sesuatu yang
berguna atau bermanfaat bagi kehidupan manusia. Sesuatu yang tidak berguna
bahkan dapat mencederai manusia tidak pantas dipelajari. Oleh karena itu, al-
Qur,an melarang manusia mempelajari ilmu sihir, karena ilmu tersebut tidak dapat
mendatangkan manfaat bahkan sebaliknya; ia dapat memudaratkan manusia. Maka
ilmu yang pantas di pelajari adalah ilmu yang berdampak positif terhadap manusia,
baik dalam menjalani kehidupan dunia ataupun dibalik kehidupan ini (Kadar:
2013: 36).

Kata darasa secara harfiah selalu diartikan kepada “mempelajari”, seperti


yang terlihat dalam firman Allah:

‫ت َو ِليَقُ اولُ اوا د ََر استَ َو ِلنُبَ ِينَ ٗہ ِلقَ او ٍم ي اَّع َل ُم او َن‬ ٰ ‫ص ِرفُ ا‬
ِ ‫اَّل ٰي‬ َ ‫وک َٰذ ِل‬
َ ُ‫ک ن‬

“Dan demikianlah Kami menjelaskan berulang-ulang ayat-ayat Kami agar


orang-orang musyrik mengatakan, “Engkau telah mempelajari ayat-ayat itu (dari
Ahli Kitab),” dan agar Kami menjelaskan Al-Qur’an itu kepada orang-orang yang
mengetahui (QS. Al-An’am: 105).

Kata darasta dalam ayat ini berarti “engkau telah mempelajari”. Al-Isfahani
secara harfiah memakai kata darasa itu dengan “meninggalkan bekas”, seperti
yang terlihat dalam makna ungkapan darasa al-daaru yang semakna dengan
6
baqiya athruhaa (rumah itu masih ada bekasnya). Maka ungkapan darastu al-‘ilma
sama artinya dengan tanawaltu athrahu bi al-hifzi (saya memperoleh bekasnya
dengan menghafal). Berangkat dari makna harfiyah ini, maka belajar dapat di
defenisikan kepada suatu kegiatan pencarian ilmu, di mana hasilnya berbekas dan
berpengaruh terhadap orang yang mencarinya. Artinya, belajar tidak hanya sekeder
aktivitas tetapi ia mesti mendatangkan pengaruh atu perubahan pada orang yang
belajar tersebut (Kadar: 2013: 37).

Kata darasa dalam Al-Qur’an terulang 5 kali. Kata tersebut terdapat dalam
surah Ali-‘Imran ayat 79, al-An’am ayat 105, al-A’raf ayat 169, Saba’ ayat 44, dan
al-Qalam ayat 37.

Berdasarkan konsep ta’allama dan darasa di atas, maka hakikat belajar itu
adalah pencarian dan perolehan ilmu di mana ia mendatangkan pengaruh atau
perubahan kepada si pelajar. Nashwaty mendefenisikan; “belajar adalah suatu
proses dimana kita memperoleh darinya perubahan yang terjadi pada perilaku
seseorang”. Ayat 105 Ssurah al-An’am di atas menggambarkan pula, bahwa untuk
mendapatkan hasil belajar yang maksimal ia mesti diulang-ulang. Hal itu
tergambar dalam penggalan ayat yang artinya “dan demikianlah kami menjelaskan
berulang-ulang ayat-ayat kami” supaya orang-orang yang beriman mandapat
petunjuk. Allah mengajar manusia melalui kitab suci-Nya, pengajaran Allah itu
selalu diulang-ulang. Pengulangan itu tidak hanya dilakukan oleh guru, tetapi yang
paling penting lagi dilakukan oleh peserta didik (Kadar: 2013: 45).

B. Konsep Mengajar

Kata “mengajar” mempunyai akar kata yang sama dengan belajar, yaitu
berasal dari kata “ajar”. Secara harfiah kata “mengajar” diartikan kepada
“memberikan pelajaran”. Artinya, mengajar sebagai suatu pekerjaan melibatkan
berbagai hal, yaitu guru -sebagai pengajar-, materi pelajaran, dan pelajar (Kadar:
2013: 58).

Perbincangan al-Qur’an tentang mengajar menggunakan kata ‘allama. Kata


ini berasal dari ‘alima, yang telah mendapat tambahan satu huruf yang sejenis
dengan ‘ain fi’il-nya yang kemudian diganti dengan tasydid sehingga menjadi ‫علَّ ََم‬
َ .
7
Luis Ma’luf mengartikan kata ‘allama itu kepada “membuat orang mengetahui”,
maka ungkapan ‘allama al-ustaazu al-tullab dapat diartikan kepada ustaz membuat
mahasiswa itu mengetahui. Dengan demikian mengajar dapat diartikan kepada
suatu aktifitas atau kegiatan yang dilakukan seseorang yang dapat membuat orang
lain mengetahui atau menguasai suatu ilmu. Kegiatan itu meliputi kegiatan sepihak
dan interaksi aktif antara kedua belah pihak. Yang terakhir ini disebut pula dengan
pembelajaran (Kadar:2013: 58).

Al-Qur’an menggunakan kata ‘allama 41 kali dalam dua sighat (pola), yaitu
fi’il madi dan mudari’. Ayat-ayat tersebut pada umumnya menggambarkan bahwa
Allah-lah yang mengajar manusia. Artinya, Allah melimpahkan ilmu kepada
manusia baik secara langsung maupun tidak. Dia mengajar Adam mengenai nama
segala sesuatu. Dalam surah Al-Baqarah ayat 31-32 ditegaskan:

‫اء ٰ َه ُؤ ََّل ِء إِ ْن‬ ْ َ ‫علَى ْال َم َالئِ َك ِة فَقَا َل أ َ ْنبِئُونِي ِبأ‬


ِ ‫س َم‬ َ ‫ض ُه ْم‬ َ ‫س َما َء ُكلَّ َها ث ُ َّم ع ََر‬ ْ َ ‫وعَلَّ َم آدَ َم ْاْل‬.َ ‫ين‬ َ ِ‫صا ِدق‬ َ ‫ُك ْنت ُ ْم‬
‫س ْب َحانَكَ ََّل ِع ْل َم لَنَا ِإ ََّّل َما عَلَّمْ تَنَا ۖ ِإنَّكَ أ َ ْنتَ ْالعَ ِلي ُم ْال َح ِكيم‬
ُ ‫قَالُوا‬

Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia
perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama
semua (benda) ini, jika kamu yang benar! “Mereka menjawab, “Maha suci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan
kepada kami. Sungguh Engkaulah yang Maha mengetahui, Mahabijaksana (QS.
Al-Baqarah:31-32).

Selain istilah ‘allama, dalam bahasa Arab, terdapat pulah istilah rabba,
darasa, dan ‘addaba yang berdekatan maknanya dengan ‘allama tersebut. Istilah-
istilah ini secara harfiah mempunyai makna yang berbeda. Tetapi secara
terminologi, semuanya menggambarkan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan
atau proses yang dilalui dalam melaksanakan pebelajaran terutama oleh guru
(Kadar: 2013: 60).

Konsep mengajar dalam islam terbagi menjadi tiga (Arif Hidayat: 2016: 42),
yaitu:

1. Tarbiyah

8
Istilah tarbiyah berasal dari kata Robba yang serumpun dengaan akar kata
Rabb (Tuhan). Ia juga merujuk kepada Allah selaku Murabby (pendidik) sekalian
alam. Kata Rabb (Tuhan) dan Murabby (pendidik) berasal dari akar kata seperti
termuat dalam ayat Al-Qur’an.

‫يرا‬ َ ‫ب ارْ حَمْ ُه َما َك َما َربَّ َيانِي‬


ً ‫ص ِغ‬ َّ ‫ض َل ُه َما َج َنا َح الذُّ ِل ِم َن‬
ِ ‫الر ْح َم ِة َوقُ ْل َر‬ ْ ‫َو‬
ْ ‫اخ ِف‬
Artinya: "Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih
sayang dan ucapkanlah.'Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil" (QS. Al- Isra’: 24)

Istilah tarbiyah mengandung pengertian mendidik, memelihara, menjaga,


dan membina semua ciptaan-Nya termasuk manusia, binatang, dan tumbuhan.
Konsep tarbiyah sangat tepat digunakan dalam memaknai pendidikan Islam yang
lebih menekankan upaya pembentukan manusia agar menjadi generasi yang
berkualitas dan berkepribadian luhur.

Sejalan dengan makna yang terkandung di dalamnya, maka konsep tarbiyah


dengan kasih sayang dititikberatkan pada pelaksanaan nilai-nilai Ilahiah yang
melambangkan Allah sebagai Rabb al-a’lamin. Dengan demikian, tarbiyah lebih
diarahkan pada penerapan bimbingan, perlindungan, pemiliharaan, dan curahan
kasih sayang pendidik kepada anak didiknya. Bimbingan diarahkan pada
pemberian tuntutan bagi pembentukan sikap dan perilaku yang baik hingga anak
didik dapat menemukan jalan hidupnya sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama
(Jalaluddin dalam Arif Hidayat: 2016: 51).

Selanjutnya, pengayoman difokuskan pada upaya melindungi anak didik


secara fisik maupun kejiwaan. Dengan pengayoman ini, diharapkan harkat dan
martabat anak didik tidak ternodai dan terhindar dari tindakan kasar. Bentuk
bimbingan dan pengayoman di sini dapat melalui proses kependidikan yang
dijalankan, yaitu dengan tetap berupaya mengembangkan potensi fitrah anak didik
sesuai dengan minat dan bakat yang terpendam di dalamnya, sehingga ia menjadi
generasi yang mampu memberikan pencerahan bagi kemajuan bangsa di masa
depan (Arif Hidayat: 2016: 51).

Oleh karena itu, dalam konsep tarbiyah lebih menekankan pada


pembentukan nilai-nilai kasih sayang yang mencerminkan kasih sayang orang tua

9
kepada anakanya. Berangkat dari konsep ini, tergambar sangat jelas bahwa
pendidikan islam sama sekali tidak mempertontonkan tindakan kekerasan, baik
berupa hukuman fisik, pelecehan, maupun kata-kata kasar terhadap anak didik
(Muhammad Takdir Ilahi dalam Arif Hidayat: 2016: 52)

Dalam hubungan antar manusia nilai-nilai ajaran kasih sayang dibebankan


kepada orang tua, sedangkan para pendidik tak lebih hanyalah sebagai tenaga
profesional yang mengemban tugas berdasarkan keprcayaan pada orang tua.
Menurut Abdurrahman An-Nahlawi menjabarkan konsep tarbiyah menjadi empat
unsur, yaitu:

A. Memelihara pertumbuhan fitrah manusia.

B. Mengarahkan perkembangan fitrah manusia agar mencapai kesempurnaan.

C. Mengembangkan potensi insani (sumber daya manusia) untuk mencapai


kualitas terbaik.

D. Melaksanakan usaha-usaha secara bertahap sesuai dengan perkembangan anak


(Arif Hidayat: 2016: 52).

2. Ta’dib

Pendidikan dalam konsep ta’dib, sebenarnya merujuk pada sabda Rasulullah


saw. yang berbunyi: “Aku dididik oleh Tuhanku, maka Ia memberikan kepadaku
sebaik-baik pendidikan” (Al Hadist). Pertanyaan ini menegaskan bahwa Allah
merupakan pendidik yang Agung yang memberikan pendidikan terbaik kepada
Rasulullah. Melalui peran Rasulullah, kita mendapat pendidikan yang diamanatkan
kepada orang tua sebagai lembaga pendidikan utama bagi anak didik untuk
mendapatkan bimbingan, pengayoman, dan arahan yang baik tentang kehidupan ini
(Arif Hidayat: 2016: 52).

Sebagai pendidik agung, Allah dan Rasulullah merupakan cerminan utama


dari pencapaian pendidikan yang berlandaskan pada etika dan akhlak, sehingga
menjadi pedoman bagi kehidupan umat manusia. Konsep ta’dib diambil dari
makna addaba dan derivasinya yang berarti mendidik bila maknanya dikaitkan satu
sama lain akan menunjukkan pengertian pendidikan yang integratif (Naquib Al-
Attas dalam Arif Hidayat: 2016: 52-53)

10
3. Ta’lim

Konsep ta’lim dalam Al-Qur’an menggunakan bentuk fi’il (kata kerja) dan
ism (kata benda). Konsep ta’lim secara etimologi yaitu semacam proses transfer
ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini ta’lim sering dipahami sebagai proses
bimbingan yang mengedapankan aspek peningkatan intelektualitas anak didik.
Kecenderungan makna ta’lim ini, pada batas-batas tertentu ternyata menimbulkan
keberatan pakar pendidikan Islam untuk memasukkan kata ta’lim ke dalam konsep
pendidikan secara umum. Mereka beranggapan bahwa ta’lim merupakan salah satu
sisi pendidikan. Konsep ta’lim yang lebih menekankan pada transformasi ilmu
pengetahuan dan teknologi, bagaimanpun harus dikaitkan dengan nilai-nilai
Ilahiah. Maka, tidak heran bila dalam konsep ta’lim pengetahuan tidak bebas nilai.
Ini karena, ia harus selalu terikat dengan nilai-nilai Ilahiah yang bermanfaat bagi
anak didik secara keseluruhan.

Menurut Abdul Fattah Jalal (dalam Arif Hidayat: 2016: 53), konsep ta’lim
merupakan proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung
jawab, sehingga diri manusia itu menjadi suci atau bersih dari segala kotoran,
sehingga siap menerima hikmah dan mampu mempelajari hal-hal yang bermanfaat
bagi dirinya (keterampilan).

Mengacu pada definisi ini ta’lim berarti adalah usaha terus-menerus manusia
sejak lahir hingga mati untuk menuju dari posisi “tidak tahu” ke posisi “tahu”
seperti yang digambarkan dalam surat An Nahl ayat 78 yang berbunyi:

‫ار َو ْاْل َ ْف ِئدَةَ ۙ لَ َعلَّ ُك ْم‬


َ ‫ص‬َ ‫ش ْيئًا َو َج َع َل لَ ُك ُم السَّمْ َع َو ْاْل َ ْب‬ َ ‫ون أ ُ َّم َها ِت ُك ْم ََّل ت َ ْعلَ ُم‬
َ ‫ون‬ ُ ‫اَّللُ أ َ ْخ َر َج ُك ْم ِم ْن ب‬
ِ ‫ُط‬ َّ ‫َو‬
َ ‫ش ُك ُر‬
‫ون‬ ْ َ‫ت‬
Artinya:“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatu pun dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan,
dan hati agar kamu bersyukur.

Tujuan dan ideal konsep ta’lim bukan sekadar untuk menigkatkan potensi
dan skill mereka, melainkan pula sebagai bentuk kecintaan terhadap ilmu
pengetahuan. Tidak heran bila konsep ta’lim mengacu pada pengembangan
kemampuan potensi fitrah manuisia berupa potensi akal (intelektual), sikap
(emosional), dan akhlak (spiritual) yang terintegrasi secara holistik.

11
Sebagai mana diketahui bahwa sistem pendidikan islam merupakan usaha
untuk mentransformasikan ilmu-ilmu kewahyuan dan keduniaan kepada generasi
muslim, agar mereka memilki kesiapan dalam menghadapi tantangan kehidupan
yang semakin kompleks. Maka dibutuhkan pendidik yang memiliki kriteria ideal
seperti ia harus mempunyai pengetahuan yang bulat tentang apa yang akan
diajarkan, ia harus mempercayai dasar-dasar pengetahuan yang luas tentang tujuan
pengajaran yang hendak dicapai, memiliki dasar pengetahuan untuk membimbing
anak didik menyangkut: minat, bakat, kebutuhan dan aspirasi, dan menguasai
metode mengajar. Kriteria yang dimiliki pendidik tersebut dimaksudkan untuk
mengembangkan kepribadian dan pengetahuan anak didik menurut ajaran islam
(Arif Hidayat:2016:54).

2. Prinsip Belajar dan Mengajar

A. Prinsip Belajar

Belajar sebagai suatu aktivitas dalam mencari ilmu mesti didasarkan atas
prinsip-prinsip tertentu, yang meliputi ketauhidan, keikhlasan, kebenaran, dan
tujuan yang jelas. Dan pengaruh yang diharapkan terjadi pada si pelajar tidak dapat
dipisahkan dari keempat prinsip tersebut (Kadar: 2013: 47-48).

Tauhid merupakan dasar pertama dan utama, dimana kegiatan belajar mesti
dibangun di atasnya. Banyak ayat Al-Qur’an yang menggambarkan hal tersebut.
Perbincangan kitab suci ini tentang ilmu pengetahuan dan fenomena alam, sebagai
objek yang dipelajari, mengarahkan manusia kepada tauhid. Atau dengan kata lain
belajar mesti berangkat dari ketauhidan dan juga berorientasi kepadanya.

Mempelajari fenomena alam mesti berangkat dari keimanan dan berorientasi


memperkuat keimanan itu, dimana pada akhirnya pelajar yang mengkaji fenomena
alam tersebut memperoleh petunjuk. Penekanan Al-Qur’an mengenai prinsip
keimana dalam belajar ini dapat dilihat dalam ayat yang pertama turun, yaitu:

َ‫ا ْق َرأْ ِباس ِْم َر ِبكَ الَّذِي َخ َلق‬


Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. (QS. Al-‘Alaq: 1)

12
Ayat ini mengajarkan, bahwa membaca sebagai salah satu aktivitas belajar
mesti berangkat dari nama Tuhan yang telah menciptakan segala sesuatu. Dengan
demikian, belajar mesti berangkat dari keimanan dan berorientasi untuk
memperkuatnya. Penguasaan ilmu adalah sebagai modal yang dapat menambah
dan memperkokoh keimanan tersebut. Dan hasilnya adalah tunduk dan patuh
kepada sang Khaliq (Kadar: 2013: 49).

Ketauhidan yang dijadikan prinsip utama dalam belajar lebih jauh


menggambarkan keikhlasan dan tujuan pencarian ilmu. Ikhlas dalam belajar berarti
bersih dari tujuan dan kepentingan duniawi. Maka mendapatkan lapangan
pekerjaan seharusnya tidak di jadikan sebagai tujuan utama dalam belajar. Ia mesti
dipandang sebagai akibat dari penguasaan ilmu pengetahuan.

Belajar tidak boleh diniatkan untuk mencari kemegahan duniawi dan


popularitas. Tetapi belajar di niatkan atau dimaksudkan untuk mencari ridha Allah,
menghilangkan kebodohan dari dirinya, dan atau menghidupkan api Islam. Sebab
agama tidak akan hidup tanpa ilmu (Al-Zarnuji: TT: 10).

Berdasarkan prinsip ini, maka dapat ditegaskan bahwa mempelajari segala


macam ilmu sebagai efek dari belajar maka bertambah pula keyakinan kepada sang
Pencipta atau pemberi ilmu itu. Produk yang ingin dilahirkan oleh pendidikan
Islam adalah sosok intelektual yang berkepribadian berzikir dan berfikir. Sehingga
ia menyadari dirinya dan alam lingkungannya sebagai suatu sistem yang
menggambarkan fenomena kebesaran Tuhan. Untuk melahirkan produk seperti ini,
maka belajar mesti dibangun atas prinsip iman dan akidah tauhid (Kadar: 2013: 50-
51).

B. Prinsip Mengajar

Pada hakikatnya, pekerjaan mengajar tidak dapat dipisahkan dari nuansa


ilahiah. Allah yang maha mengajar tidak hanya mengajar manusia tetapi juga
mengajar semua makhluk termasuk malaikat dan jin. Dia mengajar manusia
melalui media alam dan Al-Qur’an. Maka oleh sebab itu, pekerjaan mengajar
berhubungan erat dengan prinsip ilahiyah atau ketauhidan. Mengajar mesti
dimaknai menanamkan aqidah tauhid (Kadar: 2013: 60).

13
Dalam surah Al-Rahman ayat 1-4 dijelaskan:

َ ‫ عَلَّ َمهُ ْال َب َي‬. ‫ان‬


‫ان‬ َ ‫س‬َ ‫اْل ْن‬ َ ْ‫ عَلَّ َم ْالقُر‬. ‫الر ْح ٰ َم ُن‬
ِ ْ َ‫ َخ َلق‬. ‫آن‬ َّ
(Allah) yang Maha Pengasih. Yang telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia
menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara. (QS. Al-Rahman: 1-4)

Ayat ini menjelaskan, bahwa Allah mengajarkan Al-Qur’an dan al-Bayan


kepada manusia. Perbincangan pengajaran tersebut dimulai dengan nama-Nya al-
Rahman yang menggambarkan kasih sayang, tidak dimulai dengan nama lain. Hal
ini bermakna, bahwa mengajar itu mempunyai prinsip kasih sayang. Mengajar
mesti dimaknai sebagai perwujudan kasih sayang; karena kita menyayangi peserta
didik maka kita melaksanakan kegiatan mengajar. Prinsip kasih sayang ini akan
melahirkan prinsip-prinsip mengajar lainnya, yaitu ikhlas, demokrasi, kelembutan,
dan tenggang rasa terhadap anak didik (Kadar: 2013: 60-61).

Ikhlas dalam hal ini berarti bahwa mengajar mengharap rida Allah. Atau
dengan kata lain, kegiatan mengajar merupakan aktivitas jihad memerangi
kebodohan yang diperintahkan Allah kepada manusia. Untuk itu profesi keguruan
tidak hanya sekedar sebagai suatu pekerjaan yang mendatangkan kesejahteraan
material kepadanya, tetapi ia mesti dimaknai sebagai dakwah mencerahkan
intelektual, akidah, dan moral kepada peserta didik.

Demokrasi berarti menghargai pendapat, gagasan, dan pemikiran peserta


didik. Peserta didik diberikan kebebasan akademik untuk mengemukakan
pendapat, bahkan menganut suatu mazhab akademis yang berbeda dengan gurunya
selagi tidak bertentangan dengan moral Islam dan aqidah tauhid. Prinsip ini
tergambar dalam surah Al-Baqarah bagaimana malaikat diberi hak
“mengemukakan pendapat” mengenai rencana penciptaan alam (Kadar: 2013: 61).

Kelembutan berarti menghindari kekerasan dalam pembelajaran maupun


dalam pergaulan. Guru dalam mengajar harus memiliki tenggang rasa dengan anak
didik. Jika guru harus memberi hukuman kepada peserta didik karena pelanggaran
disiplin, maka hukuman itu harus dimaknai dalam rangka pemberian kasih sayang.
Jadi, pemberian hukuman bukan karena dendam tetapi karena kasihan terhadapnya.

14
Menurut slameto (dalam Ali Mufron: 2013: 137) prinsip-prinsip mengajar
ada 10, yaitu: (1) perhatian, (2) Aktivitas, (3) Apersepsi, (4) Peragaan, (5) Repetisi,
(6) Korelasi, (7) Konsentrasi, (8) Sosialisasi, (9) Individualisasi, dan (10) Evaluasi.

Sedangkan menurut prof. Nasution (dalam Arif Hidayat: 2016: 54) prinsip
mengajar ada 4, yaitu: (1) Apersepsi, (2) Korelasi, (3) Motivasi, dan (4)
Keperagaan.

Adapun yang menjadi prinsip-prinsip pendidikan Islam (dalam Ali Mufran:


2015: 131-137) yaitu, prinsip Integral dan Seimbang, prinsip bagian dari proses
rububiyyah, prinsip membentuk manusia yang seutuhnya, prinsip selalu berkaitan
dengan agama, prinsip terbuka, menjaga perbedaan individual, prinsip pendidikan
Islam adalah dinamis.

3. Sumber Belajar dan Mengajar

A. Sumber Belajar

Secara umum, al-Qur’an menggambarkan dua sumber belajar bagi manusia,


yaitu wahyu dan alam. Artinya, Allah menurunkan wahyu dan menciptakan alam
sebagai sumber atau objek yang dipelajari. Manusia didorong manusia agar
mempelajari atau melakukan tadabbur terhadap al-Qur,an. Ia dipelajari guna
menangkap atau memahami pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya
kemudiaan mengamalkan pesan-pesan tersebut (Kadar: 2013: 51).

1. Al-Qur’an sebagai sumber belajar

Dalam QS. An-Nisa ayat 82 Allah SWT berfirman:

ً ِ‫اختِ َالفًا َكث‬


‫يرا‬ ْ ‫اَّللِ َل َو َجدُوا فِي ِه‬ َ ‫َان ِم ْن ِع ْن ِد‬
َّ ‫غي ِْر‬ َ ْ‫ون ْالقُر‬
َ ‫آن ۚ َو َلوْ ك‬ َ ‫أَفَ َال يَتَدَب َُّر‬
Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) al-Qur’an? Sekiranya (al-
Qur’an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang
bertentangan di dalamnya.

Ayat ini mendorong manusia agar senantiasa mentadabburi al-Qur’an.


Bukan hanya sekedar membaca atau memahami saja, tapi juga mentadabburi atau

15
menghayatinya agar jiwa para pembaca mengakui dan menyadari bahwa ia berasal
dari Allah.

Penjelasan al-Qur’an, bahwa ia sebagai sumber belajar lebih jelasnya dapat


dilihat dalam Surah Taha ayat 113:

ُ ‫ون أَوْ ي ُْحد‬


‫ِث لَ ُه ْم ِذ ْك ًرا‬ َ ‫َو َك ٰذَ ِلكَ أ َ ْن َز ْلنَاهُ قُرْ آنًا ع ََر ِبيًّا َو‬
َ ُ‫ص َّر ْفنَا فِي ِه ِم َن ْال َو ِعي ِد لَعَلَّ ُه ْم َيتَّق‬
“Dan demikianlah Kami menurunkan al-Qur’an dalam bahasa Arab, dan
Kami telah menjelaskan berulang-ulang di dalamnya sebagian dari ancaman,
agar mereka bertakwa, atau agar (al-Qur’an) itu memberi pengajaran bagi
mereka.”

Secara implisit, ayat ini mendorong manusia agar mempelajari al-Qur’an,


dan menjadikannya sebagai sumber belajar. Dengan mempelajari al-Qur’an
manusia diharapkan dapat menangkap pesan-pesan Allah yang terkandung
didalamnya, sehingga membuat manusia menjadi insan yang bertakwa (Kadar:
2013: 52.

2. Alam sebagai sumber belajar

Manusia dituntut agar melihat, mengkaji, dan melakukan penalaran terhadap


fenomena alam. Banyak ayat al-Qur’an yang menggambarkan hal tersebut.
Diantaranya dalam surah al-Dhariyat ayat 20-21:

ِ ‫س ُك ْم أَفَال تُب‬
َ ‫ْص ُر‬
‫ون‬ َ ِ‫ات ِل ْل ُموقِن‬
ِ ُ‫ َوفِي أ َ ْنف‬. ‫ين‬ ٌ َ‫ض آي‬
ِ ْ‫َوفِي اْلر‬
“Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang
yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak
memperhatikan?

Ayat 20 dan 21 Surah al-Dhariyat di atas menggambarkan, bahwa manusia


didorong agar mempelajari bumi dan manusia itu sendiri. Banyak disiplin ilmu
yang berkaitan dengan bumi dan manusia. Manusia sebagai makhluk pencari ilmu
semestinya menjadikan hal-hal tersebut sebagai sumber belajar. Para peserta didik
dituntut agar mempelajari persoalan-persoalan itu dalam kerangka pencarian ilmu
dan memahami kebesaran Allah yang tergambar dalam objek-objek yang di
pelajari itu (Kadar: 2013: 54).

16
B. Sumber Mengajar

Dikutip dalam (Wahyu Utama: 2012), Sumber mengajar merupakan segala


sesuatu yang dapat dimanfaatkan oleh pengajar untuk membantu mereka dalam
proses belajar mengajar di sekolah. Sumber mengajar bisa didapatkan oleh seorang
pengajar atau guru melalui berbagai media, antara lain:

1. Buku pelajaran (referensi)

2. Internet

3. Mengikuti berbagai penataran yang bermanfaat

4. Mengikuti berbagai seminar pendidikan

5. Photo-copy, dan lain-lain.

Dikutip dalam (Ritha Asmiati: 2013) Sumber pokok pengajaran agama islam
adalah Al-Qur’an dan Hadits. Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber mengajar
yang paling utama terdapat dalam surah An-Nahl ayat 64:

َ ُ‫اختَلَفُوا ِفي ِه ۙ َو ُهدًى َو َر ْح َمةً ِلقَوْ ٍم ي ُْؤ ِمن‬


‫ون‬ َ َ‫ع َليْكَ ْال ِكت‬
ْ ‫اب ِإ ََّّل ِلت ُ َب ِي َن لَ ُه ُم الَّذِي‬ َ ‫َو َما أ َ ْن َز ْل َنا‬
“Dan Kami tidak menurunkan kitab (Al-Qur’an) ini kepadamu
(Muhammad), melainkan agar engkau dapat menjelaskan kepada mereka apa
yang mereka perselisihkan itu, serta menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-
orang yang beriman”.

Adapun sumber tambahan lainnya yaitu seperti alam lingkungan,


perpustakaan, dan lain-lain.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan-pembahasan diatas maka dapat disimpulkan beberapa poin


penting, yaitu:

Proses belajar mengajar pada hakikatnya ialah kegiatan interaksi yang saling
memengaruhi antara guru dan murid dalam rangka mencapai tujuan pengajaran,
baik yang bersifat kognitif, afektif, maupun psikomotorik.

Konsep belajar dalam perspektif Al-Qur’an ada dua istitah yaitu ta’allama
dan darasa, sedangkan konsep mengajar dalam perspektif Al-Qur’an ada empat
yaitu ‘allama, rabba, darrasa, dan ‘addaba.

Prinsip belajar dalam Al-Qur’an yaitu prinsip tauhid dan keimanan, adapun
prinsip mengajar dalam perspektif Al-Qur’an juga tidak terlepas dari prinsip tauhid
dan Ilahiyah, selain itu ada Prinsip kasih sayang yang melahirkan prinsip-prinsip
mengajar lainnya, yaitu ikhlas, demokrasi, kelembutan, dan tenggang rasa terhadap
anak didik.

Sumber pokok utama belajar mengajar dalam pandangan Al-Qur’an yaitu


Al-Qur’an itu sendiri, kemudian Hadits Nabi SAW, dan ditambah dengan alam
semesta.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan diatas, penulis menyarankan kepada pembaca


untuk dapat lebih memperbanyak referensi dan tidak terfokus hanya pada materi
yang telah disusun ini saja, agar kiranya ilmu yang kita miliki lebih luas lagi.
Kemudian penilis juga meminta kritik dan sarannya kepada pembaca sekalian
terlebih kepada bapak dosen pengampu mata kuliyah Tafsir Tarbawi, guna
membagun dan memperbaiki hasil-hasil penyusunan kedepannya.

18
DAFTAR PUSTAKA
M. Yusuf, Kadar. 2013. Tafsir Tarbawi. Jakarta: Imprint Bumi Aksara

Nata, Abuddin. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana

Mufron, Ali. 2013. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Aura Pustaka

Efendi, Arif Hidayat. 2016. Al-Islam Studi Al-Qur’an (Kajian Tafsir Tarbawi).
Yogyakarta: Deepublish

Al-Zarnuji, Ibrahim ibn Isma’il. Ta’lim al-Muta’allim. Semarang: PT.Taha Putra

Http://Arrizalwahyuutama.blogspot.com/2012/12/strategi-dan-sumber-
mengajar.html?=1

Http://Rithasmiati.blogspot.com/2013/09/media-dan-sumber-
pembelajaran.html?m=1

19

View publication stats

You might also like