You are on page 1of 60

SEMESTER “COVID-19” AWAL 2020/2021

#stayathome, #workfromhome, #merdekabelajar, #belajarmandiri

LAPORAN
MANAJEMEN USAHATANI
Analisis Biaya dan Pendapatan, Benefits Costs Ratio dan
Cost-Volume and Profit Analysis Komoditas Tanaman
Semusim (Padi, Jagung, Dan Gandum).

OLEH

Ariyadi
Pratama
G021191067

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


DEPARTEMEN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS
HASANUDDIN 2020

DISCLAIMER :
1) Data yang tertera dalam laporan adalah data hipotetik, bukan data sebenarnya. Tidak
diperkenan untuk mengutipnya.
2). Laporan ini semata untuk latihan menyusun laporan manajemen usahatani
SEMESTER “COVID-19” AWAL 2020/2021
#stayathome, #workfromhome, #merdekabelajar, #belajarmandiri

HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN
MANAJEMEN USAHATANI
Analisis Biaya dan Pendapatan, Benefits Costs Ratio dan
Cost-Volume and Profit Analysis Komoditas Tanaman
Semusim (Padi, Jagung, Dan Gandum).

OLEH

Ariyadi
Pratama
G021191067

DOSEN PEMBIMBING
Pengesahan/ Makassar 4 Desember 2020

Prof. Ir. Muslim Salam, M.Ec. Ph.D Ir. A. Amrullah,


M.Si. Penanggungjawab Mata Kuliah Dosen Mata Kuliah

DISCLAIMER :
1) Data yang tertera dalam laporan adalah data hipotetik, bukan data sebenarnya.
Tidak diperkenan untuk mengutipnya.
2). Laporan ini semata untuk latihan menyusun laporan manajemen usahatani
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan
dalam menyelesaikan laporan dengan judul “Analisis Biaya dan Pendapatan,
Benefits Cost Ratio dan Cost-Volume and Profit Analysis Komoditas Tanaman
Semusim (Padi, Jagung, dan Gandum)” tepat pada waktunya.
Adapun pembahasan yang ingin penulis tekankan pada penyusunan laporan
ini yaitu pada tiga jenis analisis yaitu berupa analisis biaya dan pendapatan,
analisis partial budgetting, dan Cost-Volume-Profit Analysis terhadap tiga
komoditas yang telah disebutkan sebelumnya. Dan penulis berharap analisis ini
dapat diimplementasikan guna meningkatkan ekonomi pertanian Indonesia.
Penulis masih menyadari banyaknya kesalahan yang terdapat pada
penyusunan laporan ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun, agar kedepannya penulisan laporan pada penelitian
selanjutnya dapat jauh lebih baik daripada penulisan laporan sebelumnya.

Makassar, 4 Desember 2020


Penulis,

Ariyadi Pratama

ii | P a g e
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis sangat menyadari bahwa penyusunan laporan ini tidak akan selesai
tepat waktu tanpa adanya kerja sama dan bantuan dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua yang senantiasa memberikan dukungan baik secara
material maupun spiritual. Dan senantiasa mendoakan penulis agar selalu
diberi kemudahan dalam menjalankan segala kegiatan, hingga
terselesaikanya laporan ini.
2. Bapak Prof. Ir. Muslim Salam. M.Ec. Ph.D selaku dosen pembimbing dan
penanggungjawab mata kuliah manajemen usahatani.
3. Bapak Ir. A. Amrullah, M.Si. selaku dosen pembimbing dan dosen mata
kuliah manajemen usahatani.
4. Teman-teman ADH19ANA (Agribisnis’19) yang senantiasa melakukan
kerjasama yang cukup baik dan saling membantu satu sama lain selama
pengerjaan laporan ini.
5. Penulis-penulis jurnal/artikel/literatur yang telah memberikan dedikasinya
atas tulisan yang telah membantu pribadi saya selama penyusunan laporan
ini.
6. Support System yang selalu memberikan dukungan selama penyusunan
laporan ini berlangsung.
7. Dan semua pihak lain yang tidak dapat disebut satu persatu yang telah
membantu hingga terselesaikannya laporan ini.
Sekali lagi penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sangat besar
atas tersusunnya laporan ini secara baik dan benar.

iii | P a g
RINGKASAN
Pentingnya peran sektor pertanian dalam pembangunan nasional di antaranya
sebagai penyerap tenaga kerja, menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB),
sumber devisa, bahan baku industri, sumber bahan pangan dan gizi, serta
pendorong bergeraknya sektor-sektor ekonomi lainnya. Berkaitan dengan hal ini,
terdapat tiga komoditas tanaman semusim yang menunjang ekonomi Indonesia
yaitu Padi, Jagung, dan Gandum. Berdasarkan data hasil Susenas-BPS (Survei
Sosial Ekonomi Nasional-Badan Pusat Statistik), rata-rata konsumsi beras selama
periode 2002-2013 sebesar 1,98 kg/kapita/minggu atau setara dengan
103,18/kg/kapita/tahun (Susenas-BPS, 2014). Peran jagung dalam ekonomi
nasional, khususnya di pedesaan juga sangat penting. Saat ini, rumah tangga
jagung merupakan rumah tangga terbesar kedua setelah padi yaitu 6,71 juta kk
(37,63%) dari 17,83 juta kk padi, palawija, dan tebu. Peran ini semakin besar
apabila juga dihitung multiplier effect dari agribisnis jagung (Departemen
Pertanian, 2012). Dan gandum memberikan efek yang dimana Nilai penjualan
rataan per tahun mencapai 6 triliun. Dari jumlah ini, sektor Usaha Kecil Menegah
(UKM) berbasis gandum (industri kecil pembuat roti, mie, kue kering dan
lainnya) yang berjumlah sekitar 30 ribu unit, menyerap 64,8% produk tepung
terigu (Departemen Pertanian, 2008). Dalam upaya meningkatkan usahataninya
adalah berkaitan dengan penggunaan faktor-faktor produksi pada usahatnai
tersebut. keterbatasan pengetahuan yang dimiliki petani sering mengakibatkan
faktor-faktor produksi yang kurang tepat. Oleh karena itu, dalam melakukan
usahataninya seorang petani harus senantiasa memperhatikan penggunaan faktor
produsi agar mencapai produksi optimal sehinga diperoleh keuntungan maksimal,
setelah diharapkan kombinasi penggunaan faktor-faktor produksi dapat mencapai
efisiensi ekonomi tertinggi (Siagian, 2003). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan berupa analisis partial budgetting dan CVP analysis, maka dapat
disimpulkan bahwa ada beberapa spesifikasi tertentu yang menjadi penentu suatu
usahatani dalam melakukan pengalihan lahan, dan yang paling utama adalah
aspek keuntungan dari pengalihan lahan usahatani.

iv | P a g
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN....................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................ii
UCAPAN TERIMA KASIH......................................................iii
RINGKASAN..............................................................................iv
DAFTAR ISI...............................................................................v
DAFTAR TABEL.......................................................................vii
DAFTAR GAMBAR...................................................................viii
BAGIAN SATU
1.1 PENDAHULUAN.................................................................1
1.1.1 Latar Belakang.....................................................................1
1.1.2 Rumusan Masalah................................................................3
1.1.3 Tujuan Penyusunan Laporan................................................4
1.1.4 Kegunaan Penyusunan Laporan...........................................4
BAGIAN DUA
2.1 TINJAUAN PUSTAKA........................................................5
2.1.1 Aspek Budidaya dan Ekonomi Komoditas Padi..................5
a. Aspek Budidaya Komoditas Padi.....................................5
b. Aspek Ekonomi Komoditas Padi......................................7
2.1.2 Aspek Budidaya dan Ekonomi Komoditas Jagung..............10
a. Aspek Budidaya Komoditas Jagung.................................10
b. Aspek Ekonomi Komoditas Jagung..................................11
2.1.3 Aspek Budidaya dan Ekonomi Komoditas Gandum............15
a. Aspek Budidaya Komoditas Gandum...............................15
b. Aspek Ekonomi Komoditas Gandum...............................19
2.1.4 Analisis Biaya dan Pendapatan............................................22
2.1.5 Analisis Partial Budgetting..................................................24
2.1.6 Cost Volume and Profit Analysis.........................................27

v|Pag
BAGIAN TIGA
3.1 METODE PENULISAN LAPORAN..................................31
3.1.1 Waktu Penulisan Laporan....................................................31
3.1.2 Sumber Data........................................................................31
3.1.3 Analisis Data........................................................................31
BAGIAN EMPAT
4.1 HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................33
4.1.1 Pendahuluan.........................................................................33
4.1.2 Komoditas Padi....................................................................33
a. Jenis-Jenis Biaya Usahatani Padi......................................33
b. Struktur Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Padi............34
4.1.3 Komoditas Jagung................................................................34
a. Jenis-Jenis Biaya Usahatani Jagung..................................34
b. Struktur Biaya, Penerimaan dan Pendapatan
Usahatani Jagung..................................................................35
4.1.4 Komoditas Gandum.............................................................35
a. Jenis-Jenis Biaya Usahatani Gandum...............................35
b. Struktur Biaya, Penerimaan dan Pendapatan
Usahatani Gandum...........................................................36
4.1.5 Analisis Partial Budgetting Jagung-Padi.........................36
4.1.6 Cost, Volume, and Profit Analysis Gandum-Jagung........37
BAGIAN LIMA
5.1 KESIMPULAN DAN SARAN.............................................41
5.1.1 Kesimpulan......................................................................41
5.1.2 Saran................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA..................................................................43

vi | P a g
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Formula Pendekatan Nominal....................................................23
Gambar 2. Penjabaran Pendekatan Future Value.........................................23
Gambar 3. Penjabaran Pendekatan Present Value.......................................24

vii | P a g
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Struktur Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usahatani
Padi Dalam Satu Musim Tanam....................................................................34
Tabel 2. Struktur Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usahatani Jagung
dalam Satu Musim Tanam.............................................................................35
Tabel 3. Struktur Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usahatani Gandum. .36
Tabel 4. Partial Budgetting Jagung-Padi......................................................37
Tabel 5. Cost Profit Analysis Gandum-Jagung.............................................39

viii | P a g
BAGIAN SATU
1.1 PENDAHULUAN
1.1.1 Latar Belakang
Pembangunan pertanian pada dasarnya adalah salah satu sistem
pembangunan yang tidak kalah pentingnya dalam mendukung keberhasilan
pembangunan nasional di suatu negara. Pembangunan sektor pertanian ini
bertujuan untuk menumbuh kembangkan usaha pertanian di pedesaan yang akan
memacu aktivitas ekonomi pedesaan, menciptakan lapangan pekerjaan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat untuk menumbuhkan industri hulu, hilir,
dan penunjang dalam meningkatkan daya saing dan nilai tambah suatu produk
pertanian, memanfaatkan secara optimal melalui pemanfaatan tekonologi yang
tepat (Soekartawi, 2011).
Pentingnya peran sektor pertanian dalam pembangunan nasional di
antaranya sebagai penyerap tenaga kerja, menyumbang Produk Domestik Bruto
(PDB), sumber devisa, bahan baku industri, sumber bahan pangan dan gizi, serta
pendorong bergeraknya sektor-sektor ekonomi lainnya. Dalam lingkungan yang
lebih sempit, pembangunan pertanian diharapkan mampu meningkatkan akses
masyarakat tani pada faktor produksi diantaranya sumber modal, teknologi, bibit
unggul, pupuk dan sistem distribusi sehingga berdampak langsung dalam
meningkatkan kesejahteraan. Sejalan dengan tahapan-tahapan perkembangan
ekonomi maka kegiatna jasa-jasa dan bisnis yang berbasis pertanian juga akan
semakin meningkat, yaitu kegiatan agribisnis akan menjadi salah satu kegiatn
unggulan (a leading sector) pembangunan ekonomi nasional dalam berbagai
aspek yang sangat luas (Gapersz, 2011).
Semakin besarnya perhatian terhadap pertanian, memberikan stimulan
yang lebih besar untuk lebih baik memanfaatkan kekuatan pertanian bagi
pembangunan. Terlebih sekitar 45% tenaga kerja bergantung pada sektor
pertanian primer. Maka tidak heran sektor pertanian menjadi basis pertumbuhan
ekonomi di pedesaan. Pertanian sudah lama disadari sebagai instrumen untuk
mengurangi kemiskinan. Pertumbuhan sektor pertanian memiliki kemapuan

1|Page
khusus untuk mengurangi kemiskinan. Estimasi lintas negara menunjukkan
bahwa pertumbuhan PDB yang dipicu oleh pertanian paling tidak dua kali lebih
efektif dalam mengurangi kemiskinan daripada pertumbuhan yang disebabkan
oleh sektor luar pertanian. Kontribusi besar yang dimiliki sektor pertanian
tersebut memberikan sinyal ahwa pentingnya membangun pertanian yang
berkelanjutan secara konsisten untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
sekaligus kesejahteraan masyarakat (Arief, 1993).
Berkaitan dengan penjelasan di atas, maka tidak heran jika pemerintah saat
ini terus mengupayakan pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian. Daerah-
daerah yang merupakan penghasil komoditas pertanian yang tinggi terus dipacu
agar mampu meningkatkan output pertanian yang diperlukan dan diinginkan oleh
masyarakat serta dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap
komoditas pertanian yang selama ini banyak diimpor dari luar negeri. Selain itu,
upaya pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian tidak hanya dimaksudkan untuk
mengurangi ketergantungan masyarakat, tetapi juga untuk meningkatkan
kesejahteraan petani dalam negeri.
Padi merupakan salah satu tanaman pangan yang berpotensi ekonomis
untuk dikembangkan. Padi yang menghasilkan beras merupakan tupuan utama
bagi ketahanan pangan nasional. Berdasarkan data hasil Susenas-BPS (Survei
Sosial Ekonomi Nasional-Badan Pusat Statistik), rata-rata konsumsi beras selama
periode 2002-2013 sebesar 1,98 kg/kapita/minggu atau setara dengan
103,18/kg/kapita/tahun (Susenas-BPS, 2014).
Jagung juga termasuk ke dalam komoditas strategis dalam pembangunan
pertanian dan perekonomian Indonesia, mengingat komoditas ini mempunyai
fungsi multiguna, baik untuk pangan maupun pakan (Rukmana, 2010). Peran
jagung dalam ekonomi nasional, khususnya di pedesaan juga sangat penting. Saat
ini, rumah tangga jagung merupakan rumah tangga terbesar kedua setelah padi
yaitu 6,71 juta kk (37,63%) dari 17,83 juta kk padi, palawija, dan tebu. Peran ini
semakin besar apabila juga dihitung multiplier effect dari agribisnis jagung
(Departemen Pertanian, 2012).

2|Page
Selain jagung dan padi, terdapat juga gandum. Gandum (Triticum
aestivum) berasal dari daerah subtropik dan salah satu serealia dari famili
Gramineae (Poaceae). Gandum meskipun tanaman subtropis ternyata setelah
berbagai uji coba adaptasi multilokasi diberbagai daerah dapat tumbuh dan
berproduksi dengan baik di Indonesia. Pengembangan gandum di dalam negeri
diharapkan menjadi alternatif ketersediaan pangan di dalam negeri. Sampai saat
ini, kontribusi industri terigu terhadap perekonomian nasional juga pantas untuk
diperhitungkan. Nilai penjualan rataan per tahun mencapai 6 triliun. Dari jumlah
ini, sektor Usaha Kecil Menegah (UKM) berbasis gandum (industri kecil
pembuat roti, mie, kue kering dan lainnya) yang berjumlah sekitar 30 ribu unit,
menyerap 64,8% produk tepung terigu (Departemen Pertanian, 2008).
Dalam upaya meningkatkan usahataninya adalah berkaitan dengan
penggunaan faktor-faktor produksi pada usahatnai tersebut. keterbatasan
pengetahuan yang dimiliki petani sering mengakibatkan faktor-faktor produksi
yang kurang tepat. Oleh karena itu, dalam melakukan usahataninya seorang
petani harus senantiasa memperhatikan penggunaan faktor produsi agar
mencapai produksi optimal sehinga diperoleh keuntungan maksimal, setelah
diharapkan kombinasi penggunaan faktor-faktor produksi dapat mencapai
efisiensi ekonomi tertinggi (Siagian, 2003). Menurut Arsyad (2008), menyatakan
bahwa fungsi produksi menentukan tingkat output maksimum yang bisa
diproduksi dengan sejumlah input tertentu, atau sebaliknya, jumlah input yang
diperlukan untuk memproduksi suatu tingkat output tertentu.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka akan dilakukan penelitian analisis
usahatani terhadap tiga jenis komoditas tanaman semusim yaitu padi, jagung, dan
gandum dengan menggunakan tiga jenis analisis usahatani, terdiri dari (1)
Analisis Biaya dan Pendapatan; (2) Analisis Partial Budgetting; dan (3) Cost,
Volume and Profit Analysis.
1.1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan laporan ini. Yaitu :
1. Seperti apa aspek budidaya dan aspek ekonomi komoditas padi,
jagung, dan gandum?

3|Page
2. Bagaimana cara pengapilkasian analisis biaya dan pendapatan pada
komoditas tanaman semusim?
3. Bagaimana cara pengaplikasian analisis parital budgetting pada
komoditas tanaman semusim?
4. Bagimana cara pengaplikasian Cost, Volume and Profit Analysis
pada komoditas tanaman semusim?
1.1.3 Tujuan Penyusunan Laporan
Terdapat beberapa hal yang menjadi tujuan dari penyusunan laporan ini.
Yaitu agar dapat mengetahui seperti apa aspek budidaya dan aspek ekonomi dari
padi, jagung dan gandum. Dan pengaplikasian analisis biaya dan pendapatan,
analisis partial budgetting, dan Cost, Volume and Profit Analysis.
1.1.4 Kegunaan Penyusunan Laporan
Adapun kegunaan yang diharapkan penulis dalam melakukan penulisan
laporan ini, yaitu agar para pembaca dapat mengetahui teori, pengaplikasian, dan
kegunaan dari analisis biaya dan pendapatan, analisis partial budgetting, dan
Cost, Volume and Profit Analysis.

4|Page
BAGIAN DUA
2.1TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1Aspek Budidaya dan Ekonomi Komoditas Padi
a. Aspek Budidaya Komoditas Padi
Tanaman padi (Oryza sativa, L) merupakan bahan pangan utama yang
dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan karbohidrat. Hasil tanaman padi
yang diolah menjadi beras mengandung karbohidrat 77.4 g, protein 7.5 g,
lemak 1.90 g, dan serat 0.9 g. kandungan zat gizi tersebut dibutuhkan untuk
mencukupi kebutuhan energi dalam tubuh.
Macam teknik budidaya tanaman padi yang berbeda, masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pada teknik budidaya tanaman padi
intensifikasi dengan pengaplikasian pupuk anorganik berdampak terhadap
penurunan kesuburan tanah karena rendahnya pengembalian bahan organik
ke dalam tanah (Pramono, Basuki, dan Widarto. 2005). Mengenai budidaya
terhadap komoditas padi, Elik (2014) menjelaskan meengenai tahapan
budidaya tanaman padi, dengan penelitian yang dimana peneliti menyusun 3
perlakuan yang dimana B1 = teknik budidaya padi intensifikasi, B2 = teknik
budidaya intensifikasi padi aerob terkendali berbasis organik dengan 1
tanaman/lubang tanam, B3 = Teknik budidaya intensifikasi padi aerob
terkendali berbasis organik dengan 2 tanaman/lubang tanam. Yang
penjabarannya sebagai berikut :
 Pengomposan jerami padi dipersiapkan untuk perlakuan B2 dan B3.
Komposting jerami padi dilakukan langsung di lahan sawah. Bahan
jerami diberi larutan bioaktivator yang telah diencerkan (10 ml/liter
air) sampai lembab. Selanjutnya bahan ditutup plastik/terpal dan
untuk menjaga suhu tidka meningkat dilakukan pembalikan setalh 7
hari pupuk jerami padi siap utnuk diaplikasikan.
 Pembibitan padi dilakukan dengan cara menyebar benih yang telah
diperam selama 34 jam di petak pembibitan untuk mepercepat

5|Page
tumbuhnya benih. Pemeliharaan bibit dilakukan dengan mengatur
kondisi air di lahan pembibitan.
 Pengolahan tanah pertama dengan pembajakan untuk membalik
tanah. Pada perlakuan B2 dan B3 disertai engan pengaplikasian
kompos jerami dengan dosis 500kg/100m2, kemudian dibiarkan
selama 3 minggu. Pengolahan tanah kedua dilakukan untuk
menghaluskan tanah.
 Pembuatan petak penanaman dan saluran irigasi sesuai perlakuan.
Pada perlakuan B1 dibuat saluran irigasi sekitar petak, sedangkan
pada perlakuan B2 dan B3 dibuat petak-petak dan saluran irigasi
dalam lahan sawah. Ukuran petak dan saluran irigasi masing-masing
berukuran lebar 240 cm untuk petak sawah dan saluran irigasi
dengan lebar 60 cm, kedalaman 30 cm, sedangkan panjang petak 10
m.
 Penggaritan dilakukan untuk membuat pola penanaman padi.
Penanaman menggunakan jarak tanam 30 x 30 cm. Jumlah tanaman
pada masing-masing perlakuan yaitu B1 : 5 tanaman/lubang tanam,
B2 : 1 tanaman/lubang tanam dan B3 : 2 tanaman/lubang tanam.
 Penggaritan dilakukan untuk membuat pola penanaman padi.
Penanaman menggunakan jarak tanam 30 x 30 cm. Jumlah tanaman
pada masing-masing perlakuan yaitu B1 : 5 tanaman/lubang tanam,
B2 : 1 tanaman/lubang tanam dan B3 : 2 tanaman/lubang tanam.
Pengaturan air pada perlakuan B1 pada saat tanam sampai 3 hst
pengairan dengan kondisi macak-macak, umur 4–10 hst tergenang
dengan ketinggian air 5 cm, umur 11 hst- menjelang berbunga
ketinggian air dipertahankan 5 cm dan dibiarkan mengering (5 hari)
selanjutnya diairi lagi dan dibiarkan mengering, petak percobaan
dikeringkan 10 hari menjelang panen. Pengaturan air pada perlakuan
B2 dan B3 pada kondisi anaerob. Pengaturan air pada masa
pertumbuhan vegetatif setelah tanam sampai 10 hst, tanaman tidak
selalu digenangi air. Pemberian air dilakukan setelah tanah tampak

6|Page
retak-retak (lebar sekitar 1 cm) dan tanaman masih segar,
penggenangan setinggi 1-2 cm sekitar 2 jam selanjutnya kondisi air
dipertahankan lembab sampai macak-macak sampai pada stadia
masak susu. Menjelang pemanenan pengairan dihentikan tanah
dibiarkan mengering secara alami.
 Pemeliharaan tanaman meliputi penyiangan, perbaikan saluran
irigasi dan pengendalian hama serta penyakit dilakukan secara rutin.
Penyiangan dilakukan pada umur 30, 55 dan 75 hari setelah tanam
secara mekanis. Kegiatan perbaikan saluran irigasi dilaksanakan
sebanyak 3 kali selama musim penanaman pada semua petak
percobaan. Kegiatan pengendalian hama dan penyakit pada petak
percobaan dilakukan dengan melakukan penyemprotan pestisida
Indodan dengan dosis 10 ml/tangki 14 liter air pada umur 35 hst dan
70 hst.
b. Aspek Ekonomi Komoditas Padi
Menurut Maulana (2012:212) bahwa kebijakan non-harga dan harga
telah lama dikenal dalam hubungannya dengan peningkatan produksi dan
peningkatan harga. Pada awalnya, pemerintah mendorong petani untuk
meningkatkan produksi komoditas pertanian melalui kebijakan non-harga
dengan cara memperkenalkan varietas unggul padi, pemupupkan,
pemberantasan hama penyakit, perbaikan pengairan, dan perbaikan teknik
bertani. Namun kebijakan non-harga saja ternyata belum cukup baik untuk
mendorong petani dalam emningkatkan produksi, sehingga
mengkombinasikannya dengan kebijakan harga. Dalam hal ini, pemerintah
menerapkan harga dasar dan maksimum. Selanjutnya konsep harga dasar
disesuaikan menjadi Harga Pembelian Pemerintah (HDDP) pada 1 Januari
2002 dan kemudian menjadi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) pada tahun
2005. Pemerintah telah mengimplementasikan kebijakan HPP Gabah-Beras
tunggal dan secara berkala dilakukan peningkatan untuk mengimbangi
kenaikan harga input dan inflasi. Penerapan HPP dengan metode ini

7|Page
dipertahankan hingga kini yaitu berdasarkan kadar air dan kadar hampa
untuk gabah dan kadar air dan butir patah untuk beras.
Sopandie (2014:17) menyatakan bahwa bertambahnya penduduk
Indonesia dari tahun ke tahun, kebutuhan akan beras terus meningkat. Untuk
memenuhi kebutuhan beras tersebut pemerintah harus melakukan impor.
Peningkatan produksi padi nasional, belum mampu mengurangi impor beras
karena produktivitas padi di Indonesia belum seperti yang diharapkan.
Produktivitas padi gogo baru sebesar 2,95 ton/ha sementara untuk padi
sawah sebesar 5,08 ton/ha. Penge,bangan ekstensifikasi padi sawah banyak
mengalami kendala terutama adanya konversi lahan sawah menjadi lahan
non-pertanian. Lahan yang tersedia untuk pengembangan pertanian pangan
saat ini adalah lahan kering khususnya yang berada di luar pulau Jawa, tetapi
terkendalan oleh kekurangan unsur hara dan keracunan unsur Al dan Fe.
Lahan tersebut juga umumnya sering mengalami kekurangan air atau
kekeringan.
Menurut Deddy (2016), kelembagaan berperan penting dalam mengatur
penggunaan/alokasi sumberdaya secara efisien, merata, dan berkelanjutan
(sustainable). Kelembagaan ekonomi yang berbasis kelompok tani
umumnya memiliki kekuatan untuk bertahan hidup, hanya saja kemampuan
lembaga kelompok tani ini dalam melayani jasa permodalan anggotanya
sangatlah terbatas. Umumnya penekanan kegiatan kelembagaan kelompok
tani justru tidak untuk memberikan pelayanan permodalan anggotanya,
melainkan pada pengelolaan sumberdaya kolektif (misalnya air dan jadwal
tanam) dan kehidupan sosial. Namun demikian, kelompok tani mampu
menghasilkan pupuk organik yang dijual secara umum dengan harga
pupuk Bokasi Trikodermin Rp.30.000/ sak, Pupuk Organik cair dari urine
kambing Rp.40.000,-, Liquid Smoke (untuk semprot hama) seharga
Rp.40.000/liter dan mikroorganik lokal (MOL) Rp.30.000.
Menurut Pusdatin, Kementrian Pertanian (2015) bahwa padi/beras di
Indonesia menyumbang 28.8% terhadap GDP dan menyerap 12,05 juta
orang tenaga kerja di Indonesia. Disamping itu, beras menyumbang tidak

8|Page
kurang dari 52% dari total konsumsi kalori dan 45% protein. Hal tersebut
dapat menyimpulkan bahwa sekitar 95% penduduk Indonesia
mengkonsumsi beras setiap hari. Dari data yang disediakan oleh Pusdatin
(2015), bahwa pada tahun1980 produksi padi di Indonesia hanya sebesar
29,7 juta ton dan pada tahun 2015 meningkat menjadi lebih dari 75,5 juta
ton. Secara rata-rata, pada tahun 1980-2015, Pulau Jawa menghasilkan padi
sebanyak 37,67% juta ton (72,33%) dan luar Jawa menghasilkan 22,18 juta
ton (27,67%) dari 50,7 juta ton padi yang dihasilkan di Indonesia. Sementara
itu, pertumbuhan produksi padi di Jawa pada periode 1980-2015 adalah
2,21% dan luar Jawa lebih tinggi dengan tingkat 3,53%.
Arifin (2007) menjelaskan bahwa biasanya daerah produksi padi dan
daerah konsumsi letaknya sangat berjauhan. Padi yang dihasilkan oleh
masing-masing petani di daerah pedesaan yang jumlahnya realtif kecil
karena relatif kecilnya luas garapan petani. Maka dari itu, padi/beras yang
dihasilkan petani harus melalui pedagang pengumpul, penggilingan padi,
pedagang besar, distributor, pedagang pengecer, dan konsumen beras. Jadi
produksi padi/beras tidak dapat dijual secara langsung kepada konsumen.
Hal ini menimbulkan rantai dari tata niaga padi/beras menjadi panjang yang
dapat menyebabkan disparitas harga padi di tingkat petani dengan tingkat
konsumen yang semakkin lebar seiring berjalannya waktu. Hal ini dapat
dilihat pada tahun 1983 yang dimana margin harga padi di tingkat petani
dengan harga beras di tingkat konsumen mencapai Rp.132,- per kg dan pada
tahun 2015 mengalami kenaikan sebesar Rp.4.854,- per kg, yang dimana
dapat diakumulasikan kenaikan harga dari komoditas ini sebesar 36 kali lipat
selama kurun waktu 1983-2015. Kenaikan yang cukup tinggi dalam periode
tersebut daikibatkan dari adanya biaya transportasi yang dibebankan oleh
pedagang kepada petani dengan menekankan harga, sekaligus membebankan
pula kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi yang harus
dibayar. Khusus pad tahun 1999, harga padi di tingkat petani mengalami
penurunan sebesar 12,42% yaitu dari Rp.1.234,- per kg pada tahun 1998 dan
menjadi Rp.1.081,- per kg pada tahun 1999. Sebaliknya pada periode yang

9|Page
sama harga beras di tingkat konsumen naik sebesar 26,99% yaitu dari
Rp.2.099,- per kg-nya naik menjadi Rp.2666,- per kg-nya.
2.1.2Aspek Budidaya dan Ekonomi Komoditas Jagung
a. Aspek Budidaya Komoditas Jagung
Syarat yang paling baik untuk pertanaman jagung adalah PH tanah netral
5,5 – 6,8. Pengolahan tanah memperbaiki tekstur tanah sehingga terdapat
rongga-rongga di dalam tanah yang dapat menyimpan udara dan air yang
diperlukan untuk akar tanaman, yang dilakukan setelah selesai panen (AAK,
2001). Selanjutnya dibuat alur-alur untuk pengairan yang lebarnya kurang
lebih 30 cm, dengan kedalaman 30 cm, jarak tiap alur 100-120 cm (Wasisno,
1998). Pada tanah yang miskin dengan menggunakan pupuk yang cukup,
hasil akan melonjak menjadi dua atau tiga kali lipat dari hasil asal (Efendi,
1991). Pupuk organik diberikan pada tanaman jagung dipergunakan untuk
menutup lobang tanaman yang telah diletakkan biji jagung.
Menurut Haryadi (1990) jarak tanam mempengaruhi populasi tanaman
dan keefesienan penggunaan cahaya juga mempengaruhi kompetisi antara
tanaman dalam menggunakan air dan zat hara, sehingga akan mempengaruhi
hasil. Hasil penelitian Simamora, 2006 menyimpulkan bahwa perlakuan
jarak tanam berpengaruh nyata terhadap produksi jagung varitas DK3 per
plot. Pada jarak tanam rapat terjadi kompetisi penggunaan cahaya yang
mempengaruhi pula pengambilan unsur hara, air dan udara. Kompetisi
cahaya berpengaruh pada proses fotosintesis. Penanaman dengan jarak
tanam lebih lebar pertumbuhannya akan lebih baik karena kebutuhan
tanaman tercukupi, namun demikian apa bila penanaman terlalu lebar maka
tidak eisien dalam memanfaatkan ruang tempat tumbuh. Disisi lain
penanaman dengan jarak tanam yang terlalu lebar kurang menguntungkan
karena populasi tanaman menjadi lebih sedikit. Persaingan antara tanaman
dalam mendapatkan air maupun cahaya matahari berpengaruh terhadap
pertumbuhan vegetative, sehingga jarak tanam yang lebih lebar akan
memacu pertumbuhan vegetative tanaman.

10 | P a g
Pengaturan jarak tanam jagung dipengaruhi oleh tingkat kesuburan
tanah. Tanah yang subur cenderung lebih jarang dibanding dengan tanah
yang kurang subur. Jarak tanam yang edial untuk tanaman jagung adalah 75
X 25 cm, 100 X 20 cm, dan 100 X 40 cm. Jarak tanam yang edial akan
memper kecil tingkat kompetisi, baik kompetisi terhadap unsur hara
tanaman, cahaya, air, udara, pertumbuhan gulma,dll. Jumlah benih per
lobang tanam akan meningkatkan populasi tanaman. Populasi tanaman
meningkatkan produktiitas jagung yang hanya menggunakan pengaturan
jarak tanaman. Pengaturan jarak tanam 100 x 20 cm dengan jumlah benih 1
butir perlobang tanam kebutuhan benih akan sama dengan jarak tanam 100
X 40 cm dengan jumlah benih 2 butir per lobang tanaman.
Pemangkasan tanaman merupakan usaha untuk memperbaiki kondisi
lingkungan seperti suhu, kelembaban, cahaya, sirkulasi angin sehingga
aktivitas fotosintesa berlangsung normal. Anonim (1997) mengatakan
pemangkasan dapat memperbaiki kesehatan tanaman, merangsang
pembungaan dan kualitas buah meningkat. Pada umur 97-110 hari setelah
tanam jagung siap dipenen, setelah melewati masak masak isiologis yang
ditandai kelobot telah mengering atau berwarna coklat. Selain itu kadar air
telah mencapai kurang lebih 30% yang ditandai dengan biji telah mengeras
dan telah membentuk lapisan hitam minimum 50% di setiap barisan biji.
Pemanenan dilakukan pada kondisi cerah untuk menghindari infestasi
cendawan paska panen seperti Aspergillus lapus. Tahap berikutnya adalah
penjemuran tongkol sampai kadar air biji mencapai kurang lebih 20% dan
dipipil dengan menggunakan alat pemipil. Biji pipilan ini kembali dijemur
sampai mencapai kadar air sekitar 14%.
b. Aspek Ekonomi Komoditas Jagung
Secara nasional kebutuhan jagung di Indonesia masih sangat banyak
mengalami kekurangan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri
bayak mendatangkan impor dari luar negeri. Data impor jagung yang terus
meningkat merupakan indikator peluang yang cukup besar untuk
mengembangkan komoditas tersebut bagi wilayah-wilayah yang. Pasandaran

11 | P a g
dan Kasryino (2002) mengemukakan bahwa sentra pengembangan produksi
jagung di Indonesia dapat dikaregorikan menjadi tiga, yaitu (1) Sumatera
merupakan daerah pengembangan jagung masa depan karena
memperlihatkan dinamika perkembangan yang cepat selama tiga dekade lalu
serta memiliki sumber daya lahan yang mendukung; (2) Jawa merupakan
sentra produksi jagung dan bahan pangan, namun sumber daya lahan
semakin terbatas sehingga peran tersebut akan semakin menurun; (3)
Kawasan Timur Indonesia merupakan daerah konsumen jagung sebagai
makanan pokok dengan iklim yang relatif kering.
Secara historis, perkembangan produksi jagung di Indonesia cenderung
mengalami peningkatan rata-rata sekitar 5,26% per tahun pada 10 tahun
terakhir ini. Hal ini berbanding lurus dengan peningkatan produktivitas rata-
rata sekitar 4,30% per tahun. Luas areal pada periode yang sama juga
mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0,83% per tahun. Hal ini
menyebabkan surplus jagung meningkat rata-rata sebesar 111% atau sekitar
1,2 juta ton per tahun. Kenaikan ini dapat diindikasikan karena 18 juta
penduduk di Indonesia menjadikan jagung sebagai makanan pokok (Subandi
et al. 1988). Komoditas jagung dapat dikonsumsi oleh masyarakat dalam
berbagai bentuk olahan, tidak hanya sebagai pangan pokok tetapi juga
sebagai lauk-pauk, makanan selingan, dan bahan setengah jadi yang
dihasilkan oleh beragam jenis industri dan skala usaha (Ariani dan
Pasandaran 2005).
Pengembangan komoditas jagung di Indonesia masih mengalami
beberapa kendala antara lain masih sedikitnya penggunaan benih hibrida,
kelangkaan pupuk, kelembagaan belum berkembang, teknologi pasca panen
dan panen belum memadai, dan lahan garapan sempit (Ditjendtan 2004).
Sistem produksi dan tataniaga ternak ternyata belum dapat menunjang
peningkatan produksi jagung. Selama ini makanan ternak didatangkan dari
luar daerah dalam bentuk pakan jadi, sehingga tidak dapat menyerap
produksi jagung domestik. (Swain et al. 2005). Persoalan lain yang
menghambat pengembangan tanaman jagung di Indonesia adalah masalah

12 | P a g
harga. Walaupun kapasitas pasar cukup besar namun harga jagung tergolong
rendah.
Namun demikian, hasil penelitian oleh Falatehan dan Wibowo (2008)
mengatakan bahwa permintaan jagung di pasar dunia maupun domestik
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan permintaan jagung di
pasar domestik disebabkan proporsi penggunaan jagung oleh industri pakan
telah mencapai 50% dari total kebutuhan nasional dalam beberapa tahun
terakhir. Selain itu, Agustian (2014) juga mengatakan bahwa komoditas
jagung secara nasional memiliki daya saing yang baik ditunjukkan oleh
indikator keunggulan komparatif (DRCR) dan keunggulan kompetitif (PCR)
yang kurang dari satu. Sebagai contoh, perkembangan produksi jagung
periode 2000-2013 rata-rata 3,75% per tahun, namun kebutuhan akan jagung
untuk pangan maupun pakan rata-rata naik 4,41% per tahun. Masih
rendahnya produksi jagung disebabkan karena peningkatan produktivitas
jagung yang masih rendah, yaitu sekitar 4% per tahun. Hasil rangkuman dari
beberapa hasil penelitian oleh Tangendjaja et al. (2005), PSEKP (2010),
Swastika et al. (2011) dan Kariyasa et al. (2012), bahwa di negara
berkembang telah terjadi peningkatan permintaan jagung untuk konsumsi
pangan dan pakan ternak sebesar 10- 15% per tahun sejak tahun 2000.
Namun karena kondisi laju peningkatan produksi lebih lamban dibanding
laju permintaannya, maka impor jagung di Indonesia semakin meningkat.
Permasalahan di atas mengindikasikan bahwa pembuat kebijakan di
tingkat makro belum sepenuhnya menjabarkan arti dari pertumbuhan
ekonomi sektor pertanian yang positif tersebut dalam bentuk tindakan riil
yang memberikan perubahan positif bagi para pelaku kegiatan usaha
pertanian di tingkat produsen. Dalam upaya pengembangan usaha tani,
komoditas jagung akan senantiasa masuk kedalam jejaring kegiatan
agribisnis komoditas tersebut. Artinya keberhasilan dalam meningkatkan
budi daya usaha tani jagung tidak bisa terlepas dari sistem agribisnis
komoditas itu sendiri. Pengembangan komoditas jagung oleh petani
sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan pasar.

13 | P a g
Dalam usaha tani jagung, peran pelayanan utama yang dilakukan oleh
pemerintah maupun pihak lain mutlak diperlukan. Pelayanan yang dapat
menunjang keberhasilan usaha seperti kemudahan untuk mendapatkan
bantuan modal usaha, teknologi, dan penyuluhan. Peraturan pemerintah
daerah/pusat yang mendukung kinerja usaha bisnis dari budi daya jagung
tentu sangat diperlukan. Dalam upaya meningkatkan pengembangan usaha
tani jagung, pelayanan kelembagaan terhadap petani sangat diutamakan.
Keberadaan penyuluh di lapangan sangat penting karena dapat diakses oleh
petani dalam upaya mendapatkan informasi teknologi. Namun
kenyataannya, penyuluh di lapangan sangat terbatas, bahkan seorang
penyuluh harus melayani satu kecamatan. Sementara, lembaga finansial
masih terbatas dalam memberikan pinjaman modal kepada petani. Hal
tersebut juga merupakan permasalahan dalam pengembangan agribisnis
jagung.
Permasalahan yang diungkapkan oleh Deptan (2004), CAPSA (2006),
Deptan (2007), Winarso (2012), Nikmah et al. (2013), dan Nadapdap (2016)
dapat disimpulkan di antaranya bahwa pendidikan petani yang ratarata
rendah merupakan faktor kelemahan dalam pengembangan wilayah, tingkat
penguasaan teknologi petani jagung belum maksimal, dan keterbatasan
modal sehingga petani menggunakan modal sendiri seadanya. Permasalahan
dari aspek sumber daya lahan di antaranya lahan garapan umumnya sangat
sempit, status lahan bukan milik, tata air/irigasi pada umunya dalam kondisi
yang kurang terpelihara, dan lahan kurang subur. Dari sisi kelembagaan,
permasalahan di antaranya adalah kinerja kelompok tani jagung masih
belum banyak berperan, banyak petani yang belum melakukan kemitraan
dengan pihak lain, seperti dengan pengusaha jagung dan produk turunannya,
dan masih sangat sedikit kelompok yang mampu mengakumulasi modal
usahanya. Permasalahan selanjutnya dari aspek usaha/produksi, di
antaranya: mahalnya harga pupuk dan obat-obatan, banyak petani tidak
memiliki atau sulit mendapat fasilitas Alsintan (seperti traktor dan corn
sheller); dan kurang maksimalnya dalam penanganan budi daya, sehingga

14 | P a g
hasil yang didapatkan belum maksimal. Serangan hama penyakit jagung
masih sulit untuk dikendalikan terutama penyakit hawar daun dan hama
lainnya, seperti ulat grayak; penangan panen dan prosesing masih kurang
mendapat perhatian dari petani, sehingga tingkat kehilangan hasil masih
tinggi. Hasil kajian mengenai kebijakan jagung nasional oleh Kementerian
Perdagangan (2011), Utomo (2012), Suryana dan Agustian (2014), dan
Pangestika et al (2016); menyimpulkan bahwa masih banyak kebijakan
pemerintah yang belum optimal realisasinya di lapang. Permasalahan yang
kerap berulang adalah terjadinya kekurangan jagung dalam negeri sehingga
harus mengimpor. Penyediaan saprodi juga belum sepenuhnya mampu
memenuhi kebutuhan petani. Demikian pula dengan kebijakan harga yang
belum sepenuhnya efektif, sehingga petani belum terbantu dimana harga
jagung masih sepenuhnya tergantung pada pasar. Dari sisi agraria,
berlangsung akumulasi lahan pada segelintir petani, serta munculnya lahan
guntai dan lahan terlantar.
2.1.3Aspek Budidaya dan Ekonomi Komoditas Gandum
a. Aspek Budidaya Komoditas Gandum
Tanaman gandum beradaptasi secara luas di lahan kering pada kawasan
30-60O LU dan 27-40OLS. Untuk dapat tumbuh dan bereproduksi dengan
baik, memerlukan suhu udara optimal 4OC–25OC, dengan panjang
penyinaran (fotoperiode) 9-13 jam per hari. Kondisi yang mirip dengan
iklim subtropika mendukung pertumbuhan tanaman gandum (Patola dan
Ariyantoro, 2015). Pemilihan kondisi iklim yang tepat menentukan
kandungan gulten gandum yang tepat merupakan salah satu penentu
utama kualitas gandum (Hoel et al.,2015).
Di Indonesia, gandum dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian >
800 m dpl dengan suhu 10-28 OC. Namun masih dapat
dibudidayakan pada ketinggian ± 400 dpl meskipun produktivitas
yang diperoleh lebih rendah (Nur et al., 2012). Hasil penelitian
menunjukkan beberapa varietas gandum dapat berproduksi hingga 5 ton
pada ketinggian lebih dari 1000 dpl, dan mencapai 2,27 t/ha dengan

15 | P a g
ketinggian ±400 dpl pada iklim Indonesia (Komalasari and Hamdani,
2010).
Kemasaman tanah yang ideal untuk tanaman gandum adalah pH 6-8,
pada tanah dengan pH di bawah 5, kemungkinan akan terjadi toksisitas
aluminium (Schmohl and Horst, 2002). Peningkatan pH tanah dapat
dilakukan melalui penambahan bahan organik dan pemberian kapur
(Christel et al., 2014).
 Persiapan Lahan
Pengolahan tanah dimaksudkan untuk menggemburkan tanah dan
mematikan gulma. Karena itu, dalam budidaya gandum dianjurkan
untuk mengolah tanah dengan sempurna, yaitu dengan cara
membajak 2-3 kali, kemudian digaru dan diratakan. Tidak dianjurkan
tanpa olah tanah atau olah tanah setempat. Tanpa pengolahan tanah
pada tanah berlempungan mempunyai daya tumbuh, hasil dan
kandungan gluten dalam biji yang lebih rendah disbanding dengan
pengolahan tanah (Kankanen et al., 2011). Selain itu, tanpa
pengolahan tanah biasanya gulma lebih cepat tumbuh dibanding
tanaman gandum, akibatnya tanaman gandum akan tersaingi dan
tertekan pertumbuhannya. ada saat pengolahan tanah terakhir,
saluran air atau drainase sebaiknya dibuatkan sebelum tanam,
karena gandum sangat peka terhadap kelebihan air. Jarak antar
setiap saluran air/drainase 2-3 m dan lebar 40-50 cm dengan
kedalaman 25-30 cm (Dadari and Mani, 2005).
 Penyiapan Benih
Biji yang besar dan padat pada umumnya memiliki kualitas
yang baik dibandingkan dengan biji yang memiliki yang kecil.
Namun biji yang kecil dan padat lebih baik daripada biji yang besar
tetapi memiliki bobot yang ringan.Selain bobot benih, faktor
lainnya yang menjadi dasar pertimbangan dalam memilih benih
adalah kandungan protein dalam biji. Kandungan protein sangat
penting untuk vigor saat pertumbuhan awal. Vigor awal dan

16 | P a g
kecepatan tumbuh benih yang tinggi sangat menentukan vigor
tanaman dan menekan pertumbuhan gulma. Daya kecambah benih
yang akan ditanam sebaiknya > 90%, karena itu sebaiknya dilakukan
pengujian daya berkecambah sebelum penanaman, meskipun
menggunakan benih bersertifikat. Perlakuan pendahuluan terhadap
benih gandum dengan merendamnya pada air destilasi selama 12
jam meningkatkan kecepatan berkecambah dan jumlah biji
berkecambah (Arief et al., 2012).
 Penanaman
Di Indonesia, gandum ditanam pada dataran tinggi >800 mdpl
setelah tanaman hortikultura. Penanaman gandum setelah
hortikultura akan memutus siklus hama/penyakit yang dapat
menyerang tanaman hortikultura berikutnya, sehingga
hama/penyakit pada hortlkultura dapat ditekan, karena itu
penanaman gandum disesuaikan dengan penanaman hortikultura.
Untuk mendapatkan hasil yang baik, tanaman gandum ditanam pada
akhir musim hujan atau awal musim kemarau, karena pada saat
tersebut curah hujan tidak terlalu tinggi dan suhu cukup baik < 28 OC.
Ludwig and Asseng (2010) menyatakan, gandum dengan daya
tumbuh yang cepat sesuai pada lahan-lahan yang pasir lempungan
dibandingkan lahan berat dengan kandungan lempung yang tinggi.
Penanaman dilakukan secara larik, kedalaman larikan 4 – 6 cm,
jarak tanam antar larik harus disesuaikan dengan tipe varietas
yang dibudidayakan. Jarak tanam yang sesuai akan
mengoptimalkan jumlah anakan yang muncul. Varietasgandum
yang memiliki jumlah anakan banyak, di tanam dengan jarak yang
lebih lebar sehingga tanaman memiliki ruang yang cukup untuk
pertumbuhannya. Sebaliknya varietas yang memiliki karakter
jumlah anakan yang sedikit sebaiknya ditanam dengan jarak tanam
yang tidak terlalu lebar sehingga dapat mencapai populasi yang

17 | P a g
optimal dan target hasil yang diharapkan dapat tercapai. Jarak tanam
antar larikan yang baik adalah 20 - 30 cm.
 Pemupukan
Penyemprotan KNO3 sebanyak 10 kg/ha akan membantu meningkat
jumlah gabah berisi pada tanaman gandum, mengingat bahwa
tanaman gandum pada daerah tropis sering terjadi jumlah gabah
hampa yang tinggi. Penambahan ZPT GA sebanyak 250 ppm yang
dikombinasikan dengan jarak tanam legowo mampu meningkatkan
hasil gandum (Ariani et al., 2015). Pemberian N akan meningkatkan
biomass tanaman gandum termasuk luas area daun, yang pada
gilirannya menyebabkan persaingan untuk memperoleh air dari
media tanam (Cabrera-Bosquet et al., 2009). Untuk mencegah
degradasi kesuburan lahan, maka penggunaan bahan organik
sudah harus menjadi prtimbangan. Selain itu, pemberiaan bahan
organik selain berdampak langsung terhadap tanaman melalui
peningkatan produktivitas, juga berdampak terhadap peningkatan
efisiensi penggunaan pupuk anorganik. Pemberian pupuk orgnik
sebanyak 2-3 t/ha sebelum tanam yang disebar merata di atas
permukaan tanah pada saat pengolahan tanah terakhir.
 Panen
Panen dapat dilakukan pada saat massak fisiologi, fase masak
fisiologis/ripening ditandai dengan warna tanaman berubah menjadi
berwarna jerami dan biji menjadi mengeras. Biji menjadi sulit untuk
dipecah menggunakan ibu jari. Akan tetapi pada saat masak fisiologi
biasanya kadar air biji masih >20% perontokan pada kadar air
seperti itu akan kesulitan dan menyebabkan tingkat kehilangan
hasil yang tinggi, kecuali jika mempunyai mesin pengering. Oleh
karena itu untuk memudahkan perontokan dan mengurangi
kehilangan hasil, penundaan panen hingga kadar kadar biji saat
panen ≤15%. Panen dilakukan dengan sabit bergerigi atau mesin
panen yang biasa digunakan padi. Perontokan dilakukan

18 | P a g
menggunakan thresher khusus gandum, atau dapat juga dengan
mesin thresher padi yang dimodifikasi disesuaikan untuk gandum.
Setelah perontokan selanjutnya biji gandum dikeringkan dibawah
sinar matahari atau mesin pengering hingga mencapai kadar air biji
12% (Suwarti dan Syafruddin, 2016).
b. Aspek Ekonomi Komoditas Gandum
Gandum atau terigu sudah menjadi bahan pangan utama di Indonesia.
Pada saat ini sebagian besar penduduk Indonesia telah mengkonsumsi roti
dan mie berbahan baku tepung terigu sebagai bahan pangan pokok kedua
setelah beras. Pola konsumsi pangan beras-terigu menyebar ke seluruh
wilayah, baik di perkotaan maupun pedesaan, sehingga dapat dikatakan
diversifikasi pangan berbasis gandum secara nasional sudah terjadi.
Konsekuensinya, Indoensia menjadi salah satu negara pengimpor gandum
terbesar di dunia. Pada tahun 2010 Indonesia menjadi negara pengimpor
terigu terbesar ke-4 di dunia, dengan volume impor 5,6 juta ton. Pada tahun
2011 Indonesia sudah menjadi negara pengimpor terigu terbesar ke-2 di
dunia dengan volume impor 6,2 juta ton dan pada tahun 2013 meningkat
menjadi 7 juta ton (Aptindo 2013). Asosiasi Produsen Terigu Indonesia
(Aptindo) memperkirakan permintaan gandum akan melonjak tajam hingga
10 juta ton per tahun dalam satu dekade ke depan. Bila Indonesia masih
bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri tentu akan
menyedot devisa yang cukup besar, sehingga dapat mempengaruhi
ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi Indonesia
mengembangkan gandum di dalam negeri mendukung ketahanan pangan
berbasis tepung walaupun komoditas ini merupakan tanaman subtropis.
Impor gandum cenderung meningkat dari tahun ke tahun karena
meningkatnya permintaan akibat peningkatan jumlah penduduk dan
pendapatan masyarakat Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan industri
pangan berbasis terigu selama ini dipenuhi dari Impor. Jumlah impor yang
sangat besar tersebut membuka peluang bagi pengembangan gandum di
Indonesia. Indonesia juga sudah mengekspor gandum dalam bentuk tepung

19 | P a g
terigu dan bahan olahan seperti tepung, mie instan, roti, dan biskuit ke
berbagai negara di Asia. Nilai ekspor terigu dan bahan olahan tersebut pada
tahun 2012 mencapai US $. 541.758.000 (Aptindo 2013).
Pada tahun 1998, hampir semua bentuk subsidi dan pembatasan impor
dihapus. Berdasarkan kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan IMF
ditetapkan bea masuk impor 5%, yang dituangkan ke dalam Keppres No. 45.
Kebijakan tersebut dicabut dan sejak Maret 2002 bea masuk menjadi 0%.
Indonesia termasuk negara yang paling liberal di bidang gandum dibanding
negara Asia lainnya. Sebagai gambaran pada tahun 2000, Thailand, Filipina
dan Srilanka menetapkan bea masuk berturut-turut 40%, 7% dan 25%,
karena desakan dari para pengusaha asosiasi industri pangan yang
menggunakan bahan baku gandum/tepung terigu untuk menerapkan bea
masuk antidumping pada tepung terigu (harga tepung terigu yang dijual ke
Indonesia diduga dengan harga murah). Pada awal April 2003 pemerintah
menetapkan bea masuk tepung terigu 5% (Sawit 2003).
Menurut Ariani (2003), banyaknya impor gandum untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri cukup beralasan mengingat bahan pangan ini belum
dapat diproduksi di dalam negeri. Gandum dan produk olahannya seperti mi
mengalami peningkatan konsumsi setiap tahunnya. Dalam kurun waktu
sepuluh tahun (1990-1999), laju pertumbuhan jumlah konsumen mi di kota
mencapai 56,5% dan 67% di desa. Impor gandum Indonesia mencapai 4,3
juta ton pada tahun 2002 dan merupakan importir terbesar ke-enam di dunia
pada saat itu dan sekarang Indonesia menempati peringkat ke-empat
importir gandum terbesar di dunia.
Pada saat ini diperkirakan konsumsi tepung terigu sekitar
15kg/kapita/tahun atau sekitar 12% konsumsi per kapita beras, meningkat
dari 13kg/kapita/tahun pada tahun 1969 yang hanya 5% dari konsumsi beras
per kapita. Tingkat konsumsi tepung gandum (terigu) meningkat sekitar
500%selama 30 tahun terakhir. Pada saat ini, empat buah pabrik tepung
terigu menguasai hampir 90% pangsa pasar terigu di Indonesia, dan yang
terbesar adalah Bogasari yang menguasai sekitar 65%. Industri penggilingan

20 | P a g
gandum dan pasar tepung terigu di Indonesia lebih mencirikan pasar
oligopoli daripada pasar persaingan (Sawit, 2003).
Tingginya tingkat konsumsi mi instan dikarenakan produk turunan yang
dihasilkan sangat beragam dan promosinya juga sangat kuat. Banyak ragam
jenis, bentuk, rasa dan cara mengolah mi misal mi basah, mi kuah, mi instan
dan produk mi lainnya. Produk mi dapat dengan cepat diolah, disajikan dan
dikonsumsi dengan kemasan yang bagus dan variasi harga mi sesuai dengan
kemampuan konsumen dari golongan atas, menengah maupun bawah. Selain
itu mi juga dapat dengan mudah dijumpai di berbagai tempat, tidak hanya di
swalayan tetapi juga di pasar tradisional atau warung kecil di pedesaan
(Ariani dan Ashari, 2003).
Purnomosidi (2004) melakukan penelitian tentang “Permintaan Impor
Gandum Indonesia” dengan menggunakan data runtut waktu (time series
data). Periode tahun 1972-2002, yang dianalisis dengan regresi Ordinary
Least Square (OLS) dan mengunakan pendekatan model koreksi kesalahan
(ECM). Variabel yang digunakan meliputi volume permintaan impor
gandum sebagai variabel terikat, sedangkan harga gandum internasional,
harga beras domestik, pendapatan per kapita dan penggunaan terigu oleh
industri makan digunakan sebagai variabel bebas.
Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa variabel harga gandum
internasional signifikan dengan koefisien elastisitas sebesar - 0,22. Jika
harga gandum meningkat 1% maka permintaan impor gandum Indonesia
mengalami penurunan sebesar 0,22% dalam jangka panjang. Variabel harga
beras juga signifikan dengan koefisien elastisitas sebesar 0,04. Jika harga
beras meningkat 1% maka permintaan impor gandum akan mengalami
kenaikan sebesar 0,04% dalam jangka panjang. Koefisien jangka panjang
variabel pendapatan adalah 1,790535. Tanda koefisien ini positif sesuai
dengan teori, dimana pendapatan mempunyai pengaruh positif terhadap
permintaan inmpor gandum Indonesia. Variabel penggunaan terigu oleh
industri makanan signifikan dengan koefisien elastisitas sebesar 0,2%. Jika
penggunaan terigu oleh industri makanan meningkat sebesar 1% maka

21 | P a g
permintaan impor gandum Indonesia akan mengalami kenaikan sebesar
0,02% dalam jangka panjang.
2.1.4Analisis Biaya dan Pendapatan
Analisis biaya dan pendapatan merupakan hal yang sangat penting bagi
para petani atau para pengusaha petani dalam melakukan perkembangan
komoditas bagi usaha mereka. Dalam buku Ilmu Usahatani Karya Ken
Suratiyah, dijelaskan bahwa petani sebagai pelaksana mengharap produksi yang
lebih besar lagi agar memperoleh pendapatan yang besar pula. Oleh karena itu,
petani disini tentu akan menggunakan beberapa variabel atau input tambahan
yang akan mendorong produktivitas usahataninya. Hal ini meliputi tenaga kerja,
modal, sarana dan prasaran produksi. Keempat hal tersebut dalam usahatani
berfungsi sebagai umpan untuk mendapatkan tingkat produksi yang didapatkan.
Ada kalanya produksi yang diperoleh justru lebih kecil dan sebaliknya ada
kalanya produksi yang diperoleh lebih besar.
Suatu usahatani dikatakan berhasil apabila usahatani tersebut dapat
memenuhi kewajiban membayar bunga modal, alat-alat yang digunakan, upah
tenaga luar serta sarana produksi yang lain termasuk kewajiban terhadap pihak
ketiga dan dapat menjaga kelestarian usahanya. Dalam melakukan analisis biaya
dan pendapatan, dalam buku Ilmu Usahatani Karya Ken Suratiyah ini dijabarkan
mengenai pendekatan analisis biaya dan pendapatan yang di breakdown menjadi
3 pendekatan sebagai berikut :
 Pendekatan nominal
Pendekatan nominal tanpa memperhitungkan nilai uang menurut
waktu (time value of money) tetapi yang dipakai adalah harga yang
berlaku, sehingga dapat langsung dihitung jumlah pengeluaran dan
jumlah penerimaan dalam suatu periodeproses produksi. Formula
menghitung pendapatan nominal adalah sebagai berikut :

22 | P a g
Penerimaan – Biaya Total = Pendapatan
Penerimaan = Py . Y
Py = Harga Produksi
(Rp./kg) Y = Jumlah
Produksi (kg)
Biaya total = Biaya tetap + Biaya
Gambar 1. Fomula Pendekatan Nominal
 Pendekatan future value
Pendekatan ini memperhitungkan semua pengeluaran dalam proses
produksi ke nanti pada saat panen atau saat akhir proses produksi.
Sebagai contoh, usahatani kacang tanah di Kota Barru dengan bunga
1%, maka dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Pengeluaran :
Bulan 1 : Rp.290.725 x 1,03
= Rp.294.446
Bulan 2 : Rp. 75.000 x 1,02
= Rp.76.500
Bulan 3 : Rp. 75.000 x 1,01
= Rp.75.750
= Rp.75.000+
= Rp.603.696
Bulan 4 : Rp.75.000 Total
x 1,02
bulan 4
b. Penerimaan :

Bulan 4 : Rp.1.300.830 x 1,00 = Rp.1.300.830


c.Pendapatan :
Bulan 4 : Penerimaan – Biaya= Rp.697.133

Gambar 2. Penjabaran Pendekatan Future Value


 Pendekatan present value
Pendekatan ini memperhitungkan semua pengeluaran dan
penerimaan dalam proses produksi dibawa ke saat awal atau
sekarang saat dimulainya proses produksi. Sebagai contoh, usahatani
kacang di Kota Makassar dengan bunga 2%. Maka penjabarannya
sebagai berikut :

23 | P a g
a. Pengeluaran :
Bulan 1 : Rp.290.725 x 0,98
= Rp.284.910
Bulan 2 : Rp. 75.000 x 0,961
= Rp.72.065
Bulan 3 : Rp. 75.000 x 0,942
= Rp.70.650
Bulan 4 : Rp.152.000 x 0,923
= Rp.140.296+
Total Sekarang Penerimaan :
= Rp.567.931

b.
Bulan 4 : Rp.1.300.830 x 0,923 = Rp.1.200.666
c. Pendapatan :
Sekarang : Penerimaan – Biaya = Rp.632.734

Gambar 3. Penjabaran Pendekatan Present Value


2.1.5Analisis Partial Budgetting
Analisis partial budgetting merupakan sebuah analisis yang
dipertimbangkan untuk digunakan dalam menganalisis suatu perilaku tertentu
khususnya dalam bisnis khususnya di bidang pertanian, dan disesuaikan dalam
pertimbangan bisnis. Partial Budgetting (PB) mengukur efek positif dan negatif
dari perubahan dalam bisnis. Pada sisi bagian kiri PB, menunjukkan efek positif
pada laba bersih termasuk pendapatan tambahan dan pengurangan biaya. Untuk
mengimbangi efek positif ini, sis kanan mencakup pengurangan pendapatan dan
biaya tambahan atau efek negatif dari perubahan yang terjadi (Lesley, et al.,
1991).
Partial Budgetting, memiliki empat bagian kategori di dalamnya, yaitu :
Additional Income, Reduced Costs, Reduced Income, dan Additional Costs
(Lesley, et. al., 1991).
 Reduced Costs
Pada kasus tertentu, ketika suatu komoditasa digantikan kedudukannya
dengan komoditas lain, maka yang akan terjadi adalah, biaya yang terkait
dengan penanaman komoditas merupakan Reduced Costs dari usaha tani
ini, dan dapat berupa variable costs atau fixed costs (Devillet, et al., 1981).
Dalam kasus lainnya, ketika dalam suatu usahatani menggunakan input
seperti penggunan pupuk, dan sewaktu-waktu usahatani ini tidak lagi

24 | P a g
menggunakan pupuk ini dalam pengolahan usahataninya, maka yang
terjadi adalah pupuk yang digunakan sebelumnya sebagai input
digolongkan kedalam reduced costs karena tidak lagi digunakan dalam
pengolahan usahataninya. Meski beberapa penggunaan input dalam
usahatani yang digolongkan sebagai reduced costs merupakan suatu
barang atau komoditas yang diusahakan atau digunakan sebelumnya,
namun di masa depan tidak digunakan lagi, naum ada beberapa
pertimbangan mengenai barang apa saja yang tidak tergolong kedalam
reduced costs atau pengurangan harga. Seperti, biaya untuk bangunan,
peralatan pertanian (mesin), perlengkapan bangunan, dan fixed items
lainnya, karena pada dasarnya alat/barang seperti itu sudah melekat atau
menetap dalam bisnis atau usahatani yang dijalankan dan diusahakan. Hal
ini juga berlaku untuk tenaga kerja ketika perubahan membutuhkan lebih
sedikit tenaga kerja, tetapi pasokan jika diperbaiki dengan operaotr dan
bantuan gaji penuh waktu. Total pendapatan dan pengurangan biaya
memiliki efek positif yang sama pada laba bersih.
 Reduced Income
Reduced income merupakan suatu perubahan yang diusulkan dalam
operasi pertanian yang dimana dapat mengurangi pendapatan pertanian
karena adanya perubahan dalam praktik produksi – perusahaan
dihilangkan, dikurangi ukuran atau hasilnya. Contoh kasus yang dapat
mencerminkan ini adalah, ketika suatu usahatani memutuskan untuk
mengurangi atau menghilangkan suatu komoditas yang telah dikelola
sebelumnya, dan justru meningkatkan komoditas yang baru dikelolanya.
Dan komoditas yang dikurangi/dihilangkan ini, dicatat sebagai reduced
income pada partial budgetting ini.
 Additional Costs
Pada bagian ini, partial budgeting termasuk biaya baru yang terkait
dengan perubahan yang diusulkan. Biaya ini dapat berupa fixed costs atau
variable costs. Contoh kasus, misalnya dalam suatu usahatani
menambahkan usaha tanaman atau peternakan baru ke usahatani mereka,

25 | P a g
maka hal ini akan dihitung dan disertakan di bawah biaya tamabahan item
variable costs, seperti benih, pupuk, bahan bakar dan minyak, sewa,
tenaga kerja upahan, pakan, layanan kedokteran hewan, dan lain
sebagainya.
 Net Income
Dengan pengkalkulasian dari perubahan yang tersedia dengan cara
membandingkan sum of additional income dengan reduced costs with the
sum of reduced income and additional costs. Jika additional income dan
reduced costs lebih besar dai reduced income dan reduced costs maka
kesimpulan yang dapat ditarik adalah terdapatnya kenaikan dalam net
income. Lalu di sisi lain, kenaikan dari net income yang ternilai positif,
harus dibandingkan dengan ukuran dari kenaikan net income dengan
pertambahan tenaga kerja, investasi, dan risiko terkait dengan perubahan
yang telah diusulkan sebelumnya, sehingga dapat disimpulkan suatu net
income dari usahatani tersebut.
Berdasarkan pengkategorian yang dilakukan oleh Lesley, et al., (1991),
Lesley juga memberikan arahan mengenai bagaimana partial budgetting
digunakan. Lesley, et al., (1991) mengelompokkan penggunaan partial
budgetting menjadi dua bagian yaitu dengan cara :
 Mengganti satu perusahaan dengan perusahaan lain
 Memperkerjakan kustom atau melakukan gabungan pekerjaan dengan
perusahaan lain
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa partial budgetting merupakan
alat yang sangat berguna dalam menganalisis banyak masalah pengelolaan
pertanian. Partial Budgetting juga ini merupakan alat yang ampuh untuk
menganalisis masalah praktis yang dihadapi oleh penyluh sehari-hari. Namun,
hasil yang diperoleh hanya berlaku untuk satu situasi tertentu, yaitu harus
ditinjau kembali saat menerapkannya pada pertanian lain dan di situasi pasar
tertentu (Lesley, et al., 1991).

26 | P a g
2.1.6Cost, Volume, and Profit Analysis
Cost-Volume-Profit (CVP) Analysis, yang kadang disebut dengan istilah
breakeven analysis (Hirschey & Pappas, 1998:345), adalah salah satu teknik
analisis penting yang digunakan untuk mengkaji hubungan antara biaya (costs),
penerimaan (revenues) dan keuntungan (profits). Dalam literatur berbahasa
Indonesia, khususnya dalam literatur ekonomi pertanian dan manajemen
usahatani, pemakaian istilah CVP Analysis masih asing. Istilah pengganti yang
banyak digunakan adalah breakeven analysis. Terjemahan istilah terakhir ini
yang sering dijumpai adalah “analisis pulang-pokok”. Namun terjemahan
tersebut belum disepakati sebagai satu-satunya terjemahan baku dalam Bahasa
Indonesia. Masing-masing penulis menerjemahkannya sesuai selera dan rasa
bahasa yang disukainya. Terjemahan lain istilah breakeven analysis yang juga
dijumpai dalam kepustakaan berbahasa Indonesia misalnya analisis silang-
imbang, analisis kembali pokok, dan lainlain (Sigit, 1993:1). Dalam tulisan ini,
dengan maksud tidak mengurangi maknanya, maka istilah Cost-Volume-Profit
Analysis tetap dipakai, yang kemudian disingkat menjadi CVP Analysis.
CVP Analysis adalah salah satu pendekatan/ peralatan analisis finansial
yang digunakan oleh para managerial-economists untuk mengetahui berapa
jumlah produksi harus dihasilkan dalam suatu kegiatan usaha, sehingga kegiatan
usaha tersebut tidak menderita kerugian. CVP Analysis juga berfungsi untuk
mengetahui berapa jumlah produksi yang harus dihasilkan untuk memperoleh
keuntungan yang diinginkan (desired profit). Secara teknis, CVP Analysis dalam
aplikasinya tidak lain adalah mengetahui keterkaitan antara, jumlah
produksi/penjualan komoditas yang diproduksi, harga jual, biaya produksi,
profit dan kerugian (Elderburg & Wolcott, 2004:89, Hirschey & Pappas,
1998:345, Keat & Young, 2000:421).
Cost-Volume-Profit Analysis memiliki berbagai macam fungsi analisis dan
perhitungan yang berguna bagi manajer perusahaan dalam pengambilan
keputusan.seperti. Menurut Ade (2018), terdapat beberapa asumsi yang harus
terpenuhi agar menghasilkan analisis yang berguna yaitu :

27 | P a g
 Perubahan yang terjadi pada pendapatan dan biaya yang terjadi karena
adanaya perubahan unit produk/jasa yang dihasilkan. Sehingga CVP
analysis tidak mengakui perubahan pendapatan karena faktor-faktor di
luas produksi/operasional untuk menghasilkan produk/jasa, seperti :
pendapatan di luar usaha (retribusi, sewa ruangan di rumah sakit, dan
sebagainya.
 Komponen biaya dapat diidentifikasikan menjadi dua yaitu biaya tetap dan
biaya variabel. Artinya CVP analysis hanya mengakui biaya sesuai dengan
perilakunya terhadap produk/kasa yang dihasilkan. Jika tidak proporsional
dengan unit yang dihasilkan maka disebut dengan biaya variabel, jika tidak
proporsional atau tidak mengalami perubahan pada periode tertentu
disebut dengan biaya tetap. Dengan demikian, pada CVP analysis harus
dilakukan pemisahan antara biaya tetap dengan biaya variabel.
 Ketika digambarkan pada suatu grafik, garis total pendapatan dengan garis
total biaya bersifat linier atau searah yang disebabkan oleh perubahan unit
produk/jasa.
 Harga produk/jasa, biaya variabel per unit dan total biaya tetap, nilainya
diketahui dan konstan pada periode waktu tertentu.
Sedangkan menurut Sigit (1993), asumsi yang diperlukan agar para analis
finansial dapat menggunakan CVP Analysis dengan tepat sebagai berikut :
 Biaya-biaya yang digunakan dalam usahatani yang dikelola oleh seorang
petnai atau perusahaan pertanian harus dapat dipisahkan dengan menjadi
dua jenis biaya, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable
cost). Jadi dalam CVP Analysis kita hanya mengenal dua jenis biaya
tersebut. Jika seorang analis mengklasifikasikan biaya usahatani lebih
detail, misalnya selain kedua jenis yang telah disebutkan di atas, juga
ditambahkan dua jenis biaya lainnya yaitu semi variabel dan semi tetap,
maka masing-masing biaya tersebut dimasukkan ke dalam “biaya
variabel” dan “biaya tetap”.
 Biaya yang telah ditetapkan sebagai biaya tetap dan biaya variabel harus
dapat diterapkan secara konsisten sesuai defenisinya.

28 | P a g
 Biaya variabel akan tetap sama jika dihitung biaya per unit produknya,
berapapun kuantitas produksi yang dihasilkannya. Jika kegiatan produksi
berubah, maka biaya variabel akan berubah secar proporsional sesuai
dengan perubahan volume produksi, sehingga biaya per unitnya akan tetap
sama.
 Harga jual komoditas yang dihasilkan per unit harus tetap, berapapun
kuantitas produk yang dijual. Harga jual per unit tidak akan diturunkan,
jika misalnya pembeli membeli dalam jumlah yang banyak. Begitupula
sebaliknya, meskipun pembeli hanya membeli sedikit. Ringkasnya, banyak
atau sedikit yang dibeli harga jual per unit tidak akan mengalami
perubahan.
 Jenis usahatani/komoditas yang dianalisis hanya satu jenis
komoditas/cabang usahatani, misalnya usahatani padi saja. Jika ternyata
petani tersebut menghasilkan dan menjual dua jenis produk dari satu
cabang usahatani, misalnya selain menjual gabah juga jerami, maka kedua
produk tersebut harus dianggap satu jenis saja dengan kombinasi yang
selalu tetap.
 Ada sinkronisasi dalam kegiatan usahatnai yang dikelola antara kegiatan
produksi dan penjualan hasil produksi. Komoditas yang diproduksi harus
terjual/dihitung terjual secara keseluruhan dalam satu siklus produksi/satu
periode waktu tertenu. Jadi tidak ada sisa produksi atau persediaan awal
untuk masa produksi berikutnya.
CVP Analysis ini memiliki beberapa manfaat dalam penerapannya. Dalam
Cost-Volume-Profit Analysis : Teori dan Aplikasi dalam Bidang Pertanian oleh
Muslim Salam (2014), secara umum, CVP Analysis dapat digunakan untuk
mengatahui hal-hal di bawah ini :
 Produk apa, di antara dua produk yang dihasilkan, yang perlu ditingkatkan
untuk mencapai keuntungan yang lebih tinggi.
 Berapa jumlah produksi yang harus dihasilkan untuk mencapai target
keuntungan yang direncanakan.
 Jumlah penerimaan yang dibutuhkan untuk menghindari kerugian

29 | P a g
 Mengontrol kinerja usahatani dan atau perusahaan pertanian agar tetap
berjalan sesuai dengan perencanaan.
 Berapa harga jual per unit yang harus ditetapkan agar bisa mencapai
keuntungan tertentu yang direncanakan.
 Berapa jumlah produksi dan harga jual per unit minimal agar kegiatan
usahatani dan atau suatu perusahaan pertanian memperoleh zero profit
(tidak untung dan tidak rugi).

30 | P a g
BAGIAN TIGA
3.1 METODE PENULISAN LAPORAN
3.1.1 Waktu Penulisan Laporan
Penulisan laporan ini berlangsung selama 8 hari dalam rentang waktu
mulai dari Sabtu, 21 November 2020 sampai dengan Ahad, 29 November 2020.
3.1.2 Sumber Data
Sumber data yang digunakan pada pembuatan laporan ini merupakan
sumber data yang terpercaya dan sesuai yang terjadi di lapangan. Jenis data yang
digunakan merupakan data sekunder atau merupakan data yang dapat ditemukan
di sumber internet dapat berupa buku, jurnal, artikel, atau literatur lainnya yang
memiliki sertifikasi yang terpercaya. Namun dikarenakan data yang digunakan
merupakan data gabungan dari beberapa literatur, sehingga data ini masih
memiliki kemungkinan ketidakakuratan dengan yang terjadi di lapangan
3.1.3 Analisis Data
Dalam penulisan laporan ini, digunakan tiga jenis analisis data yaitu
Analisis Biaya dan Pendapatan, Analisis Partial Budgetting, dan CVP Analysis.
Analisis data dengan menggunakan tiga jenis analisis dapat dirumuskan seperti
dibawah ini :
 Total Cost (TC) atau Total Biaya
TC = FC + VC
Keterangan :
TC = Total Cost (Total Biaya)
FC = Fixed Cost (Biaya Tetap)
VC = Variable Cost (Biaya Variabel)
 Total Revenue (TR) atau Total Penerimaan
TR =PxQ
Keterangan :
TR = Total Revenue (Total
Penerimaan) P = Price (Harga)
Q = Quantity (Kuantitas atau Jumlah Produksi)

31 | P a g
 Pendapatan (Pd)
Pd = TR – TC
Keterangan :
Pd = Pendapatan
TR = Total Revenue (Total Penerimaan)
TC = Total Cost (Total Biaya)
 Benefit Cost of Ratio (B/C Ratio)
𝑇𝑅
BC
𝑇𝐶
=
Keterangan :
BC = Benefit Cost of Ratio
TR = Total Revenue (Total
Penerimaan) TC = Total Cost (Total
Biaya)

 Breakeven Price
𝑉𝐶 𝐶ℎ𝑎𝑙𝑙𝑒𝑛𝑔𝑒𝑟+𝑅𝑇𝐹𝐶 𝐷𝑒𝑓𝑒𝑛𝑑𝑒𝑟
Breakeven Price
𝐻𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝐶ℎ𝑎𝑙𝑙𝑒𝑛𝑔𝑒𝑟
=

Keterangan :
VC Challenger = Variabel Cost dari tanaman challenger
RTFC Defender = RTFC dari tanaman Defender didapatkan dari
(Gross Revenue –Variable Cost) dari tanaman
defender
 Breakeven Yield
𝑉𝐶 𝐶ℎ𝑎𝑙𝑙𝑒𝑛𝑔𝑒𝑟+𝑅𝑇𝐹𝐶 𝐷𝑒𝑓𝑒𝑛𝑑𝑒𝑟
Breakeven Yield
𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 𝐽𝑢𝑎𝑙 𝐶ℎ𝑎𝑙𝑙𝑒𝑛𝑔𝑒𝑟
=

Keterangan :
VC Challenger = Variabel Cost dari tanaman challenger
RTFC Defender = RTFC dari tanaman defender didapatkan dari
(Gross Revenue –Variable Cost) dari tanaman

32 | P a g
defender

33 | P a g
BAGIAN EMPAT
4.1 METODE PENULISAN LAPORAN
4.1.1 Pendahuluan
Dalam melakukan analisis Biaya dan Pendapatan, Benefits Costs Ratio dan
Cost-Volume and Profit Analysis komoditas tanaman semusim, maka akan
diperlukan beberapa variabel perhitungan yang terkait dengan hal tersebut. Pada
bagian ini, akan dilakukan perhitungan analisis terkait hal tersebut dengan
menggunakan data dari dua komoditas tanaman semusim.
4.1.2 Komoditas Padi
a. Jenis-Jenis Biaya Usahatani Padi
Pada bagian ini, penulis akan menjabarkan mengenai jenis-jenis biaya
usahatani padi dalam satu musim tanam, ditemukan bahwa terdapat 5 jenis
biaya usahatani yaitu; Biaya Produksi; Biaya Variabel; Biaya Tetap;
Pendapatan Kotor; dan Pendapatan Bersih. Pada usahatani ini,
menunjukkan Pendapatan Kotor selama satu musim tanam terhitung
Rp.950.836.000,- dengan penggunaan variabel input total sebesar
Rp.226.346.250,-.
Variabel input yang digunakan dalam usahatani ini terdiri dari : Benih,
dengan harga total selama satu musim tanam sebesar Rp.7.380.000; Pupuk
dengan harga total selama satu musim tanam sebesar Rp.55.680.000;
Pestisida dengan harga total selama satu musim tanam sebesar
Rp.16.715.000; Penggunaan Tenaga Kerja pada satu musim tanam sebesar
Rp.65.911.250; dan Kebutuhan Lain-Lain selama satu musim tanam sebesar
Rp.81.200.000. Dan terhitung biaya tetap selama satu musim tanam sebesar
Rp.15.686.000,- yang dimana pendapatan bersih terhitung sebesar
Rp.708.803.750, dengan harga jual per kg sebesar Rp.3.800 pada tingkat
produksi sebesar 250.220 kg dalam satu musim tanam usahatani padi.

34 | P a g
b. Struktur Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usahatani Padi
Tabel 1. Struktur Biaya, Penerimaan dan pendapatan Usahatani Padi Dalam
Satu Musim Tanam
No. Uraian Jumlah
1. Biaya Tetap Rp.15.686.000
Biaya Variabel
a. Benih Rp.7.380.000
b. Pupuk Rp.55.680.000
2.
c. Pestisida Rp.16.175.000
d. Penggunaan Tenaga Kerja Rp. 65.911.250
e. Biaya lain-Lain Rp.81.200.000
Total Biaya Variabel Rp.226.346.250
3. Total Biaya Rp.242.032.250
4. Harga/kg Rp.3.800,-
5. Total Produksi 250.220 kg
6. Pendapatan Kotor Rp.950.836.000
7. Pendapatan Bersih Rp.708.803.750

4.1.3 Komodias Jagung


a. Jenis-Jenis Biaya Usahatani Jagung
Pada bagian ini, penulis akan menjabarkan mengenai jenis-jenis biaya
usahatani jagung dalam satu musim tanam dan diperlihatkan bahwa terdapat
4 jenis biaya usahatani jagung. Pada biaya tetap, terhitung total pengeluaran
selama satu musim tanam sebesar Rp.2.362.517. Lalu, pada biaya variabel
terdiri atas 5 input yaitu; Pupuk Urea sebesar Rp.2.394.000 dalam satu
musim tanam; Pupuk KCL sebesar Rp.1.820.000 dalam satu musim tanam;
Pupuk TSP sebesar Rp.570.000; Konsumsi sebesar Rp.8.890.000 dalam satu
musim tanam; dan Transportasi sebesar Rp.1.200.000 dalam satu musim
tanam. Dan total biaya variabel dalam satu musim tanam sebesar

35 | P a g
Rp.14.874.000, dan menunjukkan total biaya sebesar Rp.17.236.000 dalam
satu musim tanam.
Lalu, pendapatan kotor yang diterima oleh usahatani ini menunjukkan
angka sebesar Rp. Rp.63.190.000 dengan angka penjualan produksi sebesar
Rp.5.000/kg di angka produksi sebesar 12.638kg. Dan pendapatan bersih
sebesar Rp.45.953.483 dalam satu musim tanam usahatani jagung.
b. Struktur Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usahatani
Jagung
Tabel 2. Struktur Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usahatani
Jagung dalam Satu Musim Tanam
No. Uraian Jumlah
1. Biaya Tetap Rp.2.362.517,-
2. Biaya Variabel
a. Pupuk Urea Rp.2.394.000,-
b. Pupuk KCL Rp.1.820.000,-
c. Pupuk TSP Rp.570.000,-
d. Konsumsi Rp.8.890.000,-
e. Transportasi Rp.1.200.000,-
Total Biaya Variabel Rp.14.874.000,-
3. Total Biaya Rp.17.236.517,-
4. Harga/kg Rp.5.000,-
5. Total Produksi 12.638 kg
6. Pendapatan Kotor Rp.63.190.000,-
7. Pendapatan Bersih Rp.45.953.483,-

4.1.4 Komoditas Gandum


a. Jenis-Jenis Biaya Usahatani Gandum
Pada bagian ini, penulis akan menjabarkan mengenai jenis-jenis biaya
usahatani gandum dalam satu musim tanam. Dijabarkan terdapat 4 jenis
biaya usahatani. Biaya tetap pada usahatani gandum ini mencapai

36 | P a g
Rp.3.792.745 dalam satu musim tanam. Biaya variabel dengan total
Rp.2.045.589,- dalam satu musim tanam, terdiri dari : Benih sebesar
Rp.603.277; Pupuk sebesar Rp.1.215.215; Pestisida sebesar Rp.203.320; dan
Bahan Bakar sebesar Rp.23.777. Dengan total biaya sebesar Rp.5.838.334,-
Usahatani ini dapat memperoleh pendapatan kotor sebesar
Rp.6.990.000,- dalam satu musim tanam dengan total produksi sebanyak
2.330 kg pada harga Rp.3.000 per kg-nya. Dan menghasilkan pendapatan
bersih sebesar Rp.1.151.666,- dalam satu musim tanam.
b. Struktur Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usahatani
Gandum
Tabel 3. Struktur Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usahatani Gandum
No. Uraian Jumlah
1. Biaya Tetap Rp.3.792.745,-
2. Biaya Variabel
a. Benih Rp.603.277,-
b. Pupuk Rp.1.215.215,-
c. Pestisida Rp.203.320,-
d. Bahan Bakar Rp.23.777,-
Total Biaya Variabel Rp.2.045.589,-
3. Total Biaya Rp.5.838.334,-
4. Harga/kg Rp.3.000,-
5. Total Produksi 2.330 kg
6. Pendapatan Kotor Rp.6.990.000,-
7. Pendapatan Bersih Rp.1.151.666,-

4.1.4 Analisis Partial Budgetting


Partial Budgetting (PB) mengukur efek positif dan negatif dari perubahan
dalam bisnis. Pada sisi bagian kiri PB, menunjukkan efek positif pada laba bersih
termasuk pendapatan tambahan dan pengurangan biaya. Untuk mengimbangi

37 | P a g
efek positif ini, sis kanan mencakup pengurangan pendapatan dan biaya
tambahan atau efek negatif dari perubahan yang terjadi (Lesley, et al., 1991).
Pada bagian ini, akan dilakukan analisis partial budgetting, terhadap dua
komoditas tanaman semusim yaitu padi dan jagung. Berikut adalah analisis yang
dilakukan terhadap kedua komoditas tersebut :
Tambahan Biaya (Rp) Tambahan Pendapatan (Rp)
(Usahatani Padi) (Usahatani Padi)
Biaya Tetap = Rp.15.686.000 Pendapatan Kotor Usahatani Padi =
Biaya Variabel : Rp.950.836.000
Benih = Rp.7.380.000
Pupuk =Rp.55.680.000
Pestisida = Rp.16.175.000
Penggunaan Tenaga Kerja =Rp. 65.911.250
Biaya Lain-Lain = Rp.81.200.000
Berkurangna Pendapatan (Rp) Berkurangnya Biaya (Rp)
(Usahatani Jagung) (Usahatani Jagung)
Pendapatan Kotor Usahatani Jagung = Biaya Tetap = Rp.2.362.517
Rp.63.190.000 Biaya Variabel :
Pupuk Urea = Rp.2.394.000
Pupuk KCL = Rp.1.820.000
Pupuk TSP = Rp.570.000
Konsumsi = Rp.8.890.000
Transportasi = Rp.1.200.000
Total tambahan biaya dan berkurangnya Total tambahan pendapatan dan
pendapatan per tahun berkurangnya biaya per tahun
= Rp.305.908.750 = Rp.968.072.516
Perubahan Bersih = Rp.662.163.766 (Positif) per tahun/Menguntungkan
Tabel 4. Partial Budgetting Jagung-Padi
Tabel di atas merupakan suatu tabel pembanding antara pendapatan dan
biaya yang dikeluarkan seorang petani ketika ingin melakukan suatu pergantian

38 | P a g
usahatani dari usahatani jagung menjadi usahatani padi. Terlihat adanya total
tambahan biaya dan berkurangnya pendapatan pada tabel sebelah kiri per tahun
sebesar Rp.305.908.750,- dan total tamabhaan pendapatan dan berkurangnya
biaya pertahun pada tabel sebelah kanan sebesar Rp.968.072.516,-
Agar dapat mengetahui bahwa pengambilan keputusan yang dilakukan
oleh petani ini sudah tepat, maka akan dilakukan pengurangan pada kedua
variabel tersebut. Pengurangan dilakukan terhadap kedua variabel tersebut
dengan tujuan agar dapat diketahui apakah pengambilan keputusan yang
dilakukan terhadap petani dalam mengubah usahataninya dari jagung menjadi
padi sudah tepat (menguntungkan) atau tidak tepat (merugikan).
Menurut Lesley, et al (1991), ketika partial budgetting mengarah ke kanan
(positif) berarti menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang telah
dilakukan sudah tepat karena telah menunjukkan keuntungan yang akan
didapatkan petani ketika melakukan perubahan terhadap usahataninya, namun
ketika partial budgetting mengarah ke kiri (negatif), maka pengambilan
keputusan dari usahatani ini tidak tepat karena dapat terjadi kerugian.
Berdasarkan perhitungan di atas, perubahan bersih yang didapatkan petani
ketika mengubah usahataninya dari usahatani jagung menjadi usahatani padi,
menunjukkan angka Rp.662.163.766 (Positif) per tahun/Menguntungkan, yang
berarti pengambilan keputusan dari petani ini sudah tepat karena partial
budgettingnya mengarah ke kanan atau menguntungkan. Sesuai dengan
pernyataan Lesley, et al (1991) tadi.
4.1.5 Cost-Volume-Profit Analysis
CVP Analysis adalah salah satu pendekatan/ peralatan analisis finansial
yang digunakan oleh para managerial-economists untuk mengetahui berapa
jumlah produksi harus dihasilkan dalam suatu kegiatan usaha, sehingga kegiatan
usaha tersebut tidak menderita kerugian.
Pada bagian ini, akan dilakukan analisis CVP terhadap dua komoditas
yaitu jagung dan gandum. Dimana gandum sebagai tanaman defender dan jagung
sebagai tanaman challenger. Berikut adalah analisis nya.

39 | P a g
WORKSHEET
Perbandingan Tanaman Challenger dan Defender
Tanaman Defender : Gandum
Hasil Produksi 2.330 kg
Harga Jual/kg Rp.3.000
Gross Revenue Rp.6.990.000
Biaya Variabel
Bibit Rp.603.277
Pupuk Rp.1.215.215
Pestisida Rp.203.320
Bahan Bakar Rp.23.777
Jumlah Biaya Variabel Rp.2.045.589
Return to Fixed Costs Rp.4.944.411

Tanaman Challenger : Jagung


Hasil Produksi 12.638 kg
Harga Jual/kg Rp.5.000
Gross Revenue Rp.63.190.000
Biaya Variabel
Pupuk Urea Rp.2.394.000
Pupuk KCL Rp.1.820.000
Pupuk TSP Rp.570.000
Konsumsi Rp.8.890.000
Transportasi Rp.1.200.000
Jumlah Biaya Variabel Rp.14.874.000
Return to Fixed Costs Rp.8.564.000

Untuk mengalihkan lahan tersebut, RTFC Tanaman Challenger harus lebih


besar dari RTFC Tanaman Defender. Berdasarkan tabel di atas, RTFC
Challenger lebih besar yaitu Rp.8.564.000 dibandingkan dengan RTFC

40 | P a g
defender yaitu Rp.4.944.411 Maka pengalihan lahan dapat dilakukan.
Menghitung Breakeven Tanaman Challenger
Breakeven Price Rp.1.602
Breakeven Yield 3.963 kg
Tabel 5. Cost Profit Analysis Gandum-Jagung
Berdasarkan tabel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa petani dapat
disimpulkan petani yang sedang mengusahakan usahatani gandum, dapat
mengalihkan lahannya menjadi lahan yang mengelola usahatani jagung. Hal ini
dikarenakan, RTFC atau Return to Fixed Cost dari tanaman challenger yaitu
tanaman jagung memiliki angka yang lebih besar dibandingkan dengan RTFC
dari tanaman gandum.
Hal ini mendasari teori yang disebutkan di dalam tabel.5 yaitu dimana,
seorang petani dapat mengalihkan lahannya dari lahan yang mengusahakan
tanaman defender atau tanaman gandum, menjadi lahan yang dapat digunakan
untuk mengusahakan tanaman challenger atau tanaman jagung, ketika RTFC
tanaman challenger memiliki angka yang lebih tinggi dari tanaman defender.
Hal ini dikarenakan, RTFC akan menetapkan tingkat keuntungan dari
petani ini ketika mengusahakan atau mengalihkan lahan ke tanaman atau
komoditas lainnya. Ketika RTFC defender justru lebih rendah, maka yang akan
terjadi adalah ketika lahannya dialihkan ke lahan yang mengusahakan tanaman
challenger yang memiliki RTFC lebih rendah maka petani tersebut akan
mengalami kerugian. Sehingga untuk mengambil keputusan dalam mengalihkan
lahan, petani harus memperhatikn RTFC tanaman challenger terlebih dahulu.
Karena RTFC tanaman challenger lebih tinggi daripada tanaman defender pada
kasus ini, maka petani dapat mengalihkan lahanya karena dapat menghasilkan
keuntungan bagi petani ini.

41 | P a g
BAGIAN LIMA
5.1KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis data yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa
ada beberapa spesifikasi tertentu yang menjadi penentu suatu usahatani dalam
melakukan pengalihan lahan. Hal yang terutama yang perlu diperhatikan oleh
seorang petani dalam melakukan pengalihan lahan dari komoditas terdahulu
menjadi komoditas terbaru adalah aspek keuntungan yang akan diperoleh oleh
petani tersebut dalam melakukan pengalihan lahan.
Keuntungan akan dianggap sangat penting dalam pengolahan lahan,
karena tujuan dalam mendirikan suatu usahatani adalah mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya. Pada Analisis Partial Budgetting terhadap tanaman padi-
jagung, untuk menentukan apakah layaknya dilakukan pengalihan lahan atau
tidak dengan cara memperhatikan arah dari perubahan bersih yang diperoleh dari
analisis tersebut. Apabila mengarah ke kiri (negatif) maka pengalihan lahan
dinilai tidak layak karena akan merugikan, sedangkan apabila mengarah ke kanan
(positif), maka pengalihan lahan dianggap layak karena mendatangkan
keuntungan. Pada kasus ini, pengalihan lahan dari jagung ke padi dianggap
menguntungkan karena perubahan bersih yang akan dimiliki mengarah ke kanan
(positif) yang dapat mendatangkan keuntungan.
Lalu, pada Cost, Volume and Profit Analysis terhadap tanaman jagung dan
gandum, untuk menentukan layaknya dilakukan pengalihan lahan atau tidak,
aspek Return to Fixed Cost nya akan diperhatikan. Jika RTFC tanaman
challenger lebih besar dibandingkan dengan RTFC tanaman defender maka
dianggap layak untuk dilakukan, begitu juga sebaliknya dalam kasus
ketidaklayakan pengalihan lahan. Dalam kasus ini, gandum sebagai tanaman
defender memiliki RTFC yang lebih rendah daripada RTFC jagung sebagai
tanaman challenger, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengalihan lahan layak
untuk dilakukan karena dapat mendatangkan keuntungan dari pengalihan lahan
dari komoditas gandum ke komoditas jagung.

42 | P a g
5.1.2 Saran
Dalam melakukan pengolahan data, sebaiknya menggunakan data primer
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Namun dikarenakan
adanya pandemi COVID-19, maka pengambilan data yang dilakukan berasal dari
data sekunder sehingga hasilnya tidak seakurat penggunaan data primer.

43 | P a g
DAFTAR PUSTAKA
AAK. 2001. Teknik Bercocock Tanam Jagung. Kanisius Yogyakarta.hal 29,51.
Ade, H. 2018. Cost-Volume-Profit Analysis : Aplikasi pada Pelayanan Kesehatan.
Prodi Kesmas, Universitas Esa Unggul Jakarta
Agustian A. 2014. Daya saing komoditas padi, jagung, dan kedelai dalam konteks
pencapaian swasembada pangan. Policy Brief. [Internet]. Bogor (ID): Pusat
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Available from:
http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/PB_A NJAK_ADG_2014.pdf
Anonim.1997. Teknik Bercocok Tamam Jagung. Kanisius Yogyakarta. 140 h.
Aptindo. 2013. Overview Industri Tepung Terigu Nasional Indonesia.
www.aptindo.or.id. Jakarta, 14 Maret 2013.
Ariani M, Pasandaran E. 2005. Pola konsumsi dan permintaan jagung untuk
pangan-buku ekonomi jagung Indonesia. Jakarta (ID): Badan Litbang
Pertanian. Departemen Pertanian.
Ariani, M dan Ashari. 2003. Arah, Kendala dan Pentingnya Diversifikasi
Konsumsi Pangan di Indonesia. Forum Agro Ekonomi. Vol. 21, No. 2.
Desember. Bogor
Ariani, M., 2010. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Mendukung
Swasembada Beras. Pros. Pekan Serealia Nas. 978–979.
Arifin, B. 2007. Diagnosis Ekonomi Politik Pangan dan Pertanian, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Arief, R., Koes, F., Komalasari, O., 2012. Effect of priming on seed vigor of
wheat (Triticum aestivum L .). Agrivita 34, 50–55.
Arief, S. 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi. UI Press. Jakarta.11
Arsyad Lincolin.2008. Ekonomi Manajerial. Ekonomi Mikro Terapan Untuk
Manajemen Bisnis. BPFE-Yogyakarta. 205
Cabrera-Bosquet, L., Molero, G., Nogués, S., Araus, J.L., 2009. Water and
nitrogen conditions affect the relationships of Δ13C and Δ18O to gas
exchange and growth in durum wheat. J. Exp. Bot. 60, 1633–1644.
doi:10.1093/jxb/erp028
[CAPSA] Centre for Alleviation of Poverty through Sustainable Agriculture.
2006. Pengembangan agribisnis berbasis palawija di Indonesia: perannya
dalam peningkatan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan.
Prosiding Seminar Nasional. [Internet]. Bogor (ID): Centre for Alleviation
of Poverty through Sustainable Agriculture. Available from:
http://uncapsa.org/sites/default/files/CG49_0.pdf

44 | P a g
Christel, W., Bruun, S., Magid, J., Jensen, L.S., 2014. Phosphorus availability
from the solid fraction of pig slurry is altered by composting or thermal
treatment. Bioresour. Technol. 169, 543–551.
Dadari, S.A.Ã., Mani, H., 2005. The effect of post-emergence weed control on
irrigated wheat (Triticum aestivum L .) in the Sudan savannah of Nigeria 24,
842–847.
Deddy, K. 2016. Prospek Pengembangan Agribisnis Padi Organik di Kabupaten
Kediri Guna Mendukung Program Ketahanan Pangan di Jawa Timur. Jurnal
Ilmiah INOVASI, Vol.1 No.1 Hal, 23-32, Edisi Januari-April 2016, ISSN
1411-5549.
Departemen Pertanian. 2007. Prospek dan arah pengembangan agribisnis jagung.
Buku edisi kedua. Jakarta (ID): Badan Litbang Pertanian.
Departemen Pertanian. Ditjen Tanaman Pangan. 2004. Proksi mantap melalui
borneo corn belt. Makalah lokakarya seminar integrasi jagung dan ternak
Pontianak. 22-24 September 2004. Pontianak (ID): Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Kalimantan Barat, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian. 2008. Laporan Kegiatan Pembinaan dan Pengawalan
Agroindustri Berbasis tepung Lokal, Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian,
Jakarta
Departemen Pertanian.2011. Road Map Pencapaian Sasaran Produksi Jagung
Tahun 2012. Jakarta
Devillet, R., J. Degand, and E. Dardenne. 1981. The economic benefits of maize
cultivation. Guide du maisiculteur et rapport C.I.P.F. (1981): 112-127.
Ditjen Tanaman Pangan. 2004. Proksi mantap melalui borneo corn belt. Makalah
lokakarya seminar integrasi jagung dan ternak Pontianak. 22-24 September
2004. Pontianak (ID): Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan
Barat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Effendi. 1991. Jagung. CV. Swaraguna. Jakarta. 80 h.
Elderburg, Leslie G. & Wolcott, Susan K. 2004. Cost Management: Measuring,
Monitoring & Motivating Performance, John Wiley & Sons, Inc.
Elik, M. 2014. Macam Teknik Budidaya Terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman Padi (Oryza sativa. L). J. Agroland 21 (2) : 62 - 68, Agustus 2014.
ISSN : 0854-641X, E-ISSN : 2407 – 7607
Falatehan F, Wibowo A. 2008. Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif
pengusahaan komoditi jagung di Kabupaten Grobogan: studi Kasus Desa
Panunggalan, Kecamatan Pulokulon, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.

45 | P a g
[Internet]. J Agribisnis dan Ekon Pertan. 2(1):1-15. Available from:
http://journal.ipb.ac.id/index.php/ jurnalagribisnis/article/view/5988/4646
Gaspersz Vincent.2011. Ekonomi Manajerial (Managerial Economics).
Percetakan Penebar Swadaya.PT. Jakarta. 216-217.
Haryadi, S.S. 1990. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta.
Hirschey, Mark & Pappas, James L. 1998. Fundamental of Managerial
Economics, sixth edition, The Dryden Press, Chicago, New York, San
Fransisco, Philadelphia, Montreal, Toronto, London, Sydney, Tokyo.
Hoel, B., Kjersti, A., Arne, J., Koga, S., Ulrike, B., Anderson, J.A., Moldestad, A.,
2015. Variation in gluten quality parameters of spring wheat varieties of
different origin grown in contrasting environments 62, 110–116
Känkänen, H., Alakukku, L., Salo, Y., Pitkänen, T., 2011. Growth and yield of
spring cereals during transition to zero tillage on clay soils 34, 35–45.
Kariyasa K, Sinaga BM, Adyana MO. 2012. Proyeksi produksi dan permintaan
jagung, pakan dan daging ayam ras di indonesia. J of Food Security and
Agriculture. 1(1):1-22.
Kementerian Perdagangan. 2011. Tinjauan pasar jagung pipilan. [Internet].
Jakarta (ID): Majalah Edisi Jagung/Des/2011. Available from:
https://ews.kemendag.go.id/ download.aspx?
file=130905_ANL_MAP_Jagung+ Rev+1.0.pdf&type=publication
Ken, S. 2006.Ilmu Usahatani. Penebaar Swadaya Grup, ISBN L: 9790026803,
9789790026803
Komalasari, O., Hamdani, M., 2010. Uji Adaptasi Beberapa Galur / Varietas
Gandum di NTT. Pros. Pekan Serealia Nas. 978–979.
Lessley, B. V., and D. Holik. 1987.Determining the Cost of Owning or Custom
Hiring Machinery Services, University of Maryland System, pp. 4.
Ludwig, F., Asseng, S., 2010. Potential benefits of early vigor and changes in
phenology in wheat to adapt to warmer and drier climates. Agric. Syst.
103, 127–136. doi:10.1016/j.agsy.2009.11.001
Maulana, M. 2012. Prospek Implementasi Kebijakan Harga Pembelian
Pemerintah (HPP) Multi Kualitas Gabah dan Beras di Indonesia. Prospect of
Goverment' Purchase Price for Multy-Quality Rici in Indonesia. Analisis
Kebijakan Pertanian (Agricultural Policy Analysis). Pusat Social Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio
Economic and Policy Studies). Badan Penelitian dan Pengembangan

46 | P a g
Pertanian, Kementrian Pertanian. Volume 10, No.3, Bogor, September 2012.
ISSN 1963-2001
Muslim, S. 2014. Cost-Volume-Profit Analysis : Teori dan Aplikasi dalam Bidang
Pertanian
Nadapdap HJ. 2016. Dinamika produktivitas padi, jagung, dan kedelai di Pulau
Jawa, Indonesia. J Penelit Pertan Terap. 17(1):1-10.
Nikmah A, Fauziyah E, Rum M. 2013. Analisis produktivitas usahatani jagung
hibrida di Kabupaten Sumenep. [Internet]. J Agriekonomika. 2(2):97-105.
Available from: https://media.neliti.com/media/publications/29426- ID-
analisis-produktivitas-usahatani-jagung-hibridadi-kabupaten-sumenep.pdf
Nur, A., Khumaida, N., Yahya, S., 2012. EVALUASI DAN KERAGAMAN
GENETIK 12 GALUR GANDUM INTRODUKSI DI LINGKUNGAN
TROPIKA BASAH. Agrivigor 11, 230–243.
Pangestika VB, Syafrial, Suhartini. 2016. Simulasi kebijakan tarif impor jagung
terhadap kinerja ekonomi jagung di Indonesia. [Internet]. Habitat 26(2):100-
107. Available from: http://habitat.ub.ac.id/index.php/habitat/article/vie
w/193/224
Patola, E., Ariyantoro, H., 2015. Uji pemberian pupuk hayati biotamax dan
macam pupuk kandang terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman gandum
(Triticum aestivum L.). JOGLO 29, 10–18.
Pasandaran E, Kasryno F. 2002. Sekilas ekonomi jagung Indonesia: suatu studi di
sentra utama produksi jagung–Ekonomi Jagung Indonesia. Jakarta (ID):
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Pramono, J., S. Basuki, Widarto. 2005. Upaya Peningkatan Produktivitas Padi
Sawah Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu.
Agrosains 7 (1). Hal 1-6.
[PSEKP] Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 2010. Analisis
kebijakan pertanian: analisis penawaran dan permintaan jagung untuk pakan
di Indonesia. Bogor (ID): Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian.
Purnomosidi, B. A. 2004. Permintaan Impor Gandum Indonesia. Fakultas
Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Pusat Data dan Sistim Informasi Pertanian (Pusdatin), Kementrian Pertanian.
2015. "Padi" Buletin Produksi Tanaman Pangan, Vol.1 Issue 1
Pusat Data dan Sistim Informasi Pertanian (Pusdatin), Kementrian Pertanian.
2015. Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan : "Padi". ISSN : 1907-
1507.

47 | P a g
Rukmana Rahmat.2010. Jagung Budidaya, Pascapaen,dan Penganekaragaman
Pangan. Aneka Ilmu. CV. Semarang. 1.
Sawit, M.H. 2003. Kebijakan Gandum/Terigu: Harus Mampu
Menumbuhkembangkan Industri Pangan dalam Negeri. Analisis kebijakan
Pertanian 1(2): 57-67.
Schmohl, N., Horst, W.J., 2002. Effect of aluminium on the activity of apoplastic
acid phosphatase and the exudation of macromolecules by roots and
suspension-culture cells of Zea mays L. J. Plant Physiol. 159, 1213–1218.
Siagian Renville. 2003. Pengantar Manajemen Agribisnis. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. 6-7.
Sigit, Soehardi, Drs. (1993). Analisa Break Even: Ancangan Linear Secara
Ringkas dan Praktis, edisi ketiga, BFFE, Yogyakarta.
Simamora, T.J. L. 2006. Pengaruh Waktu Penyiangan dan Jarak Tanam Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung (Zeamays L) Varietas DK3.
http://respository.usu.ac.id/bitstream/12346789/7568/1/09E00237.Pdt.
Soekartawi. 2011. Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani
Kecil, UI-Press.197
Sopandie, Amrullah Didy, Sugianta dan Ahmad Junaedi. 2014. Peningkatan
Produktivitas Tanaman Padi (Oryza Sativa, L) through The Application of
Nano Silica. Pangan. Media Komunikasi dan Informasi, Vol.23 No.1
Jakarta, Maret 2014. ISSN 0852-0607.
Subandi, Manwan I, Blumenschein A. 1988. Jagung: teknologi produksi dan
pascapanen. Bogor (ID): Economic and Social Commission for Asia and the
Pacific (ESCAP).
Suryana A, Agustian A. 2014. Analisis dayasaing usahatani jagung di Indonesia.
Anal Kebijak Pertan. 12(2):143-156.
Susenas-BPS. 2014. Buletin Konsumsi Pangan. Volume 5 No.1. Jakarta: Pusat
Data dan Sistem Informasi Pertanian.
Suwarti, Syafruddin. 2016. Teknologi Budidaya Gandum di Indonesia. Balai
Penelitian Tanaman Serealia
Swain DK, Herath S, Pathirane A, Mittra BN. 2005. Rainfed lowland and flood
prone rice: a critical review on ecology and management technology
improving the productivity in Asia. Thailand (ID): Role of Water Sciences
in Transboundary River Basin Management
Swastika DKS, Agustian A, Sudaryanto T. 2011. Analisis senjang penawaran dan
permintaan jagung pakan dengan pendekatan sinkronisasi sentra produksi,
pabrik pakan, dan populasi ternak di Indonesia. Inform Pertan. 20(2):65-75.

48 | P a g
Tangendjaja B, Yusdja Y, Ilham N. 2005. Analisis ekonomi permintaan jagung
untuk pakan. Buku Ekonomi Jagung Indonesia Cetakan 2. Jakarta (ID):
Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.
Utomo S. 2012. Dampak impor dan ekspor jagung terhadap produktivitas jagung
di Indonesia. J Etikonomi. 11(2):158-179
Warisno. 1988. Budidaya Jagung Hibrida. Kanisius. Yogyakarta. 117 h.
Winarso B. 2012. prospek dan kendala pengembangan agribisnis jagung di
Propinsi Nusa Tenggara Barat. J Penelit Pertan Terap. 12(2):103-114.

49 | P a g

You might also like