You are on page 1of 19

MAKALAH

ISTIHSAN, MASHLAHAH MURSALAH, DAN ISTISHAB


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh
Dosen pengampu: Yunik Rahmiyati, M. Pd

Disusun oleh:

Kelompok 7:

1. Eka Aryana Syavira Rahman 2111101004


2. Fitriana Putri Ibrahim 2111101125
3. Qori Abdillah Syahadi 2111101173

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS
SAMARINDA
TAHUN
2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, mari panjatkan puji syukur atas kehadirat Allah, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya sehingga penulis mampu
menyelesaikan makalah yang berjudul ISTIHSAN, MASHLAHAH
MURSALAH, DAN ISTISHAB untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh.
Penulis sangat menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan kesalahan baik dari segi pemaparan, penyajian, penyampaian,
pemahaman, dan masih banyak lagi tentunya. Maka dari itu, penulis sangat
membutuhkan masukan, saran serta kritik yang membangun dari pembaca sekalian
demi kelancaran dalam pembuatan makalah selanjutnya. Dalam proses pembuatan
makalah ini pun penulis mendapatkan banyak pembelajaran sehingga penulis pun
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam pembuatan makalah ini.
Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua sehingga
menambah wawasan dan pengetahuan yang dapat di terapkan dalam kehidupan
sehari-hari.

Samarinda, 01 November 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... 2

DAFTAR ISI ................................................................................................... 3

BAB I PEMBUKAAN .................................................................................... 4

A. Latar Belakang ................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah .............................................................................. 4
C. Tujuan Penulisan ................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 5

A. Istihsan ............................................................................................... 5
B. Mashlahah Mursalah .......................................................................... 10
C. Istishab ............................................................................................... 14

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 18

A. Kesimpulan ........................................................................................ 18
B. Saran .................................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 19

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum syara' merupakan satu nama hukum yang disandarkan pada
syariat atau syariah. Yakni suatu ketentuan yang berasal dari Allah SWT
dan Rasul, baik dalam bentuk tekstual maupun hasil pemahaman ulama.
Karenanya juga dikatakan berasal dari Al-Qur'an dan Hadis.
Sebenarnya kalau direnungkan lebih jauh, tidak ada hukum Islam itu
ditetapkan, sekalipun oleh ulama besar yang ada yaitu dikeluarkan. Jadi,
para ulama hanya mengeluarkan hukum, karena hukum itu sendiri
sebenarnya telah ada sebelum manusia ada. Itulah sebabnya para mujtahid
dinamakan penggali hukum, bukan penetap hukum.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Istihsan ?
2. Apa yang dimaksud Mashlahah Mursalah?
3. Apa yang di aksud Istishab?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk menganalisis Istihsan
2. Untuk menganalisis Mashlahah Mursalah
3. Untuk menganalisis Istishab

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Istihsan
1. Pengertian Istihsan
Didalam bahasa Arab Istihsan diartikan dengan pengertian
“Menganggap sesuatu baik atau menikuti sesuatu yang baik atau
menganggap baik atau bagus1. Secara Terminologi , Abdul Wahab Khalaf
memberikan definisi bahwa Istihsan adalah berpindahnya seorang
mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas yang
Khafi (samar), atau ketentuan hukum kulli (umum) kepada ketentuan
hukum yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena adanya kesalahan
memahami dalil yang memungkinkan memenangkan perpindahan itu2.
Kemudian Rahmat Syafe’i menambahkan bahwa Istihsan secara harfiah
adalah meminta kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan
menganggapnya kebaikan3. Dari kesemuanya itu, maka kemudian istilah
Istihsan dapat diklarifikasikan menurut beberapa pendapat, yaitu4:

a. Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa juz-1:137,


bahwa Istihsan ialah semua hal yang dianggap baik oleh Mujtahid
menurut akalnya.
b. Al-Muawafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, bahwa Itihsan
adalah suatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya kepada
suatu keadilan terhadap hukum, serta pandangannya itu

1
A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya:
Pustaka Progessif, 1997) hal. 265.
2
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-fikih (Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah, cetakan
VIII, 1991) hal. 79.
3
Imam Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh Cet. 3 (Bandung: Pustaka Setia, 2007) hal. 111
4
Imam Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh Cet. 3 (Bandung: Pustaka Setia, 2007) hal. 111-112

5
dikarenakan adanya dalil tertentu yaitu dari Al-Qur’an dan al-
hadist.
c. Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam Mahzab Al-Maliki berkata, bahwa
Istihsan yakni Pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat juz’i
dalam menanggapi dalil yang bersifat global.
d. Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi, bahwa Istihsan yakni
perbuatan yang adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan
memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang kuat yang
membutuhkan keadilan.
e. Menurut Muhammad Abu Zahrah, bahwa definisi Istihsan yang
lebih baik adalah definisi menurut Al-Hasan Al-Kurkhi seperti
yang telah disebutkan di atas.
f. Sebagai ulama yang lainnya mengatakan bahwa Istihsan adalah
perbuatan adil dalam hukum yang menggunakan dalil adat untuk
kemaslahatan manusia dan lain-lain.

2. Kehujjahan Istihsan
Ada tiga pendapat dari ulama tentang nilai Istihsan sebagai hujjah, yakni:

a. Pendapat dari Ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanbaliyah yang


mengatakan bahwa Istihsan adalah dalil syara’ dengan beralasan:

1) Istihsan itu ditetapkan berdasarkan penelitian terhadap kasus-


kasus dan hukum-hukum yang ternyata penggunaan Qiyas nya itu
menerapka yang umum atau dalil yang Kulli (menyeluruh), yang
terkadang dibeberapa kasus menyebabkan hilangnya
kemaslahatan manusia, karena kasus-kasus tersebut memiliki
kekhususan-kekhususan tersendiri. Hal ini merupakan suatu
keadilan dan rahmat bagi semua manusia apabila dibukakan jalan
sebagai seorang mujtahid di dalam memecahkan kasus seperti ini
yaitu mentar-tarjih dalil agar tercapainya kemaslahatan dan

6
menolak kemadharatan, dengan kata lain seperti ungkapan dalam
kaidah fikih yaitu “Dar’u al-Mafasid wa Jalbu al-Mashalih”yang
artinya: “Menolak kemafsadatann dan meraih kemaslahatan”.
Jadi istihsan disini digunakan untuk mendapatkan kemaslahatan
dan menolak kemadhratan atau menemukan maslahatan lebih
kuat dan mencari kemadhratannya yang lebih sedikit.

2) Istihsan itu ditetapkan berdasarkan penelitian terhadap Nash-nash


Syara’ yang menunjukkan bahwa Allah yang maha bijaksana
berpindah dari sebagai kasus-kasus yang bisa digunakan Qiyas
atau umumnya Nash kepada hukum lain yang memberikan
kemaslahatan dan menolak kemafsadatan, misalnya Allah
mengharamkan bangkai, darah, daging babi, dan apa yang
disembelih selain atas nama Allah (,,ala Ghairillah), selanjutnya
Allah SWT telah berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 173
yang artinya “tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melmpui batas, maka tidak ada dosa baginya”5

b. Ulama-ulama yang menolak istihsan memiliki alasan-alasan sebagai


berikut:

1) Syari’at itu berupa Nash atau mengembalikan kepada Nash dengan


Qiyas, maka dimana letaknya istihsan dan dalam hal ini bertentangan
dengan firman Allah SWT yang terdapat di dalam Al-Qur’an surat al-
Qiyamah ayat 36 yang artinntya, “Apakah manusia mengira bahwa, ia
akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungan jawab).
2) Istihsan tidak ada dhabitnya-nya dan tidak ada ukuran-ukuran untuk
mengqiyaskannya, sehingga apabila dihadapkan kepada seseorang

5
Depag. RI., Al-Qur’an........,42.

7
mujtahid suatu kasus, maka dia akan menetapkan hukum sesuai
dengan aopa yang dianggap baik sesuai dengan seleranya.
3) Apabila Istihsan dibolehkan dalam berijtihad yang tidak berdasarkan
dengan Nash atau tidak dikrmbalikan kepada Nash, maka Istihsan
boleh dilakukan oleh siapa saja meskipun tidak mengetahui Al-
Qur’an. Atas dasar ini maka Imam asy-Syafi’i berkesimpulan bahwa:
“Man Istihsana Faqad Syara’a” artinya “Barang siapa yang
menetapkan hukum dengan Istihsan berarti dia telah membuat syari’at
sendiri.

c. Pendapat yang menyatakan bahwa Istihsan adalah dalil syara’, bukan


juga dengan dalil yang Mustaqil, akan tetapi kembali kepada dalil syara’
yang lain, sebab setelah diteliti tujuan pokok Istihsan itu tetap kembali
kepada maslahat. Pendapat ini dipegang (antara lain) oleh Imam Syafi’i
di dalam menentang istihsan yang kemudia kita bandingkan dengan
definisi Istihsan yang telah dikemukakan di atas (dimana tidak ada
pertentangan yang prinsip). Alasannya (baik Mahzab Syafi’i maupun
Madzhab Hanafi), apabila Istihsan diartikan sebagai apa-apa yang
dianggap baik oleh keinginan hawa nafsunya tanpa adanya dalil,
sehinnga yang demikian itu adalah bathil dan tidak bisa diterima. Imam
asy-Syaukani mengenai hal ini ini mengatakan bahwa orang yang
mengambil istihsan sebagai dalil, tidaklah dia semata-mata mendasarkan
pendapatnya kepada perasaan dan syahwatnya, tetapi ia kembali ke apa
yang ianketahui tentang maksud syara’ secara keseluruhan.6

3. Contoh Istihsan
Berdasarkan dalil yang memperkuat istihsan, Ulama hanafiah membagi
Istihsan kepada enam macam, yaitu:7

6
Acep Djazuli & I. Nurol Acen, Ushul Fiqh........., h. 138-142.
7
Abu Ishak Al-Syatibi, Al-Muwaffaqat Fi Ushul al-Syariah (Beiurut: Dar al-Makrifah.
Jilid IV, 1975) hal. 206-208.

8
1. Istihsan bil an-Nash (Istihsan yang didasarkan pada ayatt Al-Qur’an
atau Hadist), yakni berpindah dari ketentuan hukum berdasarkan
ketetapan qiyas atau hukum yang kully (umum) kepada hukum yang
lain yang ditetapkan berdasarkan nash al-Qur’an atau hadist. Seperti
menghukumkan tetap sahnya puasa orang yang makan atau minum
karena terlupa. Hal ini berlandaskan kepada hadist Nabi saw: “siapa
saja yang makan dan minum karena lupa, maka janganlah ia berbuka,
karena itu merupakan rizki yang dianugerahkan Allah.” Imam Abu
Hanifah berkomentar terhadap kasus ini: “andaikakata tiada nash yang
tidak membatalkan puasa lantaran makan dan minum karena lupa,
tentulah saya memandang batal puasa itu karena sudah rusah satu
rukunnya yaitu menahan diri dari segala yang merusak puasa.”
2. Istihsan bi al-Ijma’ (Istihsan yang didasarkan kepada Ijma’), yakni
berpindah dari ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas atau
hukum kully (umum) kepada hukum lain yang ditetapkan berdasarkan
ijma’, seperti bolehnya akad salam.8
3. Istihsan bi al-Dharurah (Istihsan berdasarkan dharurah), yakni istihsan
yang disebabkan karenaadanya keadaan yang darurat (terpaksa) yang
mendorong Mujtahid untuk meninggalkan dalil qiyas atau hukum
kully (umum) dan mujtahid berpegang kepada prinsip yang
mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya
kemudharotan.
4. Istihsan bi al-Urf (Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku
umum), yaitu berpindah dari ketentuan hukum berdasarkan ketetapan
qiyas atau hukum kully (umum) kepada hukum lain, karena adanya
Urf yang sudah di praktrekkan dan sudah dikenal dalam kehidupan
masyarakat.

8
Muhammad al-Said Ali Abdul Rabuh, Buhust fi al-adillah al-Mukhtalaf fiha inda al-
Ushuliyin (Mesir: Matba’ al Sa-adah, 1980) hal. 72.

9
5. Istihsan bi al-maslahah (istihsan yang berdasarkan dengan
kemaslahatan), yakni berpindah dari ketentuan hukum yang
berdasarkan ketetapan kiyas atau hukum kully (umum) kepada hukum
yang lain, karena adanya kemaslahatan dan kemanfaatan yang lebih
besar serta dapat diterima oleh dalil syar’i.
6. Istihsan bi al-khafi (Istihsan yang berdasarkan qiyas yang samar),
yakni memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang
jelas kepada ketentuan qiyas yang samar, tetapi keberadaanya lebih
kuat dan lebih tepat untuk diamallkan.

B. Mashlahah Mursalah
1. Pengertian
Maslahah mursalah menurut bahasa berarti Maslahah sama dengan
manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat
atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Sedangkan secara istilah,
terdapat beberapa definisi Maslahah yang di kemukakan oleh ulama ushul
Fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esesnsi yang sama. Imam
Ghozali mengemukakan bahwa pada prinsipnya Maslahah adalah
mengambil manfaat dan menolak kemdharatan dalam rangka memelihara
tujuan-tujuan syara’.

2. Obyek Mashlahah Mursalah


Ulama yang menggunakan Maslahah Mursalah menetapkan batas
wilayah penggunaannya, yaitu hanya untuk masalah diluar wilayah ibadah,
seperti muamalat dan adat. Dalam masalah ibadah (dalam arti khusus) sama
sekali Maslahah Mursalah tidak dapat dipergunakan secara keseluruhannya.
Alasannya karena maslahat itu didasarkan pada pertimbangan akal tentang
baik buruk suatu masalah, sedangkan akal tidak dapat melakukan hal itu
untuk masalah ibadah.

10
Segala bentuk perbuatan ibadah bersifat ta’abbudi dan tawqifih, artinya
kita hanya mengikuti secara apa adanya sesuai dengan petunjuk syar’i dalam
nash dan akal sama sekali tidak dapat mengetahui kenapa demikian.
Umpanya mengenai shalat dzuhur empat rakaat dan dilakukan sesudah
tergelincir matahari, tidak dapat dinilai akal apakah itu baik atau buruk.
Di luar wilayah ibadah, meskipun diantaranya ada yang tidak dapat
diketahui alasan hukumnya, namun secara umum bersifat rasional dan oleh
karenanya dapat dinilai baik atau buruknya oleh akal. Contohnya minum
khamar itu adalah buruk karena merusak akal. Penetapan sanksi atas
pelanggar hukum itu baik karena dengan begitu umat bebas dari kerusakan
akal yang dapat mengarah pada tindak kekerasan.
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa maslāhah mursālah itu
difokuskan terhadap lapangan masalah yang tidak terdapat dalam nash, baik
dalam Alquran dan sunnah yang menjelaskan hukum- hukum yang ada
penguatnya melalui suatu i’tibār. Juga difokuskan pada hal- hal yang tidak
didapatkan adanya ijma’ atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian
tersebut.

3. Kehujjahan Mashlahah Mursalah


Imam Syafi’i adalah imam mazhab yang menolak menggunakan dalil
maslahah mursalah. Untuk memperkuat pendapat tersebut, beliau
mengemukakan alasan-alasan atas penolakan beliau terhadap penggunaan
dalil maslahah mursalah sebagai berikut:

a. Bahwa syariat telah datang dengan segala hukum yang merealisir


semua kemaslahatn manusia. Kadang-kadang dengan nash, dan
kadang -kadang dengan cara qiyas terhadap perkara yang sudah ada
hukumnya dalam nash. Oleh karena itu, tidak ada maslahah
mutlaqah (yang terlepas) yang tidak dibenarkan Allah. Dan setiap
maslahah yang ada pasti sudah ada dalil yang didatangkan.9
Oleh karena itu apabila timbul maslahah yang tidak didatangkan
oleh dalil syariat untuk membenarkannya, maka maslahah tersebut
bukanlah maslahah hakiki. Karenanya tidak boleh dipakai sebagai
dasar hukum.

9
Zakariyah al Bary, Mashadir al Ahkam al Islamiyyah (t.t.: t.p., 1975), h. 132.

11
b. Bahwa berpegang kepada maslahah mursalah dalam tasryri’, akan
membukakan pintu bagi pengikut hawa nafsu dan syahwat dari
berbagai ahli fiqhi. Kemudian mereka memasukkan ke dalam syariat
sesuatu yang bukan syariat. Dan mereka akan membentuk hukum
dengan alasan maslahah, padahal ia sebenarnya adalah sesuatu yang
mengandung kerusakan. Dengan demikian tersia-sialah syariat dan
rusaklah manusia.
Dalam kaitannya dengan ini Imam al Ghazali mengatakan bahwa
kita semua tahu dan yakin bahwa seorang alim tidak akan
menetapkan hukum tanpa memandang indikasi dari beberapa dalil.
Istihsan tanpa memperhitungkan dalil-dalil syara’ adalah hukum
yang didasarkan pada hawa nafsu semata. Mengenai maslahah
mursalah beliau mengatakan jika tidak ditopang oleh adanya dalil
syara’ kedudukannya sama dengan istihsan.10
c. Maslahah andaikata dapat diterima (mu’tabarah), ia termasuk ke
dalam kategori qiyas dalam arti luas (umum). Andaikata tidak
mu’tabarah, maka ia tidak tergolong qiyas. Tidak bisa dibenarkan
suatu anggapan yang mengatakan bahwa pada suatu masalah
terdapat maslahah mu’tabarah sementara maslahah itu tidak
termasuk ke dalam nash atau qiyas, sebab pandangan semacam itu
akan membawa kepada suatu kesimpulan tentang terbatasnya nash-
nash Alquran dan hadis dalam menjelaskan syariat.11
d. Mengambil dalil maslahah tanpa berpegang pada nash terkadang
akan mengakibatkan kepada suatu penyimpangan dari hukum
syariat dan tindakan kedhaliman terhadap rakyat dengan dalil
maslahah sebagaimana yang dilakukan oleh raja-raja yang dhalim.12
e. Berpegang pada maslahah dalam pembentukan hukum dapat
mengakibatkan terjadinya perselisihan pendapat dan perbedaan
penyimpulan hukum. Hal terjadi diakibatkan perbedaan masa dan
tempat yang melatarbelakangi adanya pandangan maslahah tersebut.
Karenanya, kadang-kadang suatu masalah hukumnya halal pada
suatu masa, atau pada suatu negara, sementara di masa yang lain atau
di negara lain tergolong haram karena mengandung mafsad.
Demikian ini dapat mengingkari adanya kesatuan syariat, kesatuan
hukum. Demikian juga mengenai keumuman dan kekekalannya.13

10
Lihat Abu Hamid al Ghazali, op.cit., h. 194.
11
Lihat Abu Hamid al Ghazali, op.cit., h. 194.
12
Lihat Abu Hamid al Ghazali, op.cit., h. 283.
13
Zakariyah al Bary, loc.cit

12
4. Contoh Mashlahah Mursalah
Adapun beberapa contoh masalah yang menggunakan ketentuan hukum
berdasarkan maslahat yaitu antara lain:

a. Sahabat mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf alasannya semata-


mata karena maslahat, yaitu menjaga Al-qur’an dari kepunahan atau
kehilangan kemutawatiranya karena meninggalnya sejumlah besar
penghapal Al-quran dari generasi sahabat.
b. Khulafau ar-Rasyidin menetapkan keharusan menanggung ganti rugi
kepada pada para tukang. Padahal menurut hukum asal, bahwasanya
kekuasaan mereka didasarkan atas kepercayaan. Akan tetapi ternyata
seandainya mereka tidak dibebani tanggung jawab mengganti rugi,
mereka akan berbuat ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya untuk
menjaga harta benda orang lain yang berada dibawah tanggungjawabnya.
c. Umar bin Khattab RA sengaja menumpahkan susu yang dicampur air
guna memberi pelajaran kepada mereka yang berbuat mencampur susu
dengan air. Sikap Umar itu tergolong dalam kategori maslahah, agar
mereka tidak mengulangi perbuatannya lagi.

C. Istishab
1. Pengertian
Secara lughawi (etimologi) istishab itu berasal dari kata is-tash-ha-
ba ((‫ استصحب‬dalam shigat is-tif’âl (‫)استفعال‬, yang berarti: ‫استمرار الصحبة‬.
Kalau kata ‫ الصحبة‬diartikan “sahabat” atau “teman”, dan ‫ استمرار‬diartikan
“selalu” atau “terus-menerus”, maka istishab itu secara lughawi artinya
adalah: “selalu menemani” atau “selalu menyertai”.14
Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi yang
dikemukakan oleh para ulama, di antaranya ialah:
a. Imam Isnawi

14
Chaerul Umam dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm. 78

13
Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan
yang telah ditetapkan karena suatu dalil sampai ada dalil lain yang
mengubah hukum-hukum tersebut.
b. Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah
Istishab ialah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan
dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada.15
c. Abdul-Karim Zaidan
Istishab ialah menganggap tetapnya status sesuatu seperti
keadaannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang
mengubahnya.16

Istishab juga dapat berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah


tetap di masa lalu, diteruskan sampai yang akan datang selama tidat
terdapat yang mengubahnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa istishab
adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada sebelum ada
dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut.17

2. Kehujjahan Istishab
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan isthishab
ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi18 :

a. Ulama Hanafiyah
Menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk
menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum
yang berbeda (kebalikan) dengan penetapan hukum semula, bukan
untuk menetapkan suatu hukum yang baru. Dengan kata lain

15
M. Fadlil Said An-Nadwi, Ushul Fiqih Terjemah Syarah Al Waroqot, (Surabaya: Al-
Hidayah, 2004), hlm. 134
16
Abdul Karim Zaida, Al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet 4,
1994), hlm. 267
17
Chaerul Umam dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm.79
18
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009),
hlm.82

14
isthishab itu adalah menjadi hujjah untuk menetapkan berlakunya
hukum yang telah ada dan menolak akibat-akibat hukum yang
timbul dari ketetapan yang berlawanan dengan ketetapan yang sudah
ada, bukan sebagai hujjah untuk menetapkan perkara yang belum
tetap hukumnya.19

b. Ulama mutakallimin (ahli kalam)


Menetapkan bahwa istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena
hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya
adil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa
sekarang dan yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil. Alasan
mereka, mendasarkan hukum pada istishab merupakan penetapan
hukum tanpa dalil, karena sekalipun suatu hukum telah ditetapkan
pada masa lampau dengan suatu dalil. Namun, untuk
memberlakukan hukum itu untuk masa yang akan datang
diperlakukan dalil lain. Istishab, menurut mereka bukan dalil.
Karenanya menetapkan hukum yang ada di masa lampau
berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan
suatu hukum tanpa dalil. Hal ini tidak dibolehkan syara’.

c. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah


Menetapkan bahwa istishab bisa menjadi hujjah serta mutlak
untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada yang
adil mengubahnya.Alasan mereka adalah sesuatu yang telah
ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada adil yang mengubahnya,
baik secara qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif), maka semestinya
hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena diduga keras
belum ada perubahannya. Menurut mereka, suatu dugaan keras

19
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : CV. Pustaka Setis, 2010), hlm. 127.

15
(zhan) bisa dijadikan landasan hukum. Apabila tidak demikian,
maka bisa membawa akibat kepada tidak berlakunya seluruh hukum-
hukum yang disyari’atkan Allah SWT. dan Rasulullah SAW. Akibat
hukum perbedaan kehujjahan istishab.
Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Zhahiriyah,
dan Syi’ah, orang hilang berhak Menerima pembagian warisan
pembagian warisan dari ahli warisnya yang wafat dan bagiannya ini
disimpan sampai keadaannya bisa diketahui, apakah masih hidup,
sehingga harta waris itu diserahkan kepadanya, atau sudah wafat,
sehingga harta warisnya diberikan kepada ahli waris lain.
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang hilang tidak bisa
menerima warisan, wasiat, hibah dan wakaf, karena mereka belum
dipastikan hidup. Sebaliknya, harta mereka belum bisa dibagi
kepada ahli warisnya, sampai keadaan orang lain itu benar-benar
terbukti telah wafat, karena penyebab adanya waris mewarisi adalah
wafatnya seseorang. Alasan mereka dalam hal ini adalah karena
istishab bagi mereka hanya berlaku untuk mempertahankan hak
(harta orang hilang itu tidak bisa dibagi), bukan untuk menerima hak
atau menetapkan hak baginya (menerima waris, wasiat, hibah dan
wakaf)20

3. Pendapat Ulama tentang istishab


Para ulama berbeda pendapat tentang nilai kehujjahan istishab.
Mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menyatakan
bahwa istishab merupakan hujjah secara penuh, baik dalam
mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i), maupun menetapkan
sesuatu yang belum ada (itsbat).

20
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih: Kidah Hukum Islam, ( Jakarta : Pustaka
Amani, 2003 ), hlm. 122.

16
Sedangkan ulama muta’akhirin dari mazhab Hanafi, di antaranya imam
Abu Zaid dan Shadrul Islam Abul Yusr, berpendapat, istishab merupakan
hujjah dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i), bukan
menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat).
Sementara, mayoritas ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab
Syafi’i, Abul Husein al-Bashri, dan sekelompok ulama ilmu kalam
berpendapat, istishab bukan merupakan hujjah sama sekali.
Perbedaan pandangan ulama tentang penggunaan istishab dalam ijtihad
ternyata menyebabkan perbedaan pandangan mereka dalam hukum Islam,
seperti dalam masalah hukum waris orang hilang.
Imam Malik dan imam Syafi’i berpendapat, orang tersebut dihukumi
hidup sehingga hartanya tidak boleh diwarisi, dan dia berhak mendapatkan
warisan dari keluarganya yang meninggal. Mereka beralasan bahwa pada
dasarnya (hukum asalnya) orang tersebut hidup, karenanya sifat hidup ini
masih berlaku sampai ada dalil yang menegaskan kematiannya.
Sedangkan, Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa
hartanya tidak boleh diwarisi, dan dia tidak berhak mendapatkan warisan
dari keluarganya yang meninggal. Mereka beralasan bahwa istishab hanya
berlaku untuk mempertahankan hak yang sudah ada, bukan menetapkan hak
yang baru.
Di sisi lain, imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, orang tersebut
dianggap hidup selama empat tahun dari waktu hilangnya. Jika melebihi
empat tahun maka dianggap mati, karenanya hartanya diwarisi dan dia tidak
berhak mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
. Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali
(yang jelas) kepada ketentuan qiyas yang Khafi (samar), atau ketentuan hukum
kulli (umum) kepada ketentuan hukum yang sifatnya istisna’i (pengecualian),
karena adanya kesalahan memahami dalil yang memungkinkan memenangkan
perpindahan itu.
Mashlahah Mursalah artinya mengambil manfaat dan menolak
kemdharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.
Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang
telah ditetapkan karena suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah
hukum-hukum tersebut.

B. Saran
Melihat materi diatas pentingnya materi ini, hendaknya mempelajari
kedudukan istihsan, mashlahah mursalah, dan istishab agar tidak salah dalam
pengambilan sumber hukum sebagai hujjah umat islam. Alangkah baiknya lagi,
jika ingin memperdalam ilmu ini, hendaknya langsung berguru kepada ahlinya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim Zaidan. Al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh. Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet
4. 1994.

Al Bary, Zakariyah Mashadir al Ahkam al Islamiyyah. t.t.: t.p., 1975.Syihab, Umar.


Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran. Semarang: Dina utama
Semarang, t.th.

Djazuli, A., Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum


Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

KADENUN, Kadenun. Istihsan sebagai Sumber dan Metode Hukum Islam.


QALAMUNA: Jurnal Pendidikan, Sosial, Dan Agama, 2018 (7), 91-100.

SALMA, Salma. Istihsan dan Pembaruan Hukum Islam. Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah,
2016, (2), 3-5

Musthafa Dib al-Bugha, Atsarul Adillah al-Mukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami,


Damaskus: Dar al-Imam al-Bukhari, t.t, halaman 221-222)

19

You might also like