You are on page 1of 28

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daun sambiloto (Andrograpis paniculata)

2.1.1 Taksonomi

Kingdom : Plantae

Sub kingdom : Viridiplantae

Infra kingdom : Streptophyta

Super divisi : Embryophyta

Divisi : Tracheophyta

Sub divisi : Spermatophyta

Kelas : Magnoliopsida

Super ordo : Asteranae

Ordo : Lamiales

Famili : Acanthaceae

Genus : Andrographis Wall. ex Nees

Spesies : Andrographis paniculata (Burm.f.) Wall ex Nees

(Prapanza & Marianto, 2003)

(Ratnani, 2012)
Gambar 2.1
Daun Sambiloto
6
7

2.1.2 Nama lain

Daun sambiloto dengan nama latin andrograpis paniculata dikenal

dengan berbagai nama lokal atau nama daerah, diantaranya: Ki oray, ki peurat,

takilo (Sunda); bidara, sadilata, sambilata, takila (Jawa); pepaitan (Sumatra);

chuan xin lian, yi jian xi, lan he lian (China); xuyen tam lien, cong cong

(Vietnam); kirata, mahatitka (India/Pakistan); creat, green chiretta, halviva,

kariyat (Inggris). (Azzamy, 2017)

2.1.3 Morfologi sambiloto

Tanaman sambiloto merupakan tanaman terna semusim dengan tinggi

50-90 cm. Memiliki batang yang disertai dengan banyak cabang berbentuk segi

empat dengan nodus yang membesar. Bentuk daun tunggal dengan tangkainya

yang pendek, letaknya berhadapan bersilang, berbentuk lanset, pangkal dan

ujungnya meruncing namun tepinya rata. Berwarna hijau tua pada permukaan

atas, hijau muda pada bagian bawah. Panjang daun 2-8cm dengan lebar 1-3 cm.

Bunga berbentuk tabung, berukuran kecil, warnanya putih bernoda ungu.

Perbungaan rasemosa yang bercabang membentuk malai dan keluar dari ujung

batang. Buah berbentuk jorong, mempunyai panjang sekitar 1,5cm dan lebar

0,5 cm, pangkal dan ujungnya tajam. Bila sudah masak akan pecah menjadi 4

keping. (Azzamy, 2017)

2.1.4 Habitat dan Distribusi Geografis

Tanaman sambiloto (Andrographis paniculata Ness.) adalah tumbuhan

yang banyak tumbuh dan ditemui di kebun, tepi sungai, di pekarangan, tanah

terbuka yang lembab dan tempat-tempat terbuka lainnya. Tumbuhan terna


8

(perdu) sambiloto mudah ditemukan pada dataran rendah sampai dataran

dengan ketinggian 1600 mdpl (meter diatas permukaan laut). Tanaman

sambiloto ini berasal dari daerah Asia dan kemudian tersebar di berbagai daerah

di Indonesia maupun luar negeri. (Azzamy, 2017)

Tanaman sambiloto dapat hidup diantara rimbunan hutan, yang artinya

tanaman sambiloto dapat hidup dengan naungan. Batas toleransi naungan

tanaman sambiloto yang baik diperoleh pada naungan 20%. Sehingga

sambiloto dapat ditanam dengan pola tumpang sari dengan tanaman pangan

seperti jagung. Pemilihan tanaman jagung sebagai tempat naungan cukup ideal,

karena pertumbuhan batang jagung yang tegak lurus dan pertumbuhan daunnya

yang teratur sehingga intensitas naungan tanaman jagung terhadap sambiloto

dapat diatur. Selain itu juga dapat memberi tambahan keuntungan bagi petani.

(Damayanti, 2010)

2.1.5 Kandungan Kimia Daun Sambiloto

Daun sambiloto memiliki kandungan senyawa kimia aktif diantaranya

andrographolide, flavonoid, tannin, saponin, dan alkaloid. Diantara senyawa

kimia aktif yang terkadung dalam daun sambiloto, andrographolide memiliki

prosentasi paling tinggi. (Royani, Hardianto, & Wahyuni, 2014).


9

2.1.6 Mekanisme Kerja Sambiloto sebagai Anti Jamur

Senyawa aktif sambiloto seperti andrographolide, flavonoid, saponin, tannin

dan alkaloid terbukti dapat menghambat pertumbuhan jamur dengan

mekanisme kerja sebagai berikut:

a. Andrographolide

Andrographolide merupakan senyawa fitokimia yang memiliki fungsi

kesehatan. Senyawa kimia ini merupakan senyawa kimia aktif terbanyak pada

daun sambiloto dan bersama senyawa kalmeghin, senyawa andrographolide

ini diduga menimbulkan rasa pahit yang berlebih pada daun sambiloto.

(Ratnani, Hartati, & Kurniasari, 2012). Senyawa kimia androgropholide

bersama dengan protein arabinogalaktan (gliko protein yang terdapat pada

permukaan sel tumbuhan, berperan dalam proses pertumbuhan) diduga

mempengaruhi kondisi rigiditas dinding sel jamur yang secara dominan terdiri

dari kitin,manno protein, dan beta glukan. Sehingga dinding sel tidak terbentuk

sempurna dan terjadi kematian sel jamur. (Carrillo-Muñoz, Giusiano, Ezkurra,

& Quindós, 2006)

b. Saponin

Senyawa saponin yang terkandung dalam daun sambiloto berperan

sebagai anti jamur dengan mekanismenya yaitu menurunkan tegangan

permukaan membran sterol pada dinding sel C. albicans sehingga

menimbulkan permeabilitas sel meningkat. (Lüning, Waiyaki, & Schlösser,

2008). Permeabilitas sel yang meningkat menyebabkan cairan intraseluler yang


10

lebih pekat tertarik keluar sel sehingga nutrisi, zat-zat metabolisme, enzim,

protein dalam sel keluar, sel jamur lisis dan jamur mengalami kematian. (Yanti

& Samingan, 2016)

c. Flavonoid

Flavonoid merupakan turunan senyawa fenol yang bersifat sebagai

koagulator protein. Flavonoid berperan sebagai anti bakteri dan anti jamur

dengan mekanismenya yaitu membentuk senyawa kompleks terhadap protein

ekstraseluler yang dapat mengganggu integritas membran sel jamur, sehingga

mengakibatkan pertumbuhan sel jamur terganggu bahkan dapat mengalami

kematian. (Watson & Preedy, 2007). Senyawa fenol yang terdapat pada

flavonoid juga dapat mendenaturasi protein sel dan mengerutkan dinding sel

sehingga menyebabkan lisisnya dinding sel jamur, sel jamur lisis dan kematian

sel C. albicans. (Yanti & Samingan, 2016)

d. Tannin

Senyawa kimia tannin diduga mampu mengerutkan dinding sel atau

membran sel sehingga dapat mengganggu permabilitasnya akibatnya nutrisi,

zat-zat metabolisme, enzim, protein dalam sel keluar, sel tidak bisa melakukan

aktivitas hidup , sel jamur lisis dan jamur mengalami kematian. (Watson &

Preedy, 2007). Mekanisme lain yang ditimbulkan oleh senyawa tannin yaitu,

senyawa ini mampu menghambat sintesis kitin yang merupakan komponen

penting dalam dinding sel jamur. (Gunawan & Mulyani, 2004)


11

e. Alkaloid

Senyawa alkaloid diduga memiliki mekanisme kerja mengganggu

komponen penyusun peptidoglikan sehingga dinding sel tidak terbentuk secara

utuh sehingga menyebabkan lisisnya dinding sel jamur, sel jamur lisis dan

kematian sel C. albicans. (Pratiwi, 2011). Senyawa alkaloid juga mengganggu

mekanisme mikroba dengan cara mengganggu pada sintesa DNA. (Ngajowa,

Abidjulua, & Vanda, 2013)

2.2 Candida Albicans

2.2.1 Taksonomi

C. albicans dengan nama lain Candida stellatoidea dan Oidium

albicans. (Calderone, 2002). Menurut (Robbin, 2006) C. albicans termasuk ke

dalam:

Kingdom : Fungi

Phylum : Ascomycota

Subphylum : Saccharomycotina

Class : Saccharomycetes

Ordo : Saccharomycetales

Family : Saccharomycetaceae

Genus : Candida

Spesies : Candida albicans


12

2.2.3 Identifikasi dan Morfologi

Pada sediaan hapusan eksudat, candida tampak sebagai ragi, berbentuk

lonjong, dengan ukuran kecil, berdinding tipis, bertunas, gram positive,

berukuran 2-3 x 4-6 μm, yang memanjang menyerupai hifa (pseudohifa). C.

albicans bersifat dimorfik, slain tampak sebagai ragi dan pseudohifa C. abicans

dapat menghasilkan hifa sejati. (Carrol, 2007) candida berkembang biak

dengan budding. (Anaissie, 2007).

Morfologi koloni pada medium SDA (Sabouraud Dekstrosa Agar)

setelah inkubasi dalam serum sekitar 90 menit pada suhu 37ºC umumnya sel-

sel ragi C. albicans berbentuk bulat dengan permukaan sedikit cembung,

halus, licin dan akan membentuk hifa sejati, namun pada pertumbuhan C.

albicans yang kekurangan nutrisi ia akan membentuk clamydospora bulat dan

besar. Perbedaan yang dimiliki C. albicans dengan candida yang lainya

terletak pada proses meragikan glukosa dan maltose. C. albicans menghasilkan

asam dan gas, asam dari sukrosa, dan tidak bereaksi dengan laktosa. (Carrol,

2007)

Struktur dinding sel C. albicans terdiri dari glukan, manan, dan khitin.

Manan dan protein berjumlah sekitar 15,2-30% dari berat kering dinding sel, -

1,3-D-glukan dan 1,6-D-glukan sekitar 47-60 %, khitin sekitar 0,6-9 %, protein

6-25 % dan lipid 1-7 %. Dalam bentuk ragi, kecambah, dan misellium proporsi

ini akan tetap sama, hanya saja pada misellium proporsi khitin tiga kali lebih

banyak dibandingkan dengan sel ragi. Penyusunan struktur dinding sel yang

sangat kompleks ini membuat dinding sel C. albicans memiliki ketebalan 100-
13

400nm. Dinding sel yang sangat kompleks tersebut memiliki fungsi sebagai

pelindung, berperan dalam proses kolonisasi dan juga sebagai target

antimikotik. Fungsi utamanya yaitu memberi bentuk pada sel dan melindungi

sel ragi dari lingkungannya. (Tjampakasari, 2006).

Dalam (Tortora, Funke, & Case, 2004) digambarkan bahwa dinding sel

dari C. albicans terdiri dari lima lapis.

(Tjampakasari, 2006)
Gambar 2.2
Skema dinding sel C. Albicans

Menurut (Tjampakasari, 2006), Membran sel C. albicans seperti pada

sel eukariotik lainnya yaitu terdiri dari lapisan fosfolipid ganda. Membran

protein ini memiliki aktifitas enzim seperti manan sintase, khitin sintase, glukan

sintase, ATPase dan protein yang mentransport 12 fosfat. Terdapatnya

membran sterol pada dinding sel yang merupakan tempat bekerjanya enzim-

enzim proses sintesis dinding sel memegang peranan penting sebagai target

antimikotik. Mitokondria pada C. albicans merupakan pembangkit daya sel.


14

Dengan menggunakan energi yang diperoleh dari beberapa molekul-molekul

makanan serta penggabungan molekul oksigen, organel ini dapat memproduksi

ATP sebagai energi. Nukleus dalam C. albicans merupakan organel paling

menonjol dalam sel. Organ ini dipisahkan dari sitoplasma oleh membran yang

terdiri dari 2 lapisan. Seperti sel eukariot pada umumnya, semua DNA

kromosom disimpan didalam nucleus yang terkemas dalam serat-serat

kromatin. Isi nucleus berhubungan dengan sitosol melalui pori-pori nucleus.

Vakuola berperan dalam sistem pencernaan sel, sebagai tempat penyimpanan

lipid dan granula polifosfat. Mikrotubul dan mikrofilamen berada dalam

sitoplasma. Mikrofilamen ini berperan penting dalam terbentuknya

perpanjangan hifa. (Tjampakasari, 2006).

2.3 Candidiasis

2.3.1 Definisi

Candidiasis (Kandidosis) merupakan penyakit yang di sebabkan oleh

jamur genus candida spp, seperti contohnya oleh C. albicans. Infeksi akibat

jamur ini dapat mengenai beberapa bagian tubuh seperti kulit, kuku, membrane

mukosa, traktus gastrointestinal, dan dapat pula mengakibatkan kelainan

sistemik. (Janik & Hefferman, 2012)

2.3.2 Etiologi Candidiasis

Jamur candida hidup sebagai saprofit di berbagai tempat dapat juga

ditemukan di atmosfir, air, dan tanah. Agen penyebab candidiasis disebabkan

oleh berbagai macam spesies candida. Telah ditemukan lebih dari 150 spesies
15

candida yang telah diidentifikasi dan tujuh puluh persennya disebabkan oleh C.

albicans. Sisanya dapat disebabkan oleh C. dubliniensis, C. glabrata, C.

guillermondi, C. krusei, C. lusitaniae, C. parapsilosis, C.pseudotropicalis, dan

C. tropicalis. (Janik & Hefferman, 2012)

2.3.3 Epidemiologi Candidiasis

C. albicans merupakan spesies terbanyak dalam penyakit candidiasis

yang terjadi pada mulut, hingga 80% dapat mengenai orang sehat. (Williams &

Lewis, 2011). Penyakit akibat jamur candida dapat ditemui diseluruh dunia dan

menyerang semua umur, baik laki-laki maupun perempuan. Sumber agen yang

pertama oleh pasien dan kemudian dapat ditularkan melalui kontak langsung

ataupun fomites. (Pfaller & Diekema, 2007)

Infeksi candida merupakan infeksi yang paling umum ditemui pada

pasien AIDS atau pada pasien yang memiliki immunocompromise lebih rentan.

Yang paling sering ditemui dalam kondisi pasien seperti ini adalah candidiasis

oral oleh spesies C. albicans sehingga dapat menyebabkan kekurangan gizi dan

mengganggu penyerapan obat-obatan. (Sardi, Scorzoni, Bernardi, Almeida, &

Giannini, 2013)

2.3.4 Patogenesis Candidiasis

Genus Candida terdiri dari lebih dari 150 spesies jamur. Anggota genus

ini tersebar di mana-mana, dapat bertahan sebagai saprophytes di tanah dan

lingkungan akuatik, serta kolonisasi beberapa hewan reservoir . Sebenarnya

mayoritas dari spesies candida tidak dapat tumbuh pada 37 °C (suhu tubuh

manusia normal) dan karena itu, biasanya tidak terkait dengan kolonisasi
16

manusia. Namun beberapa spesies bertahan sebagai mikroorganisme komensal

dalam manusia dan ini dapat bertindak sebagai patogen oportunistik pada

individu yang lemah. (Williams & Lewis, 2011)

Terjadinya infeksi secara mutlak karena menempelnya mikroorganisme ke

dalam jaringan host sebagai proses berkembangnya infeksi. Interaksi antara

mikroorganisme dan sel host diperantai oleh komponen-komponen spesifik

yang terletak pada dinding sel mikroorganisme (adhesin dan reseptor).

Makanan dan protein merupakan molekul-molekul pada C. albicans yang

memiliki aktifitas adhesive. Komponen kecil dan khitin yang berada pada

dinding sel C. albicans juga berperan dalam meningkatkan kemampuan

aktifitas adhesive. Setelah berhasil melakukan proses penempelan, C. albicans

kemudian berpenetrasi ke sel epitel mukosa. Dalam hal ini enzim yang berperan

adalah aminopeptidase dan asam fosfatase. Proses setelah penetrasi selanjutnya

yaitu tergantung pada keadaan dari imunitas host. (Tjampakasari, 2006).

C. albicans berada dalam tubuh manusia sebagai saprofit dan akan

menjadi infeksi apabila di dukung oleh faktor predisposisi sebagai berikut

menurut (Simatupang, 2009):

Faktor endogen:

1.Perubahan fisiologik

Perubahan fisiologik seperti yang disebabkan oleh kehamilan (karena

perubahan PH dalam vagina), kegemukan (kegemukan cenderung dengan

banyak keringat), debilitas, iatrogenik (seperti: kateter intravena, kateter

saluran kemih), endokrinopati (seperti: penyakit Diabetes Mellitus), penyakit


17

kronik (seperti tuberkulosis, lupus erimatosus dengan keadaan umum yang

buruk), pemberian antimikroba yang intensif , terapi progesterone, terapi

kortikosteroid, dan penyalahgunaan narkotika intravena.

2.Umur

Orang tua dan bayi lebih mudah terkena infeksi karena status

imunologiknya yang tidak sempurna atau belum sempurna.

3.Imunologik (imunodefisiensi)

Faktor eksogen :

1. Kebersihan kulit

2. Kebiasaan berendam kaki dalam air yang terlalu lama menimbulkan

maserasi dan memudahkan masuknya jamur

3. Kontak dengan penderita, misalnya pada trush, balonopostitis

Faktor predisposisi berperan dalam meningkatkan pertumbuhan C.

albicans serta memudahkan invasi jamur ke dalam jaringan tubuh manusia

karena adanya perubahan mekanisme pertahanan lokal maupun sistemik.

Blastospora berkembang menjadi hifa semu dan tekanan dari hifa semu ini akan

merusak jaringan sehingga dapat terjadi invasi ke dalam jaringan. Tingkat

virulensi ditentukan oleh seberapa besar kemampuan jamur merusak jaringan

atau menginvasi jaringan. Enzim-enzim yang ikut berperan dalam tingkat

virulensi diantaranya enzim-enzim hidrolitik seperti proteinase, lipase, dan

fosfolipase. (Tjampakasari, 2006)


18

2.3.5 Manifestasi Klinis Candidiasis

Manifestasi klinis yang ditimbulkan dalam candidiasis berbeda-beda,

tergantung bagian mana yang terkena atau yang terinvasi, gambaran secara

umum sebagai berikut:

a. Candidiasis thrush

Biasa disebut dengan candidiasis pseudomembranosa, sering terjadi

pada neonates, pasien yang menggunakan terapi kortikosteroid. Dengan kata

lain candidiasis ini sering menyerang pada orang yang mengalami

imunosupresi atau imunokompremise. (Singth, 2014). Gambaran yang

ditimbulkan dari candidiasis tipe ini adalah adanya pseudomembrane, plak

putih yang dapat dibersihkan yang mana plak putih tersebut merupakan

kumpulan dari hifa. Mukosa dapat terlihat eritema. Biasanya pasien dengan

candidiasis thrush akan mengeluhkan sensasi seperti tersengat ringan dan

kegagalan dalam pengecapan. (Keumala, 2016)

b. Candidiasis intertrigenosa

Canididiasis jenis ini merupakan candidiasis yang paling banyak

ditemukan. Jika kita melihat data epidemiologi memang infeksi jamur jenis ini

jarang ditemukan jika dibandingkan dengan yang lainnya. Candidiasis

trigeminosa sering terjadipada daerah yang lembab serta lipatan kulit maserasi.

Ditambah lagi letak geografis Indonesia yang beriklim tropis, cuaca yang panas

sehingga menjadi penyebab tubuh berkeringat dan menjadi lembab. (Seru,

Levinus, & Pandeleke, 2011)


19

c. Candidiasis vulvovaginalis

Canididiasis vulvovaginalis merupakan salah satu infeksi yang paling

banyak dikeluhkan oleh wanita. Sekitar 70-75% wanita setidaknya pernah

sekali terinfeksi KVV selama masa hidupnya, paling sering terjadi pada wanita

usia subur, pada sekitar 40-50% cenderung mengalami kekambuhan atau

serangan infeksi kedua. Keluhan utamanya gatal didaerah vulva. Pada infeksi

berat terdapat rasa panas, nyeri sesudah miksi, dan dispereunia. Sering ditemui

bercak bercak putih kekuningan. Fluor albus pada kandidiasis vagina berwarna

kekuningan, tanda yang khas yaitu disertai gumpalan-gumpalan sebagai kepala

susu berwarna putih kekuningan. (Harnindya & Agusni, 2016)

d. Candidiasis diaper-rush

Biasa di sebut dengan dermatitis popok yaitu kondisi dermatitis kutan

yang umum akibat teritisasi oleh erupsi inflamasi akut pada kulit didaerah

popok bayi. Meskipun kondisi ini relatif umum namun kondisi ini dapat

menyebabkan rasa sakit dan stres yang cukup untuk bayi sehingga seringkali

menyebabkan bayi rewel. (Blume, 2014)

2.3.6 Diagnosis Candidiasis

Dalam menegakkan diagnosis, maka perlu dibantu dengan pemeriksaan

penunjang. Pemeriksaan penunjang menurut (Widaty, Kandidosis, 2015) dapat

dilakukan dengan:

1. Pemeriksaan langsung
20

Dengan menggunakan kerokan kulit atau usapan mukokutan kemudian

diperiksa dengan larutan KOH 20% atau bisa juga dengan menggunaakan

pewarnaan gram, dapat terlihat sel ragi, blastospora, atau hifa semu.

Pseudohifa

Budding yeast cell

(Mutiawati, 2016)
Gambar 2.3
(1) Pseuohifa pada pewarnaan KOH
(2) Budding yeast cell

2. Pemeriksaan biakan

Bahan yang akan diperiksa ditanam terlebih dahulu dalam agar

dekstrosa glukosa sabouraud, dapat pula media agar ini dibubuhi dengan

antibiotik (kloramfenikol) untuk mencegah pertumbuhan dari bakteri.

Kemudian perbenihan disimpan dalam suhu kamar atau lemari suhu 370 C.

koloni akan tumbuh setelah 2 hingga 5 hari, berupa koloni mukoid putih.

2.3.7 Pengobatan Candidiasis

Pengobatan infeksi candida bergantung pada spesies penyebab, sensitifitas

terhadap obat anti jamur, lokasi infeksi, penyakit yang mendasari, dan juga status

imun pasien. Pengobatan candidiasis pada umumnya antara lain


21

1. Upayakan untuk menghindari faktor predisposisi terjadinya candidiasis.

2. Pengobatan topical yang bertujuan untuk:

a. Selaput lendir

- Larutan ungu genitan setengah sampai satu persen untuk selaput lender,

1-2% untuk kulit, dioleskan sehari 2 kali selama 3 hari.

- Nistatin yang sediaannya berupa krim, suspense (untuk kelainan kulit

dan mukokutan).

- Untuk candidiasis vaginalis dapat digunakan clotrimazol 500 mg per

vaginam, jika perlu sistemik, berikan ketokonazol 1x 200mg dosis tunggal atau

bisa juga dengan flukonazol 150 mg dosis tunggal.

b. Kelainan kulit diberikan golongan azol seperti:

- Mikonazol 2% berupa krim atau bedak.

- Clotrimazol 1% berupa bedak, larutan, dank rim.

- Tiokonazol, bufonazol, isokonazol.

- Siklopiroksolamin 1% larutan, sediaan krim

- Antimikotik yang lain yang berspektrum luas.

3. Pengobatan sistemik

Pengobatan sistemik diberikan untuk berbagai macam kelainan, seperti

kasus refrakter, candida diseminata, candidiasis mukokutan kronik.

Flukonazol merupakan lini pertama untuk pasien non-neutropenik dengan

candidiasis invasive (dengan dosis 100-400 mg per hari) pilihan lain dapat

digunakan itrakomazol dengan dosis 200mg per hari. (Widaty, Kandidosis,

2015)
22

2.3.8 Prognosis

Umumnya baik, bergantung pada berat ringannya faktor predisposisi.

Prognosis baik ketika faktor-faktor predisposisi infeksi tereliminasi. (Hakim &

Ricky, 2015)

2.4 Mekanisme Kerja Anti Mikroba

Anti fungi termasuk dalam anti mikroba. Anti mikroba merupakan

suatu agen yang dapat digunakan untuk membunuh suatu mikroorganise atau

menghambat pertumbuhan mikroorganisme tersebut. (Dorland, 2011).

Antijamur atau yang sering disebut antifungi mempunyai dua pengertian yaitu

fungisidal dan fungistatik. Fungisidal didefinisikan sebagai suatu senyawa yang

dapat membunuh fungi sedangkan fungistatik dapat menghambat pertumbuhan

fungi tanpa mematikannya (Priyanto, 2008). Cara kerja anti jamur dalam

membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorgganisme adalah sebagai

berikut:

a. Unsur utama dinding sel jamur

Glukans Dinding sel jamur memiliki keunikan karena tersusun atas

mannoproteins, kitin, dan α dan β glukan yang menyelenggarakan berbagai

fungsi, diantaranya menjaga rigiditas dan bentuk sel, metabolisme, pertukaran

ion pada membran sel. Sebagai unsur penyangga adalah β glukan. Obat

antijamur seperti golongan ekinokandin menghambat pembentukan β1,3


23

glukan tetapi tidak secara kompetitif. Sehingga apabila β glukan tidak

terbentuk, integritas struktural dan morfologi sel jamur akan mengalami lisis.

(Anaissie, McGinn, & Pfaller, 2009)

b. Sterol membran plasma

Ergosterol dan sintesis ergosterol Ergosterol adalah komponen penting

yang menjaga integritas membran sel jamur dengan cara mengatur fluiditas dan

keseimbangan dinding membran sel jamur. Kerja obat antijamur secara

langsung (golongan polien) adalah menghambat sintesis ergosterol dimana obat

ini mengikat secara langsung ergosterol dan channel ion di membran sel jamur,

hal ini menyebabkan gangguan permeabilitas berupa kebocoran ion kalium dan

menyebabkan kematian sel. Sedangkan kerja antijamur secara tidak langsung

(golongan azol) adalah mengganggu biosintesis ergosterol dengan cara

mengganggu demetilasi ergosterol pada jalur sitokrom P450 (demetilasi

prekursor ergosterol). (Anaissie, McGinn, & Pfaller, 2009)

c. Merubah molekul protein dan asam nukleat

Kelangsungan hidup sel sangat tergantung pada molekul-molekul

protein dan asam nukleat. Hal ini berarti bahwa gangguan apapun yang terjadi

pada pembentukan atau fungsi zat-zat tersebut dapat mengakibatkan kerusakan

total pada sel. Bahan antimikroba yang dapat mendenaturasi protein dan asam

nukleat sehingga dapat merusak sel tanpa dapat diperbaiki lebih lanjut. (Jawetz,

Melnick, & Adelberg, 2008)

d. Merubah permeabilitas sel


24

Sitoplasma dibatasi oleh selaput yang disebut membran sel yang

mempunyai tingkat permeabilitas selektif. Membran sel ini tersusun atas

fosfolipid dan protein. Membrane sitoplasma berfungsi mengatur keluar

masuknya bahan-bahan tertentu di dalam sel. Proses pengangkutan zat-zat yang

lebih diperlukan baik kedalam maupun keluar sel karena didalam membran sel

terdapat protein pembawa. Didalam membran sitoplasma juga terdapat enzim

protein untuk mensintesis peptidoglikan yang terdapat pada komponen

membrane luar. Apabila fungsi membrane sel terganggu oleh adanya bahan

antimikroba, maka permeabilitas sel jamur akan mengalami perubahan,

sehingga akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel hingga kematian

sel. (Jawetz, Melnick, & Adelberg, 2008)

e. Menghambat kerja enzim

Didalam sel terdapat enzim protein yang membantu kelangsungan

proses-proses metabolisme. Banyak zat kimia yang telah diketahui dapat

menganggu reaksi biokimia misalnya logam berat, golongan tembaga, perak,

air raksa, dan senyawa logam berat lainnya. Zat-zat kimia tersebut efektif

sebagai bahan antimikroba pada konsentrasi yang relative rendah. Dengan

demikian kerja enzim akan terhambat dan dapat menyebabkan proses

metabolisme terganggu, kemudian menyebabkan aktifitas sel jamur juga akan

terganggu, selanjutnya dapat menyebakan sel jamur hancur dan mati. (Jawetz,

Melnick, & Adelberg, 2008)

f. Menghambat sintesis asam nukleat dan protein


25

DNA, RNA dan protein memegang peranan yang sangat penting dalam

proses kehidupan normal sel. Beberapa bahan antimikroba dalam bentuk

antibiotik telah dibuktikan dapat menghambat sintesis protein. Apabila

pembentukan atau fungsi zat DNA, RNA dan protein mengalami gangguan

dapat mengakibatkan kerusakan sel sehingga proses kehidupan sel akan

terganggu. (Jawetz, Melnick, & Adelberg, 2008)

2.5 Resistensi Anti Mikroba

Antimikroba tersebut dapat ditemukan dalam berbagai sediaan, dan

penggunaanya pun dapat melalui jalur topical, oral, maupun intravena.

Banyaknya jenis pembagian, klasifikasi, pola kepekaan kuman, dan penemuan

antibiotika baru seringkali menyulitkan klinisi dalam menentukan pilihan

antimikroba yang tepat ketika menangani suatu kasus penyakit. Hal ini juga

merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya resistensi. (Rahayu, 2011).

Resistensi antimikroba didefinisikan sebagai tidak terhambatnya

pertumbuhan bakteri dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis

normal yang seharusnya atau kadar hambat minimalnya. (Rahayu, 2011).

Perkembangan resistensi antimikroba sejalan dengan perkembangan

penggunaan obat-obat antimikroba yang semakin meningkat dan sejalan pula

dengan ditemukannya obat-obat baru. (Yenny & Herwana, 2007). Resistensi

terhadap obat antijamur disebabkan karena penggunaan antimikroba yang

kurang bijaksana. (Schmiedel & Zimmerli, 2016). Anti mikroba yang

mengalami resitent terhadap fungi diantaranya golongan azole, amphotericin

B, echinocandin, dan flucytosine. (Sapta, 2014). Mekanisme molekuler


26

resistensi pada agen antifungi disebabkan oleh adanya mutasi gen. Mutasi ini

akan mempengaruhi pompa efluks, ikatan obat dengan target enzim, biosintesis

komponen dari stuktur fungi, dan konformasi senyawa dalam sel fungi. (Sapta,

2014).

2.6 Uji Kepekaan Terhadap Fungi

2.6.1 Metode Difusi Cakram

Menurut (Rostinawati, 2009) metode difusi cakram digunakan media

agar padat dan reservoir yang dapat berupa cakram kertas, silinder atau

cekungan yang dibuat dalam media padat. Larutan uji akan berdifusi dari

pencadang ke permukaan media agar padat yang telah diinokulasi bakteri.

Bakteri akan terhambat pertumbuhannya dengan pengamatan berupa lingkaran

atau zona disekeliling pencadang. Faktor-faktor yang mempengaruhi metode

difusi agar, yaitu :

a. Pradifusi, perbedaan waktu pradifusi mempengaruhi jarak difusi dari zat uji

yaitu difusi antar pencadang.

b. Ketebalan medium agar penting untuk memperoleh sensitivitas yang

optimal. Perbedaan ketebalan media agar mempengaruhi difusi dari zat uji

ke dalam agar, sehingga akan mempengaruhi diameter hambat. Makin tebal

media yang digunakan akan makin kecil diameter hambat yang terjadi.

c. Kerapatan inokulum, ukuran inokulum merupakan faktor terpenting yang

mempengaruhi lebar daerah hambat, jumlah inokulum yang lebih sedikit

menyebabkan obat dapat berdifusi lebih jauh, sehingga daerah yang


27

dihasilkan lebih besar, sedangkan jika jumlah inokulum lebih besar maka

akan dihasilkan daerah hambat yang kecil.

d. Komposisi media agar, perubahan komposisi media dapat merubah sifat

media sehingga jarak difusi berubah. Media agar berpengaruh terhadap

ukuran daerah hambat dalam hal mempengaruhi aktivitas beberapa bakteri,

mempengaruhi kecepatan difusi antibakteri dan mempengaruhi kecepatan

pertumbuhan antibakteri.

e. Suhu inkubasi, kebanyakan bakteri tumbuh baik pada suhu 370C.

f. Waktu inkubasi disesuaikan dengan pertumbuhan bakteri, karena luas

daerah hambat ditentukan beberapa jam pertama, setelah diinokulasikan

pada media agar, maka daerah hambat dapat diamati segera setelah adanya

pertumbuhan bakteri.

g. Pengaruh pH, adanya perbedaan pH media yang digunakan dapat

menyebabkan perbedaan jumlah zat uji yang berdifusi, pH juga menentukan

jumlah molekul zat uji yang mengion. Selain itu pH berpengaruh terhadap

pertumbuhan bakteri.

2.6.2 Metode Dilusi

Metode dilusi cair adalah sebuah metode yang didasarkan pada prinsip

pengenceran. Metode dilusi menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi

media cair dan sejumlah tertentu sel mikroba yang di uji. Kemudian dari

masing-masing tabung diisi menggunakan obat yang telah diencerkan secara

serial. Kemudian, seri tabung diinkubasikan pada suhu 37oC selama 18-24 jam

dan diamati adanya kekeruhan pada tabung. Konsentrasi terendah obat pada
28

tabung yang ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai nampak jernih (tidak

ada pertumbuhan mikroba) disebut KHM (Kadar Hambat Minimum) dari obat.

Metode ini dipilih karena prinsip dari metode ini adalah pengenceran

larutan uji sampai diperoleh seri kadar dan pada masing-masing larutan uji

ditambah suspensi bakteri. Hal tersebut memungkinkan terjadinya interaksi

yang homogen antara larutan uji dengan suspensi bakteri sehingga

penghambatan terhadap bakteri bisa lebih sensitif. Selain itu, pada metode ini

penggunaan media dan bahan uji lebih hemat dan tidak dipengaruhi oleh tebal

tipisnya media.Parameter yang digunakan adalah Kadar Bunuh Minimum

(KBM). Untuk mengetahui Kadar Bunuh Minimum (KBM) dilakukan dengan

penggoresan larutan uji di media padat sehingga dapat diketahui aktivitas anti

bakteri dengan ekstrak yang digunakan. (Fatisa, 2013)

2.7 Jenis Pelarut Metode Maserasi

Metode maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana dan

dalam tahapanya tidak dilakukan proses pemanasan sehingga menghindari

kerusakan dari senyawa yang dikandung oleh simplisisa. (Nurhafiza, 2015).

Menurut (Diana & Gumelar, 2012) pelarut sangat mempengaruhi proses

ekstraksi dan maserasi. Pemilihan pelarut pada umumnya dipengaruhi oleh

faktor-faktor antara lain :

1. Selektivitas sehingga pelarut dapat melarutkan semua zat yang akan

diekstrak dengan cepat dan sempurna.


29

2. Titik didih pelarut, pelarut harus mempunyai titik didih yang cukup rendah

sehingga pelarut mudah diuapkan tanpa menggunakan suhu tinggi pada proses

pemurnian dan jika diuapkan tidak tertinggal dalam minyak.

3. Pelarut tidak larut dalam air.

4. Pelarut bersifat inert sehingga tidak bereaksi dengan komponen lain.

5. Harga pelarut semurah mungkin.

6. Pelarut mudah terbakar.

Pelarut yang sering digunakan dalam proses ekstraksi dan maserasi,

diantaranya yaitu:

1. Pelarut Etanol

Etanol 96% adalah pelarut semi polar dan pelarut yang baik untuk

ekstraksi karena dapat mengekstrak senyawa yang polar dan senyawa yang

non-polar. Pelarut etanol 96% relatif kurang toksik dibandingkan metanol,

murah, mudah didapat dan ekstrak yang diperoleh tidak mudah ditumbuhi

jamur dan bakteri serta umum digunakan dalam pembuatan ekstrak karena

mempunyai kelarutan yang relatif tinggi dan bersifat inert sehingga tidak

bereaksi dengan komponen lainnya. Etanol memiliki titik didih yang rendah

sehingga memudahkan pemisahan minyak dari pelarutnya dalam proses

distilasi. (Diana & Gumelar, 2012). Selain itu, etanol merupakan pelarut yang

tidak karsinogen, dan mudah menguap dengan titik didih 78oC sehingga tidak

meninggalkan residu yang tinggi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh

(Ridwan, 2014), tentang ekstraksi androgrophalide dari Andrographis

paniculata (Burm.f.) Ness menggunakan ekstraktor soxhlet dengan


30

menggunakan pelarut etanol, klomofrom, air, dan heksan menunjukkan

ekstraksi sambiloto menggunakan pelarut heksan dan air tidak menunjukkan

adanya noda andrographalide pada analisis kualitatif. Noda hanya terlihat pada

pelarut ekstraksi dengan kloroform dan etanol. Hal ini dikarenakan heksan

merupakan pelarut dengan indeks polaritas 0,1 (sangat rendah) dan tidak dapat

mengekstraksi senyawa aktif andrographalide dari herba sambiloto, sedangkan

air merupakan pelarut dengan indeks polaritas tertinggi 10,2 juga tidak dapat

mengekstraksi senyawa aktif andrographalide dari herba sambiloto. Hal ini

menunjukkan bahwa penggunaan pelarut dengan indeks polaritas yang sangat

tidak polar atau sangat polar dalam mengekstraksi senyawa andrographalide

yang terkandung dalam bahan alam herba sambiloto tidak menghasilkan proses

ekstraksi senyawa aktif target dengan baik. Pelarut etanol yang memiliki indeks

polaritas 5,1 menunjukkan adanya noda senyawa andrographalide paling

banyak dan kemudian diikuti oleh pelarut klomoform yang memiliki indeks

polritas 6,1. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan pelarut etanol dengan

indeks polaritas yang pertengahan atau semi polar dalam mengekstraksi

senyawa aktif andrographalide yang terkandung dalam bahan alam herba

sambiloto dapat menghasilkan proses ekstraksi senyawa aktif target sangat

baik. Dari perhitungan diketahui bahwa dalam 5 mg/ml ekstrak etanol

kandungan andrographolide sebanyak 16,8% dengan kadar yang memenuhi

batas persyaratan yang ditetapkan Farmakope Herbal Indonesia yaitu 15%.

Pelarut etanol juga merupakan pelarut dengan daya ekstraktif terbesar untuk

semua bahan alam berbobot molekul rendah seperti alkaloid, saponin dan
31

flavonoid. Molekul-molekul ini terkandung dalam ekstrak daun sambiloto.

(Nuralifah, Jabbar, & Parwansah, 2018). Semakin tinggi konsentrasi pelarut

yang digunakan maka andrographolide dalam daun sambiloto yang dihasilkan

semakin banyak. Berdasarkan hal tersebut, penelitian daun sambiloto terhadap

antifungi dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol 96%. (Nurhafiza,

2015).

2. Pelarut Metanol

Pelarut metanol merupakan pelarut yang paling banyak digunakan

dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam namun metanol bersifat lebih

beracun dibandingkan dengan etanol, apabila meninggalkan residu melebihi

ambang batas yang ditentukan akan mengakibatkan keracunan.

(Diana & Gumelar, 2012). Menurut (Astarina, Astuti, & Warditiani, 2013)

metanol merupakan pelarut universal yang memiliki gugus polar (-OH) dan

gugus nonpolar (-CH3) sehingga dapat menarik senyawa - senyawa yang

bersifat polar dan nonpolar.

3. Pelarut Aquades

Aquades merupakan air hasil dari destilasi atau penyulingan, dapat

disebut juga dengan air murni (H2O), karena H2O hampir tidak mengandung

mineral, sedangkan air mineral merupakan pelarut yang universal. Air

merupakan pelarut yang sangat baik bagi molekul-molekul polar seperti

protein. Air dapat membentuk ikatan hidrogen yang sangat kuat dengan
32

senyawa protein karena protein memiliki atom nitrogen yang merupakan salah

satu atom pembentuk ikatan hydrogen. (Dewi, Dewanti, & Setyorini, 2016).

Namun aquades atau air murni kurang baik digunakan untuk metode ekstraksi

dan maserasi karena memiliki kelemahan yaitu kurang stabil sebagai pelarut

dan kurang baik dalam melarutkan senyawa-senyawa yang kurang polar.

(Selvia & Dwita, 2015)

2.8 Penelitian Pendukung


Tanaman sambiloto memang sudah dikenal sebagai tanaman herbal di

seluruh penjuru dunia . Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya tanaman sambiloto khususnya pada bagian daun dapat

memberikan efek farmakologi sebagai anti oksidan, anti diabetik, anti fertilitas,

anti HIV-1, anti flu, anti adhesi intraperitonial, anti malaria, anti diare,

hepatoprotektif, koleretik, dan kolekinetik dan berdasarkan penelitian pula

menunjukkan bahwa andrographolide (senyawa terbanyak pada daun

sambiloto) dan senyawa lain yang terdapat pada sambiloto memiliki efek

toksisitas yang sangat rendah. (Widyawati, 2007). Selain itu daun sambiloto

memiliki efek sebagai anti mikroba. (Dey, Kumari, & Ota, 2013).

Penelitian mengenai ekstrak daun sambiloto sebagai anti mikroba telah

sering dilakukan dan terbukti bahwa ekstrak daun sambiloto memiliki efek

dalam menghambat pertumbuhan jamur maupun bakteri. Seperti halnya

beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh (Nugroho, Rahardianingtyas,

& Wianto, 2016) dengan metode dilusi test dengan konsentrasi 100%; 50%;
33

25%; 12,5%; 6,25%; 3,125%; 1,56%; 0,78%; 0,39%; 0,19% diperoleh

pengamatan hasil penelitian yang menunjukkan konsentrasi minimum yang

dapat membunuh Leptospira sp. yang ditandai dengan tidak ada bakteri

Leptospira sp. yang tumbuh atau terlihat adalah pada konsentrasi 1,56%.

Penelitian dengan menggunakan penurunan dari setengah konsentrasi

lebih jelas untuk melihat pengaruh ekstrak daun sambiloto dalam menghambat

pertumbuhan jamur maupun bakteri. (Nugroho, Rahardianingtyas, & Wianto,

2016). Penelitian lain tentang daun sambiloto terhadap pertumbuhan bakteri

bacillus cereus dan pseudomonas aeruginosa menunjukkan adanya kadar

hambat minimal pada konsentrasi 12,5%. (Nova, 2012).

You might also like