You are on page 1of 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stunting atau pendek adalah kondisi gagal tumbuh pada anak usia di bawah lima tahun
(balita) akibat kekurangan gizi kronis, infeksi berulang dan stimulasi psikososial yang tidak
memadai (terutama dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan, yaitu dari janin hingga anak berusia
dua tahun). Anak tergolong stunting apabila panjang/tinggi* badannya berada di bawah minus
dua standar deviasi panjang/tinggi anak seumurnya (Kementerian Kesehatan, 2018).

Sedangkan wasting atau kurang gizi ialah kurangnya berat badan menurut panjang/tinggi
badan anak (BB/TB), disebabkan karena kekurangan makan/terkena penyakit infeksi yang terjadi
dalam waktu yang singkat (permasalahan gizi akut).

Stunting dan kekurangan gizi lainnya yang terjadi pada 1.000 HPK, disamping berisiko
menghambat pertumbuhan fisik (gagal tumbuh) dan rentan terhadap penyakit (gangguan
metabolik : DM. Hipertensi, obesitas), juga menghambat perkembangan kognitif (gangguan
kognitif motorik) yang akan berpengaruh pada tingkat kecerdasan dan produktivitas anak di
masa

Penyebab stunting bersifat multidimensional, antara lain faktor :

1. Ketahanan pangan (ketersediaan, daya beli dan akses mendapatkan pangan bergizi).
Kurangnya akses ke bahan pangan bergizi / bahan makanan mahal menyebab 1 dari 3
ibu hamil mengalami anemia

2. Lingkungan sosial (norma, pendidikan, tempat kerja, jenis makanan bayi/anak).


Praktek pengasuhan yang tidak baik, akibat kurangnya pengetahuan kesehatan dan
gizi sebelum serta pada masa kehamilan, menyebabkan 55% anak usia 0-6 bulan tidak
mendapatkan ASI eksklusif (Susenas, 2015) dan 1 dari 3 anak usia 6-23 bulan tidak
menerima MP-ASI secara tepat (SDKI,2012)
3. Lingkungan kesehatan (akses, pelayanan preventif, kuratif). Terbatasnya layanan
kesehatan termasuk layanan sebelum/setelah kelahiran dan pembelajaran dini
berkualitas

o 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun tidak terdaftar di PAUD

o 2 dari 3 bumil belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang memadai

o Menurunnya tingkat kehadiran anak di Posyandu. Apalagi dimasa pandemi

o Tidak mendapat akses memadai ke layanan imunisasi


4. Lingkungan pemukiman (kondisi air, sanitasi, bangunan tempat tinggal). Kurangya
akses ke air bersih dan sanitasi
Stunting dan malnutrisi diperkirakan berkontribusi pada berkurangnya 2-3% Produk
Domestik Bruto (PDB) setiap tahunnya. Prevalensi stunting selama 10 tahun terakhir
menunjukkan tidak adanya perubahan yang signifikan dan ini menunjukkan bahwa masalah
stunting perlu ditangani segera. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan
30,8% atau sekitar 7 juta balita menderita stunting. Masalah gizi lain terkait dengan stunting
yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat adalah anemia pada ibu hamil (48,9%), Berat
Bayi Lahir Rendah atau BBLR (6,2%), balita kurus atau wasting (10,2%) dan anemia pada
balita.

Konvergensi merupakan pendekatan penyampaian intervensi, yang dilakukan secara


terkoordinir, terintegrasi dan bersama-sama untuk mencegah stunting, kepada sasaran prioritas.
Aksi Konvergensi adalah instrumen dalam bentuk kegiatan, yang digunakan untuk meningkatkan
pelaksanaan integrasi intervensi gizi, dalam pencegahan dan penurunan stunting. Aksi ini
digunakan untuk meningkatkan kualitas pendekatan pelaksanaan program dan perilaku lintas
sektor (dari tingkat pusat sampai kabupaten/kota) agar program dan kegiatan intervensi gizi tepat
sasaran.

Pembelajaran dari keberhasilan di negara-negara lain menunjukkan bahwa, efektifitas


penurunan stunting ditentukan oleh seberapa menyeluruh atau terpadunya intervensi gizi, yang
menyasar lokasi dan kelompok sasaran prioritas. Semakin lengkap dan terpadunya intervensi gizi
di lokasi dan kelompok sasaran prioritas, maka upaya percepatan penurunan stunting akan
semakin efektif.

Upaya percepatan penurunan stunting dilakukan melalui dua intervensi gizi

1. Spesifik (bila cakupan 90%, kontribusi penanganan stuntingnya 20-


30%)
Intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK). Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan. Intervensi
spesifik bersifat jangka pendek, hasilnya dapat dicatat dalam waktu relatif
pendek

Stunting merupakan salah satu masalah gizi terbesar pada balita di Indonesia. Hasil Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan penurunan prevalensi stunting balita di tingkat

nasional sebesar 6,4% selama 5 tahun, yaitu dari 37,2% (2013) menjadi 30,8% (2018). Proporsi

status gizi; pendek dan sangat pendek pada baduta, mencapai 29,9% atau lebih tinggi

dibandingkan target RPJMN 2019 sebesar 28%.

Stunting dapat menghambat pertumbuhan fisik, meningkatkan kerentanan anak terhadap

penyakit, menimbulkan hambatan perkembangan kognitif yang menurunkan kecerdasan dan

produktivitas anak di masa depan. Stunting juga akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit

degeneratif di usia dewasa. Kerugian ekonomi akibat stunting pada angkatan kerja di Indonesia

saat ini diperkirakan mencapai 10.5% dari produk domestik bruto (PDB), atau setara dengan 286

triliun rupiah.

Stunting terkait dengan banyak faktor risiko, antara lain faktor asupan gizi ibu dan anak,

status kesehatan Balita, ketahanan pangan, lingkungan sosial dan kesehatan, lingkungan

pemukiman, kemiskinan, dan lain-lain (UNICEF, 2013; WHO, 2013). Berbagai penelitian dunia
menunjukkan bahwa prevalensi stunting dapat diturunkan secara signifikan dengan

meningkatkan cakupan intervensi gizi spesifik hingga ≥ 90% (Bhutta dkk., 2013).

Permasalahan gizi pada ibu hamil sering terjadi karena adanya masalah pada saat remaja

dan sebelum hamil. Kekurangan gizi kronis dan anemia pada remaja berdampak buruk pada

kesehatan dan perkembangan mereka. Tingginya angka malnutrisi pada remaja putri,

berkontribusi pada peningkatan morbiditas dan mortalitas pada kehamilan dan persalinan, serta

peningkatan risiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Kondisi ini

berkontribusi pada siklus malnutrisi antar generasi.

B. STRATEGI NASIONAL KOMUNIKASI PERUBAHAN PERILAKU PERCEPATAN

PENCEGAHAN STUNTING

Permasalahan utama yang menyebabkan masih tingginya angka stunting di Indonesia adalah

kombinasi antara rendahnya kesadaran mengenai stunting, kebijakan yang belum konvergen

dalam memberikan dukungan terhadap pencegahan stunting, dan permasalahan komunikasi

dalam perubahan perilaku baik di tingkat individu, tingkat masyarakat, dan tingkat layanan

kesehatan. 1 1 WHO Petunjuk Teknis Petunjuk Teknis Penyusunan dan Pelaksanaan Strategi

Komunikasi Perubahan Perilaku Percepatan Pencegahan Stunting 3 Peran dan tanggung jawab

dari berbagai pemangku kepentingan dalam kegiatan komunikasi untuk percepatan pencegahan

stunting masih perlu ditingkatkan. Pencegahan stunting memerlukan upaya penanganan secara

terpadu, mencakup intervensi gizi spesifik dan sensitif. Pengalaman global menunjukkan bahwa

penyelenggaraan intervensi yang terpadu untuk menyasar kelompok prioritas merupakan kunci

keberhasilan perbaikan gizi, tumbuh kembang anak, dan pencegahan stunting. Strategi Nasional

Komunikasi Perubahan Perilaku Percepatan Pencegahan Stunting (StraKom) adalah panduan

tentang cara menerapkan komunikasi perubahan perilaku sebagai intervensi utama terhadap
permasalahan stunting di Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia.

StraKom secara rinci menjelaskan tentang tahapan untuk melakukan komunikasi perubahan

perilaku, pembagian peran dan tanggung jawab para pemangku kepentingan terkait, hingga

rencana aksi yang dapat dilakukan oleh para pemangku kepentingan di tingkat nasional. Strakom

dapat dijadikan acuan bagi kabupaten/kota dalam menyusun strategi komunikasi perubahan

perilaku percepatan pencegahan stunting di daerah masing-masing. Strategi komunikasi

perubahan perilaku yang tepat guna adalah yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan

masyarakat setempat. Komunikasi Perubahan Perilaku (KPP) adalah cara berkomunikasi untuk

mempengaruhi sasaran secara positif terjadinya perilaku hidup sehat yang disusun secara

strategis. KPP dilakukan dengan menggunakan beragam pendekatan komunikasi:permasalahan

stunting di Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

StraKom secara rinci menjelaskan tentang tahapan untuk melakukan komunikasi perubahan

perilaku, pembagian peran dan tanggung jawab para pemangku kepentingan terkait, hingga

rencana aksi yang dapat dilakukan oleh para pemangku kepentingan di tingkat nasional. Strakom

dapat dijadikan acuan bagi kabupaten/kota dalam menyusun strategi komunikasi perubahan

perilaku percepatan pencegahan stunting di daerah masing-masing. Strategi komunikasi

perubahan perilaku yang tepat guna adalah yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan

masyarakat setempat. Komunikasi Perubahan Perilaku (KPP) adalah cara berkomunikasi untuk

mempengaruhi sasaran secara positif terjadinya perilaku hidup sehat yang disusun secara

strategis. KPP dilakukan dengan menggunakan beragam pendekatan komunikasi:

You might also like