You are on page 1of 39

LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN

KASUS INDIVIDU

Disusun Sebagai Salah Satu Persyaratan Mendapatkan


Derajad Sarjana Psikologi
Program Studi Ilmu Psikologi
Bidang Peminatan Psikologi Pendidikan

OLEH:
ANISA PRATIWI
198110005

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU
2022

1
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN “KASUS INDIVIDU”
BIDANG PEMINATAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN

NAMA MAHASISWA : ANISA PRATIWI


NPM : 198110005
LOKASI PKL : PEKANBARU LAB SCHOOL

MENGESAHKAN,
DOSEN PEMBIMBING PEMBIMBING LAPANGAN

(YULIA HERAWATY, S. PSI., M. A) (WIDIYONO JAVAWINTHSA, S. PD)

KETUA PROGRAM STUDI KEPALA INSTANSI

(JULIANI SIREGAR, M. PSI., PSIKOLOG) (WIDIYONO JAVAWINTHSA, S. PD)

2
KATA PENGANTAR

Bissmillahirrohmanirrohim……..
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayahnya penulis dapat menyelesaikan tugas laporan Praktik Kerja Lapangan
tepat pada waktunya.
Laporan ini disusun guna melengkapi persyaratan dalam menyelesaikan PKL
(Praktik Kerja Lapangan) bagi kami selaku mahasisiwi Universitas Islam Riau
program studi Psikologi dan meningkatkan peran serta kami selaku mahasisiwi
untuk menerapkan materi yang telah dipelajari untuk dilakukan di lapangan.
Dalam penyusunan laporan ini,penulis menyadari sepenuhnya bahwa
selesainya laporan PKL ini tidak terlepas dari dukungan,semangat serta bimbingan
dari berbagai pihak, baik bersifat moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis
ingin menyampaikan ucapan terimakasih, antara lain :
1. Bapak Yanwar Arief, M. Psi., Psikolog, selaku dekan Fakultas Psikologi
Universitas Islam Riau, yang telah memberikan kesempatan dan kepercayaan
kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan laporan PKL ini dengan
baik.
2. Ibu Juliani Siregar, M. Psi., Psikolog, selaku ketua Program Studi dekan
Fakultas Psikologi Universitas Islam Riau.
3. Ibu Yulia Herawaty, S. Psi., M. A sebagai dosen pembimbing PKL Fakultas
Psikologi Universitas Islam Riau.
4. Bapak Widiyono Javawinthsa, S. Pd sebagai pembimbing lapangan yang
menjadi bagian dari Pekanbaru Lab School.
5. Terimakasi kepada Ibu Nurhayati, A. Md dan guru-guru Pekanbaru Lab School
yang sudah membimbing kami.
6. Terimakasih kepada orangtua yang sudah memberikan semangat dalam
mengerjakan laporan PKL ini.
7. Serta kepada teman-teman yang sudah membantu dalam menyelesaikan
laporan PKL ini.

i
Penyusunan laporan Praktik Kerja Lapangan ini disusun dengan sebaik-
baiknya, namun masih terdapat kekurangan didalam penyusunan laporan PKl ini.
Oleh karena itu, saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak sangat
diharapkan. Tidak lupa harapan penulis semoga Laporan Praktik Kerja Lapangan
ini dapat bermanfaat bagi pembaca serta menambah ilmu pengetahuan bagi kami.
Wassalamu’alaikum Wr Wb
Pekanbaru, 15 September 2022

Anisa Pratiwi

ii
DAFTAR ISI

COVER
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... v
BAB I ............................................................................................................... 1
DESKRIPSI TEMPAT PRAKTIK KERJA LAPANGAN ........................ 1
BAB II ............................................................................................................. 3
LAPORAN KASUS INDIVIDU.................................................................... 3
I. Identitas .................................................................................................. 3
II. Keluhan ................................................................................................... 3
III. Latar Belakang Keluhan ......................................................................... 4
IV. Jadwal Asesmen ..................................................................................... 5
V. Hasil Asesmen ........................................................................................ 6
VI. Kajian Teori ............................................................................................ 7
VII. Dinamika Psikologis ............................................................................... 16
VIII. Rancangan Intervensi.............................................................................. 17
IX. Pelaksanaan dan Hasil Intervensi ........................................................... 18
X. Kesimpulan dan Saran ............................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 21
LAMPIRAN ..................................................................................................... 23

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Identitas Keluarga Subjek .................................................................. 3


Tabel 2. Jadwal Asesmen ................................................................................. 5
Tabel 3. Wawancara bersama Ibu JF ............................................................... 23
Tabel 4. Wawancara bersama Guru ................................................................. 25

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kegiatan Kesenian......................................................................... 28


Gambar 2. Kegiatan Mewarnai ....................................................................... 28
Gambar 3. Kegiatan Menari ............................................................................ 29
Gambar 4. Kegiatan Membaca ........................................................................ 29
Gambar 5. Berdoa Sebelum Melakukan Kegiatan .......................................... 30
Gambar 6. Kegiatan Eksperimen Media Balon............................................... 30
Gambar 7. Kegiatan Sensorimotorik (Berlari Zig-Zag) .................................. 31
Gambar 8. Kegiatan Menggunting Dan Menempel ........................................ 31
Gambar 9. Kegiatan Kemandirian (Menyikat Gigi) ....................................... 32
Gambar 10. Kegiatan Sensorimotorik (Berjalan Jongkok) ............................ 32

v
BAB I
DESKRIPSI TEMPAT PRAKTIK KERJA LAPANGAN

Pekanbaru Lab School telah berdiri sejak tahun 2010. Pekanbaru Lab School
mempunyai visi mempersiapkan anak untuk hidup lebih mandiri. Sekolah ini adalah
sekolah berkebutuhan khusus. Pekanbaru Lab School siap membentuk anak anak
spesial, dengan mengoptimalkan potensi yang ada pada anak. Pekanbaru Lab
School terdiri dari beberapa divisi yaitu :
1. Sekolah khusus yang menangani ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)
2. Sekolah kesetaraan (SD,SMP,SMU)
3. Life skills dan keaksaraan
4. Taman bacaan masyarakat
5. Governess Pekanbaru
6. Divisi asrama, yang mana melayani asrama bagi anak-anak berkebutuhan
khusus dari luar daerah.
Penanganan pendidikan dan layanan khusus yang diberikan di Pekanbaru Lab
School bersifat Holistic, yang ditangani oleh tim yang memiliki bidang ilmu terkait,
seperti dokter anak, dokter umum, psikolog, terapis, guru dan pekerja sosial,
psikiater dan konsultan.
Proses belajar mengajar yang diberikan berdasarkan program yang sudah
disusun dengen tujuan mempersiapkan anak untuk hidup mandiri. Adapun program
yang diberikan oleh Pekanbaru Lab School
yakni sensori-motor, modifikasi perilaku, program bahasa dan wicara,
program Activities Daily Living Skills, program sosialisasi, program pengembangan
bakat dan minat, program edukasi, program vokasional (menyanyi, bermain musik,
Art dan Craft, komputer, memasak, olahraga berkebun dan berdagang), serta
program-program yang menunjang lainnya.
Sekolah, Asrama dan Governess:
Alamat : Jl. Gunung Jati No.21 Pekanbaru
Telephone : (0761) 8407059
Mobile : 0821 7368 0004
E-mail : governessPekanbaru@gmail.com

1
Profil Asrama:
Alamat : Jl. Gunung Jati No. 21 Pekanbaru
Telepone : (0761) 8407059
Mobile : 0821 7368 0004
Website : http://asramaanakspecial.blogspot.com
E-mail : governesspekanbaru@gmail.com

2
BAB II
LAPORAN KASUS INDIVIDU

I. Identitas
a. Identitas Subjek
1. Nama Lengkap : JF
2. Nama Panggilan : J
3. Jnis Kelamin : Laki-Laki
4. Tempat/Tanggal Lahir : Pekanbaru,12 Agustus 2006
5. Agama : Budha
6. Kewarganegaraan : WNI
7. Anak Ke : III (Tiga)
8. Jumlah Saudara : III (Tiga)
9. Diagnosa : ASD + Hyperaktif
10. Bahasa Sehari-Hari : Bahasa Indonesia
11. Alamat : Kota Pekanbaru, Riau.

b. Identitas Keluarga
Ayah Ibu
Nama H SY
Usia - 43 th
Pekerjaan - IRT
Agama Budha Budha
Alamat - Kota Pekanbaru, Riau.
Tabel 1. Identitas Keluarga Subjek

II. Keluhan
Subjek merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Berdasarkan informasi
dari pihak sekolah bahwa subjek terdiagnosa sebagai autisme dan hiperaktif.
Hasil wawancara yang penulis lakukan kepada Ibu sebjek yaitu Ibu subjek
sudah mengetahui bahwa subjek terdiagnosa sebagai anak berkebutuhan
khusus saat subjek masuk sekolah TK (Taman Kanak-Kanak). Ibu subjek tidak

3
mengetahui cara penanganan pada subjek sehingga terjadi mis komunikasi. Hal
tersebut yang memunculkan perilaku menyimpang pada subjek seperti sering
marah, memukul kepala, menghantukkan kepala kd dinding.
Berdasarkan hasil observasi yang sudah dilakukan, ketika tidak ada
aktivitas yang diberikan kepada subjek seperti aktivitas akademik, subjek akan
memunculkan perilak menyimpangnya yaitu membuka laci buku, mengambil
buku cerita temannya, berimajinasi dan tertawa bahkan memukul meja.
Meskipun demikian subjek melakukan perilaku menyimpang tersebut, ketika
aktivitas bantu diri yang dilakukan subjek, subjek mengerjakannya dengan baik
seperti mencuci piring, melipat pakaian. Dalam hal akademik subjek
menyenangi pembelajaran matematika seperti perkalian, pembagian,
penjumlaha atau pengurangan. Karena pada saat aktivitas tersebut diberikan
soal, subjek mengerjakan dengan cepat.
Begitu pula hasil dari wawancara kepada guru subjek yang penulis lakukan
bahwa guru subjek memfokuskan keterampilan sosial untuk subjek seperti
memperhatikan, mempertahankan kontak mata saat berinteraksi dan
mengontrol perilaku subjek. Untuk pembelajaran akademik, guru subjek
menitikberatkan pada pembelajaran matematika. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi perilaku menyimpang pada subjek.

III. Latar Belakang Keluhan


Subjek adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Berdasarkan informasi dari
pihak sekolah bahwa subjek terdiagnosa autisme+hyperaktif. Adapun hasil
wawancara yang dilakukan kepada orangtua subjek bahwa, Ibu subjek
mengetahui anaknya terdiagnosa anak berkebutuhan khusus ketika subjek
masuk sekolah TK. Pada saat Ibu subjek mengetahui anaknya terdiagnosa anak
berkebutuhan khusus, Ibu subjek tidak mengerti cara menanganinya dan sering
terjadi miss komunikasi sehingga membuat J menjadi sering marah dan
memunculkan perilaku menyimpang lainnya seperti memukul kepala,
menghantukan kepala ke dinding dan lain sebagainya.

4
Pada saat observasi berlangsung, ketika tidak diberikan aktivitas
akademik, subjek memunculkan perilaku menyimpang seperti membuka laci
buku, mengambil buku cerita milik temannya, berimajinasi sambil tertawa,
memukul meja dan lain sebagainya. Namun dalam melakukan aktivitas yang
diberikan seperti kegiatan bantu diri seperti makan, mencuci piring, melipat
pakaian hingga kegiatan akademik, terlihat bahwa subjek cepat merespon
ataupun mengerjakannya. Subjek sangat menyukai pelajaran matematika, yang
mana ketika diberikan soal matematika berupa perkalian, pembagian,
penjumlahan maupun pengurangan subjek sangat cepat mengerjakannya
sehingga tidak memunculkan perilaku menyimpang.
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, fokus pembelajaran yang
diberikan oleh guru kepada subjek yakni mempelajari keterampilan sosial dasar
seperti memperhatikan, mempertahankan kontak mata, dan dapat membantu
mengontrol masalah perilaku. Selain itu juga, fokus pembelajaran yang bisa
diberikan kepada subjek seperti pelajaran akademik salah satu nya matematika.
Sehingga hal tersebut diharapkan mampu mengurangi perilaku menyimpang
yang ada pada diri subjek.

IV. Jadwal Asesmen


Tanggal Kegiatan Tempat Keterangan
18 Juli – 15 Observasi Pekanbaru Lab School Dilakukan pada
Agustus 2022 subjek
5 September Pekanbaru Lab School Dilakukan pada
2022 Ibu subjek
13 September Alloanamnesa Pekanbaru Lab School Dilakukan pada
2022 Guru yang
bersangkutan
16 Agustus – Treatment Pekanbaru Lab School Dilakukan pada
15 September subjek
2022
Tabel 2. Jadwal Asesme

5
V. Hasil Asesmen
a. Observasi
1. Kondisi fisik
Subjek merupakan salah satu siswa di Pekanbaru Lab School.
Subjek memiliki kondisi fisik yang terawat, dengan rambut yang rapi
dan kulitnya yang bersih. Hanya saja subjek tidak berpakaian yang
rapi. Bisa dilihat dari pakaian subjek yang terkadang memakai celana
yang longgar dan baju kemeja yang sedikit lusuh atau sudah kecil
bahkan baju yang dikenakan subjek koyak.
2. Observasi saat wawancara
Penulis tidak melakukan wawancara kepada J dan tidak
memberikan kuesioner psikologi. Penulis memfokuskan melakukan
observasi selama 1 bulan dengan mengamati dan melakukan aktivitas
akademik, sensori motorik, bantu diri, bakat minat, dan perilaku
subjek. Penulis melakukan wawancara kepada orangtua subjek dan
kepada guru yang bersangkutan dengan tujuan untuk menggali
informasi yang lebih dalam lagi mengenai subjek.

b. Wawancara
1. Autoanamnesa
Berdasarkan diagnosa yang sudah diberikan dari pihak sekolah,
serta hasil observasi yang sudah dilakukan selama kurang lebih satu
bulan, maka penulis tidak melakukan wawancara dengan subjek,
dikarenakan subjek sulit melakukan komunikasi dua arah.

2. Alloanamnesa
Penulis melakukan wawancara kepada orangtua subjek dan guru
yang bersangkutan di Pekanbaru Lab School.

6
c. Interprestasi Hasil Kuesioner Psikologi
Penulis tidak melakukan penyebaran kuesioner kepada subjek.
Berdasarkan informasi dari pihak sekolah Pekanbaru Lab School, bahwa
subjek memiliki diagnosa sebagai anak berkebutuhan khusus Autisme
Spectrum Disorder yang telah dilakukan pemeriksaan secara valid.

VI. Kajian Teori


A. Autisme spectrum disorder (ASD)
1. Pengertian Autis
Autis bukan penyakit fisik maupun mental, namun terkait dengan
sindrom perilaku yang terjadi pada awal kehidupan yang disebut
“Autisme Spectrum Disorder”. Autis berasal dari kata auto yang
berarti sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa penyandang autis
seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Istilah autis baru
diperkenalkan oleh Leo Kanner pada tahun 1913.
Anak autis mengalami gangguan perkembangan yang kompleks
sehingga mereka juga disebut mengalami gangguan pervasif. Menurut
Peeters (2004) pervasif yaitu menderita kerusakan jauh di dalam
meliputi keseluruhan dirinya. Yang mana gangguan ini hampir
meliputi seluruh aspek kehidupannya, antara lain komunikasi,
interaksi sosial, gangguan dalam sensoris, pola bermain, perilaku
khas, dan emosi. Sehingga gangguan-gangguan ini jelas akan
mengambat perkembangan anak autis. Autis adalah suatu keadaan
dimana seorang anak berbuat semaunya sendiri baik secara berfikir
maupun perilaku. Keadaan ini mulai terjadi sejak usia masih muda,
biadanya sekitar usia 2-3 tahun. Autis bisa mengenai siapa saja, baik
sosio-ekonomi mapan maupun kurang, anak-anak ataupun dewasa
dan semua etnis (Yatim, 2003).
Autisme Spectrum Disorder dalam DSM-5™ termasuk dalam
Neurodevelopmental Disorder yaitu kelompok gangguan dengan
onset dalam periode perkembangan. Manifestasi gangguan terjadi

7
pada awal masa perkembangan dan sebelum anak memasuki Sekolah
Dasar, gangguan ditandai dengan defisit perkembangan personal,
sosial, akademik dan juga fungsi okupasi. Tingkatan defisit
perkembangan yang dialami anak dalam Neurodevelopmental
Disorder bervariasi , sebagai contoh anak dengan autis juga memiliki
ketidakmampuan intelektual (Intellectual Developmental Disorder),
anak dengan autis juga memiliki Attention-Deficit/Hyperactivity
Disorder (ADHD) sehingga memiliki gangguan dalam proses belajar.
Autis adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks yang
sejak dahulu menjadi salah satu misteri di dunia kedokteran. Autis
sebenarnya bukan barang baru dan sudah ada sejak lama, namun
belum terdiagnosis sebagai autis. Autis adalah gangguan
perkembangan parah yang gejalanya mulai nampak sebelum anak
mencapai usia 3 tahun. Gangguan perkembangan tersebut mencakup
gangguan dalam interaksi sosial yang timbal-balik, gangguan
komunikasi, adanya tingkah laku stereotipe, serta minat dan aktivitas
yang terbatas (American Psychiatric Association, 2000, dalam Mash
& Wolfe, 2005).
Menurut cerita-cerita zaman dulu seringkali ada anak yang
dianggap ‘aneh’; anak tersebut sejak lahir sudah menunjukkan gejala
yang tidak biasa. Mereka menolak bila digendong, menangis kalau
malam dan tidur bila siang hari. Mereka seringkali bicara sendiri
dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh orangtuanya. Apabila
dalam kondisi marah mereka bisa menggigit, mencakar, menjambak
atau menyerang. Kadangkala mereka tertawa sendiri seolah-olah ada
yang mengajaknya bercanda. Para orangtua pada saat itu menganggap
anak ini tertukar dengan anak peri, sehingga tidak bisa menyesuaikan
dengan kehidupan manusia normal (Budhiman, 2002).
Perilaku autistik di golongkan kedalam dua jenis, yaitu perilaku
yang eksesif (berlebihan) dan perilaku yang deficit (berkekurangan).
Adapun yang dimaksud dengan eksesif adalah hiperaktif yang tantrum

8
seperti menjerit, menggigit, mencakar, memukul, dan mendorong
serta menyakiti dirinya sendiri (self-abused). Selain itu, perilaku
deficit ditandai juga dengan gangguan bicara, perilaku sosial yang
kurang sesuai, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat seperti
tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun.
Dari beberapa uraian di atas, maka yang dimaksud dengan autis
adalah bukan suatu penyakit tetapi berupa sindrom (kumpulan gejala)
yang terjadi sejak usia muda sekitar 2-3 tahun dan terjadi gangguan
perkembangan pervasif yang ditandai dengan keterlambatan dan
gangguan yang parah pada beberapa area perkembangan, seperti pada
interaksi social, komunikasi, perilaku bermain, aktivitas sosial dan
minat sehari-hari.
Pelaksanaan pendidikan untuk anak autis memiliki landasan
yuridis dan landasan empiris seperti di bawah ini (Yosfan Azwandi,
2005: 134).
a. Landasan Yuridis
1) UU nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 8 ayat (1) berbunyi: “Warga negara yang memiliki
kelainan fisik dan/atau mental berhak memperoleh
pendidikan luar biasa.
2) Rancangan Peraturan Pemerintah tahun 2002 tentang
Pendidikan Luar Biasa yang merupakan penyempurnaan
terhadap PP PLB, pada salah satu pasalnya berbunyi bahwa
anak yang memerlukan perhatian khusus, sehingga perlu
pelayanan pendidikan khusus, antara lain adalah anak autis.
b. Landasan empiris
Autis merupakan gangguan perkembangan yang kompleks
menyangkut komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas
imajinasi/simbolik. Gangguan tersebut mempunyai karakteristik
yang berbeda dengan gangguan lainnya seperti tunagrahita, dan
lain sebagainya. Sehingga mereka memerlukan layanan

9
pendidikan yang memiliki cara atau metode khusus. Namun
kenyataan di lapangan banyak anak autis yang tidak dapat
diterima di sekolah umum. Hal ini menunjukkan masih
kurangnya pengetahuan dan informasi tentang anak autis serta
pelayanannya terutama di kalangan praktisi pendidikan luar biasa
(Yosfan Azwandi, 2005: 135)

2. Karakteristik Autis
Autis termasuk dalam kategori gangguan perkembangan pervasif
yang dikarateristikkan dengan penyimpangan interaksi sosial timbal-
balik, keterampilan komunikasi yang terlambat dan menyimpang,
serta kumpulan aktivitas dan minat yang terbatas. Tepatnya, kriteria
penegakan diagnosis autis menurut ICD-X dan DSM-V adalah
sebagai berikut:
a. Hendaya persisten pada komunikasi dan interaksi sosial dalam
semua konteks, tidak berdasarkan keterlambatan perkembangan
umum, yang bermanifestasi dari tiga hal berikut :
1. Hendaya pada hubungan timbal balik secara emosional dan
sosial
2. Hendaya pada perilaku komunikasi nonverbal yang digunakan
untuk interaksi sosial
3. Hendaya dalam mengembangkan dan mempertahankan
hubungan sebaya sesuai tingkat perkembangan
b. Pola perilaku, minat, dan aktivitas stereotipik berulang dan terbatas
yang bermanifestasi setidaknya dua dari hal berikut :
1. Stereotip atau pengulangan dalam bahasa, gerakan motorik,
ataupun penggunaan suatu objek.
2. Kepatuhan terhadap rutinitas, pola ritual, kebiasaan verbal
ataupun nonverbal atau sangat kesulitan terhadap perubahan.

10
3. Sangat kaku, memiliki ketertarikan tetap terhadap sesuatu
sehingga terlihat abnormal dalam segi intensitas ataupun tingkat
konsentrasi.
4. Reaksi yang kurang atau berlebihan terhadap rangsang sensoris
ataupun ketertarikan tidak biasa dari rangsangan sensoris
lingkungan.
c. Gejala harus muncul pada usia dini (semuanya tidak akan muncul,
sampai saat tuntutan sosial melebihi kapasitas yang terbatas).
d. Keseluruhan gejala membatasi dan mengganggu secara fungsional
setiap hari.
Diperbaharuinya kriteria diagnosis autis ini menunjukkan bahwa
gangguan perkembangan pervasif perlu untuk didiagnosis dengan
tepat mengingat angka prevalensi yang meningkat setiap tahunnya,
tingkat biaya sosial yang dikorbankan, serta dampak besar lain
terhadap kehidupan keluarga.
Sedangkan menurut Handojo (2004: 24), beberapa karekteristik
dari perilaku autisme pada anak-anak antara lain :
1) Bahasa / komunikasi meliputi ekspresi wajah yang datar, bicara
sedikit, atau tidak ada, jarang memulai dengan komunikasi, tidak
menggunakan bahasa/isyarat tubuh, tidak meniru aksi atau suara,
tampak Tidak mengerti arti kata, mengerti dan menggunakan kata
secara terbatas, intonasi atau ritme vokal yang aneh.
2) Hubungan dengan orang meliputi tidak responsive, tidak ada
senyum sosial, tidak berkomunikasi dengan mata, kontak mata
terbatas, tampak asik bila dibiarkan sendiri, tidak melakukan
permainan giliran, menggunakan tangan orang dewasa sebagai
alat.
3) Hubungan dengan lingkungan meliputi bermain repetitif (diulang-
ulang), marah atau tidak menghendaki perubahan-perubahan,
berkembangnya rutinitas yang kaku, memperlihatkan ketertarikan
yang sangat tak fleksibel.

11
4) Respon terhadap indera/sensoris meliputi kadang panik terhadap
suara-suara tertentu, sangat sensitif terhadap suara, bermain-main
dengan cahaya dan pantulan, memainkan jari-jari di depan mata,
menarik diri ketika disentuh, tertarik pada pola dan tekstur tertentu,
sangat in aktif atau hiperaktif, seringkali memutar-mutar,
membentur-bentur kepala, menggingit pergelangan, melompat-
lompat atau mengepak-ngepakan tangan, atau merespon aneh
terhadap nyeri.
5) Kesenjangan perkembangan perilaku meliputi kemampuan
mungkin sangat baik atau sangat terlambat, mempelajari
keterampilan di luar urutan normal, misalnya membaca tapi tak
mengerti arti, menggambar secara rinci tapi tidak dapat
mengancing baju, pintar mengerjakan puzzle, tapi amat sukar
mengikuti perintah, berjalan pada usia normal, tetapi tidak
berkomunikasi, lancar membeo suara, tetapi sulit berbicara dari diri
sendiri, suatu waktu dapat melakukan sesuatu, tapi tidak di lain
waktu.

3. Faktor Penyebab Autis


Seiring dengan bertambahnya jumlah individu autis, semakin
banyak pula penelitian mengenai penyeab autis yang mengubah
pemahaman awal masyarakat awalnya faktor hereditas dan biologis
dipandang sebagai penyebab autis. Selain itu juga, Ibu yang
berperilaku dingin dan tidak responsif juga dianggap sebagai
penyebab autis. Sampai saat ini, ilmuwan belum secara pasti
mengetahui apa yang salah pada otak individu autis, penyebab yang
baru diyakini adalah gangguan neurobiologis, bukan interpersonal
(National Research Council,2001; Strock,2004 dalam Hallahan
&Kauffman, 2006).
Menurut Handojo (2003: 15) menyatakan penyebab autis bisa
terjadi pada saat kehamilan. Pada tri semester pertama, faktor pemicu

12
biasanya terdiri dari ; infeksi (Toksoplasmosis, Rubella, Candida,
dsb), keracunan logam berat, zat aditif (MSG, pengawet, pewarna),
maupun obat-obatan lainnnya. Selain itu, tumbuhnya jamur
berlebihan di usus anak sebagai akibat pemakaian antibotika yang
berlebihan, dapat menyebabkan kebocoran usus (Leaky-Gut
Syndrome) dan tidak sempurnanya pencernaan kasein dan gluten.
Beberapa waktu yang lalu, autis diyakini disebabkan oleh pola
asuh dan perlakuan orangtua yang “dingin” dan kurang kasih
penulisng terhadap anak. Namun sekarang, pandangan tersebut sudah
berubah. Saat ini secara umum autis adalah sebuah gangguan yang
disebabkan oleh kelainan perkembangan saraf (otak) karena
perkembangannya yang terganggu dan tidak optimal.
a. Masalah pada Awal Masa Perkembangan.
Diakibatkan kelahiran prematur, pendarahan, atau infeksi
sewaktu kehamilan, toxemia (keracunan darah), diidentifikasikan
pada sebagaian kecil dari populasi anak dengan gangguan autis.
Walaupun demikian, masalah tersebut tidak dapat dipastikan
sebagai penyebab utama dari autis.
b. Pengaruh Genetik
- Family and Twin Studies.
Kemungkinan anak kembar identik sama-sama memiliki
gangguan autis berkisar antara 60% hingga 90%. Temuan
penelitian keluarga dan penelitian anak kembar memberikan
bukti kuat bahwa faktor genetik berperan penting sebagai
etiologi autis.
- Chromosomal and Gene Disorders.
Kelainan kromosom mungkin berhubungan dengan autis.
Adanya kelainan kromosom fragile-X yang terjadi pada 2%
sampai 3% dari populasi anak autis. Sehingga membangkitkan
pemikiran bahwa hal tersebut mungkin berhubungan dengan
autis.

13
- Molecular Genetics
Penelitian terkini yang menggunakan Molecular genetik
merujuk kepada beberapa area dalam kromosom otak, yaitu
kromosom II, VII, XIII, dan XV, sebagai kemungkinan lokasi
susceptible genes untuk autis. Namun gen penyebab pastinya
masih belum bisa diidentifikasi. Masih dIbutuhkan penelitian
lanjutan untuk bisa mengidentifikasinya secara tepat.
c. Kelainan Otak.
Cerebellum (otak kecil) yang merupakan pusat dari gerakan
motorik, namun berkaitan juga dengan bahasa, belajar, emosi,
proses berpikir, dan perhatian. Pada anak autis sebagaian besar
memiliki cerebellum yang lebih kecil dari anak normal.
Menurut Nevid, Rathus & Greene (2005), penyebab autisme
belum diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan abnormalitas
otak. Awalnya dari sudut pandang yang mendiskreditkannya,
penyebab tidak adanya kontak sosial pada anak autistic dikatakan
sebagai reaksi terhadap orangtua yang dingin dan mengambil
jarak yang kurang memiliki kemampuan untuk menciptakan
hubungan yang hangat dengan anak mereka.

B. Applied Behavior Analysis


1. Metode ABA
Salah satu terapi penting bagi anak autis adalah terapi perilaku
(behavior therapy). terapi perilaku yang terkenal diseluruh dunia
adalah applied behavior analysis yang ditemukan oleh psikolog asal
Amerika, O. Ivar Lovaas di tahun 1964.(Prasetyono,2008).
Dalam terapi perilaku, fokus penanganan terletak pada pemberian
penguatan yang positif setiap kali anak merespon dengn benar dan
sesuai dengan instruksi yang diberikan. Secara teoritis , prinsip dasar
terapi ini dapat dijabarkan sebagai A-B-C, yakni A (antecedent) yang
diikuti dengan B (behavior) dan C (consequence).

14
Tujuan dari penanganan ini adalah untuk meningkatkan
pemahaman dan kepatuhan anak terhadap aturan. Terapi ini umumnya
mendapatkan hasil yang signifikan bila dilakukan secara insentif,
teratur dan konsisten pada usia dini. Prinsip dasar terapi perilaku
adalah untuk meningkatkan kemampuan kognitif anak autis, dimulai
dengan sejumlah latihan yang sederhana dan sedikit kegiatan agar
anak menjadi terbiasa (Prasetyono,2008).

2. Teknik ABA
Menurut Handojo (2003), teknik-teknik ABA terbagi atas:
1) Kepatuhan (compliance) dan kontak mata adalah kunci masuk ke
metode ABA
2) One on one adalah satu terapi untuk satu anak, bila perlu dapat
dipakai terapi pendamping sebagai prompt (pemberi kesiapan).
3) Siklus (discrate trial training) yang dimulai dari instruksi diakhiri
dengan reinforcement. tiga kali instruksi dengan pemberian
tenggang waktu tiga hingga lima detik pada instruksi ke satu dan
ke dua.
4) Fading adalah mengarahkan anak ke perilaku target dengan
prompt penuh dan makin lama prompt makin dikurangi secara
bertahap sampai akhirnya anak mampu melakukan tanpa prompt.
5) Shaping adalah mengajarkan suatu perilaku melaluai tahap-tahap
pembentukan yang semakin mendekati respon yang dituju yaitu
perilaku target.
6) Chaining adalah mengajarkan suatu perilaku kompleks yang
dipecah mennjadi aktivitas-aktivitas kecil yang disusun menjadi
suatau rangkaian atau untaian secara berurutan. Aktivitas
tersebut, misalnya menggunakan kaos dipecah menjadi :
memegang kaos, meletakkan kaos di kepala, meloloskan kepala
melalui lubang kaos, meloloskan satu tangan, meloloskan tanagan

15
lain, menarik kaos setinggi dada dan menarik kaos sampai
pinggang.
7) Discrimination training adalah tahap identifikasi item dimana
disediakanitem pembanding, kemudian diacak tempatnya sampai
anak benar-benar mampu membedakan mana item yang harus
diidentifikasi sesuai instruksi
8) Mengajarkan konsep warna, bentuk, angka, huruf, dsb.

VII. Dinamika Psikologis


Autis merupakan salah satu kebutuhan khusus yang ditandai dengan
beberapa gangguan yakni gangguan komunikasi, gangguan perilaku dan
gangguan interaksi sosial. Diagnosa untuk anak-anak autis dapat dilakukan
dengan cara mengamati perilaku anak dalam berkomunikasi, bertingkah laku
dan tingkat perkembangannya. Karena karakteristik dari penyandang autis ini
banyak sekali ragamnya sehingga cara diagnosa yang paling ideal adalah
dengan memeriksakan anak pada beberapa tim dokter ahli seperti ahli
neurologis, ahli psikologis anak, ahli penyakit anak, ahli terapi bahasa dan
tenaga ahli terapis yang profesional menangani anak-anak autis.
Berdasarkan pengertian autism menurut Peeters (2004) subjek mengalami
gangguan komunikasi, interaksi sosial, gangguan dalam sensoris, pola
bermain, perilaku khas, dan emosi. Hal ini dapat terlihat bahwa subjek masih
sangat sedikit dalam berkomunikasi dan sangat jarang memulai komunikasi,
adapun dalam interaksi sosialnya, subjek tidak tertarik jika bermain dengan
teman-temannya dan lebih suka bermain sendiri dan lebih memilih untuk
membaca dan mencoret-coret buku.
Berdasarkan karakteristik autis menurut Handojo (2003: 24) yakni dapat
diketahui bahwa permasalahan subjek dalam komunikasi yakni subjek hanya
berbicara sedikit saja yakni ketika ditanya. Dan subjek mengeluarkan intonasi
atau suara yang sulit untuk dipahami ketika subjek merasa bosan akan aktivitas
yang diberikan. Sedangkan permasalahan hubungan pada orang lain, yakni
subjek memiliki interaksi sosial yang minim atau kurang. Dikarenakan subjek

16
yang sulit berkomunikasi dengan teman sebayanya dan lebih senang ketika
menyendiri. Contohnya subjek lebih senang menyendiri dan membaca buku.
Dalam gangguan pada perilaku yang dialami subjek yakni subjek selalu
mengambil buku di laci dan marah ketika hal yang diinginkan tidak tercapai
olehnya. Sama seperti halnya dengan permasalahan pada perasaan atau emosi
subjek yakni yang mana subjek tiba-tiba tertawa sendiri dan marah-marah
tanpa ada sebab, dan permasalahan yang dialami subjek selanjutnya yakni
respon terhadap sensori atau indera, yang mana subjek sangat sensitif terhadap
suara yang berisik. Subjek akan memukul dirinya ketika ada suara berisik yang
terdengar. Dan juga subjek akan memukul meja atau menghentakkan kakinya
di lantai ketika berimajinasi disaat aktivitas yang diberikan tidak menarik atau
membosankan.
Adapun treatment yang tepat diberikan kepada subjek dalam mengurangi
perilaku menyimpang serta membantu subjek dalam hal akademik maupun
bantu diri yakni dengan menggunakan terapi perilaku (ABA). yang mana
metode ini dapat membantu mereka mempelajari keterampilan sosial dasar
seperti memperhatikan, mempertahankan kontak mata, dan dapat membantu
mengontrol masalah perilaku (Handojo, 2009). Dasar dari metode ini adalah
menggunakan pendekatan teori behavioral, pada tahap awal menekankan pada
kepatuhan, keterampilan anak dalam meniru, dan membangun kontak mata.
Anak berlatih berkomunikasi, berbicara, bahasa, dan melakukan interaksi
sosial, namun yang pertama kali perlu diterapkan adalah latihan kepatuhan dan
kontak mata. Konsep kepatuhan ini sangat penting agar mereka dapat
mengubah perilaku sendiri menjadi perilaku yang lazim dan dapat melakukan
interaksi sosial (Yuwono, 2009).

VIII. Rancangan Intervensi


Adapun rancangan intervensi yang akan diberikan kepada subjek yakni
berupa Metode Terapi Applied behavioral Analysis (ABA). ABA adalah Jenis
terapi yang telah lama dipakai, telah dilakukan penelitian dan didesain khusus
anak-anak penyandang autis. Terapi perilaku, berupaya untuk melakukan

17
perubahan pada anak autis dalam arti perilaku yang berlebihan dikurangi dan
perilaku yang berkekurangan (belum ada) dapat ditambahkan. Terapi perilaku
ini merupakan salah satu metode intervensi dini yang banyak diterapkan di
Indonesia yang ditemukan oleh psikolog asal Amerika, O. Ivar Lovaas di tahun
1964.
Metode yang dipakai dalam terapi ini adalah dengan memberi pelatihan
khusus pada anak dengan memberikan Positive Reinforcement (hadiah/pujian).
Modifikasi atau lebih dikenal ABA (Aplied Behavior Analysis), Melalui
metode ini, anak dilatih melakukan berbagai macam keterampilan yang
berguna bagi hidup bermasyarakat, misalnya berkomunikasi, berinteraksi,
berbicara, berbahasa dan seterusnya. Namun terutama yang perlu diterapkan
adalah latihan kepatuhan. Hal ini sangat penting agar mereka dapat mengubah
perilaku seenaknya sendiri menjadi perilaku yang lazim dan diterima
masyarakat. Tujuan penanganan ini terutama adalah untuk meningkatkan
pemahaman dan kepatuhan anak terhadap aturan. Terapi ini umumnya
mendapatkan hasil yang signifikan bila dilakukan secara intensif, teratur dan
konsisten.

IX. Pelaksanaan dan Hasil Intervensi


Berdasarkan hasil treatment yang sudah dilakukan selama kurang lebih
satu bulan, dengan menggunakan metode Terapi Applied behavioral Analysis
(ABA). Dapat diketahui bahwa, sebelum melakukan treatment, subjek
melakukan banyak perilaku menyimpang terutama dalam hal pengkondisian
seperti membuka laci dan mengambil buku yang berada di dalamnya maupun
memukul atau menyakiti diri sendiri ketika ada suara berisik.
Pada saat melakukan treatment, penulis memberikan program maupun
kegiatan yang lumayan banyak dan tidak membuat subjek merasa jenuh
mengerjakannya. Hal ini berguna untuk mengurangi perilaku menyimpang
subjek dalam hal pengkondisian. Dan juga ketika belajar mengajar
berlangsung, posisi duduk subjek diletakan pada bagian sudut dan menempel
ke dinding, hal ini berguna apabila subjek melakukan hal di luar kendali, maka

18
langsung dapat dihambat. Dan juga ketika subjek melakukan perilaku yang
benar, maka penulis memberikan sebuah reward berupa tepuk tangan, atau
kalimat pujian sebagai tanda bahwa subjek sudah melakukan hal yang baik.
Seperti wawancara yang sudah dilakukan kepada guru dan orangtua, bahwa
ketika subjek melakukan hal yang benar maka pemberian reward berupa
ucapan positif dapat membantu subjek dalam mengurangi perilaku
menyimpang.
Berdasarkan treatment yang sudah diberikan kepada subjek selama kurang
lebih satu bulan dengan menggunakan metode terapi Applied behavioral
Analysis (ABA), maka terdapat perubahan yang ada pada subjek, terutama
dalam hal pengkondisian. Yang mana pada masa observasi perilaku
menyimpang yang dilakukan subjek berada dalam frekuensi yang tinggi,
sehingga setelah dilakukan treatment maka perilaku menyimpang tersebut
sudah menurun.

X. Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
Konsep anak berkebutuhan khusus merujuk pada konsep hambatan
perkembangan dan abnormalitas dalam perkembangan. Fenomena anak
berkebutuhan khusus telah menjadi perhatian oleh banyak pakar dari bidang
psikologi, medis, dan pendidikan. Pada intinya, anak berkebutuhan khusus
merupakan anak-anak yang mengalami hambatan perkembangan baik pada
satu atau semua aspek perkembangan. Kondisi tersebut yang kemudian
membuat anak-anak berkebutuhan khusus membutuhkan pelayanan
(penanganan) berbeda dengan anak-anak lain.
Berdasarkan hasil treatment yang sudah diberikan kepada subjek selama
kurang lebih satu bulan dengan menggunakan metode Terapi Applied
Behavioral Analysis (ABA), maka terdapat perubahan yang ada pada subjek,
terutama dalam hal pengkondisian. Yang mana pada masa observasi perilaku
menyimpang yang dilakukan subjek berada dalam frekuensi yang tinggi,
sehingga setelah dilakukan treatment maka perilaku menyimpang tersebut

19
sudah menurun. Dan juga dalam akademiknya subjek memiliki kemampuan
mengingat yang sangat cepat serta dalam matematika subjek sangat cepat
dalam mengerjakannya.

Saran
Adapun saran yang diberikan penulis kepada pembaca ialah :
Mendidik anak yang berkelainan fisik, mental, maupun karakteristik
perilaku sosialnya, tidak sama seperti mendidik anak normal, sebab selain
memerlukan suatu pendekatan yang khusus juga memerlukan strategi yang
khusus. Hal ini semata-mata karena bersandar pada kondisi yang dialami anak
berkelainan. Oleh karena itu, melalui pendekatan dan strategi khusus dalam
mendidik anak berkelainan, diharapkan anak berkelainan:
(1) Dapat menerima kondisinya,
(2) Dapat melakukan sosialisasi dengan baik,
(3) Mampu berjuang sesuai dengan kemampuannya,
(4) Memiliki ketrampilan yang sangat dibutuhkan, dan
(5) Menyadari sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Tujuan lainnya
agar upaya yang dilakukan dalam rangka habilitasi maupun rehabilitasi
anak berkelainan dapat memberikan daya guna dan hasil guna yang tepat.
Untuk itu guru maupun orangtua perlu memahami kebutuhan dan potensi
anak walaupun inteligensi mereka tidak berbeda dengan anak normal kecuali
anak tuna grahita tetapi karena ketidak lengkapan kemampuan yang dimiliki
tentu dalam pembelajaran membutuhkan fasilitas yang berbeda.

20
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, N. (2013). Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus. Magistra, 25(86), 1.

Asrizal, A. (2016). Autis Children Handling on Sosial Interaction. Jurnal Penelitian


Kesejahteraan Sosial, 15(1), 1-8.

Azwandi, Yosfan. 2005. Mengenal dan Membantu Penyandang Autismea. Jakarta:


Depdiknas

Budhiman, M. (2002, Januari). Penanganan Autis secara Komprehensif. Seminar


& Workshop on Fragile-X Mental Retardation, Autisme and Related
Disorders. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang

Elizabeth B. Hurlock. (2004). Psikologi Perkembangan. Jakarta : PT. Gelora


Aksara Pratama.

Eva, N. (2015). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Malang: Fakultas


Pendidikan Psikologi Univeritas Negeri Malang, 1, 23.

Hallahan, D.P. & Kauffman, J.M. (2006). Exceptional Learners: Introduction to


Special Education 10th ed. USA: Pearson.

Handojo Y. 2003. Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi Untuk Mengajar Anak
Normal, Autis dan Perilaku Lain. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer..

Kristiana, I. F., & Widayanti, C. G. (2021). Buku ajar psikologi anak berkebutuhan
khusus.

Lubis, F., & Suwandi, J. F. (2016). Paparan Prenatal Valproat dan Autisme
Spectrum Disorder (ASD) pada Anak. MAJORITY, 5(3).

Mash, E.J., Wolfe, D. A. (2005). Abnormal Child Pschology. USA: Wadsworth


Publishing Company.

Nasution, A. G. P. L. (2018). Penyesuaian Diri Pada Orang Tua Yang Memiliki


Anak Autisme Spectrum Disorder (Doctoral dissertation, Ilmu Psikologi).

Nugraheni, S. A. (2012). Menguak Belantara Autis. Buletin Psikologi, 20(1-2), 9-


17.

Peeters, T. (2004) Hubungan Pengetahuan Teoritis dan Intervensi Pendidikan bagi


Penyandang Autis. Jakarta: Dian Rakyat

21
Perempuan, K. P. (2013). Panduan penanganan anak berkebutuhan khusus bagi
pendamping (orangtua, keluarga, dan masyarakat). Kementrian
Perlindungan Anak dan Perempuan: Jakarta.

Ratri, D. D. (2016). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Psikosain.

Safaria, Triantoro. 2005. Autis: Pemahaman Baru untuk Hidup Bermakna bagi
Orang Tua. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Suteja, J. (2014). Bentuk dan metode terapi terhadap anak autis akibat bentukan
perilaku sosial. Edueksos: Jurnal Pendidikan Sosial & Ekonomi, 3(1).

Visual Schedule Terhadap Penurunan Behavior Problem Saat Aktivitas Makan Dan
Buang Air Pada Anak Autis (Visual Schedule towards the Decline of
Behavioral Problems in Feeding Activities and Defecation in Children
with Autis) Sandu Siyoto*

Wahyuni, S. (2011). Penyesuaian diri orangtua terhadap perilaku anak autis di


Dusun Samirono, Catur Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta.

Widyorini, E., Roswita, M. Y., Sumijati, S. R. I., Eriany, P., Primastuti, E., &
Judiati, E. A. (2014). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus.

Yatim, Faisal. autis suatu gangguan jiwa pada anak-anak. Jakarta. Pustaka
Populer. 2003.

22
LAMPIRAN

A. Wawancara Dengan Ibu Subjek

Responden : Ibu JF
Tempat : Pekanbaru Lab School
Anisa Sebelum penulis wawancara, penulis minta maaf sudah
mengganggu waktunya Ibu dan mohon izin jika penulis
merekam pembicaraan kita. Langsung saja ya bu, perkenalkan
nama penulis Anisa Pratiwi dari Fakultas Psikologi Universitas
Islam Riau. Di sini penulis ditunjuk untuk mengobservasi anak
Ibu yaitu J.
Orangtua JF Oh baik Anisa
Anisa Langsung saja kita mulai ya bu, kapan sekiranya Ibu
mengetahui bahwa J ini terdiagnosa anak dengan berkebutuhan
khusus?
Orangtua JF Awalanya kami tidak tahu, sampai J masuk sekolah TK. Jadi
awalnya J itu penulis masukkan kedalam TK biasa (TK Bina
Kasih), sampai 2-3 hari bersekolah di sana gurunya
memberitahu penulis bahwa si J merupakan Anak yang
Berkebutuhan Khusus dan memerlukan terapi khusus juga.
Pada awalnya kami juga tidak tahu ABK tu apa sampai
akhirnya tau pada saat di TK itu.
Anisa Ooo berarti sejak TK ya bu ?
Orangtua JF Iya, Lalu gurunya yang di TK juga memberitahu bahwa si J ini
tidak boleh digabung dengan anak lainnya, karena bisa
membuat perilaku menyimpangnya makin parah. Maka dari itu
lah, pada awalnya kami hanya melakukan terapi di rumah
secara visit aja.
Anisa Selanjutnya apakah ada kesulitan bagi Ibu dalam menangani
anak berkebutuhan khusus seperti J ?

23
Orangtua JF Awalnya parah sekali sulitnya, yang emang kita tidak mengerti
cara menanganinya dan sering terjadi salah penanggapan. Si J
nya sering mengamuk, kitanya juga jadi banyak pikiran. Tapi
dengan adanya Lab School ini cukup membantu penulis dalam
menangani J, karena kita belajar juga secara perlahan dari guru-
guru yang ada di sini, dan menerapkan apa yang di ajarkan oleh
guru J di rumah. jadi kalau sekarang sudah tidak terlalu
kesulitan dalam menghadapi J
Anisa Berarti sudah berkurang ya bu kesulitannya, terus bagaimana
cara Ibu memberi sebuah hadiah atau reward kepada J apabila
dia berperilaku baik
Orangtua JF Di rumah ya? Kalau di rumah biasanya J diberikan berupa
pujian seperti “wah hebat, good job atau ganteng” gitu. Tapi
beberapa kali dia juga tidak terlalu senang dengan reward
seperti itu. Kadang dia juga minta makanan karena dia suka
makan kan, kaya ayam goreng, bakwan, ataupun lontong. Itu
biasanya dalam seminggu hanya sesekali Ibu berikan karena
ayahnya punya riwayat gula.
Anisa Iya bu, penulis lihat dia sering membawa buah atau makanan
rebus-rebusan. Nah selanjutnya apabila J melakukan perilaku
menyimpang bagaimana Ibu menghadapi atau
menghambatnya?
Orangtua JF Kalau J ngamuknya udah parah dan tiba-tiba mendadak
mengigit tangan, itu kita tidak bisa ngapa-ngapain dan hanya
membiarkan J reda dulu. Nanti kalau udah reda kadang Ibu
memberikan hukuman ke J. Seperti kemarin dia mematikan
token listrik pak RT. Ibu memberikan hukuman dengan tidak
bolehin jalan-jalan sore, dan hanya membawa abangnya, tapi si
J nya malah ngamuk terus melukai tubuhnya sendiri yang
akhirnya tetangga pada keluar semua. Menurut penulis sendiri

24
kenapa ia harus dihukum, ya jika tidak dihukum nanti malah si
J bakal ngulangin terus. Yang akhirnya Ibu bawa J jalan-jalan
sore dan memberi pengertian lagi seperti “kalau kaya gitu lagi
besok ga diajak jalan-jalan sore ya J” besoknya dia udah ngerti
dan bisa dilarang kok
Anisa Oo begitu ya bu, selanjutnya apa ada dukungan dari keluarga
dan lingkungan sekitar terhadap J?
Orangtua JF Untuk lingkungan tetangga itu oke, mereka mengerti semua
walaupun J kadang masuk ke rumah mereka untuk ambil
handphone. Ibu cuman pesen ketetangga apabila kami sedang
jalan sore untuk mengunci pintunya, untungnya tetangga itu
mengerti.
Anisa Baik bu, mungkin itu saja wawancara dari penulis, mohon maaf
bila ada kata yang salah dan menggangu waktunya. Termakasih
ya bu
Orangtua JF Iya Anisa gak papa. Sama-sama
Tabel 3. Wawancara bersama Ibu JF

B. Wawancara dengan Guru Subjek

Responden : Ibu W
Jabatan : Guru
Tempat : Pekanbaru Lab School
Anisa Assalamualikuam Ibu. Penulis Anisa Pratiwi
Ibu W Iya, lanjutkan..
Anisa Baik langsung saja kita mulai ya Ibu, penulis ingin menanyakan
bagaimana kondisi fisik dari J? Apakah sesuai dengan anak-
anak seumurannya?
Ibu W : Kalau untuk kondisi fisiknya itu sesuai dengan anak-anak
seumurannya, tapi anak-anak ini kontak mata nya agak kurang
sehingga sedikit susah untuk melihat jalan dengan baik

25
Anisa Selanjutnya penulis ingin menanyakan untuk gaya belajar dari
J ini bagaimana Ibu?
Ibu W Untuk gaya belajar dari J sendiri kita menggunakan gaya
belajar yang serius, apabila kita ajak dengan gaya bermain hal
tersebut membuat perilaku menyimpangnya keluar. Karena J
juga terlihat seperti perempuan, dapat dilihat dari pergerakan
tangannya. Maka dari itu dibuat dengan gaya belajar yang
cukup serius agar perilaku menyimpangnya tadi tidak keluar
Anisa Selanjutnya kalau untuk motorik halus dan kasar pada J ini
bagaimana Ibu?
Ibu W Kalau untuk itu si J semuanya cukup baik Anisa. Namun hanya
saja visualnya itu kurang baik karena matanya minus. Kadang
kita panggil dari jauh dia cukup dengar tapi dia tidak melihat
kita.
Anisa Apa dukungan yang Ibu berikan ke J apabila J mampu benar
mengerjakan apa yang Ibu suruh?
Ibu W Untuk J Ibuk tidak memberikan hal yang berupa ekonomi, kita
tau juga bahwa si J ini lagi diet. Jadi Ibu lebih memberikan
berupa pujian, Jempol, “iii J Hebat”. Lebih ke hal yang seperti
itu J udah senang sekali.
Anisa Selanjutnya bagaimana Ibu menangani perilaku menyimpang
dari J?
Ibu W Kalau penanganan J dalam hal ini Ibu menggunakan cara fisik
dan verbal juga. Karena kamu lihat sendiri bagaimana
perilakunya, jadi Ibu secara langsung menghambat
perilakunya, dan ambil tangannya
Anisa Si J ini kan sering diantar jemput oleh Ibunya? Apakah Ibu
sering memberitahu kepada orangtuanya bagaimana cara
efektif dalam menangani perilaku J disaat sedang emosi?

26
Ibu W Tentunya sering sekali, kemarin orangtuanya juga memberi
tahu bahwa si J sering mencuci kain, belum disuruh udah
mencuci kain. Nah itu kan perilaku menyimpang juga, kalau di
sini kan kita menangani secara verbal dan fisik tapi di sana kita
tidak tahu. Makanya di sini Ibu harus memberikan pengertian
dulu ke J nya, contohnya “J Mandi dulu, terus permisi ke Ibu
untuk cuci kain” Atau dengan memberi tahu J “Tunggu Ibu
nyuruh cuci kain, baru kamu lakukan”.
Terus kemarin orangtuanya juga menyampaikan bahwa si J ini
tidak mau jongkok. Emang kalau di rumah sama orangtuanya
si J dilakukan dengan lembut dan rayuan, jadi kadang anaknya
tidak mau nurut. Nah di sini Ibu memberitahu dia dengan
sedikit tegas “Nanti pulang sekolah, ganti baju, mandi, makan,
jongkok!”. Si J kalau kita tegas dia mau nerima dan langsung
dilakukannya. Nanti Ibu langsung menanyakan ke orangtuanya
apa sudah menurut dengan apa yang Ibu bilang apa belum.
Kalau belum tinggal Ibu suruh pulang nanti dia takut sendiri.
Anisa Lanjut Ibu, pada saat Ibu memberikan pelajaran yang sulit
mengerti apakah ada perilaku menyimpang J yang keluar?
Ibu W Kalau perilaku menyimpang yang dilakukannya paling bolak-
balik buku, lihat-lihat buku. Tapi pada saat pelajaran
matematika dia menarik tangan Ibu untuk minta bantu
menjawab pertanyaannya.
Anisa Baik itu saja, dari Anisa Ibu, terimakasih atas kesempatan dan
waktunya.
Ibu W Iya sama-sama Anisa
Tabel 4. Wawancara bersama Guru

27
DOKUMENTASI

Gambar 1. Kegiatan kesenian

Gambar 2. Kegiatan mewarnai

28
Gambar 3. Kegiatan menari

Gambar 4. Kegiatan membaca

29
Gambar 5. Berdoa sebelum melakukan kegiatan

Gambar 6. Kegiatan eksperimen media balon

30
Gambar 7. Kegiatan sensorimotorik (berlari zig-zag)

Gambar 8. Kegiatan menggunting dan menempel

31
Gambar 9. Kegiatan kemandirian (menyikat gigi)

Gambar 10. Kegiatan sensorimotorik (berjalan jongkok)

32

You might also like